“Emm-, Rion? Kamu kenapa? Rion?” Citra bertanya canggung dalam dekapan suaminya. Ia diterjang kebingungan yang tidak terkira-kira. Bagaimana tidak, itu adalah pelukan pertama yang didapatnya dari Orion sejak setahun yang lalu. Citra tidak membalas memeluk Orion, hanya mengerjapkan matanya, tidak yakin harus bereaksi seperti apa. Sementara di depannya, Erian menyaksikan adegan itu dengan wajah tidak riang. Sedangkan Pak Soni di kursi sopir sekali-sekali melirik ke spion. Setelah beberapa menit yang melegakan, Orion melepaskan dekapannya dan menarik tangan istrinya, mengajaknya keluar dari mobil Erian tanpa kata. Walaupun heran sehingga masih tidak tahu mesti bagaimana, Citra membiarkan juga suaminya mengenggam tangannya dan turun.“Maaf, Ayah, tapi Citra sedang hamil muda. Tidak seharusnya Ayah membawanya ke mana pun tanpa seizin saya, suaminya,” ujar Orion tegas. Di sampingnya, Citra sangat terperanjat sampai matanya terbelalak dan mulutnya terbuka, tidak menyangka suaminya bisa mema
Satu nama itu rupanya ampuh menghancurkan suasana intim yang tidak sengaja terbangun di antara Orion dan Citra saat itu. Sebab, begitu melihat layar ponsel suaminya, kegeraman yang tak bisa dijelaskan tiba-tiba membungkus Citra, membuatnya memalingkan wajah dengan ekspresi jengkel, berniat tidak akan membiarkan matanya melihat sosok suaminya selama mungkin.Sedangkan Orion langsung merasa salah tingkah seperti telah tertangkap basah melakukan dosa besar. Matanya jumpalitan tidak fokus dan mulutnya buka tutup tidak jelas, tidak tahu apakah akan memutuskan akan berbicara atau tidak. Kalaupun bakal bersuara, kata apa yang akan dilompatkannya pun ia tidak tahu. Tapi, Orion yakin sekali jika Citra tidak suka dengan deretan huruf yang terpajang di ponselnya sekarang sehingga memilih untuk mengabaikan saja panggilan itu sampai layarnya menggelap kembali.Namun, orang yang berusaha menghubungi Orion adalah manusia pantang menyerah, atau mungkin keras kepala karena beberapa detik setelahnya,
“Rion ke mana sih, jam segini masih belum datang juga,” gumam Ulfa resah. Ia melirik arloji berwarna navy yang bertengger di lengan kiri untuk kesekian kalinya. Selingkuhannya itu sudah terlambat satu jam. Orion memang sering telat di tiap pertemuan mereka, biasanya karena sulit mencari alasan untuk dikemukakan pada ayah dan istrinya, tapi itu hanya beberapa menit, belum pernah sampai selama ini.Ulfa bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela besar. Usai menyibakkan tirai putih yang menggantung, Ulfa melongokkan kepalanya demi mengamati parkiran hotel tempatnya berada, berharap melihat mobil Orion memasuki kawasan parkir.Namun, setelah menunggu lima menit dan Orion masih belum menampakkan wujudnya, Ulfa menarik kepalanya kemudian menyentakkan tirai di tangannya dengan kasar. Selama hubungan rahasia itu berlangsung, ia belum pernah menelpon Orion tiap kali mereka janjian ketemu karena yakin pria itu pasti datang, tapi sepertinya kali ini Ulfa harus melakukannya.Dengan perasaa
Sambil memelototi mobil anaknya yang perlahan menjauh, tinju Erian mengepal erat di sisi tubuhnya. Walaupun secara hukum, moral, dan etika ia tidak punya hak untuk menahan Citra lebih lama bersamanya dan melarang Orion membawa wanita itu, Erian tetap geram. Di dalam dirinya berkobar-kobar perasaan kepemilikan terhadap menantunya dan menganggap tindakan Orion lancang dan kurang ajar.“Bagaimana, Tuan Erian? Kita putar balik juga sekarang?” Pak Soni bersuara takut-takut dari samping pintu sisi pengemudi meskipun enggan. Tapi, melihat posisi mobil mereka yang tergeletak di tengah jalan, ditambah lagi dengan tatapan ingin tahu dari pengendara yang lain, membuat Pak Soni memberanikan diri untuk menegur majikannya agar bisa kabur secepatnya dari situ.Mendengar pertanyaan sopirnya, Erian membuka kembali kepalan tangannya dan berbalik. Saat mendapati wajah Pak Soni yang kelihatan tidak enak, Erian mencoba tersenyum untuk menetralkan suasana, tapi gagal sebab senyumnya lebih mirip seringaian.
“Kenapa diam saja dari tadi? Kamu tidak enak badan? Mual? Demam? Perutmu sakit? Atau, makanannya tidak sesuai seleramu?” Orion mendongak dan bertanya dari atas mi gorengnya yang sudah dilahap setengah karena menyadari istrinya tidak bersuara sedikit pun sejak membeberkan keinginannya makan di tempat itu beberapa puluh menit yang lalu.Citra tersentak karena setengah berharap suaminya tidak akan mengajaknya bicara, sebab ia telah bertekad akan mendiamkan Orion selama mungkin. Ia masih jengkel dengan panggilan dari Ulfa tadi, walaupun Citra mati-matian meyakinkan dirinya bahwa alasan kekesalannya semata-mata karena Orion meremukkan rencana indahnya untuk menikmati hari libur bersama Erian di vila cantik pinggir pantai.“Tidak, tidak ada apa-apa. Aku baik-baik saja, makanannya juga aku suka,” jawab Citra ogah-ogahan, terlihat jelas enggan berinteraksi verbal dengan suaminya. Ingin memastikan, Orion melirik piring istrinya dan menemukan makanannya memang hampir habis. Ia mengerjap. Oke, b
Dengan bayangan tentang kejadian menyenangkan dalam tengkoraknya yang nanti akan dilakoninya bersama Ulfa, sambil menahan senyum mesum Pak Wira muncul di sisi mobil tempat tas coklat itu dilihatnya. Tapi, senyum di wajahnya tiba-tiba punah begitu Pak Wira menemukan tidak ada siapa-siapa di tempat itu. Ke mana perginya Ulfa? Atau, apa ia salah lihat?Tidak mau kehilangan buruannya begitu saja, mengingat ini kesempatan yang sangat langka bisa bertemu wanita yang sudah lama bersemayam dalam imajinasi nakalnya itu di lokasi yang menurutnya tepat, Pak Wira mengelilingi mobil sekali lagi, bahkan sampai melongok ke kolong kendaraan itu. Namun, hasilnya tetap nihil. Ulfa tidak ada di mana pun.“Sialan! Aku yakin betul melihat tas wanita itu di sini, ke mana perginya dia?” Pak Wira menggerutu geram. Ia berkeliling dan matanya jumpalitan lagi demi memindai halaman parkir, jalanan, dan deretan toko di depannya. Siapa tahu Ulfa sudah berlari ke seberang sana ketika Pak Wira mendekat tadi. Namun,
31“Pak Erian, apa Anda memerhatikan? Saya bertanya, di mana anak Anda, Orion? Apa dia ada di rumah?” Nadi bertanya lagi setelah beberapa detik berlalu dan Erian tak kunjung bereaksi terhadap pertanyaannya. Pria itu bahkan tampak aneh dengan mata melotot dan mulut sedikit terbuka. Apa berita yang dibawanya terlalu berat hingga tidak sanggup ditanggung oleh Erian?“Pak Erian, tolong jawab pertanyaan saya. Kalau tidak, kami terpaksa menggeledah rumah Anda untuk mencari,” ujar Nadi yang sudah memutuskan untuk menaikkan nada suaranya sedikit demi menggiring Erian kembali ke kenyataan sehingga bisa diajak berkomunikasi. Ia kemudian memberi isyarat agar rekan-rekannya yang menunggu di luar memasuki rumah. Sekejap saja ruang tamu mewah itu sudah sarat dengan belasan polisi berpakaian biasa.Teguran itu rupanya sukses menyadarkan Erian yang sempat terlena dengan pemikirannya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, meskipun sangat keterlaluan, pernyataan Nadi soal Orion yang kemungkinan adalah pembunu
Citra memelototi ponsel dalam genggamannya, berharap balasan pesan dari Erian tiba secepat mungkin. Ia tengah jengkel setengah hidup pada suaminya sehingga membutuhkan pengalihan agar otaknya tidak memikirkan hal-hal ekstrem yang patut dilakukan demi melampiaskan perasaan tidak nyaman itu, tiba-tiba menjambak rambut Orion sampai suaminya tidak fokus mengemudi dan membuat mobil oleng hingga menabrak pohon, misalnya.Sebab itu, begitu merasakan getaran dalam tas tangan yang digenggamnya erat, Citra tergesa-gesa meraup ponsel dari dalamnya dan tanpa sadar wajahnya tidak lagi sedatar tripleks. Ekspresinya pun berubah menjadi lebih manusiawi. Dengan cepat ia membalas pesan Erian yang dianggapnya penyelamat dari suasana menyesakkan yang membungkusnya.Tapi, satu menit, dua menit, sampai lima menit berlalu, namun Erian belum juga merespons pesannya. Citra mengerutkan dahi dan menyipitkan mata, situasi hatinya kembali memburuk. Usai meyakinkan diri bahwa interaksi antara dirinya dan Erian sud