Delicia merasa tidak enak ketika dia pulang ke apartemen Lucio menemukan makanan sudah tersedia rapi di atas meja.Padahal Rebeca pasti sudah susah payah menyiapkan makanan itu untuk Lucio.Delicia tak berani bertanya mengapa Lucio bertingkah seperti itu. Karena Delicia sadar jika dia bukanlah siapa siapa di antara Rebeca dan Lucio.Merasa bersalah karena sudah membuat usaha Rebeca sia sia. Akhirnya Delicia menemukan ide agar makanan itu dihabiskan oleh Lucio."Nanti malam kamu pulang jam berapa?" tanya Delicia ketika dia menelpon Lucio."Aku akan lembur mungkin pulang jam dua belas. Kenapa?""Malam sekali ya. Pasti kamu tak akan sempat makan.""Tidak usah sok perhatian begitu. Kamu malah membuatku takut.""Aku cuma bertanya saja kok. Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa di kantor nanti malam." Delicia langsung menutup teleponnya tanpa memberi kesempatan bagi Lucio untuk memprotes dulu.Delicia memasukkan semua makanan yang masih bisa dimakan nanti malam di dalam kulkas. Kemudian yang t
Delicia terlalu malu untuk pulang ke apartemen Lucio. Apalagi lelaki itu mengatakan jika dia akan pulang ke sana malam ini.Namun, jika dia tidak pulang ke sana. Dia harus ke mana lagi? Ia tidak memiliki tempat tinggal untuk sementara.Kembali ke motel mengerikan saat itu bukanlah pilihan yang tepat. Karna dia selalu ngeri tiap kali mengingat motel di mana ada seorang pembunuh pernah melancarkan aksinya di sana.Kini Delicia sudah ada di depan unit apartemen Lucio. Haruskah dia masuk saja dan mengabaikan perasaannya? Ataukah dia tidur di tempat lain?Delicia menggelengkan kepalanya keras keras. Tidak, dia harus masuk ke apartemen itu. Karena hanya di sana dia mendapatkan rasa aman.Delicia masuk setelah menekan kode pintu. Lalu menarik napasnya dalam dalam.Rasanya sangat menyesakkan. Apalagi melihat Lucio marah kepadanya hanya karena makanan itu.Setidaknya dia dapat menjelaskan padanya mengapa dia marah seperti itu. Namun lelaki itu lebih suka marah dan mengamuk seperti monster.Del
Lucio membawa masuk Delicia di kediaman neneknya. Di sana, sudah ada Rebecca yang seakan sudah menunggunya sejak tadi.Delicia merasa canggung. Apalagi melihat Lucio yang mengabaikannya ketika memberikan salam untuk lelaki itu."Nenek sudah menunggu," kata Rebecca dia menggamit lengan Delicia seakan mereka sudah mengenal lama.Delicia yang tiba tiba diperlakukan seperti itu oleh Rebecca jelas saja bingung. Padahal ketika dia berada di apartemen Lucio, wanita itu terlihat sangat dingin padanya.Apakah hanya perasaannya saja?Lucio sudah mendahului ke ruang makan. Di sana sudah ada Dolores dengan wajahnya yang berseri-seri."Aku senang karena kamu akhirnya datang," kata Dolores. Matanya melirik ke arah Delicia.Ia memandangi Delicia dari bawah kemudian berujung pada wajah Delicia yang mungil.Delicia tidak setinggi Rebecca. Namun wajahnya imut dan manis. Matanya bulat dengan bulu mata yang lentik.Riasannya tidak tebal. Sangat natural dan sesuai dengan umurnya.Gaunnya berwarna biru tua
Delicia tersentak ketika seseorang membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu.Delicia menoleh ke belakang dan melihat Rebecca sedang membawa cangkir di atas nampan."Anda, tidak perlu repot repot," kata Delicia. Ia menghampiri Rebecca dan menerima uluran teh itu dari Rebecca."Tidak apa apa. Ini adalah nyonya Dolores yang memintaku," sahut Rebecca. Ia duduk di sebuah kursi yang ada di tengah ruangan.Delicia ikut duduk. Ia merasa canggung tanpa alasan ketika dia bersama dengan Rebecca."Bagaimana rumah ini? Bagus bukan jika dilihat dari atas sini?" Rebecca menunjuk jendela kamar yang ditempati oleh Delicia dengan matanya.Malam ini Delicia memang menginap dengan Lucio di kediaman Dolores. Hanya saja, Delicia dan Lucio berbeda kamar. Lucio berada di kamarnya sendiri sementara Delicia berada di sebuah kamar yang baru saja disiapkan oleh pembantu."Sangat indah. Rumah ini seperti istana. Mungkin aku tak akan bisa menemukan ruang makan besok pagi," kekeh Delicia sambil tersenyum.Namun Rebe
"Lepaskan tanganmu," kata Lucio dengan dingin. Ia seakan sudah jijik dengan sikap Rebecca yang seperti ini.Memangnya ke mana saja dia waktu itu? Ia sudah terlalu sering mengabaikan Lucio hingga hatinya terasa sangat dingin."Bagaimana jika aku tidak mau."Lucio menghela napasnya."Aku tahu kamu masuk ke rumah ini pasti karena ini, kan?"alih alih melepaskan tangannya. Rebecca malah menempelkan pipinya di punggung Lucio."Aku tidak tahu jika punggungmu akan sehangat ini.""Semuanya sudah terlambat." Lucio memutar tubuhnya kemudian menatap Rebecca tak mengerti. "Ini adalah peringatan terakhirku, agar kamu tidak mengangguku lagi."Namun bukannya menyerah, Rebecca malah memagut bibir Lucio.Lucio yang terkejut langsung mendorong tubuh Rebecca."Jangan gila!" seru Lucio marah."Memangnya kenapa? Bukankah kamu juga menginginkannya? Bukankah kamu masih memiliki perasaan itu kepadaku?"Kamu tahu, aku tahu jika kamu tidak memiliki perasaan pada gadis muda itu. Aku tahu dari bagaimana caramu m
Delicia diam saja sejak tadi. Atau lebih tepatnya setelah sarapan pagi usai.Delicia dan Lucio memutuskan untuk pulang karena acara pertamuan itu sudah berakhir. Dan setidaknya rencana berjalan setengah lancar.Melihat Delicia yang biasanya banyak bicara kemudian tiba tiba diam saja begitu, membuat Lucio berpikir jiak Delicia pasti memikirkan masalah tadi.Lucio berdeham.Delicia menoleh. Ia mengambilkan satu botol air mineral untuk Lucio."Masalah tadi malam, itu tidak benar," kata Lucio seakan ia ingin mengatakan jika yang dikatakan oleh neneknya itu tidak benar."Kamu tidak perlu menjelaskannya," sahut Delicia."Aku mengatakannya karena tidak mau kamu menganggapku lelaki gampangan."Delicia tersenyum. "Toh hubungan kita itu palsu. Jadi, aku tidak akan membuatmu mendapatkan waktu yang sulit."Keduanya pun terdiam. Hingga kemudian Delicia mendapatkan telepon dari adiknya, Diego."Ada apa?" tanya Delicia."Bisakah kamu pulang sekarang?""Kamu pasti membuat masalah lagi, kan?""Tolong
Mendengar jika Lucio akan membeli pabrik ikan kaleng tersebut. Ia langsung memindai tubuh Lucio dari atas sampai bawah. Kemeja mahal, jam tangan mengkilap. Bahkan ia tahu sepatu yang sedang dipakai oleh Lucio adalah sepatu yang sering dipakai oleh aktris yang dia lihat di tv."Memang—memangnya siapa kamu?" tanya pengawas pabrik. Suaranya bergetar ketika Lucio menantangnya seperti itu."Aku? Katakan saja pada pemilik pabrik bahwa aku adalah Lucio Valeega. Dia akan tahu begitu mendengar namaku."Merasa jika dia akan terancam. Pengawas pabrik tersebut diam diam mundur.Namun telat. Polisi sudah datang membawa rekaman kamera CCTV di sekitar pabrik.Polisi pun mulai mengeceknya. Di dalam video tersebut, terlihat jika Diego sama sekali tidak masuk ke lokernya. Ia masuk ketika saat jam pulang kerja.Kemungkinan untuk memasukkan ikan kalengan itu ke dalam tas sangatlah mustahil.Ada beberapa orang lelaki yang masuk ke dalam loker. Mereka mengendap dan sepertinya tidak tahu jika di pabrik itu
Mobil Lucio berhenti di sebuah rumah sederhana yang terletak tak jauh di pinggir pantai. Rumah sederhana di mana Delicia kecil pernah tinggal di sana.Lucio melirik ke arah Delicia yang seakan ragu untuk turun. Sementara adiknya sudah turun sejak tadi."Kamu tidak turun?" tanya Lucio.Delicia mengangguk tanpa menatap ke arah Lucio. Kata kata adiknya masih terngiang di telinganya. Ayahnya membutuhkan uang untuk ke rumah sakit lagi. Dan dia tahu uang yang dibutuhkan tidak lah sedikit.Saat ini dia masih belum memiliki uang. Uang kontrak yang dia dapatkan dari Lucio masih bulan depan dia dapatkan karena saat ini dia belum menjadi istri Lucio."Itu—" Delicia berkata ketika melihat Lucio hendak membuka pintu mobilnya.Lucio menoleh, kedua alisnya terangkat. "Apa?""Apa—aku bisa mendapatkan uang. Ah bukan, maksudku, apa kamu bisa membayarku untuk pernikahan kontrak itu. Tidak semuanya, hanya …""Untuk membayar biaya rumah sakit ayahmu?"Delicia membulatkan matanya. Bagaimana Lucio tahu?"Ja