Layla tidak tahu apa semalam itu hanya mimpi atau kenyataan, tetapi melihat Arsen yang tidak mengatakan apa-apa pagi ini, sepertinya itu hanya mimpi. Barangkali, Layla terlalu memikirkan kepulangan pria itu, sampai ia memimpikannya.Layla menyiapkan sarapan di meja makan dan menatap lorong kamar Arsen, menunggu kedatangan pria itu. Ia hanya membuat sarapan sederhana—pancake—karena Arsen tidak makan banyak di pagi hari. Untuk bekalnya, ia membuatkan salad ayam dan tumis brokoli dan jamur. Ia harap Arsen menyukainya. Lalu malam nanti, ia berniat untuk membuat pasta.Ia selalu berusaha untuk melakukan tugasnya dengan baik sebagai seorang ... istri.Layla mengatur pancake di atas piring ketika Arsen akhirnya muncul. Dia tidak memakai dasinya, tetapi malah menyampirkannya di bahunya. Ragu-ragu, pria itu menatap Layla dan gadis itu langsung mengerti.Sepertinya, hal ini akan menjadi kebiasaan.Layla sebenarnya tidak keberatan, hanya saja ketika ia memasang dasi dan Arsen menatapnya, degup j
Layla duduk di ruang tamu setelah membuat pasta. Arsen tidak mengatakan apa-apa tentang lembur, jadi ia berasumsi pria itu akan pulang cepat. Mungkin satu jam dari jam pulang kerja—pukul tujuh, atau mungkin sedikit lebih lama mengingat dia suka bekerja.Layla akan menunggu sampai jam sepuluh untuk makan malam bersama. Ia tidak terlalu berselera makan sendiri, jadi ia memutuskan untuk menunggu Arsen. Tetapi jika sudah lewat jam sepuluh, ia terpaksa akan makan sendiri dan menelepon Arsen untuk menanyakan kepulangannya.Layla mengira bahwa Arsen mungkin juga lebih suka menghabiskan waktunya di kantor, sebab Olivia ada di sana. Ia tahu bahwa Arsen selalu bersikap profesional dalam bekerja, tetapi tetap saja keberadaan sang kekasih pasti akan membuat pria itu lebih bersemangat.Ia meremat jarinya dan menggeleng pelan. Jika ia membiarkan otaknya untuk memikirkan hal itu terus-menerus, ia hanya akan merasa sedih. Dan itu tidak ada gunanya. Akan lebih baik jika ia melakukan hal-hal yang lebih
Pantai telah dipenuhi lautan manusia ketika Arsen dan Layla tiba. Festivalnya dimulai jam enam sore, tetapi para pengunjung katanya sudah berdatangan sejak pukul empat. Sekarang sudah hampir pukul sembilan, sementara peluncuran kembang apinya akan dimulai sebentar lagi.Para pengunjung kebanyakan berkumpul di tepi pantai, duduk berlesehan menggunakan alas piknik yang dibentangkan di atas pasir. Beberapa orang terlihat bermain di tepi laut, bertelanjang kaki dan merasakan gulungan ombak membilas kulit mereka. Ada musik jazz yang diputar dengan volume yang menenangkan di telinga.Stand-stand makanan berjejer di sisi kiri pantai, dikerumuni oleh banyak pengunjung yang antri untuk membeli. Layla tersenyum menatap kumpulan anak-anak yang berlari-lari kecil sambil memainkan lampu led yang berkerlap-kerlip."Apa kau ingin membeli makanan dulu? Atau minuman?" Arsen bertanya seraya menuntun Layla untuk menyeberangi jalan menuju pantai.Keduanya sudah sepakat untuk tidak menonton festival sam
"Oh, kembang apinya akan segera dinyalakan."Para pengunjung mulai bersorak heboh ketika kembang api akan segera diluncurkan. Mereka berbondong-bondong ke pangggung di dekat stand makanan, tempat di mana kembang apinya akan dinyalakan.Suasana pantai yang tadinya tenang oleh musik ballad, kini menjadi riuh karena antusiasme dari pengunjung festival. Mereka seperti semut yang datang bergerombol dan berkerumun pada makanan manis."Ayo cari tempat yang bagus untuk melihat kembang apinya." Arsen tanpa basa-basi meraih tangan Layla untuk digenggam. Ia menatap kerumunan orang di dekat panggung, lalu sisi kanan pantai yang agak sepi."Mm, kau ingin di mana?" Layla bertanya dengan bingung.Ia sebenarnya ingin meminta pada Arsen agar mereka pergi ke tempat yang lebih sepi saja, tetapi bagaimana kalau Arsen ingin bergabung dengan para pengunjung di panggung?Ia tidak mau Arsen mengalah dan memilih menuruti keinginannya. Ia tahu benar itulah yang akan Arsen lakukan jika ia mengatakannya.Layla t
"Kalian datang?" Kata Arsen, tercengang. Ia meneliti wajah sang nenek dan Kiran yang tampak lelah. "Kenapa tidak menelepon? Kami akan langsung pulang jika tahu kalian akan datang."Nenek menggeleng. "Tidak apa-apa, kami juga belum lama tiba di sini, Nak. Saat penjaga gerbang bilang kalau kalian sedang keluar, Kiran memberitahu tentang festival dekat pusat kota dan mungkin kalian pergi ke sana. Jadi, kami tidak ingin mengganggu, benar 'kan?" Nenek tersenyum menatap Kiran yang langsung mengangguk-angguk."Kami memang pergi ke festival tapi—""Hooooooo jadi benar, ya? Kalian pergi kencan ke festival? Coba lihat, Kak Layla juga pakai jaket Kak Arsen! Manis sekali!" Kiran menyahut dengan suara melengking, ia mengedipkan matanya pada Layla yang kontan menggeleng dengan pipi memerah."Tidak, kami hanya pergi melihat kembang api ..." Layla mencoba menjelaskan, tetapi nenek meraih tangannya dan menepuk-nepuknya."Tidak perlu malu, Nak. Memang begitu, 'kan? Pengantin baru harus sering menghabis
Layla terbangun sendirian di kamar Arsen pagi itu, ia mengira kalau Arsen mungkin tidur di ruang kerjanya. Layla bukannya berharap mereka tidur bersama, tetapi ia tidak mau pria itu tersiksa dengan tidur di sofa, sementara ia tidur dengan nyaman di kasurnya.Ia tahu benar tidak ada apa pun yang akan terjadi di antara keduanya, dan mereka bisa menaruh guling di tengah sebagai batas.Pagi itu, ia minum teh bersama nenek dan Kiran sebelum membersihkan rumah. Kiran berencana untuk mengajaknya ke mall demi membeli beberapa dekorasi pesta ulang tahun Arsen.Ulang tahun pria itu memang selalu dirayakan tiap tahun dan yang hadir hanya anggota keluarga. Kemudian, tahun ini, ditambah dengan keluarga Layla. Tidak ada orang lain yang diundang. Kiran menekankan kalau Olivia tidak akan pernah bisa datang ke perayaan ulang tahun Arsen.Mungkin mereka akan merayakan di tempat lain, pikir Layla. Tetapi ia tidak menyuarakan pendapatnya dan hanya mengangguk pada adik iparnya itu."Apa Arsen masih tidur?
"Aku dan kak Layla ingin pergi berbelanja di mall pagi ini," sahut Kiran ketika semua piring telah dibereskan. Ia menatap Layla yang sedang memberikan teh pada nenek dengan senyum lebar."Kalian ingin diantar?" Tawar Arsen."Tidak usah, biar Pak Surya yang mengantar kami.""Bukannya kau ingin ke kantor?" Tanya Layla, menatap Arsen. Ia duduk di samping nenek dan memperhatikan wajah suaminya yang tampak lelah karena kurang tidur."Ya, walaupun sudah terlambat. Sebenarnya tinggal menyelesaikan beberapa hal." Arsen mengangkat bahu dan tersenyum tipis. "Aku akan mengambil cuti mulai besok sampai beberapa hari ke depan. Mungkin sampai seminggu.""Baguslah, kau memang perlu mengambil istirahat sebentar," kata nenek."Iya, itu juga sebagai ganti cuti pernikahan sebelumnya."Nenek mengangguk. "Walaupun bukan cuti pernikahan, kalau kau lelah, beristirahatlah. Jangan terlalu memaksakan diri.""Aku mengerti.""Kalau begitu, selama cuti, habiskanlah waktumu bersama istrimu." Nenek mengusap pelan p
Layla terdiam dan melirik suaminya.Jika diingat-ingat, Arsen selalu terlihat seperti itu ketika Layla memujinya atau menatap ke dalam matanya dan tersenyum. Kemudian, dia akan memalingkan wajah, lalu berdeham.Aneh.Layla tidak mengerti, tetapi di sisi lain ingin tahu apa yang Arsen pikirkan ketika berekspresi seperti itu.Mobil kembali berhenti karena lampu merah. Layla beralih menatap tangannya, lalu memainkan gantungan sepatu bayinya. Arsen memperhatikan hal itu, ekspresinya seketika berubah. Ada rasa bersalah yang melintas di matanya sebelum dia mengontrol ekspresinya menjadi datar kembali.Sepanjang perjalanan, mereka berdua hanya saling diam. Sampai kemudian, Layla melihat mall di mana seharusnya ia turun. Tetapi Arsen tidak menghentikan mobilnya dan terus melaju dengan kecepatan sedang.Apakah Arsen lupa kalau ia harus turun di sana?"Arsen, mall-nya sudah lewat." Layla kontan menyentuh lengan Arsen, siapa tahu pria itu tidak fokus karena lelah.Tetapi Arsen justru menggeleng.
Bermain api? Sejak kapan tepatnya?Arsen termangu di tempat, mencoba memikirkan kembali segala hal yang telah Kiran katakan padanya. Bahkan perkataan Layla tentang teman laki-laki Olivia kembali terngiang. Suara-suara aneh yang terdengar saat ia menelepon Olivia... semuanya muncul dalam kepalanya. Membentuk sebuah alur yang saling berhubungan.Apa yang selama ini telah Olivia lakukan ketika tidak bersamanya?Seharusnya Arsen merasa cemburu atau kecewa, tetapi hanya ada perasaan marah yang tertinggal di dadanya. Seolah-olah ia hanya marah karena merasa Olivia telah menipunya, dan bukan karena hubungan keduanya sebagai sepasang kekasih. Arsen bertanya-tanya kenapa ia tidak merasa sedih atau pun terpukul.Rasa cinta itu telah menghilang... atau memang tidak pernah ada?Arsen menghela napas dan meraih map yang Marlon berikan. Itu adalah beberapa foto Olivia yang tengah berada di bar, keluar dari bar, dan dijemput oleh seorang pria yang memakai topi. Wajahnya tidak terlihat di bawah cahaya
“Pelan-pelan saja,” kata Layla, menuntun Arsen untuk berjalan ke kamar. Dokter telah memperbolehkannya untuk pulang, dengan syarat Arsen harus rutin meminum obatnya. Kepalanya tidak lagi berdenyut nyeri, tetapi kakinya masih terasa sakit saat dipakai berjalan. Arsen setidaknya harus berjinjit-jinjit selama tiga hari sampai kakinya bisa ditekan ke lantai. “Pelan-pelan, jangan biarkan kakimu terlipat.” Layla kembali memberi instruksi, dengan hati-hati membantu Arsen untuk duduk di tepi tempat tidur. Layla membungkuk untuk melepaskan lingkaran lengan Arsen di bahunya dan puncak hidung mereka tidak sengaja bertemu. Tatapan mata Arsen terpaku padanya, begitu intens hingga membuat perut Layla bergejolak. Ia menelan ludah dan menjauhkan diri, mendadak merasa gugup. “Apa kau ingin buah potong?” tanya Layla, mengucapkan apa pun yang ada di otaknya. “Kau seharusnya beristirahat, Layla,” ucap Arsen, nada suaranya terdengar khawatir. Tatapannya kini terpaku pada lantai. “Tidak apa-apa. A
"Arsen?! Arsen, sadarlah!"Layla mengguncang keras bahu Arsen dan terdengar erangan kesakitan. Mata Arsen perlahan terbuka, tangannya menyentuh sisi kepalanya yang sempat terbentur. Ia kembali mengerang, merasakan denyutan menyakitkan ketika mencoba bergerak."Apa kepalamu sakit? Apa kau bisa mendengarku?" Layla bertanya dengan panik, ketakutan menjalari tubuhnya. Setelah mobil menghantam pohon, Arsen sempat kehilangan kesadaran. Layla telah mencoba beberapa kali sampai akhirnya Arsen membuka mata. "Aku—aku telah menelepon ambulans. Tolong bertahanlah, Arsen."Alih-alih menjawab, Arsen yang baru menyadari situasi dengan cepat menatap Layla. Gerakan itu membuat kepalanya berdenyut sakit, pamdangannya kabur, dan erangan kesakitan kembali lolos dari bibirnya. Tetapi mengabaikan hal itu, Arsen lebih mengkhawatirkan kondisi Layla. "Apa kau baik-baik saja, Layla? Apa ada yang terluka?" Matanya memindai tubuh sang istri dari atas sampai ke bawah."Tidak, aku tidak apa-apa. Justru kau yang bu
Arsen akan pulang malam ini.Layla tersenyum sambil menentang belanjaannya di kedua tangan. Ia baru saja membeli bahan kue di toko dan berniat untuk membuat kue sebelum Arsen tiba di rumah.Katanya, dia akan tiba sekitar jam sembilan malam.Sinar matahari sore menerpa wajah Layla ketika melangkah ke beranda toko. Gerimis ringan membasahi tanah, dan sepertinya akan berubah menjadi hujan deras.Layla terdiam dan menimbang-nimbang untuk langsung memesan taksi atau singgah di toko buah di seberang jalan. Saat ia tengah berpikir, ponselnya mendadak berdering.Arsen.Layla segera mengangkatnya. "Halo, Arsen?""Layla, kau di mana?"Apakah Arsen sudah tiba di rumah? "Aku—di toko bahan kue. Apa kau sudah sampai?""Ya, aku baru saja sampai dan terkejut karena rumah kosong."Layla tercengang. Ini baru jam enam sore, ia kira Arsen akan tiba pukul sembilan nanti. "Aku tidak tahu, aku minta maaf. Aku kira kau akan tiba malam nanti?""Iya tadinya, tapi penerbangannya tidak ditunda lagi, jadi aku bis
Bulan di balik jendela bersinar terang. Tidak seperti biasanya, malam ini cerah tanpa hujan deras yang mengguyur.Memasuki puncak musim hujan, hari-hari Layla selalu ditemani oleh langit mendung, awan hitam yang menggantung, angin kencang, aroma petrikor dan tanah yang basah, juga air hujan yang mengetuk atap.Musim hujan adalah defenisi dari pernikahannya. Tetapi bukan berarti ia berharap musim panas menjadi awal pertemuannya dengan suaminya.Ia sudah menerima apa yang terjadi dan akan bersabar menghadapinya. Seperti kata ibunya, inilah takdirnya.Layla menarik guling dan berbaring miring menatap pemandangan halaman belakang. Di lantai dua kamarnya, ia membayangkan pohon angsana juga kolam yang tenang di rumahnya.Sekarang sudah hampir tengah malam. Layla bertanya-tanya, apa Arsen sudah tidur? Dia telah sampai dengan selamat bersama ayahnya dan berjanji akan menelepon.Layla menunggunya sejak makan malam, tetapi ia pikir Arsen pasti kelelahan. Ia tidak ingin mengusik pria itu, jadi La
"Terima kasih, Pak. Nanti jemput saya lagi hari Jumat sore, ya.""Baik, Nona."Layla mengangkat tas berisi beberapa pakaiannya dan menyeberangi jalan. Ditatapnya rumah orang tuanya, kemudian senyumnya mengembang.Rasanya sudah lama sejak ia terakhir kali bertemu ibunya secara langsung. Mereka sering bertukar kabar lewat telepon, tetapi sulit untuk bertemu karena jarak yang jauh. Sekarang, ia memilih untuk menemani ibunya selama Arsen dan ayahnya pergi.Layla melangkah melewati pagar ketika ibunya muncul dengan tergopoh-gopoh. "Padahal Ibu berniat menjemputmu, Sayang.""Tapi aku sudah di sini, Ibu. Apa aku harus kembali lagi ke rumah?" kata Layla bercanda dan keduanya tertawa.Melissa menarik satu-satunya anak perempuannya itu ke dalam dekapan, lalu memeluknya erat-erat. Melepaskan kerinduan setelah sekian lama tak bertemu."Bagaimana kabar, Ibu?" Layla membenamkan wajahnya di pundak ibunya."Ibu baik, Sayang. Malah sangat baik setelah ayahmu mendapat proyek dari Nak Arsen. Ibu sangat s
Arsen melangkah cepat menaiki tangga menuju apartemen Olivia. Ia masih memiliki waktu setengah jam sebelum ke bandara dan berniat menemui wanita itu sebentar. Olivia tidak menjawab pesannya dan ia khawatir ada sesuatu yang terjadi.Tetapi begitu tiba di puncak tangga, langkah Arsen sontak terhenti ketika melihat sosok asing di pintu apartemen Olivia. Pria itu memakai topi dan masker, posisinya membelakangi Arsen dan dia tampak membungkuk ke arah Olivia.Apa yang sedang dia lakukan?"Olivia?" panggil Arsen dan pria itu langsung berbalik dengan terkejut.Wajah Olivia bahkan terlihat lebih syok sebelum dia bisa mengontrol ekspresinya. Arsen sempat melihat matanya yang terbuka lebar. Kenapa Olivia begitu terkejut?Olivia mendorong Bryan untuk mundur tatkala Arsen mendekat dengan kening berkerut. Ia berusaha untuk berekspresi senormal mungkin.Sial, kenapa Arsen tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan?"Ah, Arsen... aku kira, bukankah kau sudah harus berangkat ke bandara?""Aku ingin menemuim
Layla meletakkan air minum dan handuk saat Arsen melangkah mendekat. Keringat bercucuran di dahi, leher, dan bahu Arsen, membuat bagian atas kaos yang dipakainya basah.Melihat Arsen yang masih memakai sarung tinju, Layla mengulurkan tangannya dan membantu. Pria itu terus menatapnya dengan mata hitamnya yang dalam, sampai ia meletakkan dua sarung tinju itu di atas meja."Ke-kenapa?" tanya Layla, ingin tahu kenapa tatapan Arsen terus terpaku padanya.Arsen tersenyum tipis dan duduk di bangku. Ia tidak langsung menjawab, melainkan mengelap keringat di tubuhnya. Layla menatapnya, kemudian memalingkan wajah saat Arsen menoleh."Ini benar-benar sangat cocok untukmu. Kau terlihat cantik." Sebuah sentuhan tangan dingin terasa di kepala Layla. Ia mendongak dan Arsen tersenyum manis saat menyentuh ringan jepitan di kepala Layla."Ah itu..." Layla tersipu dan mengangguk pelan. "Kau sudah membeli banyak, jadi tidak mungkin aku hanya menyimpannya. Aku akan terus memakainya."Lagi, Arsen tidak men
Perpustakaan telah selesai hari ini.Layla yang sedang membersihkan dapur setelah sarapan bergegas keluar. Arsen menatapnya dengan senyum sumringah, ikut bahagia melihat betapa antusiasnya gadis itu."Kau terlihat begitu bersemangat." Arsen sengaja berkomentar dengan suara menggoda."Benarkah?" Layla menangkup pipinya dan tidak bisa menahan tawanya. "Padahal aku berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja."Arsen kontan terkekeh. "Kau tidak bisa menyembunyikannya dengan senyum lebar di wajahmu itu."Layla langsung menutup mulutnya dengan tangan, tetapi tetap saja matanya yang menyipit dengan jelas memperlihatkan rasa senangnya.Arsen kembali tertawa dan tanpa basa-basi meraih tangan Layla. "Ayo kita lihat perpustakaannya. Itu adalah hadiah untukmu, jadi aku senang jika kau menyukainya.""Kau memberiku terlalu banyak hadiah Arsen," sahut Layla. "Kemarin jepitan, dan sekarang perpustakaan ini juga selesai lebih cepat.""Sudah kubilang aku ingin membahagiakanmu, Layla," kata Arsen tanpa berp