"Tiga puluh lima juta?" Cinta mengulang kembali perkataan Sherly. "Iya murcee, murah cekali." Sherly tertawa kecil. Cinta diam dan memandang tas yang sudah memikat hatinya. "Ini apa tidak ada potongan harga?" Si pramuniaga tersenyum sambil sedikit melirik Rafasya. "Sebentar ya mbak Cinta, saya akan temui si bos dulu," pamitnya. "Tidak usah pakai diskon." Rafasya berkata ketika wanita pramuniaga akan pergi.Rafasya merupakan pengusaha yang terkenal. Semua orang tahu seperti apa kekayaan yang dimilikinya. Melihat istrinya meminta potongan harga tentu saja membuat dia malu, seakan tidak mampu untuk membayar harga tas yang dinilainya tidak seberapa. "Tidak apa mas, saya temui Bos saya." Sherly dengan cepat pergi meninggalkan Cinta dan Rafasya. "Kenapa gak langsung bayar aja dek?" Rafasya memandang Cinta. Bagi Rafasya, uang segitu tidaklah besar namun berbeda dengan istrinya. Cinta hanya diam dan memandang tas ditangannya. Dia begitu sangat malas ketika memandang wajah suaminya. Ha
Cinta dan Rafasya makan di restoran yang ada di mall. Pria itu tersenyum ketika melihat istrinya makan dengan lahap. "Abang, setelah makan kita langsung pulang ya." Cinta tersenyum dan menghabiskan jus apel di dalam gelas berukuran besar. "Iya, sudah ngantuk ya?" Rafasya berkata dengan lembut sambil mengusap kepala istrinya.Cinta menutup mulutnya yang sedang menguap. Sungguh dia merasa malu dengan kebiasaan yang seperti ini. Setelah selesai makan matanya terasa berat dan tidak sabar untuk segera bisa tidur menjelang sampai ke rumah. "Ya sudah kalau gitu ayo pulang." Rafasya tidak ingin mengulur waktu, karena dia tidak tega melihat istrinya yang sudah kesusahan untuk menahan kelopak matanya. Jika seandainya ini bukanlah di mall sudah pasti Rafasya akan menggendong tubuh sang istri. Jujur dia merasa tidak tega melihat Cinta yang sudah ngantuk berat. Namun permasalahannya jika pria itu melakukan hal tersebut, sudah pasti akan menarik perhatian seluruh pengunjung yang ada di sana. Bi
"Cinta?" Rafasya bertanya sambil memandang wartawan.Cinta tahu bahwa Rafasya tidak akan mampu menjawab pertanyaan dari si wartawan. Sudah pasti alasannya tidak ingin menyakiti hati Karin yang begitu sangat dicintai oleh suaminya."Iya cinta, apa mas Rafasya mencintai Mbak Cinta? "tanya si wartawan dengan tersenyum. Cinta terdiam tanpa bisa berkata apa-apa namun ekspresi wajahnya seketika berubah ketika sang suami mencium keningnya dengan penuh kasih sayang. "Jika ditanya cinta dengan istri, jujur saya sangat mencintai dan menyayangi Istri saya. Saya bersyukur menikah dengannya. Awal mula Saya memang menolak pernikahan ini karena memang sebelumnya saya sudah memiliki kekasih. Namun ternyata pilihan orang tua saya tidak salah dan saya sudah mencintai istri saya dan bahkan sangat mencintai. "Rafasya memberitahukan kepada dunia seperti apa besar cintanya untuk sang istri. "Usia Mas Rafasya dengan mbak Cinta ini cukup jauh ya, sekitar 11 tahun. Bisa berikan pengalaman ketika memiliki i
Karin merasakan tubuhnya yang begitu amat lemas dan kepala yang seakan ingin pecah. Jangankan untuk beranjak dari atas tempat tidur, dengan posisi berbaring seperti ini saja dia sudah merasakan seisi kamar yang berputar. Air mata wanita itu kembali menetes ketika mengingat apa yang dilihatnya di taman tadi. Masih terbayang jelas di pelupuk matanya ketika Rafasya bermesraan bersama dengan istrinya. Mana janji setia?Mana janji akan selalu bersama?Mana janji yang akan menikahnya?Karin menangis ketika mengingat perubahan sikap Rafasya. Mengapa semudah itu menggantikan posisi dengan wanita lain. Marah, Karin begitu sangat marah dan ingin meluapkan kemarahannya. Namun tidak tahu kepada siapa. Apalagi kondisinya yang sangat lemah. Karin mengambil vitamin yang diberikan dokter untuknya dan kemudian meminumnya. Wanita itu berharap kondisinya akan membaik setelah meminum vitamin dan juga obat untuk pereda rasa pusing dan mualnya."Aku ingin bertemu dengan Jake." Karin menjangkau ponsel m
Sari duduk di taman belakang bersama dengan Rafasya. Wanita berwajah cantik itu sudah tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan dari putranya."Rafa, Mama butuh penjelasan dari kamu. Jujur hati Mama belum tenang hingga sampai sekarang, meskipun Mama melihat seperti Apa hubungan kamu dengan Cinta." Sari mengungkapkan keraguan di hatinya.Rafasya diam sejenak dan kemudian menghembuskan napas secara perlahan-lahan. Meskipun Sari sudah melihat Seperti apa hubungannya dengan Cinta, namun ternyata wanita yang telah melahirkannya itu tidak bisa percaya begitu saja."Awal menikah dengan Cinta, aku tidak mencintainya Ma. Mama tahu kan seperti apa aku tidak menyukai Cinta. Ketika baru menikah dengan Cinta, aku belum memutuskan Karin. Dengan alasan dia tidak ingin mengakhiri hubungan kami. Aku sudah katakan dengan dia agar tidak lagi berhubungan denganku tapi dia tidak mau." Meskipun wanita itu pernah menemani hari-harinya dan mengisi kekosongan di relung hatinya, namun untuk menyebut nama Karin
"Aku tidak segila itu mah." Rafasya memandang Sari dengan wajah sedikit marah. Jujur saja dia tidak terima ketika dituduh telah melakukan hal yang tidak semestinya. "Baiklah mama percaya." Sari tersenyum dan kemudian beranjak dari duduknya. Meskipun mulutnya mengatakan percaya namun tidak dengan hatinya. Sari tetap saja merasa ragu dengan apa yang dikatakan oleh Sang putra. "Mama titip Cinta, jaga dia baik-baik. Nanti di saat Mama sudah pulang ke Indonesia, Mama ingin mendengar kabar baik tentang kalian. Mama ingin punya cucu segera." Sari tersenyum sambil menepuk pundak Rafasya. Wanita itu kemudian pergi meninggalkan Rafasya yang masih duduk di taman belakang. Cukup lama Rafasya duduk di taman belakang sambil menikmati angin yang berhembus segera. Bukannya dia tidak ingin masuk ke dalam kamar hanya saja setiap kali melihat Cinta, naluri ke lelakinya selalu saja bangkit. Entah mengapa sekarang dirinya seperti singa yang sedang lapar. Namun dia tidak bisa melakukan ataupun, bahkan
Rafasya berdiri di depan pintu kamar yang sudah tertutup rapat. Sambil meratapi nasibnya yang malang. Lucu sekali ya, selaku suami tapi tidak diizinkan untuk melihat istrinya memakai pakaian. Kalau bukan karena ulahnya sendiri mungkin saat ini pria itu sudah sangat bahagia.Biasa memeluk, mencium dan bahkan merasakan hangatnya gelora asmara. Bisa saling bermanja dan berbagai rasa. Rafasya juga tidak perlu merasakan kepala atas dan kepala bawah yang terasa pusing dan berdenyut karena tidak mendapatkan haknya sebagai seorang suami. Menyesal hanya kalimat itu yang menggambarkan perasaannya. Namun Apa yang hendak dikata nasi sudah jadi bubur. "Galak amat sih." Rafasya masih tidak percaya bahwa istrinya yang sangat kalem, lemah lembut dan tidak pandai marah, kini menjelma menjadi wanita yang begitu sangat garang. "Tapi sepertinya yang tadi bukan Cinta." Pria itu masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat tadi. Meskipun hanya galin mineral kosong yang jadi senjatanya, namun Ra
"Jawab Cahaya, kami butuh kejelasan tentang barang-barang ini?" Maya tidak mau berhenti bertanya sebelum mendapatkan jawaban. Jika orang tua yang lain merasa senang dan bangga ketika melihat anaknya pulang dengan membawa barang-barang mahal seperti ini. Belum lagi perhiasan emas yang menyilaukan mata. Namun ternyata tidak untuk kedua orang tua Cahaya. Mereka tampak ketakutan ketika melihat barang yang dibawa anaknya. "Aya juga nggak tahu Ma, Pa, kalau barang-barang yang dikasih seperti ini. Kalau tahu begini, waktu sebelum berangkat Aya tolak." Cahaya menundukkan kepalanya. Keningnya sudah basah oleh keringat. Sedangkan telapak tangan dan telapak kakinya terasa begitu amat dingin. "Tidak usah berbelit-belit, bicara yang jelas," kata Efendi. Efendi baru berani menginterogasi putrinya setelah seluruh keluarga pergi. Sehingga tidak ada yang mendengarkan obrolan ini. "Di sana kami bertemu dengan desainer ternama kelas dunia. Ya mereka memang terlalu banyak duit sehingga sewaktu ak