Delicia terlalu malu untuk pulang ke apartemen Lucio. Apalagi lelaki itu mengatakan jika dia akan pulang ke sana malam ini.Namun, jika dia tidak pulang ke sana. Dia harus ke mana lagi? Ia tidak memiliki tempat tinggal untuk sementara.Kembali ke motel mengerikan saat itu bukanlah pilihan yang tepat. Karna dia selalu ngeri tiap kali mengingat motel di mana ada seorang pembunuh pernah melancarkan aksinya di sana.Kini Delicia sudah ada di depan unit apartemen Lucio. Haruskah dia masuk saja dan mengabaikan perasaannya? Ataukah dia tidur di tempat lain?Delicia menggelengkan kepalanya keras keras. Tidak, dia harus masuk ke apartemen itu. Karena hanya di sana dia mendapatkan rasa aman.Delicia masuk setelah menekan kode pintu. Lalu menarik napasnya dalam dalam.Rasanya sangat menyesakkan. Apalagi melihat Lucio marah kepadanya hanya karena makanan itu.Setidaknya dia dapat menjelaskan padanya mengapa dia marah seperti itu. Namun lelaki itu lebih suka marah dan mengamuk seperti monster.Del
Lucio membawa masuk Delicia di kediaman neneknya. Di sana, sudah ada Rebecca yang seakan sudah menunggunya sejak tadi.Delicia merasa canggung. Apalagi melihat Lucio yang mengabaikannya ketika memberikan salam untuk lelaki itu."Nenek sudah menunggu," kata Rebecca dia menggamit lengan Delicia seakan mereka sudah mengenal lama.Delicia yang tiba tiba diperlakukan seperti itu oleh Rebecca jelas saja bingung. Padahal ketika dia berada di apartemen Lucio, wanita itu terlihat sangat dingin padanya.Apakah hanya perasaannya saja?Lucio sudah mendahului ke ruang makan. Di sana sudah ada Dolores dengan wajahnya yang berseri-seri."Aku senang karena kamu akhirnya datang," kata Dolores. Matanya melirik ke arah Delicia.Ia memandangi Delicia dari bawah kemudian berujung pada wajah Delicia yang mungil.Delicia tidak setinggi Rebecca. Namun wajahnya imut dan manis. Matanya bulat dengan bulu mata yang lentik.Riasannya tidak tebal. Sangat natural dan sesuai dengan umurnya.Gaunnya berwarna biru tua
Delicia tersentak ketika seseorang membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu.Delicia menoleh ke belakang dan melihat Rebecca sedang membawa cangkir di atas nampan."Anda, tidak perlu repot repot," kata Delicia. Ia menghampiri Rebecca dan menerima uluran teh itu dari Rebecca."Tidak apa apa. Ini adalah nyonya Dolores yang memintaku," sahut Rebecca. Ia duduk di sebuah kursi yang ada di tengah ruangan.Delicia ikut duduk. Ia merasa canggung tanpa alasan ketika dia bersama dengan Rebecca."Bagaimana rumah ini? Bagus bukan jika dilihat dari atas sini?" Rebecca menunjuk jendela kamar yang ditempati oleh Delicia dengan matanya.Malam ini Delicia memang menginap dengan Lucio di kediaman Dolores. Hanya saja, Delicia dan Lucio berbeda kamar. Lucio berada di kamarnya sendiri sementara Delicia berada di sebuah kamar yang baru saja disiapkan oleh pembantu."Sangat indah. Rumah ini seperti istana. Mungkin aku tak akan bisa menemukan ruang makan besok pagi," kekeh Delicia sambil tersenyum.Namun Rebe
"Lepaskan tanganmu," kata Lucio dengan dingin. Ia seakan sudah jijik dengan sikap Rebecca yang seperti ini.Memangnya ke mana saja dia waktu itu? Ia sudah terlalu sering mengabaikan Lucio hingga hatinya terasa sangat dingin."Bagaimana jika aku tidak mau."Lucio menghela napasnya."Aku tahu kamu masuk ke rumah ini pasti karena ini, kan?"alih alih melepaskan tangannya. Rebecca malah menempelkan pipinya di punggung Lucio."Aku tidak tahu jika punggungmu akan sehangat ini.""Semuanya sudah terlambat." Lucio memutar tubuhnya kemudian menatap Rebecca tak mengerti. "Ini adalah peringatan terakhirku, agar kamu tidak mengangguku lagi."Namun bukannya menyerah, Rebecca malah memagut bibir Lucio.Lucio yang terkejut langsung mendorong tubuh Rebecca."Jangan gila!" seru Lucio marah."Memangnya kenapa? Bukankah kamu juga menginginkannya? Bukankah kamu masih memiliki perasaan itu kepadaku?"Kamu tahu, aku tahu jika kamu tidak memiliki perasaan pada gadis muda itu. Aku tahu dari bagaimana caramu m
Delicia diam saja sejak tadi. Atau lebih tepatnya setelah sarapan pagi usai.Delicia dan Lucio memutuskan untuk pulang karena acara pertamuan itu sudah berakhir. Dan setidaknya rencana berjalan setengah lancar.Melihat Delicia yang biasanya banyak bicara kemudian tiba tiba diam saja begitu, membuat Lucio berpikir jiak Delicia pasti memikirkan masalah tadi.Lucio berdeham.Delicia menoleh. Ia mengambilkan satu botol air mineral untuk Lucio."Masalah tadi malam, itu tidak benar," kata Lucio seakan ia ingin mengatakan jika yang dikatakan oleh neneknya itu tidak benar."Kamu tidak perlu menjelaskannya," sahut Delicia."Aku mengatakannya karena tidak mau kamu menganggapku lelaki gampangan."Delicia tersenyum. "Toh hubungan kita itu palsu. Jadi, aku tidak akan membuatmu mendapatkan waktu yang sulit."Keduanya pun terdiam. Hingga kemudian Delicia mendapatkan telepon dari adiknya, Diego."Ada apa?" tanya Delicia."Bisakah kamu pulang sekarang?""Kamu pasti membuat masalah lagi, kan?""Tolong
Mendengar jika Lucio akan membeli pabrik ikan kaleng tersebut. Ia langsung memindai tubuh Lucio dari atas sampai bawah. Kemeja mahal, jam tangan mengkilap. Bahkan ia tahu sepatu yang sedang dipakai oleh Lucio adalah sepatu yang sering dipakai oleh aktris yang dia lihat di tv."Memang—memangnya siapa kamu?" tanya pengawas pabrik. Suaranya bergetar ketika Lucio menantangnya seperti itu."Aku? Katakan saja pada pemilik pabrik bahwa aku adalah Lucio Valeega. Dia akan tahu begitu mendengar namaku."Merasa jika dia akan terancam. Pengawas pabrik tersebut diam diam mundur.Namun telat. Polisi sudah datang membawa rekaman kamera CCTV di sekitar pabrik.Polisi pun mulai mengeceknya. Di dalam video tersebut, terlihat jika Diego sama sekali tidak masuk ke lokernya. Ia masuk ketika saat jam pulang kerja.Kemungkinan untuk memasukkan ikan kalengan itu ke dalam tas sangatlah mustahil.Ada beberapa orang lelaki yang masuk ke dalam loker. Mereka mengendap dan sepertinya tidak tahu jika di pabrik itu
Mobil Lucio berhenti di sebuah rumah sederhana yang terletak tak jauh di pinggir pantai. Rumah sederhana di mana Delicia kecil pernah tinggal di sana.Lucio melirik ke arah Delicia yang seakan ragu untuk turun. Sementara adiknya sudah turun sejak tadi."Kamu tidak turun?" tanya Lucio.Delicia mengangguk tanpa menatap ke arah Lucio. Kata kata adiknya masih terngiang di telinganya. Ayahnya membutuhkan uang untuk ke rumah sakit lagi. Dan dia tahu uang yang dibutuhkan tidak lah sedikit.Saat ini dia masih belum memiliki uang. Uang kontrak yang dia dapatkan dari Lucio masih bulan depan dia dapatkan karena saat ini dia belum menjadi istri Lucio."Itu—" Delicia berkata ketika melihat Lucio hendak membuka pintu mobilnya.Lucio menoleh, kedua alisnya terangkat. "Apa?""Apa—aku bisa mendapatkan uang. Ah bukan, maksudku, apa kamu bisa membayarku untuk pernikahan kontrak itu. Tidak semuanya, hanya …""Untuk membayar biaya rumah sakit ayahmu?"Delicia membulatkan matanya. Bagaimana Lucio tahu?"Ja
"Kenapa lama sekali ya?" Diego menatap ke arah kamar ayahnya. Kamar yang pintunya hanya dihalangi sebuah kain panjang.Dari meja makan, kaki Delicia terlihat oleh mereka berdua."Aku akan ke sana." Diego berdiri. Namun dilarang oleh Lucio. "Biarkan saja, mungkin ada pembicaraan yang penting."Diego mempertimbangkan ucapan Lucio maka dari itu dia kembali duduk di kursinya.Lucio dan Diego makan dengan canggung. Mereka baru bertemu untuk pertama kalinya hari ini. Dan harus mendengar suara ayah Delicia yang jelas jelas menolak pernikahan antara Lucio dan Delicia."Sama halnya seperti kakakku, ayahku pun pasti seperti itu," ucap Diego tiba tiba.Lucio memandang Diego tak mengerti."Kakakku melarangku berhubungan dengan orang kaya, jadi ayahku pun pasti begitu. Dia pasti tidak merestui hubungan kalian." Diego menggelengkan kepalanya seperti pria paruh baya yang memikirkan nasib anaknya.Namun Lucio sendiri mengerti, akan sikap ayah Delicia yang seperti itu. Namun pernikahan di antara mere
Lordes mendengar pertengkaran antara ayah dan ibunya. Dan secara tidak langsung dia tahu bagaimana sifatnya selama ini yang memang kurang baik.Setengah jam berlalu, ibu Lordes membawa makanan bersama dengan pelayan di belakangnya.Ada banyak makanan yang terhidang hingga membuat Lordes bingung.“Kamu sebelumnya tidak mau makan selama lima hari, makanya ibu khawatir,” kata ibu Lordes.“Kenapa? Kenapa aku tidak mau makan?”Ibunya diam saja.“Sudahlah, itu sudah berlalu, yang penting kamu mau makan sekarang,” kata ibu Lordes.Lordes pun menelan makanannya pelan pelan, setiap sendok makanan yang masuk ke dalam mulutnya membuat ibu Lordes merasa tenang dan lega.“Ibu tidak makan?”“Tidak, melihatmu makan sudah membuat ibu kenyang.”Lordes tersenyum.“Bu, kenapa aku asing berada di kamar ini?” tanya Lordes.“Itu karena kamu kehilangan ingatan kamu, Lordes. Tapi kata dokter ingatan itu akan kembali, karena bukan amnesia permanen.”“Begitu?”“Setidaknya, kamu bisa melupakan hal yang menyakit
“Bagaimana dengan urusanmu? Sudah selesai?” tanya Lucio ketika melihat Khaleed menyusulnya ke kantin di kantor.“Sebentar lagi akan selesai,” desahnya kemudian duduk.“Kenapa wajahmu murung?”Khaleed menggeleng.“Harusnya yang murung sekarang bukan kamu tapi aku,” keluh Lucio.“Kenapa? Masalah Delicia bukankah sudah selesai? Dia sudah pulang dan kesehatannya semakin membaik.”“Bukan seperti itu.”Lucio kemudian menceritakan semuanya kepada Khaleed, bahwa sejak kecelakaan Delicia menjadi sedikit berbeda. Delicia seperti jauh dari anaknya tapi perasaan untuk dirinya sama saja.“Bukannya kamu bilang kalau dia mengalami hilang ingatan sebagian? Mungkin karena itu, kan?”“Tapi, kenapa sifatnya bisa berubah? Aku sempat memergokinya berteriak pada Jose. Apakah Delicia seperti itu sebelum menikah denganku? Aku bertanya pada Jose, dan Delicia tidak pernah membentaknya meskipun sangat marah.”“Apakah karena efek kecelakaan?” tanya Khaleed.“Aku tidak tahu, aku bingung,” jawab Lucio yang dia sen
Sudah bermenit menit yang lalu, Nina hanya diam saja. Dia duduk di kursi sofa dengan tubuh menghadap ke arah jendela.Khaleed sudah memesan pizza, tapi sampai pizza itu dingin, Nina tak mau menyentuhnya sama sekali.“Aku sudah menghubungi ibumu, dan mengatakan untuk sementara kamu ada di sini,” kata Khaleed.Nina hanya mengangguk.“Kamu kenapa?”Khaleed duduk di sebelah Nina, tapi yang dia lihat hanyalah punggung Nina yang menyedihkan.Belum ada satu hari, Nina sudah berubah menjadi murung begitu.“Besok pagi, aku akan temani kamu ke kantor polisi,” kata Khaleed.“Pekerjaanmu bagaimana?”“Aku akan datang sedikit terlambat, aku sudah izin pada bosku.”Nina kemudian diam.“Kalau kamu diam, aku tidak tahu harus berkata apa lagi padamu. Aku tidak pandai menghibur, katakan padaku. Aku harus bagaimana?”“Terima kasih,” kata Nina pelan.Mata Khaleed melebar.“Karena sudah mau menolongku dan berkorban untuk gadis hina sepertiku.” Nina menenggelamkan wajahnya di antara kedua kakinya. “Aku malu
Khaleed berlari menuju rumah Nina, tahu bahwa pasti akan ada hal yang buruk akan terjadi.Dengan napas yang tersengal, Khaleed terus berlari agar tidak terlambat untuk menyelamatkan Nina.**Nina mendengar suara bel pintu berbunyi berkali-kali. Ia pikir Khaleed kembali karena ketinggalan barangnya.Akan tetapi, ketika Nina membuka pintu. Dia melihat suaminya sudah berada di depan pintu dengan senyum menyeringai.Nina mencoba untuk menutup pintu, tapi tenaganya tidak lebih besar daripada suaminya.“Biarkan aku masuk!” ujarnya dengan geram. “Kamu sudah membuatku menjadi bulan bulanan oleh rentenir!”Suami Nina masuk kemudian mendorong gadis itu sampai terjatuh di atas sofa.“Harusnya kamu menurutiku! Tak ada yang salah karena kamu membantu suamimu!”Suami Nina menamparnya membuat gadis itu takut gemetaran. Bayangan bayangan buruk itu telah terhempas sejak dia bersama dengan Khaleed. Sejak dia mengenal lelaki itu, dia merasa bahwa dirinya berharga.Namun, kini… saat dia bersama dengan su
Lima hari berlalu, Delicia yang tak lain adalah Lordes akhirnya bisa pulang ke rumah Lucio yang selama ini begitu dia inginkan.Pagi pagi sekali Lucio sudah menjemput istrinya dari rumah sakit.“Akhirnya aku bisa pulang,” kata Lordes dengan senang.“Pasti sangat membosankan di sini, kan?”Lordes mengangguk.“Oh ya, Lordes… dia sudah siuman. Tapi dia belum bisa banyak bergerak.”Bibir Lordes tiba tiba berkedut. Ia pikir Delicia akan koma untuk waktu yang lama agar dia bisa menikmati waktunya bersama dengan Lucio. Jika Delicia sadar, bagaimana jika wanita itu mengaku sebagai Delicia?Lucio yang melihat istrinya berhenti menoleh ke belakang.“Ada apa?”Lordes dengan tangan gemetar mencoba meraih tangan Lucio.“Aku tahu, kamu pasti takut dengan Lordes. Dia sangat nekat,” kata Lucio menambahkan.“Ya… ya.. aku sangat takut setelah tahu penyebab kecelakaanku adalah dia.”“Tak apa apa, ada aku di sini,” kata Lucio menenangkan.Ketika mereka melewati koridor. Tanpa sengaja melihat ibunya dari
Saat ini Lucio sedang berada di atas ranjang rumah sakit bersama dengan Delicia di mana jiwanya adalah milik Lordes. Lordes meminta Lucio agar menemaninya sampai dia pulang dari rumah sakit.“Bagaimana dengan anak anak tadi? Apakah mereka kecewa padaku?” tanya Lordes.“Tidak, mereka mengerti keadaanmu. Mereka mungkin masih kecil, tapi sifat mereka sudah dewasa,” jelas Lucio. “Jangan khawatir.” Lucio mengusap kepala Lordes dengan lembut.“Setelah keluar dari rumah sakit. Aku ingin kita berbulan madu,” ajak Lordes.Lucio diam.“Apa ada yang salah?”Lucio menggeleng. “Kamu kemarin menolak ajakanku berbulan madu karena ingin bersama dengan anak anak.”“Benarkah?”“Tapi kalau kamu ingin kita berbulan madu tak masalah.”“Aku ingin menghabiskan waktu berdua denganmu.”Lucio tersenyum.“Aku akan mengaturnya nanti.”Lordes tidur memeluk Lucio. Dia merasa sangat bahagia karena setidaknya dia bersama dengan lelaki yang sangat dia inginkan selama ini.Meski berada di dalam tubuh Delicia, tapi dia
Khaleed membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa sakit ketika dia mencoba untuk memegangnya.Kamar yang dia tempati tidak mirip seperti kamarnya. Apalagi ada sosok bayangan yang membuatnya terkejut.“Lucio? Kenapa kamu ada di sini?” tanya Khaleed bingung.“Harusnya aku yang bertanya padamu. Kenapa kamu ada di sini. Bukankah seharusnya kamu pulang ke rumah?”Khaleed diam.“Aku langsung datang ke sini waktu perawat menemukan nomor kontakku sebagai nomor darurat.”Khaleed tersenyum.“Jadi, siapa yang sudah membuatmu begini?” tanya Lucio.“Orang gila,” jawab Khaleed. “Dia memukulku dengan tongkat, di mana dia sekarang?”Lucio menaikkan bahunya. “Aku tidak tahu siapa yang kamu maksud. Tapi tadi di sini ada gadis yang menemanimu, saat aku datang dia langsung pergi. Dia siapa?”“Oh dia, dia istri dari laki laki yang memukulku.”Lucio membulatkan matanya. “Jangan berurusan dengan istri orang lagi, Khaleed. Aku sudah memperingatkanmu.”“Ini beda.”“Bagaimana jika kamu ditipu lagi?”“Sepertin
Suara ribut berasal dari bangsal yang dilewati oleh Khaleed. Awalnya dia ingin mengabaikannya dan terus berjalan saja. Akan tetapi dia tidak bisa diam saja ketika melihat seorang perempuan menjadi sandera seorang pasien menggunakan pisau buah.“Jangan mendekat atau kubunuh wanita ini!” ujarnya.Khaleed yang melihatnya menjadi jengkel. Apalagi lelaki itu hanya berani terhadap perempuan saja.“Jangan mendekat!” Bahkan petugas keamanan seakan tak mampu menangani preman tengik tersebut.Khaleed menggulung kemejanya sampai ke siku. Dia memutar jalan kemudian menjegal kaki lelaki tersebut hingga terjatuh. Pisau yang ia bawa terpental jauh darinya. Khaleed langsung meringkus lelaki yang ternyata tak ada apa apanya itu.Kepala dengan perban dan juga wajah penuh memar. Khaleed yakin jika lelaki itu bisa jadi baru saja dipukuli oleh orang orang yang membencinya.“Siapa kamu!” bentaknya sambil berusaha melarikan diri.“Aku? Aku manusia yang membenci laki laki sepertimu.”“Sialan! Lepaskan!”“Co
Delicia benar benar tidak senang melihat kedatangan Martin dan Jose. Karena dia sendiri bukanlah Delicia yang asli. Diam diam Lordes memikirkan cara bagaimana caranya agar tidak mengurus anak anak itu. Karena baginya yang terpenting adalah bersama dengan Lucio.“Sapa mama kalian,” kata Lucio.Martin dan Jose langsung menghampiri Delicia kemudian memeluknya.“Mama gak apa apa kan Pa?” tanya Martin.“Mama kapan bisa pulang?” kali ini Jose yang bertanya.Lucio pun menjelaskan pada mereka berdua bahwa mama mereka akan berada di sana selama lima hari.Lordes hanya diam saja, merasa asing dengan pemandangan itu. Dia benar benar tidak memikirkan jauh ke belakang bahwa Lucio dan Delicia sudah memiliki anak.“Mama masih sakit?” tanya Martin.Lordes memandang Lucio seakan meminta bantuan pada lelaki itu.“Apa kamu tidak ingat siapa mereka, Delicia?Lordes menggeleng pelan. Lucio terkejut.“Dia adalah Martin, dan sebelah Martin Jose. Kamu lupa?”Lordes tanpa ragu mengingat.“Tapi kamu ingat aku?