"Wahhh semuanya sangat cantik. Bagaimana kalau kau pakai yang ini saja? Ah, tidak! Yang ini juga bagus—eh ya ampun, yang ini lebih manis lagi!"
Layla menghela napas menatap ibunya yang kelewat antusias. Pagi ini, Ibu Arsen mengirim paket berisi sepuluh lembar gaun sebagai hadiah untuk Layla. Salah satunya harus Layla pakai saat berangkat menemui nenek Arsen yang tinggal di desa.Jadi, rencananya Layla diajak untuk berkunjung ke rumah nenek Arsen minggu depan. Tetapi semalam, ibu Arsen tiba-tiba menelepon dan meminta agar kunjungannya dipercepat saja, begitu pula dengan pernikahan Layla dan Arsen.Alasannya, karena Layla dan Arsen sepertinya sudah sangat cocok melihat bagaimana keduanya pergi 'berkencan' di restoran.Sungguh sebuah ironi sebab mereka menganggap pertemuan kemarin sebagai kencan romantis antar calon suami-istri. Apalagi Arsen ternyata telah menceritakan pertemuan awal mereka empat tahun yang lalu—secara tidak sengaja. Ibunya pasti mengira keduanya sudah akrab dan pernikahan patut dipercepat.Jadwal pernikahan yang harusnya dilangsungkan tiga minggu lagi, berubah menjadi dua minggu. Besok, kemungkinan besar ia harus ke butik untuk fitting baju pernikahan.Semuanya begitu mendadak, tetapi melihat betapa bahagianya orang tuanya dan ibu Arsen, ia tidak ingin mengeluarkan protesan apa pun.Ia bertanya-tanya bagaimana tanggapan Arsen?"Jadi ingin pakai yang mana, Nak? Semuanya bagus dan cantik." Melissa menunjuk beberapa gaun dengan warna yang cerah.Layla memandang gaun yang tersebar di atas tempat tidurnya. Desainnya berbeda-beda, tetapi semuanya ditujukan untuk acara formal. Sopan dan tertutup. Sangat sesuai dengan selera Layla yang tidak terlalu suka dengan pakaian seksi.Keluarga Arsen pun sangat menjunjung tinggi kehormatan. Dari apa yang Layla perhatikan, ibu Arsen selalu memakai pakaian yang sopan. Orang-orang bilang, keluarga mereka akan terlihat sempurna seandainya ayah Arsen masih hidup.Ayah Arsen meninggal karena kecelakaan dan istrinya mulai sakit sejak saat itu. Nenek Arsen bahkan kembali ke desa tempatnya tinggal untuk menenangkan diri setelah kematian putranya. Lambat laun, beliau memutuskan untuk menetap di desa. Hidup damai dan tenang, jauh dari kebisingan kota metropolitan yang menyesakkan."Yang ini saja." Layla mengambil gaun berwarna ungu pastel dengan renda di bagian dada dan ujung gaunnya. "Aku suka dengan warna dan desainnya."Melissa mengangguk setuju dan segera menyuruh Layla untuk berganti baju. Sama seperti pertemuan sebelumnya, ibunya kembali mendadaninya. Memberikan riasan tipis dan menguncir rendah rambutnya yang dibuat bergelombang.Dari dulu, ibunya suka melakukan hal-hal seperti ini ketika Layla harus mendatangi sebuah acara atau pertemuan penting. Ia tidak pernah pergi ke salon, sebab ibunya senang mendandaninya. Layla sendiri jarang memakai riasan, hanya bedak tipis dan pelembab bibir."Pokoknya jangan gugup. Nikmati waktumu dengan keluarga Arsen, ya? Mereka keluarga yang baik, dan Ibu yakin nenek Arsen akan menyukaimu."'Entahlah', batin Layla tidak yakin. Tetapi ia tetap menganggukkan kepalanya sebagai jawaban."Arsen memperlakukanmu dengan baik 'kan? Pertemuan kalian di restoran sepertinya sangat menyenangkan.""Hmm," jawab Layla sekenanya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.Ibunya tertawa kecil dan mengusap puncak kepala putrinya dengan sayang. "Masih malu. Kenapa tidak menceritakan apa pun pada Ibu? Kau bahkan memakai jasnya."Ya Tuhan.Bagaimana Layla menjawabnya? Jika ia mengatakan bahwa Arsen memberikannya semata-mata karena Layla kedinginan, ibunya pasti akan menggodanya. Sudah tentu pembahasan ini tidak akan habis."Mm, aku ingin sarapan dulu," ucap Layla cepat dan bergegas keluar dari kamarnya. Ia meringis malu saat mendengar tawa ibunya.***Pukul delapan dan mobil milik keluarga Arsen benar-benar datang tepat waktu.Layla menghabiskan kopinya sebelum mengikuti ibunya ke pintu depan. Ia sebenarnya jarang minum kopi, tetapi ia merasa sangat mengantuk sekarang.Tidurnya tidak nyenyak semalam. Ia terus memikirkan segala hal yang terjadi, terutama kontrak pernikahan dan perasaan aneh yang menggelayuti hatinya ketika memikirkan Arsen.Ia berpikir kalau ketertarikannya pada Arsen sejak awal hanyalah bentuk dari rasa terima kasihnya. Sebab Arsen pernah menolongnya dan kejadian itu begitu membekas di kepalanya. Perasaannya mungkin akan memudar seiring waktu yang berlalu.Yah, ia harap begitu. Ia tidak ingin terjebak dalam cinta sepihak."Kami berangkat ya, Melissa.""Kalian hati-hati."Arinda—Ibu Arsen—mengangguk dan memeluk ringan Melissa sebelum memasuki mobil pribadi keluarganya. Layla melambaikan tangannya pada ibunya yang menatap bahagia kepergian mereka."Duduk di belakang bersama Arsen, Nak," ucap Arinda.Layla menatap calon suaminya yang tampak sangat rapi dengan setelan kemeja hitam dan celana linen senada, rambutnya seperti biasa disisir rapi ke belakang.Pria itu balas menatapnya, entah kenapa suasananya terasa sangat canggung. Tetapi mau tidak mau, Layla menuruti permintaan ibu Arsen."Iya, Bibi.""Mulai sekarang panggil 'Ibu' saja bagaimana?"Layla yang hendak membuka pintu mobil terdiam di tempat. Ibu Arsen menatapnya dengan penuh kasih sayang, persis seperti tatapan yang sering dilayangkan ibunya sendiri."Baik, mmm ... Ibu," gumamnya ragu-ragu.Senyum Arinda seketika merekah lebar. Ia menarik gemas pipi Layla sebelum masuk ke mobil. Pemandangan itu disaksikan oleh Arsen yang menatap keduanya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Layla tidak ingin repot memikirkan hal tersebut dan segera masuk di jok belakang.Ia duduk begitu dekat dengan jendela, dalam hati berharap agar Ibu Arsen saja yang duduk di sampingnya. Tetapi wanita itu lebih memilih duduk di depan bersama supir.Sekarang, ia bingung harus bagaimana? Apakah ia dan Arsen hanya akan saling diam selama tiga jam perjalanan?"Layla?" Panggil Arsen tiba-tiba. Tangannya menyentuh ringan lengan Layla yang melamun. Alhasil gadis itu berjengit dan hampir melompat dari tempatnya."Apa?" Tanyanya kaget."Kau belum memasang sabuk pengamanmu." Arsen tidak bisa menahan kekehannya melihat wajah Layla yang terkejut."Oh."Ya ampun.Layla tersipu malu dan buru-buru memasang sabuk pengamannya. Ibu Arsen terdengar tertawa kecil, membuat pipi Layla semakin memerah layaknya tomat siap panen.Untungnya ketika mobil mulai bergerak, topik teralih saat Arinda bercerita mengenai banyak hal, terutama tentang latar belakang keluarga Sergio.Layla dan Arsen menanggapi sesekali.Sampai kemudian, ibu Arsen bercerita mengenai pertemuan pertama keduanya, yang katanya menggemaskan.Menggemaskan dari sisi mana?Layla ingin sekali menyembunyikan wajahnya di bawah jok mobil karena malu, sementara Arsen hanya tertawa kecil menanggapi hal tersebut.Hampir setengah jam kemudian, ibu Arsen akhirnya berhenti membahas kejadian itu. Ia beralih mengobrol dengan supir mengenai perjalanan mereka menuju desa tempat tinggal mertuanya.Layla melirik Arsen yang duduk bersandar, terlihat sedang merenung. Tatapannya tampak menerawang jauh, seolah tengah memikirkan sesuatu yang sangat penting.Apa mungkin ia memikirkan hubungannya dengan Olivia setelah pernikahan keduanya?Layla menggeleng pelan mengusir pikiran tersebut. Ia tidak tahu apa-apa dan tidak ingin sok tahu. Kepalanya disandarkan ke belakang dan ia kembali menguap untuk kesekian kalinya.Netranya memandang awan mendung yang menaungi mereka, lalu berselang beberapa detik kemudian, gerimis turun menyapa. Layla menurunkan kaca jendela sedikit, merasakan betapa sejuknya angin sepoi yang menyapu wajahnya.Matanya perlahan tertutup saat hujan berubah menjadi deras. Suara air yang mengetuk atap mobil terasa membuainya untuk tidur.Rasanya Layla baru terlelap sebentar ketika tangan yang hangat terasa menyentuh puncak hidungnya."Layla? Layla?"Arsen?"Layla bangun. Sudah sampai." Tangan yang hangat itu terasa menepuk-nepuk pelan bahunya."Huh?" Layla membuka kelopak matanya yang terasa berat. Ia hampir berteriak ketika mendapati seraut wajah yang begitu dekat dengan wajahnya.Layla menegakkan tubuh dengan panik dan dahi keduanya langsung bertubrukan dengan keras. Ringisan kontan lolos dari bibir keduanya."Maaf! Maafkan aku!" ucap Layla cepat seraya mengusap-usap dahinya yang berdenyut sakit."Tidak apa-apa." Arsen malah terkekeh, tetapi tangannya ikut mengusap dahinya yang terlihat memerah.Layla menatap pantulannya di kaca jendela, lalu melihat memar merah yang sama di dahinya, hanya saja lebih kentara di kulit pucatnya.Ya, ampun. Malu sekali.Arsen keluar dari mobil terlebih dahulu, kemudian Layla menyusul. Sebuah rumah berlantai dua menjadi pemandangan pertama yang Layla lihat. Ternyata mereka sudah sampai dan Layla ketiduran selama dua jam.Kenapa hari ini banyak sekali hal memalukan yang terjadi?Layla menarik napas dalam-dalam, udara terasa begitu segar mengisi paru-parunya. Sangat berbanding terbalik dengan udara di perkotaan. Warna hijau menjadi pemandangan utama, pohon-pohon besar berjejer di sekitar mereka.Ibu Arsen terlihat berdiri di pagar hitam yang menjulang seraya melambaikan tangan pada keduanya."Ayo," panggil Arsen.Belum sempat keduanya melangkah, ponsel Arsen mendadak berdering. Ia merogoh ponselnya di saku dan melihat sebuah panggilan telepon yang masuk.Layla membuang muka tatkala melihat nama yang terpampang di layar ponsel pria itu.Olivia."Kau cantik sekali, Nak. Persis seperti yang dikatakan Arinda. Sangat manis."Senyum Layla merekah. Bukan karena pujian yang diberikan oleh nenek Arsen, melainkan tatapan hangat yang diberikan oleh wanita tua itu. Layla jadi ingat dengan neneknya sendiri. Ia ingin berkunjung ke makamnya sebelum pernikahannya diselenggarakan."Terima kasih, Nek."Nenek Arsen tersenyum lebih lebar dan beralih menggenggam tangannya. Ia kemudian meraih tangan Arsen yang duduk di samping Layla. "Semoga pernikahan kalian lancar. Hubungan kalian langgeng, bertahan sampai kalian tua seperti nenek, ya," ucapnya sungguh-sungguh.Layla melirik calon suaminya yang hanya bisa mengangguk kaku. Ia mendadak merasa bersalah dengan kontrak pernikahan yang telah ia setujui. Ia telah membohongi semua orang. Tetapi membatalkan pernikahan pun bukan pilihan yang bisa Layla ambil."Terima kasih atas doanya, Nek." Hanya itu yang bisa Layla katakan."Sama-sama, Nak. Kau perempuan yang baik, Nenek bisa melihat itu. Arsen sangat
Layla tidak bisa tidur.Iris cokelatnya terpaku menatap bulan yang bersembunyi di balik awan. Ia terdiam di tepi tempat tidurnya, menimbang-nimbang untuk keluar atau tidak. Matanya melirik jam, sudah hampir tengah malam.Semua orang mungkin sudah tidur sejak tadi, pikirnya.Suasana rumah ini begitu hening sejak beberapa jam yang lalu. Layla beranjak dari tempatnya dan mengintip keluar. Kamar yang ditempatinya langsung terhubung ke halaman belakang.Tempat itu sepi dan hanya ditemani oleh lampu jalan yang bersinar redup. Tetapi pemandangan kolam ikan dan bunganya tampak menenangkan. Mungkin jika Layla menghabiskan waktunya di sana sebentar, ia bisa mengantuk.Layla membuka pintu dengan sangat perlahan, tidak ingin membangunkan siapa pun. Ia berbelok menuju halaman belakang dan udara dingin seketika menerpa wajahnya. Ia bergidik dan mengeratkan jaketnya sebelum duduk di salah satu kursi.Suasana pedesaan memang sangat berbeda dengan suasana di kota. Biasanya, di jam seperti ini, jalanan
Pagi-pagi sekali, mereka akhirnya akan berangkat kembali ke kota.Nenek Arsen memeluk Layla untuk terakhir kali dengan begitu hangat dan lembut. "Lain kali kalau tidak sibuk, kau dan Arsen harus berkunjung ke sini lagi, ya?""Iya, Nek."Nenek Arsen tersenyum bahagia dan rasa bersalah itu kembali muncul di hati Layla. Mungkin setelah menikah, ia harus meluangkan waktu untuk mengunjungi nenek Arsen sebelum kontrak pernikahan mereka berakhir. Tidak bisa dibayangkan betapa bahagianya kedua belah pihak keluarga, tetapi calon suaminya telah memiliki rencana lain.Layla menghela napas pendek dan mundur ke belakang ketika Arsen maju untuk menerima pelukan dari neneknya."Jaga Layla baik-baik, ya. Nenek akan memukulmu dengan sapu kalau kau sampai menyakitinya."Arsen mengangguk dan tertawa kecil. Sebuah tawa hambar yang dipaksakan. Ia membalas dekapan neneknya dan melirik Layla yang terdiam di tempat.Semua orang tentu saja berharap yang terbaik untuk pernikahan keduanya. Tetapi harapan itu ra
Layla memperhatikan refleksi wajahnya di cermin, lalu gaun pengantin yang membalut tubuhnya. Ia merasa seperti melihat ibunya sewaktu muda.Terlebih dengan fitur wajah Layla yang sangat mirip dengan ibunya: mata bulat, hidung kecil, bibir tipis, dan kulit putih pucatnya. Sekarang, ia juga memilih gaun pengantin dengan desain yang mirip dengan pakaian pengantin ibunya di album foto keluarga.Ia akan menikah seminggu lagi.Hal itu masih agak mengejutkan. Dan walaupun ia menikah di usia yang sangat muda, nyatanya pernikahannya tidak seindah yang ia bayangkan. Tetapi tetap saja, Layla tidak ingin menunjukkan perasaan kecewanya di depan semua orang.Ia akan berusaha untuk bahagia. Ia akan membahagiakan dirinya sendiri. Meskipun pada akhirnya, ia dan Arsen akan tetap berpisah.Beberapa hari terakhir, Layla terus merenungkan kehidupan pernikahannya dengan Arsen, bertanya-tanya bagaimana ia bisa menjalaninya selama setahun. Mereka akan tinggal bersama dan bertemu setiap hari, tidak mungkin m
Layla termenung di sudut kamarnya yang gelap. Pandangannya terpaku pada gaun pengantin yang digantung di dekat jendela, tampak bersinar di bawah cahaya bulan. Ia hanya terus menatapnya sambil memikirkan pernikahan yang akan dilangsungkan lima hari lagi.Setelah fitting baju pernikahan tiga hari yang lalu, ia tidak pernah bertemu Arsen lagi. Dia berusaha menyelesaikan beberapa pekerjaan penting karena ingin mengambil cuti. Semua orang sibuk mempersiapkan pernikahan, sementara ia mencoba menenangkan diri.Layla memeluk lututnya dan merebahkan kepalanya di sana. Ia meraih ponselnya, menimbang-nimbang untuk menghubungi Arsen atau tidak. Beberapa menit lagi tepat jam lima pagi dan ia takut mengganggu.Tetapi ia perlu menanyakan satu hal.Layla telah membaca ulang kontrak pernikahan keduanya. Pembahasannya hanya seputar hubungan yang berlangsung selama setahun, di mana Arsen akan menafkahi Layla selayaknya istri. Arsen tidak akan berbuat kasar, apalagi menyakitinya secara mental maupun fisi
Keduanya tidak bisa hanya terus diam seperti ini, apalagi setelah menikah.Layla berinisiatif untuk memulai pembicaraan dan mencoba dengan pertanyaan sederhana, "Emm, ngomong-ngomong, apa pekerjaanmu masih banyak? Apa mungkin ada sesuatu yang bisa kubantu?"Arsen tampak terkejut dengan pertanyaan itu. Apakah membantunya adalah sesuatu yang berlebihan? Atau karena Layla mengajaknya mengobrol terlebih dahulu?Arsen kemudian tampak mengontrol ekspresinya dan tersenyum kecil. "Tidak perlu, tinggal sedikit lagi," jawabnya. "Tapi terima kasih untuk tawaranmu.""Sama-sama," balas Layla. Ia memutar otak untuk mengajukan pertanyaan lain ketika Arsen kembali bicara."Kau ingin membeli buku apa sampai ke toko di pusat kota? Pasti buku penting, ya?"Layla menggigit bibir bawahnya dan gelagapan sendiri. "Ah, itu—buku psikologi, kejiwaan. Ya, bacaan semacam itu. Iya, begitu," ucapnya dengan terbata-bata. Ia hampir menepuk dahinya karena malu. Kenapa lidahnya harus terlipat segala? Sejujurnya ia bi
Layla menatap Randy dengan wajahnya yang dipenuhi keterkejutan. Ia memperhatikan penampilan Randy dari atas sampai ke bawah, tampak sangat berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Teman masa SMP-nya itu telah tumbuh menjadi pemuda dewasa yang keren."Kau di sini?! Bagaimana—bukankah—?" Layla kesulitan melanjutkan kata-katanya.Layla ingat Randy harus ikut ke luar negeri bersama ibunya setelah perceraian kedua orang tuanya. Ia kehilangan kontak Randy saat ponselnya hilang dan keduanya tidak pernah berkomunikasi lagi.Lalu pagi ini, melihat presensinya di hadapannya, ia tidak menyangka mereka akan bertemu lagi setelah sekian lama."Aku ingin menemui pamanku," jawab Randy, terkekeh. Matanya ikut memperhatikan penampilan Layla dari ujung rambut hingga ujung kaki—takjub. "Kau tahu, dia akan menikah lagi bulan depan.""Benarkah?" Layla tidak bisa menahan tawanya, teringat dengan masa lalu. Paman Randy, dengan umur yang sudah memasuki usia 40 tahun, masih saja tidak bisa belajar dari kesal
Olivia menatap Arsen yang duduk bersandar di sofa sambil memejamkan mata. Senyum kecil terbentuk di bibirnya, ia meletakkan jusnya dengan perlahan di atas meja. Namun, suara dentingan kecil dari kaca yang bertemu berhasil membangunkan Arsen dari tidur-tidur ayamnya."Hei." Senyum Olivia melebar, ia melemparkan tubuhnya ke sofa di seberang Arsen."Hm," balas Arsen. Ia mengerjap-ngerjap dan meregangkan tubuhnya yang terasa kaku dan pegal. Pandangannya terarah ke jendela yang terbuka, menyadari bahwa hujan deras telah reda. Ia beralih ke Olivia yang menyesap jusnya dengan santai. "Jam berapa sekarang?""Jam empat sore. Kau hanya tidur sekitar 15 menit," jawab Olivia.Arsen mengangguk dan menegakkan tubuhnya. Sore ini, ia datang ke apartemen Olivia atas permintaan wanita itu. Lagi pula, sudah lama keduanya tidak bertemu secara langsung. Apalagi beberapa hari ke depan, Arsen tidak akan bisa menemui Olivia setelah rangkaian acara pernikahannya dengan Layla selesai.Empat hari lagi, pikirnya
Bermain api? Sejak kapan tepatnya?Arsen termangu di tempat, mencoba memikirkan kembali segala hal yang telah Kiran katakan padanya. Bahkan perkataan Layla tentang teman laki-laki Olivia kembali terngiang. Suara-suara aneh yang terdengar saat ia menelepon Olivia... semuanya muncul dalam kepalanya. Membentuk sebuah alur yang saling berhubungan.Apa yang selama ini telah Olivia lakukan ketika tidak bersamanya?Seharusnya Arsen merasa cemburu atau kecewa, tetapi hanya ada perasaan marah yang tertinggal di dadanya. Seolah-olah ia hanya marah karena merasa Olivia telah menipunya, dan bukan karena hubungan keduanya sebagai sepasang kekasih. Arsen bertanya-tanya kenapa ia tidak merasa sedih atau pun terpukul.Rasa cinta itu telah menghilang... atau memang tidak pernah ada?Arsen menghela napas dan meraih map yang Marlon berikan. Itu adalah beberapa foto Olivia yang tengah berada di bar, keluar dari bar, dan dijemput oleh seorang pria yang memakai topi. Wajahnya tidak terlihat di bawah cahaya
“Pelan-pelan saja,” kata Layla, menuntun Arsen untuk berjalan ke kamar. Dokter telah memperbolehkannya untuk pulang, dengan syarat Arsen harus rutin meminum obatnya. Kepalanya tidak lagi berdenyut nyeri, tetapi kakinya masih terasa sakit saat dipakai berjalan. Arsen setidaknya harus berjinjit-jinjit selama tiga hari sampai kakinya bisa ditekan ke lantai. “Pelan-pelan, jangan biarkan kakimu terlipat.” Layla kembali memberi instruksi, dengan hati-hati membantu Arsen untuk duduk di tepi tempat tidur. Layla membungkuk untuk melepaskan lingkaran lengan Arsen di bahunya dan puncak hidung mereka tidak sengaja bertemu. Tatapan mata Arsen terpaku padanya, begitu intens hingga membuat perut Layla bergejolak. Ia menelan ludah dan menjauhkan diri, mendadak merasa gugup. “Apa kau ingin buah potong?” tanya Layla, mengucapkan apa pun yang ada di otaknya. “Kau seharusnya beristirahat, Layla,” ucap Arsen, nada suaranya terdengar khawatir. Tatapannya kini terpaku pada lantai. “Tidak apa-apa. A
"Arsen?! Arsen, sadarlah!"Layla mengguncang keras bahu Arsen dan terdengar erangan kesakitan. Mata Arsen perlahan terbuka, tangannya menyentuh sisi kepalanya yang sempat terbentur. Ia kembali mengerang, merasakan denyutan menyakitkan ketika mencoba bergerak."Apa kepalamu sakit? Apa kau bisa mendengarku?" Layla bertanya dengan panik, ketakutan menjalari tubuhnya. Setelah mobil menghantam pohon, Arsen sempat kehilangan kesadaran. Layla telah mencoba beberapa kali sampai akhirnya Arsen membuka mata. "Aku—aku telah menelepon ambulans. Tolong bertahanlah, Arsen."Alih-alih menjawab, Arsen yang baru menyadari situasi dengan cepat menatap Layla. Gerakan itu membuat kepalanya berdenyut sakit, pamdangannya kabur, dan erangan kesakitan kembali lolos dari bibirnya. Tetapi mengabaikan hal itu, Arsen lebih mengkhawatirkan kondisi Layla. "Apa kau baik-baik saja, Layla? Apa ada yang terluka?" Matanya memindai tubuh sang istri dari atas sampai ke bawah."Tidak, aku tidak apa-apa. Justru kau yang bu
Arsen akan pulang malam ini.Layla tersenyum sambil menentang belanjaannya di kedua tangan. Ia baru saja membeli bahan kue di toko dan berniat untuk membuat kue sebelum Arsen tiba di rumah.Katanya, dia akan tiba sekitar jam sembilan malam.Sinar matahari sore menerpa wajah Layla ketika melangkah ke beranda toko. Gerimis ringan membasahi tanah, dan sepertinya akan berubah menjadi hujan deras.Layla terdiam dan menimbang-nimbang untuk langsung memesan taksi atau singgah di toko buah di seberang jalan. Saat ia tengah berpikir, ponselnya mendadak berdering.Arsen.Layla segera mengangkatnya. "Halo, Arsen?""Layla, kau di mana?"Apakah Arsen sudah tiba di rumah? "Aku—di toko bahan kue. Apa kau sudah sampai?""Ya, aku baru saja sampai dan terkejut karena rumah kosong."Layla tercengang. Ini baru jam enam sore, ia kira Arsen akan tiba pukul sembilan nanti. "Aku tidak tahu, aku minta maaf. Aku kira kau akan tiba malam nanti?""Iya tadinya, tapi penerbangannya tidak ditunda lagi, jadi aku bis
Bulan di balik jendela bersinar terang. Tidak seperti biasanya, malam ini cerah tanpa hujan deras yang mengguyur.Memasuki puncak musim hujan, hari-hari Layla selalu ditemani oleh langit mendung, awan hitam yang menggantung, angin kencang, aroma petrikor dan tanah yang basah, juga air hujan yang mengetuk atap.Musim hujan adalah defenisi dari pernikahannya. Tetapi bukan berarti ia berharap musim panas menjadi awal pertemuannya dengan suaminya.Ia sudah menerima apa yang terjadi dan akan bersabar menghadapinya. Seperti kata ibunya, inilah takdirnya.Layla menarik guling dan berbaring miring menatap pemandangan halaman belakang. Di lantai dua kamarnya, ia membayangkan pohon angsana juga kolam yang tenang di rumahnya.Sekarang sudah hampir tengah malam. Layla bertanya-tanya, apa Arsen sudah tidur? Dia telah sampai dengan selamat bersama ayahnya dan berjanji akan menelepon.Layla menunggunya sejak makan malam, tetapi ia pikir Arsen pasti kelelahan. Ia tidak ingin mengusik pria itu, jadi La
"Terima kasih, Pak. Nanti jemput saya lagi hari Jumat sore, ya.""Baik, Nona."Layla mengangkat tas berisi beberapa pakaiannya dan menyeberangi jalan. Ditatapnya rumah orang tuanya, kemudian senyumnya mengembang.Rasanya sudah lama sejak ia terakhir kali bertemu ibunya secara langsung. Mereka sering bertukar kabar lewat telepon, tetapi sulit untuk bertemu karena jarak yang jauh. Sekarang, ia memilih untuk menemani ibunya selama Arsen dan ayahnya pergi.Layla melangkah melewati pagar ketika ibunya muncul dengan tergopoh-gopoh. "Padahal Ibu berniat menjemputmu, Sayang.""Tapi aku sudah di sini, Ibu. Apa aku harus kembali lagi ke rumah?" kata Layla bercanda dan keduanya tertawa.Melissa menarik satu-satunya anak perempuannya itu ke dalam dekapan, lalu memeluknya erat-erat. Melepaskan kerinduan setelah sekian lama tak bertemu."Bagaimana kabar, Ibu?" Layla membenamkan wajahnya di pundak ibunya."Ibu baik, Sayang. Malah sangat baik setelah ayahmu mendapat proyek dari Nak Arsen. Ibu sangat s
Arsen melangkah cepat menaiki tangga menuju apartemen Olivia. Ia masih memiliki waktu setengah jam sebelum ke bandara dan berniat menemui wanita itu sebentar. Olivia tidak menjawab pesannya dan ia khawatir ada sesuatu yang terjadi.Tetapi begitu tiba di puncak tangga, langkah Arsen sontak terhenti ketika melihat sosok asing di pintu apartemen Olivia. Pria itu memakai topi dan masker, posisinya membelakangi Arsen dan dia tampak membungkuk ke arah Olivia.Apa yang sedang dia lakukan?"Olivia?" panggil Arsen dan pria itu langsung berbalik dengan terkejut.Wajah Olivia bahkan terlihat lebih syok sebelum dia bisa mengontrol ekspresinya. Arsen sempat melihat matanya yang terbuka lebar. Kenapa Olivia begitu terkejut?Olivia mendorong Bryan untuk mundur tatkala Arsen mendekat dengan kening berkerut. Ia berusaha untuk berekspresi senormal mungkin.Sial, kenapa Arsen tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan?"Ah, Arsen... aku kira, bukankah kau sudah harus berangkat ke bandara?""Aku ingin menemuim
Layla meletakkan air minum dan handuk saat Arsen melangkah mendekat. Keringat bercucuran di dahi, leher, dan bahu Arsen, membuat bagian atas kaos yang dipakainya basah.Melihat Arsen yang masih memakai sarung tinju, Layla mengulurkan tangannya dan membantu. Pria itu terus menatapnya dengan mata hitamnya yang dalam, sampai ia meletakkan dua sarung tinju itu di atas meja."Ke-kenapa?" tanya Layla, ingin tahu kenapa tatapan Arsen terus terpaku padanya.Arsen tersenyum tipis dan duduk di bangku. Ia tidak langsung menjawab, melainkan mengelap keringat di tubuhnya. Layla menatapnya, kemudian memalingkan wajah saat Arsen menoleh."Ini benar-benar sangat cocok untukmu. Kau terlihat cantik." Sebuah sentuhan tangan dingin terasa di kepala Layla. Ia mendongak dan Arsen tersenyum manis saat menyentuh ringan jepitan di kepala Layla."Ah itu..." Layla tersipu dan mengangguk pelan. "Kau sudah membeli banyak, jadi tidak mungkin aku hanya menyimpannya. Aku akan terus memakainya."Lagi, Arsen tidak men
Perpustakaan telah selesai hari ini.Layla yang sedang membersihkan dapur setelah sarapan bergegas keluar. Arsen menatapnya dengan senyum sumringah, ikut bahagia melihat betapa antusiasnya gadis itu."Kau terlihat begitu bersemangat." Arsen sengaja berkomentar dengan suara menggoda."Benarkah?" Layla menangkup pipinya dan tidak bisa menahan tawanya. "Padahal aku berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja."Arsen kontan terkekeh. "Kau tidak bisa menyembunyikannya dengan senyum lebar di wajahmu itu."Layla langsung menutup mulutnya dengan tangan, tetapi tetap saja matanya yang menyipit dengan jelas memperlihatkan rasa senangnya.Arsen kembali tertawa dan tanpa basa-basi meraih tangan Layla. "Ayo kita lihat perpustakaannya. Itu adalah hadiah untukmu, jadi aku senang jika kau menyukainya.""Kau memberiku terlalu banyak hadiah Arsen," sahut Layla. "Kemarin jepitan, dan sekarang perpustakaan ini juga selesai lebih cepat.""Sudah kubilang aku ingin membahagiakanmu, Layla," kata Arsen tanpa berp