'Bukankah kau yang pernah jatuh di selokan itu 'kan?'
Jadi, Layla tidak salah ingat.Mereka adalah satu orang yang sama. Laki-laki yang pernah menolongnya empat tahun yang lalu. Layla tidak menyangka mereka akan bertemu lagi dalam situasi yang sangat berbeda.Takdir memang selalu memiliki rencana tersendiri.Bahkan Arsen masih mengingatnya.Layla meletakkan piring kuenya yang telah kosong dan mengambil segelas jus. Pandangannya lagi-lagi bertemu dengan mata rusa Arsen yang memandangnya di seberang meja. Entah perasaan Layla saja atau apa, tetapi tatapan Arsen seolah terus terpaku padanya.Keduanya telah diperkenalkan secara formal sebelum makan malam dimulai. Layla tidak banyak bicara, begitu pula dengan Arsen. Hanya orang tua keduanya yang sibuk berbicara mengenai banyak hal.Setelah makan malam, keduanya dibiarkan bicara berdua di taman halaman belakang rumah. Katanya supaya lebih akrab. Arsen mengangguk setuju tanpa basa-basi, sementara Layla gugup bukan main.Sepertinya, hanya Layla yang merasa jantungnya terasa akan copot, sebab Arsen terlihat biasa-biasa saja. Atau pria itu mungkin pandai mengontrol ekspresinya.Layla duduk dengan canggung, pandangannya jatuh ke kakinya yang dibalut sandal kelinci berbulu. Kakinya sakit mengenakan sepatu hak tinggi, jadi ia diam-diam menggantinya saat ibunya berlalu pergi.Ia melirik Arsen yang bungkam, entah apa yang ada di pikiran pria itu. Apa yang akan mereka lakukan? Atau bicarakan? Tidak ada yang memulai.Otak Layla terasa buntu, ia tidak bisa memikirkan topik apa pun untuk diangkat. Sebagai perempuan yang tidak pernah menjalin hubungan, ia bingung harus bagaimana."Aku tidak menyangka kita akan bertemu lagi setelah sekian lama." Akhirnya Arsen bicara setelah lima menit berlalu dalam keheningan.Layla mengangguk. "Aku juga, mm ... Kak Arsen.""Panggil Arsen saja," kata Arsen tertawa kecil. Tangannya terulur, dengan lembut mengangkat dagu Layla agar mau menatap wajahnya. "Supaya lebih akrab. Bagaimana?""Ah, baiklah." Layla berkedip, agak tertegun dengan tindakan Arsen. Pria itu tersenyum kecil sebelum menarik tangannya kembali.Layla sempat mengira kalau Arsen adalah pria yang kaku, terlebih ia lebih banyak diam saat makan malam tadi. Rupanya, Layla salah. Wajahnya sekarang terlihat ramah dan teduh, berbanding terbalik dengan foto-foto yang muncul di internet.Angin dingin berhembus di antara keduanya. Untungnya Layla sudah memakai sweater atas saran ibunya. Cuaca malam ini cerah, bintang-bintang bertaburan di langit, menemani segaris bulan sabit yang menggantung indah."Layla?" Panggil Arsen tiba-tiba.Layla menoleh dengan cepat. "Ya?""Apa kau menginginkan perjodohan ini?"Layla terdiam. Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar. Bagaimana ia menjawabnya?"Kau sendiri bagaimana?" Layla balik bertanya."Mari sama-sama jujur. Ini karena permintaan orang tua kita, bukan?" Arsen bicara dengan hati-hati, mungkin berpikir kalau Layla akan tersinggung.Nyatanya, latar belakangnya memang seperti itu. Layla mengangguk kaku. "Kau benar."Arsen tersenyum simpul. "Yah, tapi aku tidak menyangka orang itu adalah kau. Maksudku, aku mengenal ayahmu, tapi aku tidak pernah melihatmu sebelumnya.""Aku sangat jarang datang ke perusahaan ayah, bisa dihitung jari." Layla mengaku. "Dulu aku terlalu sibuk belajar agar bisa lolos ke jurusan yang kuminati.""Apa itu?""Kedokteran," jawab Layla pelan. "Atau paling tidak, bagian Psikologi.""Apa kau masih ingin kuliah?"Layla menghela napas berat dan menggeleng. "Kurasa tidak.""Kenapa? Kalau kau mau, aku tidak akan melarang meskipun kita sudah menikah."Layla menatap Arsen lekat-lekat, wajah pria itu dipenuhi keseriusan. Ia tidak bercanda dengan kalimatnya. Itu agak mengejutkan, mengingat Layla seharusnya tinggal di rumah."Aku hanya ingin menjadi ibu rumah tangga seperti ibuku," ujar Layla. Jauh di dalam hatinya, ia tidak ingin melepas cita-citanya. Tetapi, statusnya setelah menikah sudah berubah. Ia tidak ingin terlalu sibuk di luar dan melalaikan kewajibannya. "Ibuku selalu bilang bahwa untuk menjaga keharmonisan keluarga, seorang istri tidak boleh melalaikan kewajibannya. Aku harus memperhatikan suamiku dan anakku—maksudku, jika nantinya aku memiliki anak. Masuk kuliah kedokteran akan menyita banyak waktuku dan aku jadi tidak bisa mengurus keluargaku dengan baik."Arsen tertegun, jelas terkejut dengan penjelasan gadis muda di hadapannya. Usianya mungkin baru 19 tahun, tetapi pemikirannya sangat dewasa."Kau perempuan yang baik, Layla." Arsen tersenyum tipis. "Walaupun sejujurnya kalau dipikir kembali, agak mengherankan kau ingin mengambil bagian kedokteran."Layla menatap tidak mengerti. "Kenapa?""Mengambil jurusan di bagian itu berarti kau harus kuat mental dan fisik. Dulu kukira kau adalah gadis yang sangat cengeng. Aku masih ingat bagaimana kau terisak kencang waktu itu," ujar Arsen bercanda. Ia terkekeh, matanya mengerling jenaka. "Bahkan saat aku mengantarmu pulang ke rumah nenekmu, kau masih menangis."Layla meringis, pipinya merona samar. Rasanya ia ingin membuang kenangan memalukan itu jauh-jauh. Ia akui, ia memang sangat cengeng waktu itu. Tetapi, semuanya sudah berubah sekarang."Aku sudah dewasa sekarang. Sembilan belas tahun dan sebentar lagi berubah menjadi dua puluh," kata Layla tanpa sadar. Pipinya sedikit menggembung.Arsen tertawa. "Aku tahu. Penjelasanmu mengenai kewajiban seorang istri membuatku berpikir kalau pemikiranmu mungkin lebih dewasa dariku."Layla tidak bisa menahan senyumnya untuk melebar. "Tapi kau adalah seorang direktur, jadi kau pasti jauh lebih dewasa?""Mungkinkah?""Mungkin saja."Keduanya saling menatap kemudian tertawa. Layla senang mendapati dirinya tidak gugup lagi. Percakapan mereka terasa mengalir seperti air sungai. Walaupun obrolan terakhir agak memalukan.Layla tidak akan pernah melupakan kejadian itu.Saat itu hujan deras disertai angin kencang. Layla baru kembali dari toko bunga dan memutuskan untuk hujan-hujanan saja karena bajunya sudah terlanjur basah.Ia melangkah riang seraya bersenandung, tetapi seorang pemuda dari arah berlawanan membawa motornya dengan gila. Layla berusaha menghindar, tetapi kakinya malah tergelincir dan berakhir jatuh ke selokan.Bajunya bau, semuanya bau. Selokannya cukup dalam dan licin, jadi Layla tidak bisa memanjat keluar. Ia hanya bisa menangis sambil berteriak minta tolong, tetapi tidak ada yang datang.Setengah jam kemudian, Arsen muncul dengan helm kekecilan yang tidak muat di kepalanya. Layla hampir tertawa, tetapi diurungkan mengingat ia mungkin tidak akan ditolong. Lalu dengan ekspresi datar dan tanpa banyak bicara, Arsen menariknya keluar dari selokan.Pemuda itu dengan baik hati mengantarnya pulang, sebab Layla kembali terisak kencang saat mencium tubuhnya yang bau.Momen itu sangat memalukan, sungguh. Tidak mengherankan kenapa Arsen masih mengingatnya."Apa kau pernah pacaran sebelumnya? Atau menyukai seseorang?"Pertanyaan mendadak itu membuat Layla lengah. Ia menatap Arsen yang balas menatap penasaran."Tidak," jawab Layla jujur. "Aku tidak pernah."Tidak ada keterkejutan yang muncul di wajah Arsen, tetapi pria itu tampak menghela napas. "Walaupun kau tidak pernah pacaran, aku yakin banyak laki-laki yang tertarik padamu. Kau cantik dan pintar," gumam Arsen. Kemudian ia buru-buru menambahkan, "Aku tidak sedang menggoda, itu benar-benar tulus pujian."Layla mengangguk pelan, kedua pipinya terasa memanas. Padahal ia sering mendengar jenis pujian seperti itu dari banyak laki-laki, tetapi ia merasa biasa saja.Lain hal dengan Arsen, entah kenapa pujiannya membawa perasaan berdebar yang aneh pada hatinya. Mungkin dari semua pria yang ia kenal, hanya Arsen yang paling melekat dalam pikirannya, mengingat pria itu pernah menolongnya.Layla tanpa sadar tersenyum menatap Arsen dan pria itu balas tersenyum kecil. Sinar bulan tumpah ke wajahnya. Layla tidak menyangkal bahwa Arsen adalah pria yang menawan.Mata rusanya, hidung bangirnya, dan bibir tipisnya, ditambah dengan rambut hitam legamnya yang disisir rapi ke belakang. Jas senada membalut tubuhnya yang tampak kekar.Lalu, dengan pembawaannya yang luar biasa, Layla yakin Arsen setidaknya pernah pacaran. Layla jadi teringat dengan artikel yang ia lihat di internet beberapa jam lalu.Hubungan Arsen dan sekretarisnya.Apa itu benar? Apakah Layla bisa menanyakannya?Layla menggigit bibir bawahnya, merasa ragu. Ia menatap Arsen yang hanya diam, seolah menikmati keheningan yang terjadi di antara keduanya.Layla lantas memberanikan diri untuk bertanya, tetapi Arsen lebih dulu buka suara."Boleh aku menggenggam tanganmu?" Tanyanya lembut.Layla berkedip, lagi-lagi Arsen melontarkan pertanyaan yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Ragu-ragu, ia menganggukkan kepalanya.Arsen meraih kedua tangannya dengan lembut dan menggenggamnya. Tangannya terasa hangat, berbanding terbalik dengan tangan Layla yang dingin. Jemarinya yang besar melingkupi jemarinya yang kecil.Arsen tampak memperhatikan sekitar, seakan memastikan tidak ada orang lain yang berada di dekat mereka. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya. Napasnya berembus mengenai wajah Layla yang membeku di tempat."Kau perempuan yang baik, Layla. Sangat baik. Tapi sebelum kita menikah, aku tidak ingin menjebakmu dalam suatu kebohongan. Aku tahu perjodohan ini tidak bisa dibatalkan, tapi kau harus tahu satu hal," bisik Arsen. Ekspresinya dengan cepat berubah menjadi penuh rasa bersalah ketika ia menatap ke dalam mata Layla. "Aku sudah memiliki kekasih, dan ... aku tidak bisa meninggalkan wanita itu."Layla berdiri diam di samping orang tuanya yang melambaikan tangan dengan bahagia. Ia hanya menatap Mercedes Benz milik Arsen yang melaju keluar dari gerbang rumahnya, tanpa berniat untuk mengatakan apa pun.Perasaan bahagia yang memenuhi hatinya sebelumnya, telah berubah menjadi ombak yang mengacaukan segalanya.Layla tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaannya saat ini. Ia hanya merasa kecewa.Tetapi, pantaskah ia merasa kecewa? Keluarganyalah yang membutuhkan bantuan. Lagi pula, seharusnya Layla tidak terkejut mengingat keduanya dijodohkan. Jika Arsen punya pilihan lain, ia tidak akan mungkin menerima perjodohan keduanya.Layla mendesah lelah dan bergegas menuju kamarnya. Ia mematikan lampu dan melempar tubuhnya ke atas kasur. Wajahnya dibenamkan ke seprai yang lembut, lalu ia menghirup napas dalam-dalam di sana. Aroma bunga mawar yang menguar sedikit menenangkan perasaannya.Arsen bilang, dia tidak bisa meninggalkan kekasihnya, sekalipun keduanya telah menikah.Seperti yang t
"Wahhh semuanya sangat cantik. Bagaimana kalau kau pakai yang ini saja? Ah, tidak! Yang ini juga bagus—eh ya ampun, yang ini lebih manis lagi!"Layla menghela napas menatap ibunya yang kelewat antusias. Pagi ini, Ibu Arsen mengirim paket berisi sepuluh lembar gaun sebagai hadiah untuk Layla. Salah satunya harus Layla pakai saat berangkat menemui nenek Arsen yang tinggal di desa.Jadi, rencananya Layla diajak untuk berkunjung ke rumah nenek Arsen minggu depan. Tetapi semalam, ibu Arsen tiba-tiba menelepon dan meminta agar kunjungannya dipercepat saja, begitu pula dengan pernikahan Layla dan Arsen.Alasannya, karena Layla dan Arsen sepertinya sudah sangat cocok melihat bagaimana keduanya pergi 'berkencan' di restoran.Sungguh sebuah ironi sebab mereka menganggap pertemuan kemarin sebagai kencan romantis antar calon suami-istri. Apalagi Arsen ternyata telah menceritakan pertemuan awal mereka empat tahun yang lalu—secara tidak sengaja. Ibunya pasti mengira keduanya sudah akrab dan pernika
"Kau cantik sekali, Nak. Persis seperti yang dikatakan Arinda. Sangat manis."Senyum Layla merekah. Bukan karena pujian yang diberikan oleh nenek Arsen, melainkan tatapan hangat yang diberikan oleh wanita tua itu. Layla jadi ingat dengan neneknya sendiri. Ia ingin berkunjung ke makamnya sebelum pernikahannya diselenggarakan."Terima kasih, Nek."Nenek Arsen tersenyum lebih lebar dan beralih menggenggam tangannya. Ia kemudian meraih tangan Arsen yang duduk di samping Layla. "Semoga pernikahan kalian lancar. Hubungan kalian langgeng, bertahan sampai kalian tua seperti nenek, ya," ucapnya sungguh-sungguh.Layla melirik calon suaminya yang hanya bisa mengangguk kaku. Ia mendadak merasa bersalah dengan kontrak pernikahan yang telah ia setujui. Ia telah membohongi semua orang. Tetapi membatalkan pernikahan pun bukan pilihan yang bisa Layla ambil."Terima kasih atas doanya, Nek." Hanya itu yang bisa Layla katakan."Sama-sama, Nak. Kau perempuan yang baik, Nenek bisa melihat itu. Arsen sangat
Layla tidak bisa tidur.Iris cokelatnya terpaku menatap bulan yang bersembunyi di balik awan. Ia terdiam di tepi tempat tidurnya, menimbang-nimbang untuk keluar atau tidak. Matanya melirik jam, sudah hampir tengah malam.Semua orang mungkin sudah tidur sejak tadi, pikirnya.Suasana rumah ini begitu hening sejak beberapa jam yang lalu. Layla beranjak dari tempatnya dan mengintip keluar. Kamar yang ditempatinya langsung terhubung ke halaman belakang.Tempat itu sepi dan hanya ditemani oleh lampu jalan yang bersinar redup. Tetapi pemandangan kolam ikan dan bunganya tampak menenangkan. Mungkin jika Layla menghabiskan waktunya di sana sebentar, ia bisa mengantuk.Layla membuka pintu dengan sangat perlahan, tidak ingin membangunkan siapa pun. Ia berbelok menuju halaman belakang dan udara dingin seketika menerpa wajahnya. Ia bergidik dan mengeratkan jaketnya sebelum duduk di salah satu kursi.Suasana pedesaan memang sangat berbeda dengan suasana di kota. Biasanya, di jam seperti ini, jalanan
Pagi-pagi sekali, mereka akhirnya akan berangkat kembali ke kota.Nenek Arsen memeluk Layla untuk terakhir kali dengan begitu hangat dan lembut. "Lain kali kalau tidak sibuk, kau dan Arsen harus berkunjung ke sini lagi, ya?""Iya, Nek."Nenek Arsen tersenyum bahagia dan rasa bersalah itu kembali muncul di hati Layla. Mungkin setelah menikah, ia harus meluangkan waktu untuk mengunjungi nenek Arsen sebelum kontrak pernikahan mereka berakhir. Tidak bisa dibayangkan betapa bahagianya kedua belah pihak keluarga, tetapi calon suaminya telah memiliki rencana lain.Layla menghela napas pendek dan mundur ke belakang ketika Arsen maju untuk menerima pelukan dari neneknya."Jaga Layla baik-baik, ya. Nenek akan memukulmu dengan sapu kalau kau sampai menyakitinya."Arsen mengangguk dan tertawa kecil. Sebuah tawa hambar yang dipaksakan. Ia membalas dekapan neneknya dan melirik Layla yang terdiam di tempat.Semua orang tentu saja berharap yang terbaik untuk pernikahan keduanya. Tetapi harapan itu ra
Layla memperhatikan refleksi wajahnya di cermin, lalu gaun pengantin yang membalut tubuhnya. Ia merasa seperti melihat ibunya sewaktu muda.Terlebih dengan fitur wajah Layla yang sangat mirip dengan ibunya: mata bulat, hidung kecil, bibir tipis, dan kulit putih pucatnya. Sekarang, ia juga memilih gaun pengantin dengan desain yang mirip dengan pakaian pengantin ibunya di album foto keluarga.Ia akan menikah seminggu lagi.Hal itu masih agak mengejutkan. Dan walaupun ia menikah di usia yang sangat muda, nyatanya pernikahannya tidak seindah yang ia bayangkan. Tetapi tetap saja, Layla tidak ingin menunjukkan perasaan kecewanya di depan semua orang.Ia akan berusaha untuk bahagia. Ia akan membahagiakan dirinya sendiri. Meskipun pada akhirnya, ia dan Arsen akan tetap berpisah.Beberapa hari terakhir, Layla terus merenungkan kehidupan pernikahannya dengan Arsen, bertanya-tanya bagaimana ia bisa menjalaninya selama setahun. Mereka akan tinggal bersama dan bertemu setiap hari, tidak mungkin m
Layla termenung di sudut kamarnya yang gelap. Pandangannya terpaku pada gaun pengantin yang digantung di dekat jendela, tampak bersinar di bawah cahaya bulan. Ia hanya terus menatapnya sambil memikirkan pernikahan yang akan dilangsungkan lima hari lagi.Setelah fitting baju pernikahan tiga hari yang lalu, ia tidak pernah bertemu Arsen lagi. Dia berusaha menyelesaikan beberapa pekerjaan penting karena ingin mengambil cuti. Semua orang sibuk mempersiapkan pernikahan, sementara ia mencoba menenangkan diri.Layla memeluk lututnya dan merebahkan kepalanya di sana. Ia meraih ponselnya, menimbang-nimbang untuk menghubungi Arsen atau tidak. Beberapa menit lagi tepat jam lima pagi dan ia takut mengganggu.Tetapi ia perlu menanyakan satu hal.Layla telah membaca ulang kontrak pernikahan keduanya. Pembahasannya hanya seputar hubungan yang berlangsung selama setahun, di mana Arsen akan menafkahi Layla selayaknya istri. Arsen tidak akan berbuat kasar, apalagi menyakitinya secara mental maupun fisi
Keduanya tidak bisa hanya terus diam seperti ini, apalagi setelah menikah.Layla berinisiatif untuk memulai pembicaraan dan mencoba dengan pertanyaan sederhana, "Emm, ngomong-ngomong, apa pekerjaanmu masih banyak? Apa mungkin ada sesuatu yang bisa kubantu?"Arsen tampak terkejut dengan pertanyaan itu. Apakah membantunya adalah sesuatu yang berlebihan? Atau karena Layla mengajaknya mengobrol terlebih dahulu?Arsen kemudian tampak mengontrol ekspresinya dan tersenyum kecil. "Tidak perlu, tinggal sedikit lagi," jawabnya. "Tapi terima kasih untuk tawaranmu.""Sama-sama," balas Layla. Ia memutar otak untuk mengajukan pertanyaan lain ketika Arsen kembali bicara."Kau ingin membeli buku apa sampai ke toko di pusat kota? Pasti buku penting, ya?"Layla menggigit bibir bawahnya dan gelagapan sendiri. "Ah, itu—buku psikologi, kejiwaan. Ya, bacaan semacam itu. Iya, begitu," ucapnya dengan terbata-bata. Ia hampir menepuk dahinya karena malu. Kenapa lidahnya harus terlipat segala? Sejujurnya ia bi
Bermain api? Sejak kapan tepatnya?Arsen termangu di tempat, mencoba memikirkan kembali segala hal yang telah Kiran katakan padanya. Bahkan perkataan Layla tentang teman laki-laki Olivia kembali terngiang. Suara-suara aneh yang terdengar saat ia menelepon Olivia... semuanya muncul dalam kepalanya. Membentuk sebuah alur yang saling berhubungan.Apa yang selama ini telah Olivia lakukan ketika tidak bersamanya?Seharusnya Arsen merasa cemburu atau kecewa, tetapi hanya ada perasaan marah yang tertinggal di dadanya. Seolah-olah ia hanya marah karena merasa Olivia telah menipunya, dan bukan karena hubungan keduanya sebagai sepasang kekasih. Arsen bertanya-tanya kenapa ia tidak merasa sedih atau pun terpukul.Rasa cinta itu telah menghilang... atau memang tidak pernah ada?Arsen menghela napas dan meraih map yang Marlon berikan. Itu adalah beberapa foto Olivia yang tengah berada di bar, keluar dari bar, dan dijemput oleh seorang pria yang memakai topi. Wajahnya tidak terlihat di bawah cahaya
“Pelan-pelan saja,” kata Layla, menuntun Arsen untuk berjalan ke kamar. Dokter telah memperbolehkannya untuk pulang, dengan syarat Arsen harus rutin meminum obatnya. Kepalanya tidak lagi berdenyut nyeri, tetapi kakinya masih terasa sakit saat dipakai berjalan. Arsen setidaknya harus berjinjit-jinjit selama tiga hari sampai kakinya bisa ditekan ke lantai. “Pelan-pelan, jangan biarkan kakimu terlipat.” Layla kembali memberi instruksi, dengan hati-hati membantu Arsen untuk duduk di tepi tempat tidur. Layla membungkuk untuk melepaskan lingkaran lengan Arsen di bahunya dan puncak hidung mereka tidak sengaja bertemu. Tatapan mata Arsen terpaku padanya, begitu intens hingga membuat perut Layla bergejolak. Ia menelan ludah dan menjauhkan diri, mendadak merasa gugup. “Apa kau ingin buah potong?” tanya Layla, mengucapkan apa pun yang ada di otaknya. “Kau seharusnya beristirahat, Layla,” ucap Arsen, nada suaranya terdengar khawatir. Tatapannya kini terpaku pada lantai. “Tidak apa-apa. A
"Arsen?! Arsen, sadarlah!"Layla mengguncang keras bahu Arsen dan terdengar erangan kesakitan. Mata Arsen perlahan terbuka, tangannya menyentuh sisi kepalanya yang sempat terbentur. Ia kembali mengerang, merasakan denyutan menyakitkan ketika mencoba bergerak."Apa kepalamu sakit? Apa kau bisa mendengarku?" Layla bertanya dengan panik, ketakutan menjalari tubuhnya. Setelah mobil menghantam pohon, Arsen sempat kehilangan kesadaran. Layla telah mencoba beberapa kali sampai akhirnya Arsen membuka mata. "Aku—aku telah menelepon ambulans. Tolong bertahanlah, Arsen."Alih-alih menjawab, Arsen yang baru menyadari situasi dengan cepat menatap Layla. Gerakan itu membuat kepalanya berdenyut sakit, pamdangannya kabur, dan erangan kesakitan kembali lolos dari bibirnya. Tetapi mengabaikan hal itu, Arsen lebih mengkhawatirkan kondisi Layla. "Apa kau baik-baik saja, Layla? Apa ada yang terluka?" Matanya memindai tubuh sang istri dari atas sampai ke bawah."Tidak, aku tidak apa-apa. Justru kau yang bu
Arsen akan pulang malam ini.Layla tersenyum sambil menentang belanjaannya di kedua tangan. Ia baru saja membeli bahan kue di toko dan berniat untuk membuat kue sebelum Arsen tiba di rumah.Katanya, dia akan tiba sekitar jam sembilan malam.Sinar matahari sore menerpa wajah Layla ketika melangkah ke beranda toko. Gerimis ringan membasahi tanah, dan sepertinya akan berubah menjadi hujan deras.Layla terdiam dan menimbang-nimbang untuk langsung memesan taksi atau singgah di toko buah di seberang jalan. Saat ia tengah berpikir, ponselnya mendadak berdering.Arsen.Layla segera mengangkatnya. "Halo, Arsen?""Layla, kau di mana?"Apakah Arsen sudah tiba di rumah? "Aku—di toko bahan kue. Apa kau sudah sampai?""Ya, aku baru saja sampai dan terkejut karena rumah kosong."Layla tercengang. Ini baru jam enam sore, ia kira Arsen akan tiba pukul sembilan nanti. "Aku tidak tahu, aku minta maaf. Aku kira kau akan tiba malam nanti?""Iya tadinya, tapi penerbangannya tidak ditunda lagi, jadi aku bis
Bulan di balik jendela bersinar terang. Tidak seperti biasanya, malam ini cerah tanpa hujan deras yang mengguyur.Memasuki puncak musim hujan, hari-hari Layla selalu ditemani oleh langit mendung, awan hitam yang menggantung, angin kencang, aroma petrikor dan tanah yang basah, juga air hujan yang mengetuk atap.Musim hujan adalah defenisi dari pernikahannya. Tetapi bukan berarti ia berharap musim panas menjadi awal pertemuannya dengan suaminya.Ia sudah menerima apa yang terjadi dan akan bersabar menghadapinya. Seperti kata ibunya, inilah takdirnya.Layla menarik guling dan berbaring miring menatap pemandangan halaman belakang. Di lantai dua kamarnya, ia membayangkan pohon angsana juga kolam yang tenang di rumahnya.Sekarang sudah hampir tengah malam. Layla bertanya-tanya, apa Arsen sudah tidur? Dia telah sampai dengan selamat bersama ayahnya dan berjanji akan menelepon.Layla menunggunya sejak makan malam, tetapi ia pikir Arsen pasti kelelahan. Ia tidak ingin mengusik pria itu, jadi La
"Terima kasih, Pak. Nanti jemput saya lagi hari Jumat sore, ya.""Baik, Nona."Layla mengangkat tas berisi beberapa pakaiannya dan menyeberangi jalan. Ditatapnya rumah orang tuanya, kemudian senyumnya mengembang.Rasanya sudah lama sejak ia terakhir kali bertemu ibunya secara langsung. Mereka sering bertukar kabar lewat telepon, tetapi sulit untuk bertemu karena jarak yang jauh. Sekarang, ia memilih untuk menemani ibunya selama Arsen dan ayahnya pergi.Layla melangkah melewati pagar ketika ibunya muncul dengan tergopoh-gopoh. "Padahal Ibu berniat menjemputmu, Sayang.""Tapi aku sudah di sini, Ibu. Apa aku harus kembali lagi ke rumah?" kata Layla bercanda dan keduanya tertawa.Melissa menarik satu-satunya anak perempuannya itu ke dalam dekapan, lalu memeluknya erat-erat. Melepaskan kerinduan setelah sekian lama tak bertemu."Bagaimana kabar, Ibu?" Layla membenamkan wajahnya di pundak ibunya."Ibu baik, Sayang. Malah sangat baik setelah ayahmu mendapat proyek dari Nak Arsen. Ibu sangat s
Arsen melangkah cepat menaiki tangga menuju apartemen Olivia. Ia masih memiliki waktu setengah jam sebelum ke bandara dan berniat menemui wanita itu sebentar. Olivia tidak menjawab pesannya dan ia khawatir ada sesuatu yang terjadi.Tetapi begitu tiba di puncak tangga, langkah Arsen sontak terhenti ketika melihat sosok asing di pintu apartemen Olivia. Pria itu memakai topi dan masker, posisinya membelakangi Arsen dan dia tampak membungkuk ke arah Olivia.Apa yang sedang dia lakukan?"Olivia?" panggil Arsen dan pria itu langsung berbalik dengan terkejut.Wajah Olivia bahkan terlihat lebih syok sebelum dia bisa mengontrol ekspresinya. Arsen sempat melihat matanya yang terbuka lebar. Kenapa Olivia begitu terkejut?Olivia mendorong Bryan untuk mundur tatkala Arsen mendekat dengan kening berkerut. Ia berusaha untuk berekspresi senormal mungkin.Sial, kenapa Arsen tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan?"Ah, Arsen... aku kira, bukankah kau sudah harus berangkat ke bandara?""Aku ingin menemuim
Layla meletakkan air minum dan handuk saat Arsen melangkah mendekat. Keringat bercucuran di dahi, leher, dan bahu Arsen, membuat bagian atas kaos yang dipakainya basah.Melihat Arsen yang masih memakai sarung tinju, Layla mengulurkan tangannya dan membantu. Pria itu terus menatapnya dengan mata hitamnya yang dalam, sampai ia meletakkan dua sarung tinju itu di atas meja."Ke-kenapa?" tanya Layla, ingin tahu kenapa tatapan Arsen terus terpaku padanya.Arsen tersenyum tipis dan duduk di bangku. Ia tidak langsung menjawab, melainkan mengelap keringat di tubuhnya. Layla menatapnya, kemudian memalingkan wajah saat Arsen menoleh."Ini benar-benar sangat cocok untukmu. Kau terlihat cantik." Sebuah sentuhan tangan dingin terasa di kepala Layla. Ia mendongak dan Arsen tersenyum manis saat menyentuh ringan jepitan di kepala Layla."Ah itu..." Layla tersipu dan mengangguk pelan. "Kau sudah membeli banyak, jadi tidak mungkin aku hanya menyimpannya. Aku akan terus memakainya."Lagi, Arsen tidak men
Perpustakaan telah selesai hari ini.Layla yang sedang membersihkan dapur setelah sarapan bergegas keluar. Arsen menatapnya dengan senyum sumringah, ikut bahagia melihat betapa antusiasnya gadis itu."Kau terlihat begitu bersemangat." Arsen sengaja berkomentar dengan suara menggoda."Benarkah?" Layla menangkup pipinya dan tidak bisa menahan tawanya. "Padahal aku berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja."Arsen kontan terkekeh. "Kau tidak bisa menyembunyikannya dengan senyum lebar di wajahmu itu."Layla langsung menutup mulutnya dengan tangan, tetapi tetap saja matanya yang menyipit dengan jelas memperlihatkan rasa senangnya.Arsen kembali tertawa dan tanpa basa-basi meraih tangan Layla. "Ayo kita lihat perpustakaannya. Itu adalah hadiah untukmu, jadi aku senang jika kau menyukainya.""Kau memberiku terlalu banyak hadiah Arsen," sahut Layla. "Kemarin jepitan, dan sekarang perpustakaan ini juga selesai lebih cepat.""Sudah kubilang aku ingin membahagiakanmu, Layla," kata Arsen tanpa berp