Home / Thriller / Kode Prosa Aisha / Chapter 1: Hadiah Besar

Share

Chapter 1: Hadiah Besar

Author: D. Ardhio Prantoko
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Dua Mango Chesse Cake ditulis tangan pada latar sticknote warna kuning, yang tertempel pada sebuah papan kolaps styrofoam di dinding. Kepulan asap putih tipis membumbung. Kelembaban asapnya yang panas hampir membasahi sticknote bertuliskan nama sebuah menu di dekat teflon yang mendidihkan larutan kental berwarna putih—yang sedang diaduk dengan adukan berbahan kayu oleh tangan kanan feminin. Masih diaduk, buih pada larutan kental itu semakin banyak bermunculan di permukaannya.

Setengah irisan buah mangga diambil dari bejana alumunium warna perak, sepasang tangan maskulin menjadikannya beberapa potongan memanjang yang lebih kecil menggunakan pisau. Lalu menjadikannya puluhan bagian yang lebih kecil seukuran dadu, saling berjatuhan dari telenan ke dalam wadah pelastik yang kering dan trasnparan.

"Vla mendidih?" Laki-laki tinggi dan sedikit kurus itu berpaling kepada perempuan yang menghadap kompor.

Dilihatnya perempuan itu sedang memperhatikan layar gawainya, sementara tangan kanan mengaduk isi teflon tanpa perhatian.

"Lila!" merasa tidak ditangghapi, “Lila!” panggilnya dengan keras.

Isi kepala perempuan Lila langsung ambyar karena kaget. "Em?! Iy-iya?"

"Vla," sambil menajamkan sorot mata dan menunjuk ke arah teflon dengan ujung mata pisau.

"Em, udah ... mendidih," jawabnya sedikit panik.

Laki-laki itu menghela napas dengan sedikit kesal. "Really?" tampaknya tidak cukup yakin dengan kondisi mendidih yang ia sendiri maksudkan. 

"Udah, Filan," Lila memastikan, sementara Filan mendekat ke sebelah kirinya. Membiarkan laki-laki berjenggot dan berkumis tipis melihat kondisi vla dengan penglihatannya sendiri.

Aroma segar, manis, lembut dan harum merasuk dalam presepsi Filan dalam satu tarikan napas pelan. 

“Kamu ingat gulanya aku bilang berapa?” tanya Filan. 

“Se-,” Lila berpaling dari tatapan mata Filan yang dingin, “seratus lima puluh ... gram,” merasa lidahnya hampir beku kaku.

“Kenapa kamu lebihin?”

“Ta-tadi keleb ... kelebihan, ketuang, kan kecampur mentega gak bisa diambil lagi.”

“Oma Ima gak boleh makan yang terlalu manis.”

“Jadi,” suara Lila pelan, “gimana?”

“Menurutmu gimana?"

Pandangan Lila berpindah-pindah, menghindari kontak mata dengan Filan.

“Buat lagi?”

“Yang ini diapain?”

“Buat kita aja, enggak apa-apa, kan?”

“Lihat yoghurt di kulkas!”

“Emh? Ee, iya,” mengambil tujuh langkah dengan gegas, membuka pintu bawah kulkas. Memeriksa deretan belakang pintunya. “Your Good atau ...?”

“Yomni,” sahut Filan. Memandang Lila yang bergegas kembali kepadanya dengan memberi sebuah botol dengan merk Yomni. 

“Ini yoghurt tawar,” sambil memutar buka tutup botol, lalu menuang larutan kental warna putih dua kali melingkar pada vla yang berbuih, “bisa buat ngurangin rasa manis. Bisa pakai bahan lain seperti cokelat bubuk, jahe, air lemon. Tapi buat lansia lebih sehat pakai yoghurt tawar,” menutup kembali Yomni dan menaruhnya di dekar kompor, “jadi enggak perlu buang waktu, buang bahan, dan bikin orang kelamaan nunggu.”

“Siap,” tanggap Lila sambil mematikan kompor.

“Keju parut.”

Lila mengambil sebatang keju kuning bersama parutan kecil yang dekat dengan jangkauan tangan kanannya, memberikannya kepada Filan.

“Kamu bisa, kan?”

“Kayak kemarin?”

“Ya.”

Lila menjatuhkan parutan keju ke dalam vla.

“Berapa banyak?”

“Suka kamu.”

“Suka aku? Aku juga suka kamu,” candaL ila sambil menjatuhkan parutan keju sebanyak yang ia pikirkan, tidak sampai menipiskan ketebalan keju batang lebih dari dua per tiga ukuran asalnya. Tidak dia lihat bagaimana Filan tersenyum tipis mendengar hal itu.

“Sudah. Apa lagi?”

“Tuang ke loyang plastik! Dikipasin, tunggu lima menit aja.”

Filan mengatur persiapan lain, lalu menumbuk biskuit gandum dengan lesung mini berbahan keramik di dalam bejana kaca transparan, membiarkan Lila menunggui vla dalam loyang lebar dan ceper sedang diterpa angin dari putaran baling-baling mini van.

"Filan! Barusan Sherlin chat, Mango Chesse Cake buat Oma Ima mau yang hangat, yang dingin Sherlin," lapor Lila kepada Filan yang menumbuk biskuit gandum sampai sedikit halus.

“Ya. Kamu blender biji es.”

“Berapa banyak?”

“Segunung.”

Lila sedikit tersentak mendengarnya.

“Ya kira-kira berapa kalau cuma buat segelas?”

“Siap,” jawab Lila dengan nada suara lemah dan seperti menyesal bertanya.

Filan tertawa kecil mendengarnya.

“Enggak usah nangis, dong!”

“Kamu, marahin aku terus.”

“Biar kamu enggak gampang kaget, biar enggak penakut. Masa ditanyain aja, udah kayak terdakwa di persidangan?”

Lila mencampur air dan serpihan biji es ke dalam blender, sambil diam-diam mencuri pandang kepada Filan. Memandangi wajah laki-laki yang berambut lebat dan sedikit ikal itu. Mengamati sorot matanya yang terlihat sinis, wajahnya yang terkesan kuat dan kaku. Perpaduan warna kulit wajah kuning namun tampak memutih dengan ekspresi dingin itu dirasa Lila menawan dan enak dilihat. Lila tidak bisa menahan senyumnya yang otomatis. 

Lalu mereka berdua membuat persiapan lain. Sesekali Lila sambil membagi fokusnya dengan gawai.

"Filan, lihat!" dengan bungah dan tergesa, lalu menyodorkan layar gawai ke dekat muka Filan. Ia berbinar-binar sementara Filan dalam proses menangkap apa yang ia tunjukkan.

"What?!” Filan tercengang, membaca selebaran digital dalam Pictagram, dengan visual yang menarik, terbaca: Congratulation to our couple, Filan Harlen & Amelila Najmi, as Runner-Up of Couple Cooking Contest 2020. 

Filan mendorong gawai itu sedikit menjauh dari mukanya. Jari telunjuknya mengusap layar ke kiri, sehingga menampilkan gambar selebaran lain. Membaca pernyataan. As your reward, please claimed by accept our invitation to you both to attend the champion party in cruise ship Nebula across Barelang River in Batam City. Date at 26th August 2021. Any furture information, please decide your confirmate by replying email we sent to your emal.

 Raut senang mulai memenuhi wajah Filan dengan perlahan. Kebungahannya berpadu dengan yang Lila ungkapkan.

"Filan!” Lila melompat kebungahan seperti anak remaja yang polos.

"Cek emailnya!" kata Filan. Ia mendempet ke sebelah kanan Amelia, sama antusianya membaca email masuk dari Kitcheristic, menyimak isi pesan.

"Tanggal dua enam? Em ...,” pikir Lila menghitung, “lima belas hari ke depan?"

"Hey! Really?” tanggap Filan.

“Eh, itu kan ... hari ulang tahun kamu,” ingat Lila, “wah! Iya. Special date banget!”

“Aku belum selesai baca,” Filan kembali perhati ke isi pesan, “sespesial apa hari itu?” menyimak.

“Gratis akomodasi!” kesan Filan, membuat Lila bereaksi sama.

“Gratis stay di Harison Hotel juga dua hari,” dapatnya Lila.

“Ini info utama,” kata Filan sambil telunjuk kanannya menandai paragraf yang dia maksudkan.

“Reward utama kita naik kapal pesiar Nebula lintas Barelang, tapi kayaknya bukan hadiah liburan,” paham Filan menerjemahkan teksnya.

“Diminta bikin Summer Rosses sebanyak VVIP yang ada di deck teratas?” Lila mengulang baca sebaris kalimat yang dia dapat, hingga yakin tidak salah baca, “dengan bahan yang sudah disiapkan dari Kitcheristic,” lanjutnya menerjemahkan.

“Kayak enggak asyik gitu, deh syarat kompensasinya,” sesal Lila, “hadiah macam apa ini?”

Filan memikirkan pernyataan Lila. “Itu bisa  dua kemungkinan. Kita melayani para VVIP yang enggak terlalu peduli siapa kita dan urusan kita kecuali sebatas kenal dan pelaku hiburan kuliner, atau,” menatap Lila, “kesempatan emas buat kita promosi. Kafe dan nama kita.”

“Maksud kamu, mereka para investor? Parlente? Pegiat kuliner profesional dan ternama?”

“Semoga aja iya."

Satu bunyi notifikasi dari gawai Lila menyela pendengaran mereka berdua. Menampilkan pesan masuk dalam aplikasi Conversay.

“Sherlin nagih,” lapor Lila, “sampai lupa pesanannya.”

Lila mengisikan vla, bergantian selang-seling dengan Filan yang mengisikan remahan biskuit gandum dan potongan dadu buah mangga ke dalam gelas highball prisma asimetris. Potongan mangga yang lebih besar diletakkan sebatas permukaan. Hal serupa mereka lakukan ke dalam gelas saji yang lain, sehingga penampilan keduanya terlihat mirip di atas nampan yang sama.

“Foto dulu!" Lila menjakankan fungsi kamera gawainya, memposisikan landskap, mengatur titik fokus. Mendapatkan gambarnya, “Perfect!” lalu mengambil beberapa foto lagi dengan sudut dan fokus yang berlainan.

“Kamu antar, ya!” kata Filan.

“Barengan, sih!”

“Kamu!”

Lila cemberut.

“Susah pegang nampan berdua.”

Filan lihat hidung dan bibir Lila semakin lancip. “Udah sana! Aku beresin dapur.”

Lila masih begitu sambil memandangi punggung Filan yang beralih perhati mengurus isi meja dapur.

*** 

Di bawah sorotan kuning temaram sinar lampu jalan, Lila berdiri menyangga nampan di depan rumah bertingkat dua bercat hijau tosca. Sebelah dari sepasang pintu kayu warna putih di hadapannya sedang membuka dari dalam. 

"Kak Lila!" anak perempuan yang mengenakan stelan teddy-bear menyapa.

"Mango Chesse Cake pesanan Sherlin!" kata Lila sambil merendahkan nampan, sehingga anak perempuan manis itu tidak perlu berjinjit mengambil dua gelas. "Tahu, kan punya Sherlin yang mana?"

"Ini!" kata Sherlin sambil mengangkat sedikit gelas yang dia pegang dengan tangan kiri. Nampak sepasang lesung pipinya menggemaskan. "Makasih-sayang, kak Lila! Makasih-sayangnya bagi dua sama Kak Filan, ya!"

"Sama-sama—nya juga bagi dua sama Oma Ima, ya!"

"Iya. Good nite, kakak!" kata Sherlin. 

"You too!"

Sherlin menendang pelan sebelah pintu rumahnya dengan kaki kanan, membuat bunyi terdengar "jedar" pelan sewaktu pintunya menutup. Oh, tidak, hanya hampir menutup. Bunyi "jedar" yang lebih keras membuat Lila sedikit berjingkat, selama dua detik sempat menahan tarikan napas. Ia tidak melihat teknik tendangan apa yang Sherlin lakukan untuk menutup dengan paksa.

Lila berbalik badan, secara otomatis menghadap sebuah rumah bertingkat dua yang berpagar teralis warna cokelat. Jaraknya dengan rumah itu hanya diantarai jalan aspal yang sedang dilintasi sebuah mobil civic hitam—berhenti tepat memotong langkah Lila yang hendak menyeberang, sementara tidak ada kendaraan lain yang melintas. 

Sambil mendekap nampan kosong, Lila bergegas melangkah menyimpang ke belakang mobil itu dengan tidak menoleh ke mana pun. Tidak membuat kontak mata dengan pria berstelan blazzer hitam—keluar dari pintu kanan belakang mobil—yang terburu mengimbangi kecepatan langkah Lila. 

"Berhenti!" pria blazzer hitam yang membuat Lila mengikuti ucapannya. Ia melangkah dengan tegas, mendekati wajah Lila yang menoleh perlahan kepadanya. Lila bisa melihat ujung pistol yang mengarah ke keningnya, juga  mengetahui bagaimana pengunci rollrover ditarik ke belakang.

Lila tidak bereaksi apa pun selain berdiri gemetar, meski pria itu mendorong pelipis kirinya dengan ujung rollrover.

“Gara-gara lu, tiap menit hidup gue kena maki dan omelan Jeral. Tiga bulan! Bayangin itu!” suaranya membuat raut ketakutan Lila semakin jelas,  “mulai malam ini, lu akan bertanggungjawab. Selesain masalah lu sama dia,” mencengkeram lengan Lila, menariknya.

“E-eng-enggak!” Lila memberi tarikan yang berlawanan. 

“Gue dikasih pilihan. Bawa lu atau bunuh lu di tempat,” menekan ujung rollrover ke pipi kiri Lilia, “lu pilih mana?”

Lila merasa kehilangan seluruh tenaga, termakan ketakutannya mau pun terbunuh ancaman pria itu. Ia dibawa masuk ke dalam mobil—di belakang. Nampan melayang dan tercampakkan ke aspal sebelum pintu belakang kanan mobil ditutup. 

Dari balik kaca transparan di lantai dua dalam rumah hijau tosca, seorang wanita yang wajahnya terdapat beberapa garis kerutan tampak khawatir ketika memperhatikan—mungkin semua—yang terjadi di dekat lampu jalan depan rumahnya barusan. Memperhatikan mobil civic hitam itu melaju.

Related chapters

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 2: Istri yang Hilang

    Tangan kanan maskulin memegang kain, mengusapkannya pada permukaan meja putih kayu, menyingkirkan bekas dari tumpahan larutan warna putih dan kuning. Ia menuju wastafel sejarak lima langkah. Mengambil telenan, parutan, dan pengaduk yang sedikit berair dari keranjang. Memmindah dan menggantung tiga benda itu dalam sebingkai organisir seperti peralatan dapur lainnya yang punya fungsi saling berhubungan.Bunyi dua nada singkat ia dengar. Sedetik berikutnya ia dengar lagi bunyi yang sama.Filan berbalik, melangkah keluar dapur sambil diiringi bunyi yang sama dan menjadi menyebalkan telinganya, “Apa-apaan, sih Lila? Kebanyakan gaje!” sampai di pintu depan. Membuka pintu, arah pandangannya menunduk. Mendapati bocah perempuan dengan poni menutupi seluruh dahi, ia mendekap nampan warna cokelat.“Kak Filan!” katanya dengan raut yang tidak mengenakkan benak Filan.“Sherlin?”“Tolong Kak Lila!” memohon dengan la

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 3: Janji 14 Hari

    Filan mulai melihat segerombolan pria—delapan orang—mengenakan stelan blazzer hitam yang seragam, seperti sedang memusatkan perhatian kepada orang kesembilan yang mengenakan stelan blazzer putih, sewarna dengan hipster set tematik yang Filan kenakan. Lalu perhati kepada orang kesepuluh di ruang berkualitas itu, satu-satunya perempuan. Setiap orang yang menempati sofa set warna kuning pasir beralih perhatian, saling memandang ke arah kedatangan orang kesebelas. Si blazzer putih yang merangkul seorang perempuan di sebelah kirinya, membalas tatapan tajam Filan tanpa kehilangan kenikmatan dari hisapan dan embusan asap vape yang ia genggam.“Filan!” ucap Lila dengan rasa takut dan ragu yang sampai memukul benak Filan.“Bajingan!” sapa Filan kepada si blazzer putih yang dekapannya menguasai Lila. Filan pikir dialah bos FMB, mengingat namanya yang dikatakan Aris—Jeral Dominarto.“Singkirin tangan busuk kau dari istriku!&r

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 4: Harlen Caffe

    Pastel buah satu porsi atas nama Heru, tertulis pada stick-note putih yang tertempel pada papan kolaps styrofoam. Papan kolaps menu pesanan yang sekali dipandang satu-satunya pelanggan dari tempat duduknya, mungkin cara untuk sekadar sesekali mengalihkan kebosanan dari menatap ruangan kafe dengan jajaran bangku kayu warna cokelat karamel yang kosong dari pelanggan lain, atau sekadar menatap sesuatu yang lebih menarik daripada bingkai-bingkai word-art yang mengisi kepolosan sisi-sisi dinding.Tapi bagi pelanggan itu, menghisap sebotol jus vapor lalu mengembuskan asap putih dengan panjang dan tebal dari napas hidung dan mulutnya menandakan dia tahu cara menikmati rasa menunggu pesanan, selain rasa dari teh lemon—dalam gelas highball—yang sesekali ia minum lewat sedotan pelastik. Lalu ia mengalihkan perhatian kepada Filan yang mengatur tekanan jemari dan pengirisan ke roti pastel besar sampai lima irisan, apik membuat hasil tiap irisannya melebar sehingga sebag

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 5: Duel Masak

    “Eh?! Filan! Kamu udah gila?” Heru tidak siap menerima kesepakatan itu.“Kamu beneran enggak mau jual tempat ini, kan? Meski pun segitu harga?”“Ya, dan jangan bilang kamu enggak tahu siapa lawan tandingmu!”Filan merasa otaknya berdenyut, ucapan Heru barusan menampar pikirannya.“Kamu tahu siapa ini?”“Sedikit baca tentang dia. Yang punya NFC, Nester Food Corner. Pusat di Washington. Cabang yang aku tahu dan pernah ke sana, KL dan Kraton di Jogja.”Tiga detik Filan menatap Nester yang ia pikir batinnya sedang mencibir perselisihannya dengan Heru.“Jadi semua yang kamu tahu itu bikin dia pasti ngalahin aku?”“Aku mulai tahu ternyata kamu cukup jenius. Tapi orang di hadapan kita, aku merasa, lebih advanced—maju—dari kejeniusanmu,” Heru meyakinkan.“Any problem?” sela Nester dengan heran.“Please w

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 6: Pastel Buah VS Eggvocado

    Heru memperhatikan Filan dan Nester yang saling memberi bara tatapan perlawanan, sementara ia merasakan dampak dari dua aura itu pada sekujur kulit tubuhnya seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Ekstra presepsi Heru menggambarkan, Nester diselimuti pancaran aura putih yang mendorong kuat keluar dari tubuh, berbenturan dan saling menekan dengan kobaran aura merah yang menyelimuti tubuh Filan.“Filan. I give you a second change. Surrender, than I will give you a price I offered. Or I will defeat you and will be handed-over this place just for one hundred million—Aku beri kamu kesempatan memilih kembali. Menyerah padaku, aku akan memberi harga sesuai penawaran. Atau aku akan mengalahkanmu dan harus menghargai tempat ini seratus juta saja,” kata Nester dengan santai.“Not both. I will kick you to never expand your business in around this city forever—Tidak keduanya. Karena aku akan menendang (membuat)-mu untuk tidak akan pernah mengemb

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 7: 13 Hari Aisha

    “Ini bukan telur sungguhan, ya?” kata sang mama, “ini ada jenis rasa buahnya, dan bener kayaknya kamu, Rin. Ada kayak rasa cumi.” “iya, kan Ma? What is this banget rasanya!” “Ini pasti molekuler gastronomi,” sambung sang mama. Filan dan Heru seperti tersadar akan hal yang sama. “Apa itu, Ma?” “Metode masak pakai ilmu molekuler. Sains kuliner gitu, deh.” “Waw!” terkesima, “baru denger. Kok mama tahu?” “Masa kamu enggak?” “Oh, ya. Putih telur ini rasanya juga enggak kayak putih telur. Tapi teksturnya memang mirip putih telur asli. Lebih kayak ada rasa manis yang khas, bukan manis gula,” sang papa berpikir sedikit serius, “manis yang khas, kombinasi yang pas sama alpukat panggangnya. “Oke. Tolong kasih nilainya!” Heru mengalihkan topik, “dari bapak!” “Hem,” sang papa terdiam mempertimbangkan, “lima belas.” “Aku, ya? Em ... Iima belas,” kata si perempuan. “Dari saya, enam belas,” kata sang ma

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 8: Tiga Hal Tak Terhindarkan

    Satu kepulan asap putih menyembul ke atas. Heru melihat ketinggian aerosol itu ingin menggapai baling-baling kipas di langit-langit susunan papan kayu mengkilap. Raut mukanya yang mendongak itu semuram Filan yang memegangi kepala dengan menunduk, duduk berhadapan di antarai meja bernomor pod nol lima. Tanpa satu pun menu tersaji menengahi kegundahan mereka, tetapi sekotak kopor abu-abu itu.“Kacau parah!” gumam Heru sambil tersenyum ironis, “terus kamu mau berbuat apa? Aku harus bantu kamu kek mana?”“Cepat atau lambat Paman akan tahu. Jadi bantu aku nutupin masalah ini selama mungkin,” jawab Filan nadanya lemas.“Jadi koper sialan ini ... hak Papaku,” kata Heru.Filan menanggapinya diam.“Seandainya aku tadi ng-iya-in penawarannya, mau kek mana pun misal Papa kecewa, tetep ada untungnya,” menutup ungkapan sesalnya dengan hisapan vapor.“Sorry! Aku kalah,” ucap Filan den

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 9: Recha Harlen

    Recha menatap tembus ke luar jendela kaca fiber, kepada gumpalan putih yang dilalui konstruksi sayap kaku abu-abu, kepada birunya laut ... dan hijaunya daratan yang menurut anggapannya berkontur lebih tinggi daripada jajaran gedung-gedung diantarai jalanan aspal. Sebuah nada befrekuensi halus ia dengar, diikuti suara wanita yang menjelaskan posisi penerbangan juga arahan untuk memasang sabuk pengaman. Recha mengikuti sesuai arahan itu. Kembali melihat ke luar jendela, menyadari pesawat sedang menukik diagonal ke kanan sekaligus bawah.Perhatiannya menjadi terpusat kepada satu bukit hijau, di mana ada jajaran huruf waran putih yang—tentu saja sangat besar—bisa dibacanya “WELLCOME TO BATAM”.Filan berjalan di suatu trotoar sempit, melalui jajaran mobil berparkir, poni rambut undercut-nya bergoyang diterpa angin, bagian bawah jaket levisnya hampir terbang dari balik punggung. Ia memilih jalur penyeberangan yang selurus dengan tengah halaman banguna

Latest chapter

  • Kode Prosa Aisha   Chater 13: Menjemput Lila

    “Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu,” Filan membacakan kalimat.“Menurutku, sub tema berganti di paragraf ini,” sepaham Diksa.“Laut, ya? Apa ini punya konteks seafood?” tanya Recha.“Em, bener juga,” Diksa menyadari hal yang sama dengan Recha, “tadi sub tema api. Elemental yang udah kita catat punya sifat panas.”“Kalau gitu, Kauwus Las mungkin jenis ikan,” kata Filan.“Dan udang paling lunak. Ini kata yang sebenarnya atau metafor?” kata Recha.“Kalau kita sepakat di konteks seafood, kemungkinan besarnya itu leksikal,” kata Diksa.“Diksa, tolong cari bab seafood! Recha searching udang paling lunak!”Diksa dan Recha merespon sesuai perintah Filan.Filan mendengar suara dua takbir terlantun. Lalu mendengar lagi dengan lantunan lebih panjang.“Magrib. Kit

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 12: Meja Bundar

    “Udang windu,” Aris membacakan, “Penaeus monodon atau giant tiger prawn, Asian tiger shrimp, black tiger shrimp, adalah sebuah crustaces yang dibudidayakan secara luas untuk dikunsumsi. Di Indonesia, udang ini disebut udang pancet atau udang windu.”“Wait!” Filan menyela, “kamu nyebut kata tiger tiga kali.” Ia sama terkesimanya sebagaimana Recha dan Diksa.Recha segera beralih perhatian pada ponselnya. “Kak!” menunjukkan tampilan layarnya kepada Filan, “Harimau bersentaja jarum tombak.”Filan mengamati sebingkai gambar udang dengan corak bergaris belang. “Ya. Keterkaitannya cukup besar,” merasa yakin.“Apa tadi nama ilmiahnya?” tanya Diksa kepada Aris.“Penaeus Monodon.”Diksa menuliskan istilah itu. “Peeuon, ya?” gumamnya sambil mencermati apa yang barusan ditulisnya.Ia membuat garis di bawah beberapa huruf dalam ist

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 11: Kode Prosa Aisha

    Penghuni rumah bambu di hamparan rumput. Meski pun lunak dan lembut, atapnya senantiasa menopang sebundar benua. Benua yang terbentuk dari sabuk api, samudera, sungai-sungai, daratan, dan pegunungan es sebagai lingkaran dinding.Sabuk api dijaga oleh dua kubu pasukan harimau. Kubu Baloasra pengendali benteng dan kubu Peeuon bersentaja jarum tombak. Semua harimau memakai mahkota Traeum warna merah dan mereka memancarkan energi panas yang disebut Zhipy.Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu.Para Thoge menyebar di tanah Toniourii yang banyak terdapat Oleupa. Anilbilo menjadi penguasa sungai Tateata dan sungai Chome yang menyebar di sepertiga tanah Toniourii.Sebagian tanah Toniourii adalah pegunungan merah yang dinamai Pentasncolta. Dari pegunungan merah mengalir sungai Rosa kecil. Di sana sebagian Thoge membaur dengan Mayota Grult dan Tronrvos.Benua itu ada dalam lingkar pegunungan es. Pegunungan e

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 10: Tiga Kartu As Filan

    Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 10: Tiga Kartu As Filan

    Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 9: Recha Harlen

    Recha menatap tembus ke luar jendela kaca fiber, kepada gumpalan putih yang dilalui konstruksi sayap kaku abu-abu, kepada birunya laut ... dan hijaunya daratan yang menurut anggapannya berkontur lebih tinggi daripada jajaran gedung-gedung diantarai jalanan aspal. Sebuah nada befrekuensi halus ia dengar, diikuti suara wanita yang menjelaskan posisi penerbangan juga arahan untuk memasang sabuk pengaman. Recha mengikuti sesuai arahan itu. Kembali melihat ke luar jendela, menyadari pesawat sedang menukik diagonal ke kanan sekaligus bawah.Perhatiannya menjadi terpusat kepada satu bukit hijau, di mana ada jajaran huruf waran putih yang—tentu saja sangat besar—bisa dibacanya “WELLCOME TO BATAM”.Filan berjalan di suatu trotoar sempit, melalui jajaran mobil berparkir, poni rambut undercut-nya bergoyang diterpa angin, bagian bawah jaket levisnya hampir terbang dari balik punggung. Ia memilih jalur penyeberangan yang selurus dengan tengah halaman banguna

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 8: Tiga Hal Tak Terhindarkan

    Satu kepulan asap putih menyembul ke atas. Heru melihat ketinggian aerosol itu ingin menggapai baling-baling kipas di langit-langit susunan papan kayu mengkilap. Raut mukanya yang mendongak itu semuram Filan yang memegangi kepala dengan menunduk, duduk berhadapan di antarai meja bernomor pod nol lima. Tanpa satu pun menu tersaji menengahi kegundahan mereka, tetapi sekotak kopor abu-abu itu.“Kacau parah!” gumam Heru sambil tersenyum ironis, “terus kamu mau berbuat apa? Aku harus bantu kamu kek mana?”“Cepat atau lambat Paman akan tahu. Jadi bantu aku nutupin masalah ini selama mungkin,” jawab Filan nadanya lemas.“Jadi koper sialan ini ... hak Papaku,” kata Heru.Filan menanggapinya diam.“Seandainya aku tadi ng-iya-in penawarannya, mau kek mana pun misal Papa kecewa, tetep ada untungnya,” menutup ungkapan sesalnya dengan hisapan vapor.“Sorry! Aku kalah,” ucap Filan den

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 7: 13 Hari Aisha

    “Ini bukan telur sungguhan, ya?” kata sang mama, “ini ada jenis rasa buahnya, dan bener kayaknya kamu, Rin. Ada kayak rasa cumi.” “iya, kan Ma? What is this banget rasanya!” “Ini pasti molekuler gastronomi,” sambung sang mama. Filan dan Heru seperti tersadar akan hal yang sama. “Apa itu, Ma?” “Metode masak pakai ilmu molekuler. Sains kuliner gitu, deh.” “Waw!” terkesima, “baru denger. Kok mama tahu?” “Masa kamu enggak?” “Oh, ya. Putih telur ini rasanya juga enggak kayak putih telur. Tapi teksturnya memang mirip putih telur asli. Lebih kayak ada rasa manis yang khas, bukan manis gula,” sang papa berpikir sedikit serius, “manis yang khas, kombinasi yang pas sama alpukat panggangnya. “Oke. Tolong kasih nilainya!” Heru mengalihkan topik, “dari bapak!” “Hem,” sang papa terdiam mempertimbangkan, “lima belas.” “Aku, ya? Em ... Iima belas,” kata si perempuan. “Dari saya, enam belas,” kata sang ma

  • Kode Prosa Aisha   Chapter 6: Pastel Buah VS Eggvocado

    Heru memperhatikan Filan dan Nester yang saling memberi bara tatapan perlawanan, sementara ia merasakan dampak dari dua aura itu pada sekujur kulit tubuhnya seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Ekstra presepsi Heru menggambarkan, Nester diselimuti pancaran aura putih yang mendorong kuat keluar dari tubuh, berbenturan dan saling menekan dengan kobaran aura merah yang menyelimuti tubuh Filan.“Filan. I give you a second change. Surrender, than I will give you a price I offered. Or I will defeat you and will be handed-over this place just for one hundred million—Aku beri kamu kesempatan memilih kembali. Menyerah padaku, aku akan memberi harga sesuai penawaran. Atau aku akan mengalahkanmu dan harus menghargai tempat ini seratus juta saja,” kata Nester dengan santai.“Not both. I will kick you to never expand your business in around this city forever—Tidak keduanya. Karena aku akan menendang (membuat)-mu untuk tidak akan pernah mengemb

DMCA.com Protection Status