Layla keluar dari kamar setelah mandi pagi. Suasana rumah Arsen tampak sepi, tetapi ketika ia menginjakkan kaki di lantai satu menuju ruang makan, riuh rendah percakapan keluarganya sayup-sayup terdengar.Di meja makan, ia melihat ibunya, mertuanya, nenek Arsen, Kiran, juga suaminya yang tengah menyantap sarapan.Suaminya.Kata itu masih agak asing di telinganya.Mereka telah sah menjadi suami-istri sejak kemarin, tetapi rasanya tidak ada yang berubah.Layla berjalan mendekat dengan suara pelan, tetapi ketika menginjakkan kaki di ambang pintu ruang makan, atensi semua orang langsung tertuju padanya. Mereka tersenyum manis—kecuali Arsen yang menunduk—dan Layla balas tersenyum."Ah, sudah bangun, Sayang?" Ibu mertuanya berdiri dari kursi dan menghampiri Layla dengan wajah ceria. Ia segera menuntun gadis itu menuju meja makan. "Maaf tidak membangunkanmu Nak, kami pikir kau butuh istirahat.""Tidak apa-apa, Ibu."Layla duduk di kursi dan menyapa ringan semua orang. Ibunya menyodorkan sepi
"Arsen melakukannya dengan lembut 'kan, Sayang?"Layla hampir menyemburkan tehnya keluar mendengar pertanyaan itu. Ia menatap ibu mertuanya yang tersenyum lembut, bingung harus menjawab apa. Ia tahu bahwa ibu mertuanya bertanya seperti itu semata-mata karena mengkhawatirkannya, tetapi tetap saja rasanya memalukan. Mereka bahkan tidak melakukannya.Apa yang harus ia katakan?"Jangan bertanya begitu, Arinda. Coba lihat, Layla jadi malu," sahut nenek Arsen. Layla langsung menghela napas lega. Ia menatap Layla dengan senyum penuh kasih sayang.Arinda tersenyum kecil dan mengusap punggung tangan Layla. "Aku hanya khawatir, tapi baiklah. Ibu minta maaf, kalau begitu?"Layla buru-buru menggeleng. "Ah, tidak apa-apa, Ibu.""Ya sudah, ayo habiskan tehnya, Nak."Layla mengangguk dan meraih cangkir tehnya yang masih mengepul. Sore ini, setelah membersihkan rumah, mereka bertiga memutuskan untuk minum teh di halaman belakang sembari mengobrol ringan.Rencananya, Layla berniat pulang ke rumah oran
Layla menghela napas panjang.Sepertinya ia terlalu banyak menghela napas hari ini sampai-sampai Arsen menatapnya dengan cemas. Pria itu sepertinya ingin bertanya, tetapi diurungkan melihat Layla yang memalingkan wajah.Pagi ini, mereka akan berkunjung ke perusahaan keluarga Arsen: Sergio Industri.Ibu mertuanya telah mendadaninya dengan gaya formal. Layla memakai dress yang diberikan, rambutnya diikat ke belakang, lalu wajahnya diberi riasan tipis. Ia biasanya tidak suka memakai sepatu dengan hak tinggi, tetapi hari ini ia harus memakainya.Ketika ia menatap pantulannya di cermin, hanya ada dua kata yang menggambarkan penampilannya: mewah dan berkelas.Ibunya cenderung mendandaninya dengan manis seperti kebanyakan remaja—sesuai dengan umurnya. Tetapi ibu mertuanya, dia telah mendandani Layla dengan gaya dewasa seolah ia adalah seorang istri dari politikus terkenal. Atau dekat dengan itu.Arsen adalah seorang direktur dan mungkin beginilah cara berdandan yang ibu mertuanya inginkan. M
Layla dan Olivia sama-sama terdiam di tempat, dengan tatapan terkunci satu sama lain.Ketegangan di antara mereka seperti senar biola yang digesek dengan tajam dan seolah akan putus sewaktu-waktu.Mata Olivia dengan terang-terangan meneliti penampilan Layla dari atas sampai ke bawah. Kemudian, wajahnya yang datar berubah menjadi meremehkan. Salah satu sudut bibirnya terangkat, mengejek Layla untuk sesaat sebelum dia tertawa hambar.Layla tidak mengatakan apa-apa dan hanya menatap Olivia. Wanita itu perlahan mendekat, lalu berhenti cukup dekat di hadapannya. Tinggi mereka nyaris sejajar, Layla lebih tinggi beberapa sentimeter. Olivia mendengus pelan dan menatap ke dalam iris cokelat si gadis."Siapa sangka pertemuan pertama kita harus berlangsung di toilet? Sangat tidak elegan," kata Olivia dengan suara yang sengaja dimanis-maniskan. Ia tertawa kecil dan mengibaskan rambutnya ke belakang. "Melihatmu secara langsung, ternyata kau cantik juga ya. Hanya saja tidak cocok dengan Arsen-ku."
Layla menyesap tehnya dan menatap pintu yang tertutup. Ia lalu melirik Arsen yang mengaduk-aduk tehnya tanpa minat.Ia tidak bisa berhenti memikirkan interaksi Olivia dan ibu mertuanya beberapa menit yang lalu. Ia semakin yakin kalau asumsinya memang benar. Ibu mertuanya tidak menyukai Olivia dan Arsen juga tahu hal itu. Tetapi Arsen tidak mengatakan apa-apa untuk membantah ibunya ketika Olivia disuruh keluar.Ia menduga-duga apa alasannya.Sisa hari itu berakhir dengan pembicaraan serius mengenai keuntungan perusahaan yang meningkat drastis bulan ini. Layla tidak terlalu mengerti dengan hal-hal yang berkaitan dengan bisnis, tetapi ia bisa menangkap bahwa ibu mertuanya berniat untuk memperluas cabang hingga ke luar negeri.Pada pukul empat sore, mereka akhirnya kembali ke rumah. Kaki Layla pegal bukan main, tumit dan jarinya perih karena sepatu hak tinggi yang dipakainya.Ia duduk di tepi tempat tidur dan meregangkan kakinya. Seharusnya ia langsung mandi, tetapi ia mendadak teringat d
Arsen membawa Layla untuk menjelajahi rumah sore itu. Desain rumahnya agak mirip dengan rumah orang tua Arsen, suasananya juga tenang dan asri. Ada banyak tanaman hijau yang disusun di halaman depan dan beberapa sudut rumah.Di halaman belakang, ada danau buatan dan bangku panjang untuk bersantai. Seluruh sisi rumah dikelilingi oleh tembok pembatas. Rumah ini sudah lama dibangun, sekitar setengah tahun yang lalu.Layla pikir, rumah ini mungkin Arsen buat untuk ia tempati bersama Olivia.Pria itu terlihat agak pendiam sore ini. Layla bertanya-tanya apa karena Arsen sedang memikirkan Olivia?Sesuai apa yang mereka bicarakan sebelumnya, Layla menempati lantai dua dan Arsen lantai satu.Layla merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah menempatkan beberapa pakaiannya ke dalam lemari. Tubuhnya terasa pegal, jadi ia berniat untuk berendam air hangat. Layla bangun dengan malas dan memperhatikan sekeliling kamarnya yang luas.Tempat tidurnya ditempatkan di depan jendela besar yang mengarah lang
Pukul lima pagi, Layla sudah bersiap-siap di kamarnya.Arsen memberitahu bahwa pesawat yang ditumpangi ibunya akan lepas landas pukul 7 tepat, jadi ia memilih untuk bersiap lebih awal. Layla memasang sweater, lalu memberi riasan pada wajahnya.Helaan napas berat berembus dari mulutnya. Ia merasa agak pusing. Jemarinya memijat-mijat sisi kepalanya yang berkedut nyeri. Rasanya, bagian belakang kepalanya baru saja dipukul dengan batu keras dan sakitnya terus bercokol di sana.Ketika ia bangun pukul setengah lima tadi, ia hampir jatuh dari tempat tidur karena pusing yang mendera. Ia berjalan susah payah ke kamar mandi sambil bertopang pada tembok, lalu menyiram kepalanya dengan air dingin. Setelah beberapa saat, sakitnya sudah agak berkurang.Layla menatap pantulannya di cermin dan menambahkan sedikit perona di kedua pipinya. Wajahnya agak pucat, jadi menambahkan perona pipi akan sedikit menyamarkannya. Ia hanya tidak ingin membuat Arsen bertanya mengenai kondisinya, ia tahu bahwa pria it
Setelah mengantar kepergian ibu mertuanya, nenek, dan Kiran, Arsen langsung mengantar Layla ke supermarket untuk berbelanja. Arsen berniat untuk menemani, tetapi Layla menolak. Pria itu sudah terlambat untuk pergi ke kantor dan menemaninya berbelanja akan membuatnya semakin terlambat.Untungnya, Arsen mengikuti permintaannya dan segera berangkat ke kantor.Layla hanya tidak ingin merepotkan Arsen, lalu membuat pekerjaan pria itu bertambah. Dia sudah cukup pusing dan lelah dengan pekerjaan kantor, jadi Layla tidak ingin menambah masalahnya.Layla mengambil keranjang belanjaan dan melangkah ke dalam supermarket yang tidak terlalu ramai. Ia berhenti sejenak untuk memijat kepalanya yang kembali berdenyut sakit. Dalam perjalanan ke sini, Arsen lagi-lagi bertanya mengenai kondisinya.Memangnya sekentara itu, ya?Layla menatap pantulannya di dinding kaca supermarket. Ia terkejut mendapati wajahnya begitu pucat, perona pipi rupanya tidak cukup untuk menutupinya. Pantas saja Arsen terlihat kha
Bermain api? Sejak kapan tepatnya?Arsen termangu di tempat, mencoba memikirkan kembali segala hal yang telah Kiran katakan padanya. Bahkan perkataan Layla tentang teman laki-laki Olivia kembali terngiang. Suara-suara aneh yang terdengar saat ia menelepon Olivia... semuanya muncul dalam kepalanya. Membentuk sebuah alur yang saling berhubungan.Apa yang selama ini telah Olivia lakukan ketika tidak bersamanya?Seharusnya Arsen merasa cemburu atau kecewa, tetapi hanya ada perasaan marah yang tertinggal di dadanya. Seolah-olah ia hanya marah karena merasa Olivia telah menipunya, dan bukan karena hubungan keduanya sebagai sepasang kekasih. Arsen bertanya-tanya kenapa ia tidak merasa sedih atau pun terpukul.Rasa cinta itu telah menghilang... atau memang tidak pernah ada?Arsen menghela napas dan meraih map yang Marlon berikan. Itu adalah beberapa foto Olivia yang tengah berada di bar, keluar dari bar, dan dijemput oleh seorang pria yang memakai topi. Wajahnya tidak terlihat di bawah cahaya
“Pelan-pelan saja,” kata Layla, menuntun Arsen untuk berjalan ke kamar. Dokter telah memperbolehkannya untuk pulang, dengan syarat Arsen harus rutin meminum obatnya. Kepalanya tidak lagi berdenyut nyeri, tetapi kakinya masih terasa sakit saat dipakai berjalan. Arsen setidaknya harus berjinjit-jinjit selama tiga hari sampai kakinya bisa ditekan ke lantai. “Pelan-pelan, jangan biarkan kakimu terlipat.” Layla kembali memberi instruksi, dengan hati-hati membantu Arsen untuk duduk di tepi tempat tidur. Layla membungkuk untuk melepaskan lingkaran lengan Arsen di bahunya dan puncak hidung mereka tidak sengaja bertemu. Tatapan mata Arsen terpaku padanya, begitu intens hingga membuat perut Layla bergejolak. Ia menelan ludah dan menjauhkan diri, mendadak merasa gugup. “Apa kau ingin buah potong?” tanya Layla, mengucapkan apa pun yang ada di otaknya. “Kau seharusnya beristirahat, Layla,” ucap Arsen, nada suaranya terdengar khawatir. Tatapannya kini terpaku pada lantai. “Tidak apa-apa. A
"Arsen?! Arsen, sadarlah!"Layla mengguncang keras bahu Arsen dan terdengar erangan kesakitan. Mata Arsen perlahan terbuka, tangannya menyentuh sisi kepalanya yang sempat terbentur. Ia kembali mengerang, merasakan denyutan menyakitkan ketika mencoba bergerak."Apa kepalamu sakit? Apa kau bisa mendengarku?" Layla bertanya dengan panik, ketakutan menjalari tubuhnya. Setelah mobil menghantam pohon, Arsen sempat kehilangan kesadaran. Layla telah mencoba beberapa kali sampai akhirnya Arsen membuka mata. "Aku—aku telah menelepon ambulans. Tolong bertahanlah, Arsen."Alih-alih menjawab, Arsen yang baru menyadari situasi dengan cepat menatap Layla. Gerakan itu membuat kepalanya berdenyut sakit, pamdangannya kabur, dan erangan kesakitan kembali lolos dari bibirnya. Tetapi mengabaikan hal itu, Arsen lebih mengkhawatirkan kondisi Layla. "Apa kau baik-baik saja, Layla? Apa ada yang terluka?" Matanya memindai tubuh sang istri dari atas sampai ke bawah."Tidak, aku tidak apa-apa. Justru kau yang bu
Arsen akan pulang malam ini.Layla tersenyum sambil menentang belanjaannya di kedua tangan. Ia baru saja membeli bahan kue di toko dan berniat untuk membuat kue sebelum Arsen tiba di rumah.Katanya, dia akan tiba sekitar jam sembilan malam.Sinar matahari sore menerpa wajah Layla ketika melangkah ke beranda toko. Gerimis ringan membasahi tanah, dan sepertinya akan berubah menjadi hujan deras.Layla terdiam dan menimbang-nimbang untuk langsung memesan taksi atau singgah di toko buah di seberang jalan. Saat ia tengah berpikir, ponselnya mendadak berdering.Arsen.Layla segera mengangkatnya. "Halo, Arsen?""Layla, kau di mana?"Apakah Arsen sudah tiba di rumah? "Aku—di toko bahan kue. Apa kau sudah sampai?""Ya, aku baru saja sampai dan terkejut karena rumah kosong."Layla tercengang. Ini baru jam enam sore, ia kira Arsen akan tiba pukul sembilan nanti. "Aku tidak tahu, aku minta maaf. Aku kira kau akan tiba malam nanti?""Iya tadinya, tapi penerbangannya tidak ditunda lagi, jadi aku bis
Bulan di balik jendela bersinar terang. Tidak seperti biasanya, malam ini cerah tanpa hujan deras yang mengguyur.Memasuki puncak musim hujan, hari-hari Layla selalu ditemani oleh langit mendung, awan hitam yang menggantung, angin kencang, aroma petrikor dan tanah yang basah, juga air hujan yang mengetuk atap.Musim hujan adalah defenisi dari pernikahannya. Tetapi bukan berarti ia berharap musim panas menjadi awal pertemuannya dengan suaminya.Ia sudah menerima apa yang terjadi dan akan bersabar menghadapinya. Seperti kata ibunya, inilah takdirnya.Layla menarik guling dan berbaring miring menatap pemandangan halaman belakang. Di lantai dua kamarnya, ia membayangkan pohon angsana juga kolam yang tenang di rumahnya.Sekarang sudah hampir tengah malam. Layla bertanya-tanya, apa Arsen sudah tidur? Dia telah sampai dengan selamat bersama ayahnya dan berjanji akan menelepon.Layla menunggunya sejak makan malam, tetapi ia pikir Arsen pasti kelelahan. Ia tidak ingin mengusik pria itu, jadi La
"Terima kasih, Pak. Nanti jemput saya lagi hari Jumat sore, ya.""Baik, Nona."Layla mengangkat tas berisi beberapa pakaiannya dan menyeberangi jalan. Ditatapnya rumah orang tuanya, kemudian senyumnya mengembang.Rasanya sudah lama sejak ia terakhir kali bertemu ibunya secara langsung. Mereka sering bertukar kabar lewat telepon, tetapi sulit untuk bertemu karena jarak yang jauh. Sekarang, ia memilih untuk menemani ibunya selama Arsen dan ayahnya pergi.Layla melangkah melewati pagar ketika ibunya muncul dengan tergopoh-gopoh. "Padahal Ibu berniat menjemputmu, Sayang.""Tapi aku sudah di sini, Ibu. Apa aku harus kembali lagi ke rumah?" kata Layla bercanda dan keduanya tertawa.Melissa menarik satu-satunya anak perempuannya itu ke dalam dekapan, lalu memeluknya erat-erat. Melepaskan kerinduan setelah sekian lama tak bertemu."Bagaimana kabar, Ibu?" Layla membenamkan wajahnya di pundak ibunya."Ibu baik, Sayang. Malah sangat baik setelah ayahmu mendapat proyek dari Nak Arsen. Ibu sangat s
Arsen melangkah cepat menaiki tangga menuju apartemen Olivia. Ia masih memiliki waktu setengah jam sebelum ke bandara dan berniat menemui wanita itu sebentar. Olivia tidak menjawab pesannya dan ia khawatir ada sesuatu yang terjadi.Tetapi begitu tiba di puncak tangga, langkah Arsen sontak terhenti ketika melihat sosok asing di pintu apartemen Olivia. Pria itu memakai topi dan masker, posisinya membelakangi Arsen dan dia tampak membungkuk ke arah Olivia.Apa yang sedang dia lakukan?"Olivia?" panggil Arsen dan pria itu langsung berbalik dengan terkejut.Wajah Olivia bahkan terlihat lebih syok sebelum dia bisa mengontrol ekspresinya. Arsen sempat melihat matanya yang terbuka lebar. Kenapa Olivia begitu terkejut?Olivia mendorong Bryan untuk mundur tatkala Arsen mendekat dengan kening berkerut. Ia berusaha untuk berekspresi senormal mungkin.Sial, kenapa Arsen tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan?"Ah, Arsen... aku kira, bukankah kau sudah harus berangkat ke bandara?""Aku ingin menemuim
Layla meletakkan air minum dan handuk saat Arsen melangkah mendekat. Keringat bercucuran di dahi, leher, dan bahu Arsen, membuat bagian atas kaos yang dipakainya basah.Melihat Arsen yang masih memakai sarung tinju, Layla mengulurkan tangannya dan membantu. Pria itu terus menatapnya dengan mata hitamnya yang dalam, sampai ia meletakkan dua sarung tinju itu di atas meja."Ke-kenapa?" tanya Layla, ingin tahu kenapa tatapan Arsen terus terpaku padanya.Arsen tersenyum tipis dan duduk di bangku. Ia tidak langsung menjawab, melainkan mengelap keringat di tubuhnya. Layla menatapnya, kemudian memalingkan wajah saat Arsen menoleh."Ini benar-benar sangat cocok untukmu. Kau terlihat cantik." Sebuah sentuhan tangan dingin terasa di kepala Layla. Ia mendongak dan Arsen tersenyum manis saat menyentuh ringan jepitan di kepala Layla."Ah itu..." Layla tersipu dan mengangguk pelan. "Kau sudah membeli banyak, jadi tidak mungkin aku hanya menyimpannya. Aku akan terus memakainya."Lagi, Arsen tidak men
Perpustakaan telah selesai hari ini.Layla yang sedang membersihkan dapur setelah sarapan bergegas keluar. Arsen menatapnya dengan senyum sumringah, ikut bahagia melihat betapa antusiasnya gadis itu."Kau terlihat begitu bersemangat." Arsen sengaja berkomentar dengan suara menggoda."Benarkah?" Layla menangkup pipinya dan tidak bisa menahan tawanya. "Padahal aku berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja."Arsen kontan terkekeh. "Kau tidak bisa menyembunyikannya dengan senyum lebar di wajahmu itu."Layla langsung menutup mulutnya dengan tangan, tetapi tetap saja matanya yang menyipit dengan jelas memperlihatkan rasa senangnya.Arsen kembali tertawa dan tanpa basa-basi meraih tangan Layla. "Ayo kita lihat perpustakaannya. Itu adalah hadiah untukmu, jadi aku senang jika kau menyukainya.""Kau memberiku terlalu banyak hadiah Arsen," sahut Layla. "Kemarin jepitan, dan sekarang perpustakaan ini juga selesai lebih cepat.""Sudah kubilang aku ingin membahagiakanmu, Layla," kata Arsen tanpa berp