"Kau cantik sekali, Nak. Persis seperti yang dikatakan Arinda. Sangat manis."
Senyum Layla merekah. Bukan karena pujian yang diberikan oleh nenek Arsen, melainkan tatapan hangat yang diberikan oleh wanita tua itu. Layla jadi ingat dengan neneknya sendiri. Ia ingin berkunjung ke makamnya sebelum pernikahannya diselenggarakan."Terima kasih, Nek."Nenek Arsen tersenyum lebih lebar dan beralih menggenggam tangannya. Ia kemudian meraih tangan Arsen yang duduk di samping Layla. "Semoga pernikahan kalian lancar. Hubungan kalian langgeng, bertahan sampai kalian tua seperti nenek, ya," ucapnya sungguh-sungguh.Layla melirik calon suaminya yang hanya bisa mengangguk kaku. Ia mendadak merasa bersalah dengan kontrak pernikahan yang telah ia setujui. Ia telah membohongi semua orang. Tetapi membatalkan pernikahan pun bukan pilihan yang bisa Layla ambil."Terima kasih atas doanya, Nek." Hanya itu yang bisa Layla katakan."Sama-sama, Nak. Kau perempuan yang baik, Nenek bisa melihat itu. Arsen sangat beruntung mendapat calon istri sepertimu."Hati Layla mencelos. Sayang sekali, wanita yang beruntung di hati Arsen adalah Olivia, pikirnya. Tetapi Layla tidak menunjukkan kesedihannya sedikit pun dan tersenyum lebar pada nenek Arsen yang ikut tersenyum bahagia.Ia hanya tidak ingin mengecewekan siapa pun.Keluarga Arsen adalah orang-orang yang baik. Bahkan Arsen sendiri bukan pria yang jahat. Kontrak pernikahan mungkin adalah yang terbaik untuk keduanya."Ibu, makanannya sudah siap."Suara Arinda terdengar dari ambang pintu ruang tengah. Ia tersenyum senang menatap ketiganya, terutama pada tangan Layla dan Arsen yang tengah digenggam oleh ibu mertuanya."Ayo makan siang dulu," ucap Arinda."Baiklah. Kalian berdua juga langsung makan, jangan menunda-nunda," katanya pada Layla dan Arsen yang masih duduk di sofa.Layla kontan berdiri mengikuti ibu Arsen, sementara Arsen terdengar menghela napas berat. Layla bertanya-tanya apakah itu karena perkataan neneknya tentang pernikahan keduanya?Layla menahan diri untuk tidak melirik dan bergegas ke ruang makan. Terlihat adik Arsen—Kiran—tengah sibuk mondar-mandir untuk menaruh makanan di atas meja. Layla segera membantu dan Kiran langsung melemparkan senyum manis.Kiran sebenarnya adalah sepupu Arsen. Tetapi sewaktu kecil, orang tuanya bercerai karena suatu perselingkuhan. Kiran ditelantarkan, jadilah orang tua Arsen yang merawatnya dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Setelah nenek Arsen pindah ke desa, ia memilih untuk ikut karena suka dengan suasana pedesaan yang menenangkan."Hai calon kakak ipar," sapa Kiran kelewat ramah seraya menyenggol ringan lengan Layla. Keduanya baru bertemu hari ini, tetapi sikap Kiran yang friendly membuat mereka akrab dengan cepat."Hai," balas Layla. Ia duduk di samping Kiran, berhadapan dengan Arsen yang duduk di samping ibunya. Nenek Arsen sendiri di duduk di bagian tengah.Layla menatap Arsen yang tampak diam, entah apa yang ada dipikirannya. Pandangan pria itu tiba-tiba terangkat dan Layla beralih menatap makanannya, tidak ingin Arsen mendapatinya tengah menatap.Mereka makan dengan khidmat siang itu, diselingi cerita dari ibu Arsen dan sang nenek secara bergantian."... jadi yang menolong Layla itu Arsen. Sungguh kebetulan 'kan Ibu? Lalu sekarang mereka bertemu lagi dalam sebuah perjodohan."Ya ampun. Layla menggigit bibir bawahnya, merasa malu karena ibu Arsen mengungkit cerita itu lagi."Kalau namanya jodoh ya memang begitu, mau jauh atau dekat, ya tetap akan dipertemukan," kata nenek Arsen. Ia tersenyum menatap Layla yang tersenyum kaku."Cerita mereka seperti dongeng di mana pangeran datang untuk menyelamatkan tuan putri," sahut Kiran hiperbolis. Kemudian tawanya pecah saat melihat wajah Layla yang memerah malu."Tidak, bukan begitu. Arsen hanya menolongku." Layla mencoba menjelaskan, tetapi sepertinya itu tidak berhasil.Karena ibu Arsen menceritakan kejadian itu dengan beberapa bumbu manis dan suara mendayu-dayu, pertemuan Arsen dan Layla sudah seperti kisah bersejarah yang harus selalu diungkap di setiap pertemuan."Itu hanya pertemuan biasa," tambah Layla."Tetap saja. Itu manis sekali!" Kata Kiran dengan antusias. Ibu Arsen dan mertuanya kontan mengangguk setuju.Layla meringis dalam hati. Kenapa semua orang menganggap kejadian itu sebagai pertemuan yang manis? Mereka tidak tahu saja bagaimana Layla menangis kencang karena tubuhnya bau selokan."Arsen juga mengantarnya pulang. Iya kan, 'Nak?" Tanya Arinda pada putranya yang mau tak mau mengangguk.Layla tanpa sadar memberinya lirikan tajam, karena Arsen lah penyebab kejadian itu tersebar. Tetapi bukannya merasa bersalah, Arsen malah tersenyum kecil.Satu keluarga memang tidak jauh berbeda.***Menjelang sore, Kiran mengajak Layla dan Arsen untuk berjalan-jalan di sekitar taman yang tidak jauh dari rumah sang nenek.Taman itu sangat luas, dipenuhi pohon-pohon rindang dan bunga-bunga berwarna cerah. Ada banyak anak-anak yang bermain, sementara para orang tua tampak duduk mengobrol di kursi taman. Pedagang keliling terlihat menunggu di luar taman.Layla dan Arsen hanya berkeliling di dekat taman, sekadar menikmati suasana pedesaan sebelum kembali ke kota besok pagi. Keduanya tidak banyak bicara, terlebih dengan kehadiran Kiran. Layla bingung ingin membicarakan apa, ia merasa canggung setiap kali mengingat kontrak pernikahan keduanya."Kak Layla ingin es krim?" Kiran mendadak bertanya.Sebelum Layla sempat menjawab, gadis itu sudah menarik tangannya menuju penjual es krim yang dikerumuni anak-anak. Arsen tidak ikut, memilih untuk menunggu di pagar masuk taman.Keduanya mengantri menunggu kumpulan anak-anak sebelum memesan. Rasanya Layla kembali ke masa kecilnya yang menyenangkan, di mana ia sering berlibur di desa neneknya."Cokelat satu, stroberi satu," kata Kiran pada si penjual ketika giliran keduanya tiba. "Kakak suka rasa stroberi 'kan? Kak Arsen memberitahuku," lanjutnya ketika melihat wajah bingung di wajah Layla.Layla jadi heran sendiri. Sebenarnya Arsen bercerita pada siapa saja?"Kakak ipar, coba mendekat." Kiran mengayunkan tangannya. Layla mendekat dan Kiran berbisik, "Calon suamimu menatapmu terus, tuh."Apa?Layla otomatis menoleh dan benar saja, Arsen sedang menatapnya. Pria itu berkedip kemudian memalingkan pandangan dengan cepat."Hmmm manis sekali," ledek Kiran, memainkan alisnya dan tersenyum-senyum sendiri.Layla menyenggol lengan Kiran dan menggeleng. Mungkin saja Arsen menatap keduanya karena menunggu terlalu lama. "Dia pasti lelah menunggu. Jangan berlebihan.""Benarkah?" Kiran menatap tidak setuju. "Kenapa aku merasa dia sedang menatap wajah kakak dengan saksama?""Sebaiknya kita ke sana," ucap Layla, tidak ingin membahas hal itu lebih jauh. Ia mengambil es krimnya dan menarik tangan Kiran menuju taman."Aku tahu kalian dijodohkan, tapi kak Arsen sepertinya sudah tertarik pada kakak," gumam Kiran. Ia mensejajarkan langkahnya dengan Layla dan melanjutkan, "Menurutku, jika kalian tambah akrab, tinggal beberapa langkah pendekatan dan dia akan jatuh cinta padamu."Layla rasanya ingin tertawa. Apakah semudah itu? Kalau saja Kiran tahu perihal hubungan Arsen dengan sekretarisnya."Arsen tidak mungkin tertarik padaku," ucap Layla, suaranya tidak disangka terdengar sendu. Layla berdehem dan buru-buru meralat ucapannya, "Maksudku, kami baru bertemu. Tidak mungkin perasaan tumbuh secepat itu, butuh waktu dan proses.""Apa karena Olivia?"Layla membelalak, langkahnya otomatis terhenti. Ia melirik Arsen yang untungnya sedang menatap ke arah lain. Ia lalu menatap Kiran yang memasang wajah serius. Apakah Kiran sebenarnya tahu?"Aku tahu hubungan mereka. Aku tidak sengaja melihat kebersamaan mereka di kantor," jelas Kiran.Layla tercenung di tempat. "Apakah ada orang lain yang tahu?""Tidak, hanya aku.""Ah, baiklah."Kiran menyentuh ringan lengan Layla, wajahnya tampak muram. "Menurutku, Olivia itu hanya sahabat. Mereka bersama cukup lama, jadi mungkin perasaan kak Arsen hanya sekadar rasa sayang antar teman. Aku tidak yakin itu cinta. Tapi cara kak Arsen menatap kakak itu berbeda. Semacam perasaan kagum dan aku tidak tahu apa sebutannya, tapi kak Arsen memperlakukan kakak dengan sangat hati-hati dan lembut. Kupikir perasaan seperti itu jauh lebih berharga dibanding hubungannya dengan Olivia."Layla terdiam. Otaknya mencerna segala ucapan Kiran, tetapi ia tidak tahu harus mengatakan apa. Ia tidak ingin berharap pada sesuatu yang tidak pasti. Apa yang dikatakan Kiran hanya pendapat semata."Aku yakin kak Arsen akan menyukai kakak.""Entahlah." Layla menatap es krimnya yang mulai mencair. Perasaannya bergolak tidak nyaman. "Hanya waktu yang bisa menjawab segalanya."Tetapi meskipun Layla mengatakan itu, nyatanya kalimat Kiran terus terngiang-ngiang di benaknya.Ketika mereka kembali ke rumah nenek Arsen, Layla berjalan di belakang calon suaminya. Ia menatap rambut Arsen yang memanjang sampai tengkuk saat seutas kalimat Kiran melintas.'Aku yakin kak Arsen akan menyukai kakak.'Layla menggeleng-geleng.Mungkin Kiran hanya ingin menghiburnya.Ya, mana mungkin Arsen bisa berpaling dari Olivia yang telah dikenalnya dengan sangat baik, hanya untuk perempuan sepertinya?Layla tidak bisa tidur.Iris cokelatnya terpaku menatap bulan yang bersembunyi di balik awan. Ia terdiam di tepi tempat tidurnya, menimbang-nimbang untuk keluar atau tidak. Matanya melirik jam, sudah hampir tengah malam.Semua orang mungkin sudah tidur sejak tadi, pikirnya.Suasana rumah ini begitu hening sejak beberapa jam yang lalu. Layla beranjak dari tempatnya dan mengintip keluar. Kamar yang ditempatinya langsung terhubung ke halaman belakang.Tempat itu sepi dan hanya ditemani oleh lampu jalan yang bersinar redup. Tetapi pemandangan kolam ikan dan bunganya tampak menenangkan. Mungkin jika Layla menghabiskan waktunya di sana sebentar, ia bisa mengantuk.Layla membuka pintu dengan sangat perlahan, tidak ingin membangunkan siapa pun. Ia berbelok menuju halaman belakang dan udara dingin seketika menerpa wajahnya. Ia bergidik dan mengeratkan jaketnya sebelum duduk di salah satu kursi.Suasana pedesaan memang sangat berbeda dengan suasana di kota. Biasanya, di jam seperti ini, jalanan
Pagi-pagi sekali, mereka akhirnya akan berangkat kembali ke kota.Nenek Arsen memeluk Layla untuk terakhir kali dengan begitu hangat dan lembut. "Lain kali kalau tidak sibuk, kau dan Arsen harus berkunjung ke sini lagi, ya?""Iya, Nek."Nenek Arsen tersenyum bahagia dan rasa bersalah itu kembali muncul di hati Layla. Mungkin setelah menikah, ia harus meluangkan waktu untuk mengunjungi nenek Arsen sebelum kontrak pernikahan mereka berakhir. Tidak bisa dibayangkan betapa bahagianya kedua belah pihak keluarga, tetapi calon suaminya telah memiliki rencana lain.Layla menghela napas pendek dan mundur ke belakang ketika Arsen maju untuk menerima pelukan dari neneknya."Jaga Layla baik-baik, ya. Nenek akan memukulmu dengan sapu kalau kau sampai menyakitinya."Arsen mengangguk dan tertawa kecil. Sebuah tawa hambar yang dipaksakan. Ia membalas dekapan neneknya dan melirik Layla yang terdiam di tempat.Semua orang tentu saja berharap yang terbaik untuk pernikahan keduanya. Tetapi harapan itu ra
Layla memperhatikan refleksi wajahnya di cermin, lalu gaun pengantin yang membalut tubuhnya. Ia merasa seperti melihat ibunya sewaktu muda.Terlebih dengan fitur wajah Layla yang sangat mirip dengan ibunya: mata bulat, hidung kecil, bibir tipis, dan kulit putih pucatnya. Sekarang, ia juga memilih gaun pengantin dengan desain yang mirip dengan pakaian pengantin ibunya di album foto keluarga.Ia akan menikah seminggu lagi.Hal itu masih agak mengejutkan. Dan walaupun ia menikah di usia yang sangat muda, nyatanya pernikahannya tidak seindah yang ia bayangkan. Tetapi tetap saja, Layla tidak ingin menunjukkan perasaan kecewanya di depan semua orang.Ia akan berusaha untuk bahagia. Ia akan membahagiakan dirinya sendiri. Meskipun pada akhirnya, ia dan Arsen akan tetap berpisah.Beberapa hari terakhir, Layla terus merenungkan kehidupan pernikahannya dengan Arsen, bertanya-tanya bagaimana ia bisa menjalaninya selama setahun. Mereka akan tinggal bersama dan bertemu setiap hari, tidak mungkin m
Layla termenung di sudut kamarnya yang gelap. Pandangannya terpaku pada gaun pengantin yang digantung di dekat jendela, tampak bersinar di bawah cahaya bulan. Ia hanya terus menatapnya sambil memikirkan pernikahan yang akan dilangsungkan lima hari lagi.Setelah fitting baju pernikahan tiga hari yang lalu, ia tidak pernah bertemu Arsen lagi. Dia berusaha menyelesaikan beberapa pekerjaan penting karena ingin mengambil cuti. Semua orang sibuk mempersiapkan pernikahan, sementara ia mencoba menenangkan diri.Layla memeluk lututnya dan merebahkan kepalanya di sana. Ia meraih ponselnya, menimbang-nimbang untuk menghubungi Arsen atau tidak. Beberapa menit lagi tepat jam lima pagi dan ia takut mengganggu.Tetapi ia perlu menanyakan satu hal.Layla telah membaca ulang kontrak pernikahan keduanya. Pembahasannya hanya seputar hubungan yang berlangsung selama setahun, di mana Arsen akan menafkahi Layla selayaknya istri. Arsen tidak akan berbuat kasar, apalagi menyakitinya secara mental maupun fisi
Keduanya tidak bisa hanya terus diam seperti ini, apalagi setelah menikah.Layla berinisiatif untuk memulai pembicaraan dan mencoba dengan pertanyaan sederhana, "Emm, ngomong-ngomong, apa pekerjaanmu masih banyak? Apa mungkin ada sesuatu yang bisa kubantu?"Arsen tampak terkejut dengan pertanyaan itu. Apakah membantunya adalah sesuatu yang berlebihan? Atau karena Layla mengajaknya mengobrol terlebih dahulu?Arsen kemudian tampak mengontrol ekspresinya dan tersenyum kecil. "Tidak perlu, tinggal sedikit lagi," jawabnya. "Tapi terima kasih untuk tawaranmu.""Sama-sama," balas Layla. Ia memutar otak untuk mengajukan pertanyaan lain ketika Arsen kembali bicara."Kau ingin membeli buku apa sampai ke toko di pusat kota? Pasti buku penting, ya?"Layla menggigit bibir bawahnya dan gelagapan sendiri. "Ah, itu—buku psikologi, kejiwaan. Ya, bacaan semacam itu. Iya, begitu," ucapnya dengan terbata-bata. Ia hampir menepuk dahinya karena malu. Kenapa lidahnya harus terlipat segala? Sejujurnya ia bi
Layla menatap Randy dengan wajahnya yang dipenuhi keterkejutan. Ia memperhatikan penampilan Randy dari atas sampai ke bawah, tampak sangat berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Teman masa SMP-nya itu telah tumbuh menjadi pemuda dewasa yang keren."Kau di sini?! Bagaimana—bukankah—?" Layla kesulitan melanjutkan kata-katanya.Layla ingat Randy harus ikut ke luar negeri bersama ibunya setelah perceraian kedua orang tuanya. Ia kehilangan kontak Randy saat ponselnya hilang dan keduanya tidak pernah berkomunikasi lagi.Lalu pagi ini, melihat presensinya di hadapannya, ia tidak menyangka mereka akan bertemu lagi setelah sekian lama."Aku ingin menemui pamanku," jawab Randy, terkekeh. Matanya ikut memperhatikan penampilan Layla dari ujung rambut hingga ujung kaki—takjub. "Kau tahu, dia akan menikah lagi bulan depan.""Benarkah?" Layla tidak bisa menahan tawanya, teringat dengan masa lalu. Paman Randy, dengan umur yang sudah memasuki usia 40 tahun, masih saja tidak bisa belajar dari kesal
Olivia menatap Arsen yang duduk bersandar di sofa sambil memejamkan mata. Senyum kecil terbentuk di bibirnya, ia meletakkan jusnya dengan perlahan di atas meja. Namun, suara dentingan kecil dari kaca yang bertemu berhasil membangunkan Arsen dari tidur-tidur ayamnya."Hei." Senyum Olivia melebar, ia melemparkan tubuhnya ke sofa di seberang Arsen."Hm," balas Arsen. Ia mengerjap-ngerjap dan meregangkan tubuhnya yang terasa kaku dan pegal. Pandangannya terarah ke jendela yang terbuka, menyadari bahwa hujan deras telah reda. Ia beralih ke Olivia yang menyesap jusnya dengan santai. "Jam berapa sekarang?""Jam empat sore. Kau hanya tidur sekitar 15 menit," jawab Olivia.Arsen mengangguk dan menegakkan tubuhnya. Sore ini, ia datang ke apartemen Olivia atas permintaan wanita itu. Lagi pula, sudah lama keduanya tidak bertemu secara langsung. Apalagi beberapa hari ke depan, Arsen tidak akan bisa menemui Olivia setelah rangkaian acara pernikahannya dengan Layla selesai.Empat hari lagi, pikirnya
Layla meremat tangannya dan menarik napas panjang berulang kali. Sesuatu terasa menekan dadanya dengan keras, membuatnya susah untuk bernapas. Ia kira, ia hanya gugup semata, tetapi ternyata lebih dari itu.Ia merasa akan pingsan.Gaun pengantin yang membalut tubuhnya tampak indah, tetapi tetap saja Layla tidak tahan untuk menatap pantulannya terlalu lama di cermin. Rambutnya digelung ke belakang dengan hiasan bunga-bunga kecil, sementara wajahnya diberi riasan pengantin yang tidak terlalu tebal.Ketika Layla menatap wajahnya sendiri, perasaannya menjadi tidak karuan. Perutnya terasa diaduk-aduk, dan ia menahan diri untuk tidak muntah.Layla mengambil waktu lebih lama dari seharusnya untuk menenangkan diri. Ketika ketukan terdengar di pintu, ia hampir melompat di tempat."Layla, Nak?" Suara ibunya terdengar.Pintu terbuka dan ibunya melongokkan kepala ke dalam. Senyum manis menghiasi bibirnya. "Sudah siap? Semua orang sudah menunggu, Sayang."Layla mengangguk dan menarik napas dalam-d
Bermain api? Sejak kapan tepatnya?Arsen termangu di tempat, mencoba memikirkan kembali segala hal yang telah Kiran katakan padanya. Bahkan perkataan Layla tentang teman laki-laki Olivia kembali terngiang. Suara-suara aneh yang terdengar saat ia menelepon Olivia... semuanya muncul dalam kepalanya. Membentuk sebuah alur yang saling berhubungan.Apa yang selama ini telah Olivia lakukan ketika tidak bersamanya?Seharusnya Arsen merasa cemburu atau kecewa, tetapi hanya ada perasaan marah yang tertinggal di dadanya. Seolah-olah ia hanya marah karena merasa Olivia telah menipunya, dan bukan karena hubungan keduanya sebagai sepasang kekasih. Arsen bertanya-tanya kenapa ia tidak merasa sedih atau pun terpukul.Rasa cinta itu telah menghilang... atau memang tidak pernah ada?Arsen menghela napas dan meraih map yang Marlon berikan. Itu adalah beberapa foto Olivia yang tengah berada di bar, keluar dari bar, dan dijemput oleh seorang pria yang memakai topi. Wajahnya tidak terlihat di bawah cahaya
“Pelan-pelan saja,” kata Layla, menuntun Arsen untuk berjalan ke kamar. Dokter telah memperbolehkannya untuk pulang, dengan syarat Arsen harus rutin meminum obatnya. Kepalanya tidak lagi berdenyut nyeri, tetapi kakinya masih terasa sakit saat dipakai berjalan. Arsen setidaknya harus berjinjit-jinjit selama tiga hari sampai kakinya bisa ditekan ke lantai. “Pelan-pelan, jangan biarkan kakimu terlipat.” Layla kembali memberi instruksi, dengan hati-hati membantu Arsen untuk duduk di tepi tempat tidur. Layla membungkuk untuk melepaskan lingkaran lengan Arsen di bahunya dan puncak hidung mereka tidak sengaja bertemu. Tatapan mata Arsen terpaku padanya, begitu intens hingga membuat perut Layla bergejolak. Ia menelan ludah dan menjauhkan diri, mendadak merasa gugup. “Apa kau ingin buah potong?” tanya Layla, mengucapkan apa pun yang ada di otaknya. “Kau seharusnya beristirahat, Layla,” ucap Arsen, nada suaranya terdengar khawatir. Tatapannya kini terpaku pada lantai. “Tidak apa-apa. A
"Arsen?! Arsen, sadarlah!"Layla mengguncang keras bahu Arsen dan terdengar erangan kesakitan. Mata Arsen perlahan terbuka, tangannya menyentuh sisi kepalanya yang sempat terbentur. Ia kembali mengerang, merasakan denyutan menyakitkan ketika mencoba bergerak."Apa kepalamu sakit? Apa kau bisa mendengarku?" Layla bertanya dengan panik, ketakutan menjalari tubuhnya. Setelah mobil menghantam pohon, Arsen sempat kehilangan kesadaran. Layla telah mencoba beberapa kali sampai akhirnya Arsen membuka mata. "Aku—aku telah menelepon ambulans. Tolong bertahanlah, Arsen."Alih-alih menjawab, Arsen yang baru menyadari situasi dengan cepat menatap Layla. Gerakan itu membuat kepalanya berdenyut sakit, pamdangannya kabur, dan erangan kesakitan kembali lolos dari bibirnya. Tetapi mengabaikan hal itu, Arsen lebih mengkhawatirkan kondisi Layla. "Apa kau baik-baik saja, Layla? Apa ada yang terluka?" Matanya memindai tubuh sang istri dari atas sampai ke bawah."Tidak, aku tidak apa-apa. Justru kau yang bu
Arsen akan pulang malam ini.Layla tersenyum sambil menentang belanjaannya di kedua tangan. Ia baru saja membeli bahan kue di toko dan berniat untuk membuat kue sebelum Arsen tiba di rumah.Katanya, dia akan tiba sekitar jam sembilan malam.Sinar matahari sore menerpa wajah Layla ketika melangkah ke beranda toko. Gerimis ringan membasahi tanah, dan sepertinya akan berubah menjadi hujan deras.Layla terdiam dan menimbang-nimbang untuk langsung memesan taksi atau singgah di toko buah di seberang jalan. Saat ia tengah berpikir, ponselnya mendadak berdering.Arsen.Layla segera mengangkatnya. "Halo, Arsen?""Layla, kau di mana?"Apakah Arsen sudah tiba di rumah? "Aku—di toko bahan kue. Apa kau sudah sampai?""Ya, aku baru saja sampai dan terkejut karena rumah kosong."Layla tercengang. Ini baru jam enam sore, ia kira Arsen akan tiba pukul sembilan nanti. "Aku tidak tahu, aku minta maaf. Aku kira kau akan tiba malam nanti?""Iya tadinya, tapi penerbangannya tidak ditunda lagi, jadi aku bis
Bulan di balik jendela bersinar terang. Tidak seperti biasanya, malam ini cerah tanpa hujan deras yang mengguyur.Memasuki puncak musim hujan, hari-hari Layla selalu ditemani oleh langit mendung, awan hitam yang menggantung, angin kencang, aroma petrikor dan tanah yang basah, juga air hujan yang mengetuk atap.Musim hujan adalah defenisi dari pernikahannya. Tetapi bukan berarti ia berharap musim panas menjadi awal pertemuannya dengan suaminya.Ia sudah menerima apa yang terjadi dan akan bersabar menghadapinya. Seperti kata ibunya, inilah takdirnya.Layla menarik guling dan berbaring miring menatap pemandangan halaman belakang. Di lantai dua kamarnya, ia membayangkan pohon angsana juga kolam yang tenang di rumahnya.Sekarang sudah hampir tengah malam. Layla bertanya-tanya, apa Arsen sudah tidur? Dia telah sampai dengan selamat bersama ayahnya dan berjanji akan menelepon.Layla menunggunya sejak makan malam, tetapi ia pikir Arsen pasti kelelahan. Ia tidak ingin mengusik pria itu, jadi La
"Terima kasih, Pak. Nanti jemput saya lagi hari Jumat sore, ya.""Baik, Nona."Layla mengangkat tas berisi beberapa pakaiannya dan menyeberangi jalan. Ditatapnya rumah orang tuanya, kemudian senyumnya mengembang.Rasanya sudah lama sejak ia terakhir kali bertemu ibunya secara langsung. Mereka sering bertukar kabar lewat telepon, tetapi sulit untuk bertemu karena jarak yang jauh. Sekarang, ia memilih untuk menemani ibunya selama Arsen dan ayahnya pergi.Layla melangkah melewati pagar ketika ibunya muncul dengan tergopoh-gopoh. "Padahal Ibu berniat menjemputmu, Sayang.""Tapi aku sudah di sini, Ibu. Apa aku harus kembali lagi ke rumah?" kata Layla bercanda dan keduanya tertawa.Melissa menarik satu-satunya anak perempuannya itu ke dalam dekapan, lalu memeluknya erat-erat. Melepaskan kerinduan setelah sekian lama tak bertemu."Bagaimana kabar, Ibu?" Layla membenamkan wajahnya di pundak ibunya."Ibu baik, Sayang. Malah sangat baik setelah ayahmu mendapat proyek dari Nak Arsen. Ibu sangat s
Arsen melangkah cepat menaiki tangga menuju apartemen Olivia. Ia masih memiliki waktu setengah jam sebelum ke bandara dan berniat menemui wanita itu sebentar. Olivia tidak menjawab pesannya dan ia khawatir ada sesuatu yang terjadi.Tetapi begitu tiba di puncak tangga, langkah Arsen sontak terhenti ketika melihat sosok asing di pintu apartemen Olivia. Pria itu memakai topi dan masker, posisinya membelakangi Arsen dan dia tampak membungkuk ke arah Olivia.Apa yang sedang dia lakukan?"Olivia?" panggil Arsen dan pria itu langsung berbalik dengan terkejut.Wajah Olivia bahkan terlihat lebih syok sebelum dia bisa mengontrol ekspresinya. Arsen sempat melihat matanya yang terbuka lebar. Kenapa Olivia begitu terkejut?Olivia mendorong Bryan untuk mundur tatkala Arsen mendekat dengan kening berkerut. Ia berusaha untuk berekspresi senormal mungkin.Sial, kenapa Arsen tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan?"Ah, Arsen... aku kira, bukankah kau sudah harus berangkat ke bandara?""Aku ingin menemuim
Layla meletakkan air minum dan handuk saat Arsen melangkah mendekat. Keringat bercucuran di dahi, leher, dan bahu Arsen, membuat bagian atas kaos yang dipakainya basah.Melihat Arsen yang masih memakai sarung tinju, Layla mengulurkan tangannya dan membantu. Pria itu terus menatapnya dengan mata hitamnya yang dalam, sampai ia meletakkan dua sarung tinju itu di atas meja."Ke-kenapa?" tanya Layla, ingin tahu kenapa tatapan Arsen terus terpaku padanya.Arsen tersenyum tipis dan duduk di bangku. Ia tidak langsung menjawab, melainkan mengelap keringat di tubuhnya. Layla menatapnya, kemudian memalingkan wajah saat Arsen menoleh."Ini benar-benar sangat cocok untukmu. Kau terlihat cantik." Sebuah sentuhan tangan dingin terasa di kepala Layla. Ia mendongak dan Arsen tersenyum manis saat menyentuh ringan jepitan di kepala Layla."Ah itu..." Layla tersipu dan mengangguk pelan. "Kau sudah membeli banyak, jadi tidak mungkin aku hanya menyimpannya. Aku akan terus memakainya."Lagi, Arsen tidak men
Perpustakaan telah selesai hari ini.Layla yang sedang membersihkan dapur setelah sarapan bergegas keluar. Arsen menatapnya dengan senyum sumringah, ikut bahagia melihat betapa antusiasnya gadis itu."Kau terlihat begitu bersemangat." Arsen sengaja berkomentar dengan suara menggoda."Benarkah?" Layla menangkup pipinya dan tidak bisa menahan tawanya. "Padahal aku berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja."Arsen kontan terkekeh. "Kau tidak bisa menyembunyikannya dengan senyum lebar di wajahmu itu."Layla langsung menutup mulutnya dengan tangan, tetapi tetap saja matanya yang menyipit dengan jelas memperlihatkan rasa senangnya.Arsen kembali tertawa dan tanpa basa-basi meraih tangan Layla. "Ayo kita lihat perpustakaannya. Itu adalah hadiah untukmu, jadi aku senang jika kau menyukainya.""Kau memberiku terlalu banyak hadiah Arsen," sahut Layla. "Kemarin jepitan, dan sekarang perpustakaan ini juga selesai lebih cepat.""Sudah kubilang aku ingin membahagiakanmu, Layla," kata Arsen tanpa berp