Pukul lima pagi, Layla sudah bersiap-siap di kamarnya.Arsen memberitahu bahwa pesawat yang ditumpangi ibunya akan lepas landas pukul 7 tepat, jadi ia memilih untuk bersiap lebih awal. Layla memasang sweater, lalu memberi riasan pada wajahnya.Helaan napas berat berembus dari mulutnya. Ia merasa agak pusing. Jemarinya memijat-mijat sisi kepalanya yang berkedut nyeri. Rasanya, bagian belakang kepalanya baru saja dipukul dengan batu keras dan sakitnya terus bercokol di sana.Ketika ia bangun pukul setengah lima tadi, ia hampir jatuh dari tempat tidur karena pusing yang mendera. Ia berjalan susah payah ke kamar mandi sambil bertopang pada tembok, lalu menyiram kepalanya dengan air dingin. Setelah beberapa saat, sakitnya sudah agak berkurang.Layla menatap pantulannya di cermin dan menambahkan sedikit perona di kedua pipinya. Wajahnya agak pucat, jadi menambahkan perona pipi akan sedikit menyamarkannya. Ia hanya tidak ingin membuat Arsen bertanya mengenai kondisinya, ia tahu bahwa pria it
Setelah mengantar kepergian ibu mertuanya, nenek, dan Kiran, Arsen langsung mengantar Layla ke supermarket untuk berbelanja. Arsen berniat untuk menemani, tetapi Layla menolak. Pria itu sudah terlambat untuk pergi ke kantor dan menemaninya berbelanja akan membuatnya semakin terlambat.Untungnya, Arsen mengikuti permintaannya dan segera berangkat ke kantor.Layla hanya tidak ingin merepotkan Arsen, lalu membuat pekerjaan pria itu bertambah. Dia sudah cukup pusing dan lelah dengan pekerjaan kantor, jadi Layla tidak ingin menambah masalahnya.Layla mengambil keranjang belanjaan dan melangkah ke dalam supermarket yang tidak terlalu ramai. Ia berhenti sejenak untuk memijat kepalanya yang kembali berdenyut sakit. Dalam perjalanan ke sini, Arsen lagi-lagi bertanya mengenai kondisinya.Memangnya sekentara itu, ya?Layla menatap pantulannya di dinding kaca supermarket. Ia terkejut mendapati wajahnya begitu pucat, perona pipi rupanya tidak cukup untuk menutupinya. Pantas saja Arsen terlihat kha
"Halo Arsen?""Layla?""Ya?""Ada apa dengan suaramu?"Suaranya? Apakah kentara?Layla menjauhkan ponselnya sejenak dan berdehem. Suaranya agak parau, tetapi Layla sudah berusaha keras untuk terdengar normal. Ia tidak ingin Arsen tahu mengenai kondisinya."Hanya kurang minum," kata Layla, berbohong. Ia merasa bersalah melakukannya, tetapi mau bagaimana lagi."Apa kau baik-baik saja di sana?" Tanya Arsen, suaranya dipenuhi kekhawatiran."Aku baik, jangan khawatir," ucap Layla cepat. "Kau bilang ingin keluar kota sore ini, bukan? Apa yang terjadi?" Tanyanya, mencoba mengalihkan topik."Ada masalah di kantor dan butuh penanganan segera," jelas Arsen, suaranya agak nyaring. Sayup-sayup, terdengar pengumuman keberangkatan pesawat dan hiruk-pikuk dari aktivitas yang ramai. Sepertinya, Arsen telah berada di bandara.Pria itu melanjutkan, "Aku minta maaf, tapi apa tidak apa-apa kau tinggal di sana sendirian? Aku harus pergi selama tiga hari.""Tidak apa-apa," sahut Layla. Ia sudah terbiasa se
"Sudah bangun?"Suara Arsen menyapa pendengaran Layla ketika membuka mata. Ia menoleh ke samping, menemukan pria itu tengah duduk di tepi tempat tidur.Layla memperhatikan penampilan Arsen, menyadari bahwa suaminya sama sekali belum berganti baju. Kemeja yang dipakainya tampak kusut, dan wajah pria itu terlihat sangat lelah.Ia bertanya-tanya apa Arsen tidur di sini semalaman? Dia terlihat tidak tidur dengan baik."Ayo, sarapan dulu," ucap Arsen. Ia membantu Layla untuk duduk, lalu mengambil mangkuk sup di atas nakas. Aromanya yang menggiurkan memenuhi penciuman Layla.Mendadak perutnya berbunyi keras.Arsen yang hendak mengambil sendok langsung berhenti. Keduanya saling menatap, kemudian Arsen tertawa kecil. Wajahnya tidak terlihat meledek. Malahan, Arsen terlihat gemas.Layla memalingkan wajah dengan pipi memerah. Malu sekali. Namun, apakah ia bahkan bisa merasa malu lagi? Arsen telah melihat segala tingkah memalukan dan kecerobohannya. Dibanding yang lain, apa yang terjadi sekarang
"Ck, ada apa sih dengan Arsen?"Olivia berdecak kesal untuk kesekian kalinya hari ini. Ia mendorong ponselnya dengan kasar ke atas meja, lalu menyandarkan kepalanya ke kursi. Matanya menatap bosan jalanan yang dipadati oleh kendaraan roda empat.Sudah berjam-jam berlalu sejak Olivia berusaha menghubungi Arsen agar datang menemuinya, tetapi pria itu seolah mengabaikan pesannya. Ia penasaran apa Arsen sedang sibuk menghabiskan waktunya dengan gadis sok polos itu, atau dia memiliki acara bersama keluarganya lagi?Keluarga Arsen sejujurnya sangat memuakkan dan menyebalkan.Tidak ibunya, tidak neneknya, tidak adiknya, semuanya sangat menjengkelkan. Olivia mendengus ketika mengingat kejadian di kantor. Ibu Arsen dengan angkuhnya mengusirnya keluar di depan Layla.Sialan.Ia tidak mengerti kenapa ibu Arsen tidak menyukainya. Tidak pernah sekalipun wanita itu menyambutnya dengan hangat. Ia selalu berusaha tampil sempurna di depan wanita itu, tetapi tetap saja sikapnya tidak pernah berubah.Ke
Arsen sebenarnya tidak ingin berangkat ke kantor pagi ini, mengingat kondisi Layla yang masih sakit. Akan tetapi, ada hal mendesak yang harus ia urus mengenai masalah keuangan perusahaan. Ia harus menyelesaikannya sekarang juga dan berharap bisa kembali ke rumah secepat yang ia bisa.Layla mengatakan bahwa kondisinya sudah membaik, tetapi tetap saja Arsen merasa khawatir. Sejak menemukan gadis itu terjatuh di dapur, Arsen tidak bisa berhenti memikirkannya. Mungkin Layla berpikir bahwa dengan berbohong, maka ia tidak akan merepotkan Arsen. Nyatanya, Arsen justru merasa sangat bersalah.Layla adalah istrinya. Tanggung jawabnya.Orang tuanya telah mempercayakan Arsen agar menjaga Layla, tetapi baru beberapa hari setelah pernikahan, ia sudah melalaikan tugasnya.Bahkan jika pernikahan ini hanya berjalan sampai setahun, dan mereka tidak melibatkan perasaan apa pun, ia akan selalu menjaga Layla.Rasanya ada sesuatu yang terjalin di antara keduanya.Arsen tidak mengerti, tetapi setiap kali i
Pagi-pagi sekali, Layla telah bersiap dan pergi ke dapur untuk memasak. Ia berniat untuk membuatkan Arsen bekal makan siang, jika pria itu tidak keberatan. Ia tidak tahu apa Arsen selalu membawa bekal. Tetapi, jika Arsen tidak mau, maka Layla akan memakannya sendiri.Sebenarnya, makanan itu adalah bentuk rasa terima kasihnya, sebab Arsen sudah merawatnya ketika ia sakit.Makan malam yang ia siapkan semalam juga sama. Ia senang karena Arsen menyukai masakannya dan menghabiskan semuanya. Pria itu bahkan kembali membeli kue untuknya. Itu sudah terjadi dua kali. Ia jadi menduga-duga apa Arsen akan terus membelikan sesuatu untuknya?'Jangan berharap'.Kalimat itu seketika melintas di kepala Layla. Benar, jangan pernah berharap. Ia mungkin akan kecewa dan kembali menyalahkan dirinya sendiri.Biarkan semuanya mengalir seperti air sungai dan terimalah apa yang terjadi. Biarkan takdir mengatur segalanya, ia hanya perlu menjalaninya. Meskipun, perpisahan tetap saja terasa menyakitkan.Layla men
Mungkin Layla bisa mengunjungi orang tuanya sesekali.Tetapi, Layla takut pertahanannya runtuh ketika ia bertemu dengan ibunya. Ia tidak ingin ibunya melihat sedikit pun kesedihan di wajahnya. Setidaknya, walaupun ini hanya setahun, ia ingin ibunya merasa bahagia.Layla merogoh ponselnya di saku dan menimbang-nimbang untuk menghubungi ibunya. Ia menekan nomornya dan ragu-ragu menempelkan ponselnya ke telinga. Telepon diangkat pada dering kedua. Ketika suara sapaan ibunya terdengar, Layla rasanya ingin menangis."Layla, Nak.""Ibu.""Bagaimana kabarmu, Sayang?""Aku baik, sangat baik, Ibu," jawab Layla. "Bagaimana kabar Ibu dan ayah?""Ibu baik, ayahmu juga. Kami mulai sibuk mengurus masalah perusahaan, syukurlah sudah membaik berkat suamimu dan Arinda," jelas ibunya dengan suara yang bahagia. Layla yakin ibunya tengah tersenyum di seberang sana. "Arsen banyak membantu, Nak. Dia datang ke perusahaan beberapa hari yang lalu."Layla mengernyit. "Benarkah?""Iya, katanya dia mungkin harus
Bermain api? Sejak kapan tepatnya?Arsen termangu di tempat, mencoba memikirkan kembali segala hal yang telah Kiran katakan padanya. Bahkan perkataan Layla tentang teman laki-laki Olivia kembali terngiang. Suara-suara aneh yang terdengar saat ia menelepon Olivia... semuanya muncul dalam kepalanya. Membentuk sebuah alur yang saling berhubungan.Apa yang selama ini telah Olivia lakukan ketika tidak bersamanya?Seharusnya Arsen merasa cemburu atau kecewa, tetapi hanya ada perasaan marah yang tertinggal di dadanya. Seolah-olah ia hanya marah karena merasa Olivia telah menipunya, dan bukan karena hubungan keduanya sebagai sepasang kekasih. Arsen bertanya-tanya kenapa ia tidak merasa sedih atau pun terpukul.Rasa cinta itu telah menghilang... atau memang tidak pernah ada?Arsen menghela napas dan meraih map yang Marlon berikan. Itu adalah beberapa foto Olivia yang tengah berada di bar, keluar dari bar, dan dijemput oleh seorang pria yang memakai topi. Wajahnya tidak terlihat di bawah cahaya
“Pelan-pelan saja,” kata Layla, menuntun Arsen untuk berjalan ke kamar. Dokter telah memperbolehkannya untuk pulang, dengan syarat Arsen harus rutin meminum obatnya. Kepalanya tidak lagi berdenyut nyeri, tetapi kakinya masih terasa sakit saat dipakai berjalan. Arsen setidaknya harus berjinjit-jinjit selama tiga hari sampai kakinya bisa ditekan ke lantai. “Pelan-pelan, jangan biarkan kakimu terlipat.” Layla kembali memberi instruksi, dengan hati-hati membantu Arsen untuk duduk di tepi tempat tidur. Layla membungkuk untuk melepaskan lingkaran lengan Arsen di bahunya dan puncak hidung mereka tidak sengaja bertemu. Tatapan mata Arsen terpaku padanya, begitu intens hingga membuat perut Layla bergejolak. Ia menelan ludah dan menjauhkan diri, mendadak merasa gugup. “Apa kau ingin buah potong?” tanya Layla, mengucapkan apa pun yang ada di otaknya. “Kau seharusnya beristirahat, Layla,” ucap Arsen, nada suaranya terdengar khawatir. Tatapannya kini terpaku pada lantai. “Tidak apa-apa. A
"Arsen?! Arsen, sadarlah!"Layla mengguncang keras bahu Arsen dan terdengar erangan kesakitan. Mata Arsen perlahan terbuka, tangannya menyentuh sisi kepalanya yang sempat terbentur. Ia kembali mengerang, merasakan denyutan menyakitkan ketika mencoba bergerak."Apa kepalamu sakit? Apa kau bisa mendengarku?" Layla bertanya dengan panik, ketakutan menjalari tubuhnya. Setelah mobil menghantam pohon, Arsen sempat kehilangan kesadaran. Layla telah mencoba beberapa kali sampai akhirnya Arsen membuka mata. "Aku—aku telah menelepon ambulans. Tolong bertahanlah, Arsen."Alih-alih menjawab, Arsen yang baru menyadari situasi dengan cepat menatap Layla. Gerakan itu membuat kepalanya berdenyut sakit, pamdangannya kabur, dan erangan kesakitan kembali lolos dari bibirnya. Tetapi mengabaikan hal itu, Arsen lebih mengkhawatirkan kondisi Layla. "Apa kau baik-baik saja, Layla? Apa ada yang terluka?" Matanya memindai tubuh sang istri dari atas sampai ke bawah."Tidak, aku tidak apa-apa. Justru kau yang bu
Arsen akan pulang malam ini.Layla tersenyum sambil menentang belanjaannya di kedua tangan. Ia baru saja membeli bahan kue di toko dan berniat untuk membuat kue sebelum Arsen tiba di rumah.Katanya, dia akan tiba sekitar jam sembilan malam.Sinar matahari sore menerpa wajah Layla ketika melangkah ke beranda toko. Gerimis ringan membasahi tanah, dan sepertinya akan berubah menjadi hujan deras.Layla terdiam dan menimbang-nimbang untuk langsung memesan taksi atau singgah di toko buah di seberang jalan. Saat ia tengah berpikir, ponselnya mendadak berdering.Arsen.Layla segera mengangkatnya. "Halo, Arsen?""Layla, kau di mana?"Apakah Arsen sudah tiba di rumah? "Aku—di toko bahan kue. Apa kau sudah sampai?""Ya, aku baru saja sampai dan terkejut karena rumah kosong."Layla tercengang. Ini baru jam enam sore, ia kira Arsen akan tiba pukul sembilan nanti. "Aku tidak tahu, aku minta maaf. Aku kira kau akan tiba malam nanti?""Iya tadinya, tapi penerbangannya tidak ditunda lagi, jadi aku bis
Bulan di balik jendela bersinar terang. Tidak seperti biasanya, malam ini cerah tanpa hujan deras yang mengguyur.Memasuki puncak musim hujan, hari-hari Layla selalu ditemani oleh langit mendung, awan hitam yang menggantung, angin kencang, aroma petrikor dan tanah yang basah, juga air hujan yang mengetuk atap.Musim hujan adalah defenisi dari pernikahannya. Tetapi bukan berarti ia berharap musim panas menjadi awal pertemuannya dengan suaminya.Ia sudah menerima apa yang terjadi dan akan bersabar menghadapinya. Seperti kata ibunya, inilah takdirnya.Layla menarik guling dan berbaring miring menatap pemandangan halaman belakang. Di lantai dua kamarnya, ia membayangkan pohon angsana juga kolam yang tenang di rumahnya.Sekarang sudah hampir tengah malam. Layla bertanya-tanya, apa Arsen sudah tidur? Dia telah sampai dengan selamat bersama ayahnya dan berjanji akan menelepon.Layla menunggunya sejak makan malam, tetapi ia pikir Arsen pasti kelelahan. Ia tidak ingin mengusik pria itu, jadi La
"Terima kasih, Pak. Nanti jemput saya lagi hari Jumat sore, ya.""Baik, Nona."Layla mengangkat tas berisi beberapa pakaiannya dan menyeberangi jalan. Ditatapnya rumah orang tuanya, kemudian senyumnya mengembang.Rasanya sudah lama sejak ia terakhir kali bertemu ibunya secara langsung. Mereka sering bertukar kabar lewat telepon, tetapi sulit untuk bertemu karena jarak yang jauh. Sekarang, ia memilih untuk menemani ibunya selama Arsen dan ayahnya pergi.Layla melangkah melewati pagar ketika ibunya muncul dengan tergopoh-gopoh. "Padahal Ibu berniat menjemputmu, Sayang.""Tapi aku sudah di sini, Ibu. Apa aku harus kembali lagi ke rumah?" kata Layla bercanda dan keduanya tertawa.Melissa menarik satu-satunya anak perempuannya itu ke dalam dekapan, lalu memeluknya erat-erat. Melepaskan kerinduan setelah sekian lama tak bertemu."Bagaimana kabar, Ibu?" Layla membenamkan wajahnya di pundak ibunya."Ibu baik, Sayang. Malah sangat baik setelah ayahmu mendapat proyek dari Nak Arsen. Ibu sangat s
Arsen melangkah cepat menaiki tangga menuju apartemen Olivia. Ia masih memiliki waktu setengah jam sebelum ke bandara dan berniat menemui wanita itu sebentar. Olivia tidak menjawab pesannya dan ia khawatir ada sesuatu yang terjadi.Tetapi begitu tiba di puncak tangga, langkah Arsen sontak terhenti ketika melihat sosok asing di pintu apartemen Olivia. Pria itu memakai topi dan masker, posisinya membelakangi Arsen dan dia tampak membungkuk ke arah Olivia.Apa yang sedang dia lakukan?"Olivia?" panggil Arsen dan pria itu langsung berbalik dengan terkejut.Wajah Olivia bahkan terlihat lebih syok sebelum dia bisa mengontrol ekspresinya. Arsen sempat melihat matanya yang terbuka lebar. Kenapa Olivia begitu terkejut?Olivia mendorong Bryan untuk mundur tatkala Arsen mendekat dengan kening berkerut. Ia berusaha untuk berekspresi senormal mungkin.Sial, kenapa Arsen tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan?"Ah, Arsen... aku kira, bukankah kau sudah harus berangkat ke bandara?""Aku ingin menemuim
Layla meletakkan air minum dan handuk saat Arsen melangkah mendekat. Keringat bercucuran di dahi, leher, dan bahu Arsen, membuat bagian atas kaos yang dipakainya basah.Melihat Arsen yang masih memakai sarung tinju, Layla mengulurkan tangannya dan membantu. Pria itu terus menatapnya dengan mata hitamnya yang dalam, sampai ia meletakkan dua sarung tinju itu di atas meja."Ke-kenapa?" tanya Layla, ingin tahu kenapa tatapan Arsen terus terpaku padanya.Arsen tersenyum tipis dan duduk di bangku. Ia tidak langsung menjawab, melainkan mengelap keringat di tubuhnya. Layla menatapnya, kemudian memalingkan wajah saat Arsen menoleh."Ini benar-benar sangat cocok untukmu. Kau terlihat cantik." Sebuah sentuhan tangan dingin terasa di kepala Layla. Ia mendongak dan Arsen tersenyum manis saat menyentuh ringan jepitan di kepala Layla."Ah itu..." Layla tersipu dan mengangguk pelan. "Kau sudah membeli banyak, jadi tidak mungkin aku hanya menyimpannya. Aku akan terus memakainya."Lagi, Arsen tidak men
Perpustakaan telah selesai hari ini.Layla yang sedang membersihkan dapur setelah sarapan bergegas keluar. Arsen menatapnya dengan senyum sumringah, ikut bahagia melihat betapa antusiasnya gadis itu."Kau terlihat begitu bersemangat." Arsen sengaja berkomentar dengan suara menggoda."Benarkah?" Layla menangkup pipinya dan tidak bisa menahan tawanya. "Padahal aku berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja."Arsen kontan terkekeh. "Kau tidak bisa menyembunyikannya dengan senyum lebar di wajahmu itu."Layla langsung menutup mulutnya dengan tangan, tetapi tetap saja matanya yang menyipit dengan jelas memperlihatkan rasa senangnya.Arsen kembali tertawa dan tanpa basa-basi meraih tangan Layla. "Ayo kita lihat perpustakaannya. Itu adalah hadiah untukmu, jadi aku senang jika kau menyukainya.""Kau memberiku terlalu banyak hadiah Arsen," sahut Layla. "Kemarin jepitan, dan sekarang perpustakaan ini juga selesai lebih cepat.""Sudah kubilang aku ingin membahagiakanmu, Layla," kata Arsen tanpa berp