Tangan kanan maskulin memegang kain, mengusapkannya pada permukaan meja putih kayu, menyingkirkan bekas dari tumpahan larutan warna putih dan kuning. Ia menuju wastafel sejarak lima langkah. Mengambil telenan, parutan, dan pengaduk yang sedikit berair dari keranjang. Memmindah dan menggantung tiga benda itu dalam sebingkai organisir seperti peralatan dapur lainnya yang punya fungsi saling berhubungan.
Bunyi dua nada singkat ia dengar. Sedetik berikutnya ia dengar lagi bunyi yang sama.
Filan berbalik, melangkah keluar dapur sambil diiringi bunyi yang sama dan menjadi menyebalkan telinganya, “Apa-apaan, sih Lila? Kebanyakan gaje!” sampai di pintu depan. Membuka pintu, arah pandangannya menunduk. Mendapati bocah perempuan dengan poni menutupi seluruh dahi, ia mendekap nampan warna cokelat.
“Kak Filan!” katanya dengan raut yang tidak mengenakkan benak Filan.
“Sherlin?”
“Tolong Kak Lila!” memohon dengan lantang.
Kejutan degup jantung Filan terasa mengganggu mendengar yang Sherlin katakan. “Ada apa?”
***
Filan mengendarai motor Verza warna merah melintasi sebuah jalan aspal, menyalip beberapa pengendara lain. Mengambil kesempatan terbukanya celah lintasan yang untuk menyalip kendaraan lebih banyak. Hingga berhenti tepat di depan garis penyeberangan di perempatan sewaktu jalurnya dijeda lampu merah.
Sebuah nada berdering ia dengar. Merogoh saku celana sebelah kanan, melihat sebuah nama “Aris” melayang naik turun pada layar ponselnya.
“What the big deal?” umpat Filan.
Melepas helm, meletakkannya di atas tanki motor, menerima panggilan.
“Hallo!” menyapa dengan kesal.
“Ngapain?” Mendengar sejenak.
“Okey. Tunggu!”
Lanjut menempuh suatu arah, mengambil beberapa belokan. Hingga menghentikan motor di depan mobil SUV putih di area parkir depan minimarket. Mengondisikan motornya, menghampiri seorang laki-laki yang keluar dari mobil.
Perjumpaan yang diawali dengan Filan menerima sebuah ponsel dari Aris. Sebentar Filan melihat ponsel itu, menyalakan layarnya sehingga nampak screen-saver foto dirinya berpose mesra dengan Lila.
“Gimana ceritanya?” tanya Filan yang Aris lihat tidak cukup baik mengondisikan emosinya.
“Tenangin dulu dirimu!” memberi Filan sebotol minuman ringan, memberi kesempatan Filan meneguknya, “ada yang enggak beres di keluarga barumu?”
“Sejauh ini aku lihat baik-baik aja, sampai terjadi hal yang enggak aku ngerti malam ini?”
“Woah? Kalau gitu ... kayaknya aku punya sedikit petunjuk buatmu.”
***
Sepasang mata sedang menatap refleksi pandangannya sendiri lewat kaca spion kecil yang mengantarai jarak dua jog depan dalam mobil. Lewat kaca spion itu juga ia melirik sebagian wajah berkacamata hitam dari kedua pria yang menghimpitnya di tengah. Tangan kirinya meraba tekstur jeans secara perlahan, jemarinya bergerilya menuju saku sementara pandangannya waspada. Selama sedetik sempat berkontak mata dengan pengemudi lewat kaca spion tengah, Lila segera membuang pandangannya ke depan melihat jalan.
Genggaman tangan kiri Lila menarik ponsel keluar dari saku, dengan mengendalikan kecepatan geraknya agar tidak membuat efek suara yang mengundang perhatian dua pria yang mengapitnya. Ibu jari Lila bergerak cepat membuka kunci layar, menjalankan aplikasi Conversay, mencari nama “Husband”, membuat panggilan. Cengkeraman datang tiba-tiba pada lengan kirinya membuat salah satu denyut jantung Lila berdegup mengejutkan dirinya sendiri dari dalam, sedangkan otaknya serasa tersengat.
“Enggak ada izin buat pamitan sama suamimu!” Pria yang mencengkeram lengan Lila itu merebut paksa ponsel, reaksi cepat pria sebelah kanan membekukan Lila dengan ujung revolver yang mengancam tepat di dagunya.
Genggaman tangan kiri Lila serasa hilang tenaga, membiarkan pria di sebelah kirinya merampas aset pribadinya.
Seorang laki-laki berbadan sedikit berisi keluar dari minimarket sambil menenteng sekantong plastik belanjaannya. Ia berjalan menghampiri mobil SUV putih di parkiran—halaman bangunan. Langkahnya terhenti ketika melihat benda persegi panjang mendarat ke permukaan kabin mesin. Ia segera berbalik badan, mengamati mobil civic hitam yang sedang melintas, sementara dalam pikirannya menghubungkan dengan kejadian mengejutkan barusan. Ia beralih perhatian kepada benda yang jatuh ke atas kabin mesin mobilnya. Mengambil ponsel itu, menyalakan layarnya yang menampilkan foto—ia pikir salah satu dari dua orang berpose mesra itu—pemiliknya sebagai pengunci layar.
***
“Plat nomor BP 789 FMB,” kata Aris, “maaf aku ngerasa perlu tanya. Kalian punya masalah selama jadi nasabah FMB?”
Filan bengong sesaat. “Nasabah ... FMB?” berpikir bahwa Aris lambat menjawab, “apa FMB?”
Filan berpikir Aris sedikit heran mendengar pertanyaan baliknya.
“Kamu beneran enggak tahu FMB?” Aris yakin kesimpulannya benar, “Fresh Money Bank. Perusahaan duit yang aku dengar beberapa kabarnya sering bikin nasabahnya gagal komitmen bayar angsuran, sampai ngambil alih hak kepemilikan jaminan pinjaman mau pun aset-aset pribadi nasabah buat ganti bayar pelunasan.”
Aris memberi waktu lima detik untuk Filan mencerna penjelasannya.
“Selama kenal Lila, aku enggak pernah tahu dia punya hubungan sama angsuran pribadi apa pun. Aku kenal Lila orang yang suka nahan diri dan cukup perhitungan soal pengeluaran,” balas Filan dengan menunjukkan rasa heran bersama pernyataannya yang tidak berhubungan dengan petunjuk Aris.
“Tapi, tapi kalau Lila memang punya masalah tunggakan angsuran atau apa, penculikan udah jelas kriminal,” ungkap Filan menambah kekesalannya sendiri.
“Kalau gitu, kamu harus dapatin jawabannya, segera.”
***
Filan mengendarai motornya menempuh perjalanan. Ingatannya memutar ulang potongan penjelasan Aris.
“Kalau dugaanku benar, kroni FMB itu jalan ke rumah bos mereka. Aku tahu. Jeral Dominarto, punya rumah warna putih, tingkat tiga, paling besar di jalan area Botania Dua. Rumah yang kamu lihat mirip hotel tapi berpagar tembok dan punya pos security yang jaga palang portal.
Filan menghentikan motor di depan palang portal balok panjang. Ia pikir portal itu dikendalikan security yang ada di dalam pos. Palang itu membuka ke atas. Filan menganggukkan kepala kepada seorang security yang dilihatnya tembus dari balik kaca transparan. Ia tidak habis pikir kenapa dipersilakan masuk dengan mudah. Melihat area parkir khusus kendaraan roda dua—tidak jauh dari pos security—Filan mengondisikan motornya di situ. Filan merasa mengerti salah satu peraturan di tempat ia berada saat itu adalah “hanya dengan cara jalan kaki sejauh kurang lebih lima puluh meter” untuk—mengamati struktur luar bangunan besar bertingkat tiga yang area halaman dan tamannya sedang dilalui—menuju rumah bergaya hotel mini.
Filan melalui area parkir khusus kendaraan beroda empat, melihat empat buah mobil setipe yang berjajar. Beberapa saat pengamatannya terfokus pada plat nomor belakang salah satu mobil, BP 789 FMB. Nomor seri yang membuat bagian kerja pasif pikirannya menghubungkan itu dengan potongan ucapan Aris dalam ingatan.
Filan melempar pandang kepada dua pria penjaga sepasang belah pintu rumah, hingga melalui keduanya dengan izin yang mudah. Filan merasa seperti berada dalam rumah terbaik di kota itu, melalui ruangan depan menuju tengah yang dindingnya dihiasi beberapa lukisan, kolam ikan, air mancur dengan lampu berwarna, dan sistem pengairan yang indah dan terkesan natural namun tidak Filan mengerti apa gunanya.
Filan mulai melihat segerombolan pria—delapan orang—mengenakan stelan blazzer hitam yang seragam, seperti sedang memusatkan perhatian kepada orang kesembilan yang mengenakan stelan blazzer putih, sewarna dengan hipster set tematik yang Filan kenakan. Lalu perhati kepada orang kesepuluh di ruang berkualitas itu, satu-satunya perempuan. Setiap orang yang menempati sofa set warna kuning pasir beralih perhatian, saling memandang ke arah kedatangan orang kesebelas. Si blazzer putih yang merangkul seorang perempuan di sebelah kirinya, membalas tatapan tajam Filan tanpa kehilangan kenikmatan dari hisapan dan embusan asap vape yang ia genggam.“Filan!” ucap Lila dengan rasa takut dan ragu yang sampai memukul benak Filan.“Bajingan!” sapa Filan kepada si blazzer putih yang dekapannya menguasai Lila. Filan pikir dialah bos FMB, mengingat namanya yang dikatakan Aris—Jeral Dominarto.“Singkirin tangan busuk kau dari istriku!&r
Pastel buah satu porsi atas nama Heru, tertulis pada stick-note putih yang tertempel pada papan kolaps styrofoam. Papan kolaps menu pesanan yang sekali dipandang satu-satunya pelanggan dari tempat duduknya, mungkin cara untuk sekadar sesekali mengalihkan kebosanan dari menatap ruangan kafe dengan jajaran bangku kayu warna cokelat karamel yang kosong dari pelanggan lain, atau sekadar menatap sesuatu yang lebih menarik daripada bingkai-bingkai word-art yang mengisi kepolosan sisi-sisi dinding.Tapi bagi pelanggan itu, menghisap sebotol jus vapor lalu mengembuskan asap putih dengan panjang dan tebal dari napas hidung dan mulutnya menandakan dia tahu cara menikmati rasa menunggu pesanan, selain rasa dari teh lemon—dalam gelas highball—yang sesekali ia minum lewat sedotan pelastik. Lalu ia mengalihkan perhatian kepada Filan yang mengatur tekanan jemari dan pengirisan ke roti pastel besar sampai lima irisan, apik membuat hasil tiap irisannya melebar sehingga sebag
“Eh?! Filan! Kamu udah gila?” Heru tidak siap menerima kesepakatan itu.“Kamu beneran enggak mau jual tempat ini, kan? Meski pun segitu harga?”“Ya, dan jangan bilang kamu enggak tahu siapa lawan tandingmu!”Filan merasa otaknya berdenyut, ucapan Heru barusan menampar pikirannya.“Kamu tahu siapa ini?”“Sedikit baca tentang dia. Yang punya NFC, Nester Food Corner. Pusat di Washington. Cabang yang aku tahu dan pernah ke sana, KL dan Kraton di Jogja.”Tiga detik Filan menatap Nester yang ia pikir batinnya sedang mencibir perselisihannya dengan Heru.“Jadi semua yang kamu tahu itu bikin dia pasti ngalahin aku?”“Aku mulai tahu ternyata kamu cukup jenius. Tapi orang di hadapan kita, aku merasa, lebih advanced—maju—dari kejeniusanmu,” Heru meyakinkan.“Any problem?” sela Nester dengan heran.“Please w
Heru memperhatikan Filan dan Nester yang saling memberi bara tatapan perlawanan, sementara ia merasakan dampak dari dua aura itu pada sekujur kulit tubuhnya seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Ekstra presepsi Heru menggambarkan, Nester diselimuti pancaran aura putih yang mendorong kuat keluar dari tubuh, berbenturan dan saling menekan dengan kobaran aura merah yang menyelimuti tubuh Filan.“Filan. I give you a second change. Surrender, than I will give you a price I offered. Or I will defeat you and will be handed-over this place just for one hundred million—Aku beri kamu kesempatan memilih kembali. Menyerah padaku, aku akan memberi harga sesuai penawaran. Atau aku akan mengalahkanmu dan harus menghargai tempat ini seratus juta saja,” kata Nester dengan santai.“Not both. I will kick you to never expand your business in around this city forever—Tidak keduanya. Karena aku akan menendang (membuat)-mu untuk tidak akan pernah mengemb
“Ini bukan telur sungguhan, ya?” kata sang mama, “ini ada jenis rasa buahnya, dan bener kayaknya kamu, Rin. Ada kayak rasa cumi.” “iya, kan Ma? What is this banget rasanya!” “Ini pasti molekuler gastronomi,” sambung sang mama. Filan dan Heru seperti tersadar akan hal yang sama. “Apa itu, Ma?” “Metode masak pakai ilmu molekuler. Sains kuliner gitu, deh.” “Waw!” terkesima, “baru denger. Kok mama tahu?” “Masa kamu enggak?” “Oh, ya. Putih telur ini rasanya juga enggak kayak putih telur. Tapi teksturnya memang mirip putih telur asli. Lebih kayak ada rasa manis yang khas, bukan manis gula,” sang papa berpikir sedikit serius, “manis yang khas, kombinasi yang pas sama alpukat panggangnya. “Oke. Tolong kasih nilainya!” Heru mengalihkan topik, “dari bapak!” “Hem,” sang papa terdiam mempertimbangkan, “lima belas.” “Aku, ya? Em ... Iima belas,” kata si perempuan. “Dari saya, enam belas,” kata sang ma
Satu kepulan asap putih menyembul ke atas. Heru melihat ketinggian aerosol itu ingin menggapai baling-baling kipas di langit-langit susunan papan kayu mengkilap. Raut mukanya yang mendongak itu semuram Filan yang memegangi kepala dengan menunduk, duduk berhadapan di antarai meja bernomor pod nol lima. Tanpa satu pun menu tersaji menengahi kegundahan mereka, tetapi sekotak kopor abu-abu itu.“Kacau parah!” gumam Heru sambil tersenyum ironis, “terus kamu mau berbuat apa? Aku harus bantu kamu kek mana?”“Cepat atau lambat Paman akan tahu. Jadi bantu aku nutupin masalah ini selama mungkin,” jawab Filan nadanya lemas.“Jadi koper sialan ini ... hak Papaku,” kata Heru.Filan menanggapinya diam.“Seandainya aku tadi ng-iya-in penawarannya, mau kek mana pun misal Papa kecewa, tetep ada untungnya,” menutup ungkapan sesalnya dengan hisapan vapor.“Sorry! Aku kalah,” ucap Filan den
Recha menatap tembus ke luar jendela kaca fiber, kepada gumpalan putih yang dilalui konstruksi sayap kaku abu-abu, kepada birunya laut ... dan hijaunya daratan yang menurut anggapannya berkontur lebih tinggi daripada jajaran gedung-gedung diantarai jalanan aspal. Sebuah nada befrekuensi halus ia dengar, diikuti suara wanita yang menjelaskan posisi penerbangan juga arahan untuk memasang sabuk pengaman. Recha mengikuti sesuai arahan itu. Kembali melihat ke luar jendela, menyadari pesawat sedang menukik diagonal ke kanan sekaligus bawah.Perhatiannya menjadi terpusat kepada satu bukit hijau, di mana ada jajaran huruf waran putih yang—tentu saja sangat besar—bisa dibacanya “WELLCOME TO BATAM”.Filan berjalan di suatu trotoar sempit, melalui jajaran mobil berparkir, poni rambut undercut-nya bergoyang diterpa angin, bagian bawah jaket levisnya hampir terbang dari balik punggung. Ia memilih jalur penyeberangan yang selurus dengan tengah halaman banguna
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
“Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu,” Filan membacakan kalimat.“Menurutku, sub tema berganti di paragraf ini,” sepaham Diksa.“Laut, ya? Apa ini punya konteks seafood?” tanya Recha.“Em, bener juga,” Diksa menyadari hal yang sama dengan Recha, “tadi sub tema api. Elemental yang udah kita catat punya sifat panas.”“Kalau gitu, Kauwus Las mungkin jenis ikan,” kata Filan.“Dan udang paling lunak. Ini kata yang sebenarnya atau metafor?” kata Recha.“Kalau kita sepakat di konteks seafood, kemungkinan besarnya itu leksikal,” kata Diksa.“Diksa, tolong cari bab seafood! Recha searching udang paling lunak!”Diksa dan Recha merespon sesuai perintah Filan.Filan mendengar suara dua takbir terlantun. Lalu mendengar lagi dengan lantunan lebih panjang.“Magrib. Kit
“Udang windu,” Aris membacakan, “Penaeus monodon atau giant tiger prawn, Asian tiger shrimp, black tiger shrimp, adalah sebuah crustaces yang dibudidayakan secara luas untuk dikunsumsi. Di Indonesia, udang ini disebut udang pancet atau udang windu.”“Wait!” Filan menyela, “kamu nyebut kata tiger tiga kali.” Ia sama terkesimanya sebagaimana Recha dan Diksa.Recha segera beralih perhatian pada ponselnya. “Kak!” menunjukkan tampilan layarnya kepada Filan, “Harimau bersentaja jarum tombak.”Filan mengamati sebingkai gambar udang dengan corak bergaris belang. “Ya. Keterkaitannya cukup besar,” merasa yakin.“Apa tadi nama ilmiahnya?” tanya Diksa kepada Aris.“Penaeus Monodon.”Diksa menuliskan istilah itu. “Peeuon, ya?” gumamnya sambil mencermati apa yang barusan ditulisnya.Ia membuat garis di bawah beberapa huruf dalam ist
Penghuni rumah bambu di hamparan rumput. Meski pun lunak dan lembut, atapnya senantiasa menopang sebundar benua. Benua yang terbentuk dari sabuk api, samudera, sungai-sungai, daratan, dan pegunungan es sebagai lingkaran dinding.Sabuk api dijaga oleh dua kubu pasukan harimau. Kubu Baloasra pengendali benteng dan kubu Peeuon bersentaja jarum tombak. Semua harimau memakai mahkota Traeum warna merah dan mereka memancarkan energi panas yang disebut Zhipy.Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu.Para Thoge menyebar di tanah Toniourii yang banyak terdapat Oleupa. Anilbilo menjadi penguasa sungai Tateata dan sungai Chome yang menyebar di sepertiga tanah Toniourii.Sebagian tanah Toniourii adalah pegunungan merah yang dinamai Pentasncolta. Dari pegunungan merah mengalir sungai Rosa kecil. Di sana sebagian Thoge membaur dengan Mayota Grult dan Tronrvos.Benua itu ada dalam lingkar pegunungan es. Pegunungan e
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Recha menatap tembus ke luar jendela kaca fiber, kepada gumpalan putih yang dilalui konstruksi sayap kaku abu-abu, kepada birunya laut ... dan hijaunya daratan yang menurut anggapannya berkontur lebih tinggi daripada jajaran gedung-gedung diantarai jalanan aspal. Sebuah nada befrekuensi halus ia dengar, diikuti suara wanita yang menjelaskan posisi penerbangan juga arahan untuk memasang sabuk pengaman. Recha mengikuti sesuai arahan itu. Kembali melihat ke luar jendela, menyadari pesawat sedang menukik diagonal ke kanan sekaligus bawah.Perhatiannya menjadi terpusat kepada satu bukit hijau, di mana ada jajaran huruf waran putih yang—tentu saja sangat besar—bisa dibacanya “WELLCOME TO BATAM”.Filan berjalan di suatu trotoar sempit, melalui jajaran mobil berparkir, poni rambut undercut-nya bergoyang diterpa angin, bagian bawah jaket levisnya hampir terbang dari balik punggung. Ia memilih jalur penyeberangan yang selurus dengan tengah halaman banguna
Satu kepulan asap putih menyembul ke atas. Heru melihat ketinggian aerosol itu ingin menggapai baling-baling kipas di langit-langit susunan papan kayu mengkilap. Raut mukanya yang mendongak itu semuram Filan yang memegangi kepala dengan menunduk, duduk berhadapan di antarai meja bernomor pod nol lima. Tanpa satu pun menu tersaji menengahi kegundahan mereka, tetapi sekotak kopor abu-abu itu.“Kacau parah!” gumam Heru sambil tersenyum ironis, “terus kamu mau berbuat apa? Aku harus bantu kamu kek mana?”“Cepat atau lambat Paman akan tahu. Jadi bantu aku nutupin masalah ini selama mungkin,” jawab Filan nadanya lemas.“Jadi koper sialan ini ... hak Papaku,” kata Heru.Filan menanggapinya diam.“Seandainya aku tadi ng-iya-in penawarannya, mau kek mana pun misal Papa kecewa, tetep ada untungnya,” menutup ungkapan sesalnya dengan hisapan vapor.“Sorry! Aku kalah,” ucap Filan den
“Ini bukan telur sungguhan, ya?” kata sang mama, “ini ada jenis rasa buahnya, dan bener kayaknya kamu, Rin. Ada kayak rasa cumi.” “iya, kan Ma? What is this banget rasanya!” “Ini pasti molekuler gastronomi,” sambung sang mama. Filan dan Heru seperti tersadar akan hal yang sama. “Apa itu, Ma?” “Metode masak pakai ilmu molekuler. Sains kuliner gitu, deh.” “Waw!” terkesima, “baru denger. Kok mama tahu?” “Masa kamu enggak?” “Oh, ya. Putih telur ini rasanya juga enggak kayak putih telur. Tapi teksturnya memang mirip putih telur asli. Lebih kayak ada rasa manis yang khas, bukan manis gula,” sang papa berpikir sedikit serius, “manis yang khas, kombinasi yang pas sama alpukat panggangnya. “Oke. Tolong kasih nilainya!” Heru mengalihkan topik, “dari bapak!” “Hem,” sang papa terdiam mempertimbangkan, “lima belas.” “Aku, ya? Em ... Iima belas,” kata si perempuan. “Dari saya, enam belas,” kata sang ma
Heru memperhatikan Filan dan Nester yang saling memberi bara tatapan perlawanan, sementara ia merasakan dampak dari dua aura itu pada sekujur kulit tubuhnya seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Ekstra presepsi Heru menggambarkan, Nester diselimuti pancaran aura putih yang mendorong kuat keluar dari tubuh, berbenturan dan saling menekan dengan kobaran aura merah yang menyelimuti tubuh Filan.“Filan. I give you a second change. Surrender, than I will give you a price I offered. Or I will defeat you and will be handed-over this place just for one hundred million—Aku beri kamu kesempatan memilih kembali. Menyerah padaku, aku akan memberi harga sesuai penawaran. Atau aku akan mengalahkanmu dan harus menghargai tempat ini seratus juta saja,” kata Nester dengan santai.“Not both. I will kick you to never expand your business in around this city forever—Tidak keduanya. Karena aku akan menendang (membuat)-mu untuk tidak akan pernah mengemb