Layla tidak bisa tidur.
Iris cokelatnya terpaku menatap bulan yang bersembunyi di balik awan. Ia terdiam di tepi tempat tidurnya, menimbang-nimbang untuk keluar atau tidak. Matanya melirik jam, sudah hampir tengah malam.Semua orang mungkin sudah tidur sejak tadi, pikirnya.Suasana rumah ini begitu hening sejak beberapa jam yang lalu. Layla beranjak dari tempatnya dan mengintip keluar. Kamar yang ditempatinya langsung terhubung ke halaman belakang.Tempat itu sepi dan hanya ditemani oleh lampu jalan yang bersinar redup. Tetapi pemandangan kolam ikan dan bunganya tampak menenangkan. Mungkin jika Layla menghabiskan waktunya di sana sebentar, ia bisa mengantuk.Layla membuka pintu dengan sangat perlahan, tidak ingin membangunkan siapa pun. Ia berbelok menuju halaman belakang dan udara dingin seketika menerpa wajahnya. Ia bergidik dan mengeratkan jaketnya sebelum duduk di salah satu kursi.Suasana pedesaan memang sangat berbeda dengan suasana di kota. Biasanya, di jam seperti ini, jalanan masih ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan. Tetapi sekarang, sejauh mata memandang, hanya ada kegelapan tidak berujung.Layla beralih memandang kolam kecil yang berada tidak jauh dari hadapannya. Pikirannya terlempar pada kejadian tadi sore. Kata-kata Kiran masih terngiang-ngiang di kepalanya.Tetapi, membandingkan dirinya dengan Olivia rasanya tidak mungkin.Arsen terlihat sangat menyukai Olivia sampai membuat kontrak pernikahan selama setahun dengannya. Sejauh ini, pria itu memperlakukannya dengan sangat baik, jadi Layla tidak akan mengeluhkan apa pun.Lagi pula, kenapa ia harus mengeluh?Mereka hanya dua orang asing. Dan setelah menikah pun, tidak akan ada hubungan istimewa di antara keduanya.Layla hanya perlu menjalaninya.Napas berat berembus dari mulutnya. Ia menyandarkan kepalanya ke belakang ketika mendadak saja, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia menoleh dan hampir berteriak jika saja Arsen tidak angkat bicara."Layla?"Apa yang pria itu lakukan di sini?"Mmm, ya," jawab Layla. Ia memperhatikan Arsen yang mendekat, keningnya berkerut dalam."Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Arsen, terdengar khawatir. Ia berhenti sejenak di sisi Layla, kemudian memutuskan untuk duduk di kursi samping gadis itu."Aku tidak bisa tidur. Dan kau?""Ya, aku juga."Layla mengangguk-angguk. Angin dingin kembali berhembus dan Layla spontan melirik Arsen. Pria itu hanya memakai kaos panjang, tetapi tidak tampak kedinginan sama sekali. Layla jadi teringat dengan jas Arsen yang belum ia kembalikan."Oh ya jasmu, maaf. Akan kukembalikan besok," sahutnya. Padahal, ia sudah mencucinya, tetapi ia lupa memberikannya pagi tadi."Disimpan juga tidak apa-apa."Layla menoleh. "Huh?""Maksudku, tidak masalah jika kau tidak mengembalikannya," kata Arsen bercanda. Senyum tipis terbit di bibirnya.Layla kontan memalingkan pandangan. "Tetap saja, aku harus mengembalikannya.""Terserah kau saja kalau begitu."Layla mengangguk pelan. Jika ia menyimpannya, ia hanya akan teringat dengan kejadian di restoran dan terbawa perasaan sendiri.Rasanya susah untuk bersikap biasa saja ketika Arsen terus memberikan perhatian yang tidak seharusnya. Atau, apakah Layla yang terlalu berharap? Mungkin saja Arsen memperlakukan semua wanita seperti itu.Layla meremat tangannya di atas paha. Keduanya tidak lagi bicara untuk waktu yang lama.Hening.Lagi-lagi seperti itu.Hanya saja, atmosfer di antara keduanya tidak lagi secanggung dulu.Layla menatap langit malam yang gelap tanpa kerlap-kerlip bintang. Entah kenapa, ia malah teringat dengan foto-foto Arsen yang tersebar di internet. Begitu kaku dan dingin, berbanding terbalik dengan sikap aslinya."Ngomong-ngomong, kau terlihat sangat kaku di foto-foto yang diambil wartawan," ucap Layla dengan suara pelan. Ia melirik Arsen yang menoleh, tampak terkejut dengan ucapannya. Layla melanjutkan, "Awalnya kupikir kau tipe pria dingin yang tidak banyak bicara, tapi nyatanya sikapmu sangat berbanding terbalik. Maksudku, dalam artian baik."Arsen terdiam sejenak sebelum membalas, "Aku hanya tidak suka menjadi pusat perhatian, itu sebabnya ekspresiku seperti itu.""Ah, begitu.""Yah... sebenarnya, aku tidak pernah berniat terjun dalam dunia bisnis. Aku hanya ingin membantu ibu, tapi menjadi direktur utama rasanya aku belum siap," ujar Arsen, entah kenapa mengakui semuanya. Ia hanya merasa Layla bisa dipercaya, jadi pengakuan itu meluncur keluar begitu saja dari bibirnya."Apa karena tanggung jawabnya? Bagaimana dengan ibumu?" Tanya Layla hati-hati."Ibu tidak tahu dan aku tidak akan pernah memberitahunya. Kondisinya sekarang sudah jauh lebih baik. Setelah kita menikah, ibu akan pergi ke Singapura untuk pengobatan lebih lanjut. Dia akan melakukan pemulihan untuk waktu yang lama, jadi kupikir aku hanya perlu menjalani posisiku sebagai direktur.""Kau sudah berada di titik ini dan itu luar biasa. Jika kau tidak terlalu menyukai pekerjaanmu, tapi kau melakukannya untuk orang yang kau sayangi, aku yakin lambat laun kau akan terbiasa," ucap Layla. Kalimat itu sebenarnya ditujukan untuk dirinya sendiri yang memilih perjodohan dari orang tuanya, dibanding melanjutkan kuliahnya."Pemikiranmu memang selalu dewasa, ya."Layla melirik dari sudut matanya. "Tidak juga." Ia meremas ujung jaketnya dan ragu-ragu bertanya, "Mmm, apa ibumu pernah tahu mengenai hubunganmu dengan Olivia?"Arsen menggeleng, kepalanya ditundukkan. "Ibu hanya tahu kalau Olivia adalah sahabat dan sekretarisku."'Agak mengejutkan', pikir Layla. Setelah empat tahun bersama, ia heran kenapa ibu Arsen tidak tahu hubungan istimewa yang terjalin antara Arsen dan Olivia."Kenapa dari awal kau tidak pernah memberitahu ibumu tentang hubungan kalian? Maksudku, kalian sudah lama bersama. Jika ibumu tahu tentang hubungan kalian, dan tahu bagaimana kau mencintai Olivia, tidak mungkin perjodohan ini dilakukan. Dan tidak akan ada kontrak pernikahan di antara kita." Suara Layla semakin lama semakin kecil. Ia menarik napas panjang saat hatinya terasa disentil.Sebenarnya ada apa dengannya hari ini? Ia selalu mudah terbawa perasaan dan terlalu melankolis. Ia berusaha untuk bersikap biasa saja, tetapi perasaan kecewa di hatinya tidak akan pernah hilang.Di sampingnya, Arsen lagi-lagi terdiam. Entah merenungkan ucapannya atau hubungannya dengan Olivia.Arsen sejujurnya merasa bingung sendiri. Ia sebenarnya ingin memperkenalkan Olivia sebagai kekasihnya, tetapi ia selalu merasa ragu. Apalagi ibunya tidak terlalu menyukai Olivia.Ia berencana untuk memberitahu ibunya jika keduanya sudah berniat untuk menikah, tetapi semesta rupanya berkehendak lain. Ibunya menginginkan perjodohan antara Arsen dan anak dari teman lamanya, tidak lain adalah Layla Kahyana."Aku hanya ... merasa ragu, entahlah." Arsen bicara setelah beberapa menit berlalu. Embusan napas panjang keluar dari mulutnya. "Olivia belum mau menikah, dan jika aku memperkenalkannya pada ibu sebagai kekasihku, ibu pasti menginginkan pernikahan.""Tapi sekarang inilah yang terjadi. Perjodohan yang tidak kau inginkan," sahut Layla.Arsen menatap Layla yang langsung memalingkan pandangan. Mulutnya terbuka, tetapi ia seakan kehilangan kata-kata untuk menjawab. Bagaimana pun juga, apa yang gadis itu katakan benar.Keheningan kembali melingkupi keduanya. Lagi, tidak ada yang bicara untuk waktu yang lama.Angin kencang mendadak berembus dan Layla bergidik. Arsen yang melihatnya segera berdiri dan menarik tangan Layla yang tertegun atas perlakuan tidak terduga pria itu."Sebaiknya kita masuk," ucap Arsen, kembali menarik tangan Layla menuju pintu. "Anginnya sangat kencang dan dingin, tidak baik untuk kesehatanmu."Apa itu bentuk perhatian? Atau apa?Layla ingin sekali memberitahu Arsen untuk bersikap biasa saja, jangan terlalu perhatian. Akan lebih baik jika pria itu bersikap datar atau dingin padanya.Tetapi sekali lagi, bagaimana jika Arsen memang bersikap seperti itu pada semua perempuan? Layla hanya takut terbawa perasaan sendiri dan pada akhirnya sakit hati.Sebab perasaan mereka nyatanya berseberangan.Pagi-pagi sekali, mereka akhirnya akan berangkat kembali ke kota.Nenek Arsen memeluk Layla untuk terakhir kali dengan begitu hangat dan lembut. "Lain kali kalau tidak sibuk, kau dan Arsen harus berkunjung ke sini lagi, ya?""Iya, Nek."Nenek Arsen tersenyum bahagia dan rasa bersalah itu kembali muncul di hati Layla. Mungkin setelah menikah, ia harus meluangkan waktu untuk mengunjungi nenek Arsen sebelum kontrak pernikahan mereka berakhir. Tidak bisa dibayangkan betapa bahagianya kedua belah pihak keluarga, tetapi calon suaminya telah memiliki rencana lain.Layla menghela napas pendek dan mundur ke belakang ketika Arsen maju untuk menerima pelukan dari neneknya."Jaga Layla baik-baik, ya. Nenek akan memukulmu dengan sapu kalau kau sampai menyakitinya."Arsen mengangguk dan tertawa kecil. Sebuah tawa hambar yang dipaksakan. Ia membalas dekapan neneknya dan melirik Layla yang terdiam di tempat.Semua orang tentu saja berharap yang terbaik untuk pernikahan keduanya. Tetapi harapan itu ra
Layla memperhatikan refleksi wajahnya di cermin, lalu gaun pengantin yang membalut tubuhnya. Ia merasa seperti melihat ibunya sewaktu muda.Terlebih dengan fitur wajah Layla yang sangat mirip dengan ibunya: mata bulat, hidung kecil, bibir tipis, dan kulit putih pucatnya. Sekarang, ia juga memilih gaun pengantin dengan desain yang mirip dengan pakaian pengantin ibunya di album foto keluarga.Ia akan menikah seminggu lagi.Hal itu masih agak mengejutkan. Dan walaupun ia menikah di usia yang sangat muda, nyatanya pernikahannya tidak seindah yang ia bayangkan. Tetapi tetap saja, Layla tidak ingin menunjukkan perasaan kecewanya di depan semua orang.Ia akan berusaha untuk bahagia. Ia akan membahagiakan dirinya sendiri. Meskipun pada akhirnya, ia dan Arsen akan tetap berpisah.Beberapa hari terakhir, Layla terus merenungkan kehidupan pernikahannya dengan Arsen, bertanya-tanya bagaimana ia bisa menjalaninya selama setahun. Mereka akan tinggal bersama dan bertemu setiap hari, tidak mungkin m
Layla termenung di sudut kamarnya yang gelap. Pandangannya terpaku pada gaun pengantin yang digantung di dekat jendela, tampak bersinar di bawah cahaya bulan. Ia hanya terus menatapnya sambil memikirkan pernikahan yang akan dilangsungkan lima hari lagi.Setelah fitting baju pernikahan tiga hari yang lalu, ia tidak pernah bertemu Arsen lagi. Dia berusaha menyelesaikan beberapa pekerjaan penting karena ingin mengambil cuti. Semua orang sibuk mempersiapkan pernikahan, sementara ia mencoba menenangkan diri.Layla memeluk lututnya dan merebahkan kepalanya di sana. Ia meraih ponselnya, menimbang-nimbang untuk menghubungi Arsen atau tidak. Beberapa menit lagi tepat jam lima pagi dan ia takut mengganggu.Tetapi ia perlu menanyakan satu hal.Layla telah membaca ulang kontrak pernikahan keduanya. Pembahasannya hanya seputar hubungan yang berlangsung selama setahun, di mana Arsen akan menafkahi Layla selayaknya istri. Arsen tidak akan berbuat kasar, apalagi menyakitinya secara mental maupun fisi
Keduanya tidak bisa hanya terus diam seperti ini, apalagi setelah menikah.Layla berinisiatif untuk memulai pembicaraan dan mencoba dengan pertanyaan sederhana, "Emm, ngomong-ngomong, apa pekerjaanmu masih banyak? Apa mungkin ada sesuatu yang bisa kubantu?"Arsen tampak terkejut dengan pertanyaan itu. Apakah membantunya adalah sesuatu yang berlebihan? Atau karena Layla mengajaknya mengobrol terlebih dahulu?Arsen kemudian tampak mengontrol ekspresinya dan tersenyum kecil. "Tidak perlu, tinggal sedikit lagi," jawabnya. "Tapi terima kasih untuk tawaranmu.""Sama-sama," balas Layla. Ia memutar otak untuk mengajukan pertanyaan lain ketika Arsen kembali bicara."Kau ingin membeli buku apa sampai ke toko di pusat kota? Pasti buku penting, ya?"Layla menggigit bibir bawahnya dan gelagapan sendiri. "Ah, itu—buku psikologi, kejiwaan. Ya, bacaan semacam itu. Iya, begitu," ucapnya dengan terbata-bata. Ia hampir menepuk dahinya karena malu. Kenapa lidahnya harus terlipat segala? Sejujurnya ia bi
Layla menatap Randy dengan wajahnya yang dipenuhi keterkejutan. Ia memperhatikan penampilan Randy dari atas sampai ke bawah, tampak sangat berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Teman masa SMP-nya itu telah tumbuh menjadi pemuda dewasa yang keren."Kau di sini?! Bagaimana—bukankah—?" Layla kesulitan melanjutkan kata-katanya.Layla ingat Randy harus ikut ke luar negeri bersama ibunya setelah perceraian kedua orang tuanya. Ia kehilangan kontak Randy saat ponselnya hilang dan keduanya tidak pernah berkomunikasi lagi.Lalu pagi ini, melihat presensinya di hadapannya, ia tidak menyangka mereka akan bertemu lagi setelah sekian lama."Aku ingin menemui pamanku," jawab Randy, terkekeh. Matanya ikut memperhatikan penampilan Layla dari ujung rambut hingga ujung kaki—takjub. "Kau tahu, dia akan menikah lagi bulan depan.""Benarkah?" Layla tidak bisa menahan tawanya, teringat dengan masa lalu. Paman Randy, dengan umur yang sudah memasuki usia 40 tahun, masih saja tidak bisa belajar dari kesal
Olivia menatap Arsen yang duduk bersandar di sofa sambil memejamkan mata. Senyum kecil terbentuk di bibirnya, ia meletakkan jusnya dengan perlahan di atas meja. Namun, suara dentingan kecil dari kaca yang bertemu berhasil membangunkan Arsen dari tidur-tidur ayamnya."Hei." Senyum Olivia melebar, ia melemparkan tubuhnya ke sofa di seberang Arsen."Hm," balas Arsen. Ia mengerjap-ngerjap dan meregangkan tubuhnya yang terasa kaku dan pegal. Pandangannya terarah ke jendela yang terbuka, menyadari bahwa hujan deras telah reda. Ia beralih ke Olivia yang menyesap jusnya dengan santai. "Jam berapa sekarang?""Jam empat sore. Kau hanya tidur sekitar 15 menit," jawab Olivia.Arsen mengangguk dan menegakkan tubuhnya. Sore ini, ia datang ke apartemen Olivia atas permintaan wanita itu. Lagi pula, sudah lama keduanya tidak bertemu secara langsung. Apalagi beberapa hari ke depan, Arsen tidak akan bisa menemui Olivia setelah rangkaian acara pernikahannya dengan Layla selesai.Empat hari lagi, pikirnya
Layla meremat tangannya dan menarik napas panjang berulang kali. Sesuatu terasa menekan dadanya dengan keras, membuatnya susah untuk bernapas. Ia kira, ia hanya gugup semata, tetapi ternyata lebih dari itu.Ia merasa akan pingsan.Gaun pengantin yang membalut tubuhnya tampak indah, tetapi tetap saja Layla tidak tahan untuk menatap pantulannya terlalu lama di cermin. Rambutnya digelung ke belakang dengan hiasan bunga-bunga kecil, sementara wajahnya diberi riasan pengantin yang tidak terlalu tebal.Ketika Layla menatap wajahnya sendiri, perasaannya menjadi tidak karuan. Perutnya terasa diaduk-aduk, dan ia menahan diri untuk tidak muntah.Layla mengambil waktu lebih lama dari seharusnya untuk menenangkan diri. Ketika ketukan terdengar di pintu, ia hampir melompat di tempat."Layla, Nak?" Suara ibunya terdengar.Pintu terbuka dan ibunya melongokkan kepala ke dalam. Senyum manis menghiasi bibirnya. "Sudah siap? Semua orang sudah menunggu, Sayang."Layla mengangguk dan menarik napas dalam-d
Layla duduk di tepi tempat tidur yang telah disiapkan oleh ibu mertuanya. Ia memperhatikan sekeliling ruangan yang telah dihias dengan bunga mawar merah, kemudian meregangkan tubuhnya.Tangannya membelai gaun pengantinnya dengan ringan. Ia belum berganti baju sejak kembali dari gedung tempat acara pernikahan diselenggarakan. Ia hanya menghapus riasan wajahnya dan melepas gelungan rambutnya.Seluruh tubuhnya sakit, terutama tungkainya yang pegal luar biasa. Layla seharusnya beristirahat, tetapi ia tidak mengantuk sama sekali.Seluruh keluarga tengah berkumpul di lantai bawah. Nenek Arsen baru tiba bersama Kiran. Mereka sebenarnya berniat untuk datang sehari sebelum pernikahan, tetapi jadwal penerbangan mereka mengalami penundaan.Kiran bersama sang nenek rupanya sedang mengunjungi tunangan Kiran yang sedang berada di Jepang. Katanya, mereka akan melangsungkan pernikahan tahun ini—rencananya.Pernikahan di usia muda. Sama seperti Layla. Bedanya, Kiran dan tunangannya saling mencintai, s
Bermain api? Sejak kapan tepatnya?Arsen termangu di tempat, mencoba memikirkan kembali segala hal yang telah Kiran katakan padanya. Bahkan perkataan Layla tentang teman laki-laki Olivia kembali terngiang. Suara-suara aneh yang terdengar saat ia menelepon Olivia... semuanya muncul dalam kepalanya. Membentuk sebuah alur yang saling berhubungan.Apa yang selama ini telah Olivia lakukan ketika tidak bersamanya?Seharusnya Arsen merasa cemburu atau kecewa, tetapi hanya ada perasaan marah yang tertinggal di dadanya. Seolah-olah ia hanya marah karena merasa Olivia telah menipunya, dan bukan karena hubungan keduanya sebagai sepasang kekasih. Arsen bertanya-tanya kenapa ia tidak merasa sedih atau pun terpukul.Rasa cinta itu telah menghilang... atau memang tidak pernah ada?Arsen menghela napas dan meraih map yang Marlon berikan. Itu adalah beberapa foto Olivia yang tengah berada di bar, keluar dari bar, dan dijemput oleh seorang pria yang memakai topi. Wajahnya tidak terlihat di bawah cahaya
“Pelan-pelan saja,” kata Layla, menuntun Arsen untuk berjalan ke kamar. Dokter telah memperbolehkannya untuk pulang, dengan syarat Arsen harus rutin meminum obatnya. Kepalanya tidak lagi berdenyut nyeri, tetapi kakinya masih terasa sakit saat dipakai berjalan. Arsen setidaknya harus berjinjit-jinjit selama tiga hari sampai kakinya bisa ditekan ke lantai. “Pelan-pelan, jangan biarkan kakimu terlipat.” Layla kembali memberi instruksi, dengan hati-hati membantu Arsen untuk duduk di tepi tempat tidur. Layla membungkuk untuk melepaskan lingkaran lengan Arsen di bahunya dan puncak hidung mereka tidak sengaja bertemu. Tatapan mata Arsen terpaku padanya, begitu intens hingga membuat perut Layla bergejolak. Ia menelan ludah dan menjauhkan diri, mendadak merasa gugup. “Apa kau ingin buah potong?” tanya Layla, mengucapkan apa pun yang ada di otaknya. “Kau seharusnya beristirahat, Layla,” ucap Arsen, nada suaranya terdengar khawatir. Tatapannya kini terpaku pada lantai. “Tidak apa-apa. A
"Arsen?! Arsen, sadarlah!"Layla mengguncang keras bahu Arsen dan terdengar erangan kesakitan. Mata Arsen perlahan terbuka, tangannya menyentuh sisi kepalanya yang sempat terbentur. Ia kembali mengerang, merasakan denyutan menyakitkan ketika mencoba bergerak."Apa kepalamu sakit? Apa kau bisa mendengarku?" Layla bertanya dengan panik, ketakutan menjalari tubuhnya. Setelah mobil menghantam pohon, Arsen sempat kehilangan kesadaran. Layla telah mencoba beberapa kali sampai akhirnya Arsen membuka mata. "Aku—aku telah menelepon ambulans. Tolong bertahanlah, Arsen."Alih-alih menjawab, Arsen yang baru menyadari situasi dengan cepat menatap Layla. Gerakan itu membuat kepalanya berdenyut sakit, pamdangannya kabur, dan erangan kesakitan kembali lolos dari bibirnya. Tetapi mengabaikan hal itu, Arsen lebih mengkhawatirkan kondisi Layla. "Apa kau baik-baik saja, Layla? Apa ada yang terluka?" Matanya memindai tubuh sang istri dari atas sampai ke bawah."Tidak, aku tidak apa-apa. Justru kau yang bu
Arsen akan pulang malam ini.Layla tersenyum sambil menentang belanjaannya di kedua tangan. Ia baru saja membeli bahan kue di toko dan berniat untuk membuat kue sebelum Arsen tiba di rumah.Katanya, dia akan tiba sekitar jam sembilan malam.Sinar matahari sore menerpa wajah Layla ketika melangkah ke beranda toko. Gerimis ringan membasahi tanah, dan sepertinya akan berubah menjadi hujan deras.Layla terdiam dan menimbang-nimbang untuk langsung memesan taksi atau singgah di toko buah di seberang jalan. Saat ia tengah berpikir, ponselnya mendadak berdering.Arsen.Layla segera mengangkatnya. "Halo, Arsen?""Layla, kau di mana?"Apakah Arsen sudah tiba di rumah? "Aku—di toko bahan kue. Apa kau sudah sampai?""Ya, aku baru saja sampai dan terkejut karena rumah kosong."Layla tercengang. Ini baru jam enam sore, ia kira Arsen akan tiba pukul sembilan nanti. "Aku tidak tahu, aku minta maaf. Aku kira kau akan tiba malam nanti?""Iya tadinya, tapi penerbangannya tidak ditunda lagi, jadi aku bis
Bulan di balik jendela bersinar terang. Tidak seperti biasanya, malam ini cerah tanpa hujan deras yang mengguyur.Memasuki puncak musim hujan, hari-hari Layla selalu ditemani oleh langit mendung, awan hitam yang menggantung, angin kencang, aroma petrikor dan tanah yang basah, juga air hujan yang mengetuk atap.Musim hujan adalah defenisi dari pernikahannya. Tetapi bukan berarti ia berharap musim panas menjadi awal pertemuannya dengan suaminya.Ia sudah menerima apa yang terjadi dan akan bersabar menghadapinya. Seperti kata ibunya, inilah takdirnya.Layla menarik guling dan berbaring miring menatap pemandangan halaman belakang. Di lantai dua kamarnya, ia membayangkan pohon angsana juga kolam yang tenang di rumahnya.Sekarang sudah hampir tengah malam. Layla bertanya-tanya, apa Arsen sudah tidur? Dia telah sampai dengan selamat bersama ayahnya dan berjanji akan menelepon.Layla menunggunya sejak makan malam, tetapi ia pikir Arsen pasti kelelahan. Ia tidak ingin mengusik pria itu, jadi La
"Terima kasih, Pak. Nanti jemput saya lagi hari Jumat sore, ya.""Baik, Nona."Layla mengangkat tas berisi beberapa pakaiannya dan menyeberangi jalan. Ditatapnya rumah orang tuanya, kemudian senyumnya mengembang.Rasanya sudah lama sejak ia terakhir kali bertemu ibunya secara langsung. Mereka sering bertukar kabar lewat telepon, tetapi sulit untuk bertemu karena jarak yang jauh. Sekarang, ia memilih untuk menemani ibunya selama Arsen dan ayahnya pergi.Layla melangkah melewati pagar ketika ibunya muncul dengan tergopoh-gopoh. "Padahal Ibu berniat menjemputmu, Sayang.""Tapi aku sudah di sini, Ibu. Apa aku harus kembali lagi ke rumah?" kata Layla bercanda dan keduanya tertawa.Melissa menarik satu-satunya anak perempuannya itu ke dalam dekapan, lalu memeluknya erat-erat. Melepaskan kerinduan setelah sekian lama tak bertemu."Bagaimana kabar, Ibu?" Layla membenamkan wajahnya di pundak ibunya."Ibu baik, Sayang. Malah sangat baik setelah ayahmu mendapat proyek dari Nak Arsen. Ibu sangat s
Arsen melangkah cepat menaiki tangga menuju apartemen Olivia. Ia masih memiliki waktu setengah jam sebelum ke bandara dan berniat menemui wanita itu sebentar. Olivia tidak menjawab pesannya dan ia khawatir ada sesuatu yang terjadi.Tetapi begitu tiba di puncak tangga, langkah Arsen sontak terhenti ketika melihat sosok asing di pintu apartemen Olivia. Pria itu memakai topi dan masker, posisinya membelakangi Arsen dan dia tampak membungkuk ke arah Olivia.Apa yang sedang dia lakukan?"Olivia?" panggil Arsen dan pria itu langsung berbalik dengan terkejut.Wajah Olivia bahkan terlihat lebih syok sebelum dia bisa mengontrol ekspresinya. Arsen sempat melihat matanya yang terbuka lebar. Kenapa Olivia begitu terkejut?Olivia mendorong Bryan untuk mundur tatkala Arsen mendekat dengan kening berkerut. Ia berusaha untuk berekspresi senormal mungkin.Sial, kenapa Arsen tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan?"Ah, Arsen... aku kira, bukankah kau sudah harus berangkat ke bandara?""Aku ingin menemuim
Layla meletakkan air minum dan handuk saat Arsen melangkah mendekat. Keringat bercucuran di dahi, leher, dan bahu Arsen, membuat bagian atas kaos yang dipakainya basah.Melihat Arsen yang masih memakai sarung tinju, Layla mengulurkan tangannya dan membantu. Pria itu terus menatapnya dengan mata hitamnya yang dalam, sampai ia meletakkan dua sarung tinju itu di atas meja."Ke-kenapa?" tanya Layla, ingin tahu kenapa tatapan Arsen terus terpaku padanya.Arsen tersenyum tipis dan duduk di bangku. Ia tidak langsung menjawab, melainkan mengelap keringat di tubuhnya. Layla menatapnya, kemudian memalingkan wajah saat Arsen menoleh."Ini benar-benar sangat cocok untukmu. Kau terlihat cantik." Sebuah sentuhan tangan dingin terasa di kepala Layla. Ia mendongak dan Arsen tersenyum manis saat menyentuh ringan jepitan di kepala Layla."Ah itu..." Layla tersipu dan mengangguk pelan. "Kau sudah membeli banyak, jadi tidak mungkin aku hanya menyimpannya. Aku akan terus memakainya."Lagi, Arsen tidak men
Perpustakaan telah selesai hari ini.Layla yang sedang membersihkan dapur setelah sarapan bergegas keluar. Arsen menatapnya dengan senyum sumringah, ikut bahagia melihat betapa antusiasnya gadis itu."Kau terlihat begitu bersemangat." Arsen sengaja berkomentar dengan suara menggoda."Benarkah?" Layla menangkup pipinya dan tidak bisa menahan tawanya. "Padahal aku berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja."Arsen kontan terkekeh. "Kau tidak bisa menyembunyikannya dengan senyum lebar di wajahmu itu."Layla langsung menutup mulutnya dengan tangan, tetapi tetap saja matanya yang menyipit dengan jelas memperlihatkan rasa senangnya.Arsen kembali tertawa dan tanpa basa-basi meraih tangan Layla. "Ayo kita lihat perpustakaannya. Itu adalah hadiah untukmu, jadi aku senang jika kau menyukainya.""Kau memberiku terlalu banyak hadiah Arsen," sahut Layla. "Kemarin jepitan, dan sekarang perpustakaan ini juga selesai lebih cepat.""Sudah kubilang aku ingin membahagiakanmu, Layla," kata Arsen tanpa berp