Pastel buah satu porsi atas nama Heru, tertulis pada stick-note putih yang tertempel pada papan kolaps styrofoam. Papan kolaps menu pesanan yang sekali dipandang satu-satunya pelanggan dari tempat duduknya, mungkin cara untuk sekadar sesekali mengalihkan kebosanan dari menatap ruangan kafe dengan jajaran bangku kayu warna cokelat karamel yang kosong dari pelanggan lain, atau sekadar menatap sesuatu yang lebih menarik daripada bingkai-bingkai word-art yang mengisi kepolosan sisi-sisi dinding.
Tapi bagi pelanggan itu, menghisap sebotol jus vapor lalu mengembuskan asap putih dengan panjang dan tebal dari napas hidung dan mulutnya menandakan dia tahu cara menikmati rasa menunggu pesanan, selain rasa dari teh lemon—dalam gelas highball—yang sesekali ia minum lewat sedotan pelastik. Lalu ia mengalihkan perhatian kepada Filan yang mengatur tekanan jemari dan pengirisan ke roti pastel besar sampai lima irisan, apik membuat hasil tiap irisannya melebar sehingga sebagian—sampai empat warna—isi roti terlihat dari luar.
Heru—tidak salah lagi itu namanya sebagai pelanggan yang menunggu di saat hanya ada satu lembar pesanan di papan kolaps—memperhatikan bagaimana Filan tersenyum. Berpikir laki-laki yang mengenakan apron dengan desain tulisan “Harlen Caffe” itu puas dengan karyanya.
Filan memandang dengan penuh perhatian pada sebuntal kue berwarna kecoklatan dan berasap tipis, ada bekas beberapa irisan sempit yang membujur tidak terlalu jelas memperlihatkan isinya yang terlihat penuh. Tangan kanan Filan menggenggam pisau. Mengatur arah gerakan dan besar tekanan irisannya dengan perhitungan, sewaktu memperlebar irisan kue. Lalu menarik isinya yang terlihat supaya sedikit keluar, Filan berpikir perpaduan tekstur dan penampilan sajian itu terlihat lebih seimbang.
Mengambil cawan bening berisi larutan berwarna merah mawar. Membuat alur penuangan sesuai perhitungan dengan sendok sup, sewaktu melumerkannya pada roti. Filan menggantinya dengan cawan lain yang larutanan berwarna kuning madu, melumerkannya dengan teknik yang mirip. Merasa seporti pastel besar itu tampil terlalu polos pada sebuah piring putih lonjong yang datar, Filan menyertakan dua loyang mini berisi dua macam laurtan lumer tadi. Juga ingat dengan pisau, garpu dan tisu pada satu nampan.
“Filan!”
Filan mengalihkan perhatian dari sajian, melempar pandang kepada Heru. “Ya?”
“Mana Lila?”
Heru mendapati raut muka Filan menjadi tidak baik, berpikir Filan hampir kebingungan menjawab pertanyaan sederhana.
“D-di rumah. Lagi sakit,” jawab Filan dengan tidak menatap Heru.
“Sakit? Sakit apa?”
“Demam katanya.”
“Baru malam pertama dibikin demam,” Heru mengurungkan dorongan rasa penasarannya, berpikir sebaiknya dirinya tidak perlu tahu banyak, “semoga dia lekas sehat.”
Filan mengambil ponsel dari saku celana, membuka sistem kamera, mengatur titik fokus, memotretnya dari tiga sudut berbeda.
“Great me!” gumamnya dengan puas.
Sambil membawa karyanya, Filan melangkah ke meja dengan pod bernomor nol lima, kepada Heru yang menantikannya.
“Monggo, Mas!”
“Makasih.”
“Kalau enak bilang, ya!” canda Filan.
“Hem, kalau enak kamu balik kerja lagi di tempatku,” balas canda Heru.
“Jadi manager? Enggak masalah, sih!”
“Aku suruh ngajarin Roma bikin ini.”
“Skip dulu kalau sekarang.”
Heru membuka balutan tisu dari garpu dan pisau. “Aku jadi juri dulu. Kamu sini aja temenin aku ngobrol.”
Filan duduk menempati kursi sebelah kanan Heru, memperhatikan pelanggannya itu sedang memotong roti membelah salah satu irisan yang sudah ada.
Heru mengamati potongan yang ia tusuk dengan garpu. Mendalami macam isi yang ia tangkap. “Parutan memanjang ... mangga, melon. Cacahan nanas dan kurma. Selai ... ungu kehitaman?” mendalami lumeran warna merah ... dan kuning, “Restoku juga bikin ini, saus sambal stroberi, dan madu lemon.”
Reseptor Heru mulai terasa menyengat ke seluruh bibirnya. Melahap sepotong roti yang ia dapat dengan garpu. Enzim yang mengisi setiap kunyahan Heru mengidentifikasi jenis, sifat, tingkatan dan dampak emosionalnya, sementara nalar gastronominya sedang menyusun deskripsi pengesanan. Ia tersenyum sambil menyelesaikan beberapa kunyahan terakhir.
“Waou?!” tercengang, daya verbalnya sedang bungkam. Tidak sempat melihat bagaimana Filan tersenyum mengerti reaksinya. Susunan kalimat ungkapan yang dianggap terlalu sederhana dalam otaknya sedang disingkirkan keluar dari penyaringan nalar diksi yang hanya memilih jenis spesifik dan paling mewaliki.
“Bukan rujak buah, bukan jenis salad modifikasi. Ini ... aku enggak pernah kepikiran bikin yang kayak gini, ya?!”
“Katakan saja!” sela Filan.
“Kayak aku pernah makan ...,” gagal mengingat, “ck! Apa, ya lupa!”
“Enak?”
“Eem, enaknya .... Okey, gini aja. Aku identifikasi dulu gaya olahanmu ini. Enggak banyak orang suka olaham buah karena teksturnya keras. Maksudnya, buah yang udah matang itu kita anggap teksturnya udah lunak. Tapi kalau diolah jadi masakan, kematangan buah itu dianggap masih keras atau kurang lunak. Mengolah buah matang sampai ketemu kelunakan yang pas, itu metodenya hampir enggak ada orang yang mau coba dan peduli supaya bisa gitu. Kebanyakan akan berakhir menjadi terlalu lembek dan enggak ada pecinta buah yang mau makannya.”
“Aku rasa di bagian ini kamu cukup berhasil, nemu stelan kelunakan itu, bahkan rasanya ... emh, ya, rasanya ...,” pikiran Heru sedang lambat proses melanjutkan kalimatnya.
Memotong rotinya lagi seukuran satu lahap. Memastikan rasa yang ia presepsikan lewat kunyahan tidak jauh berbeda.
“Udahlah! Sederhana aja,” menyerah dengan pikirannya sendiri, “nagih banget. Kayak makan es krim mahal, roti top-branded, minuman party terenak. Well! Ini diri kamu yang sebenarnya.”
Filan tersipu dingin. “Ada penilaian lain?”
“Hem,” Heru mengingat, “macam asal rasanya, ya? Mangga, melon, nanas, kurma, anggur, cabe, stroberi, madu, lemon, jahe, garam, gula, nipis. Sifatnya lima rasa. Tekstur rasa lembut, hangat, lumer, pokoknya kalem.”
Filan beralih perhatian ke luar ruangan, memandang mobil MVP hitam yang membelakangi mini van abu-abu—berhenti di halaman.
“Belajar di mana?”
“Kreativitasku selalu belajar secara otomatis,” jawab Filan dengan tetap menatap ke halaman. Melihat kedatangan seorang pria—mengenakan kemeja hitam yang mengikuti bentuk badannya dan celana panjang abu-abu—dengan wajah asing, auranya tampak dominan terhadap dua pria lain berstelan jas hitam di belakangnya.
Heru mengikuti bagaimana Filan bereaksi. Melihat kedatangan pria asing berkacamata wayfafer yang diikuti dua pria lain dengan perawakan lokal.
Filan beranjak dari kursi, menghampiri kedatangan mereka bertiga. “Selamat datang!” sapa Filan, “Can I help you, Sir?”
“Sure. Do you own this place?”
“Right.” Melihat pria asing itu tersenyum tipis dan melepas wayfafer-nya. Filan mulai bisa melihat wajah aslinya dengan kulit putih, memiliki tatapan mata—menurutnya—ambisius dan anngkuh.
“I am Nester Freuderin, restaurant enterpreneur,” ucapnya sambil melipat kacamata dan melampirkan itu pada belahan leher kemeja, “Are you?”
“Filan Harlen. Owner this little caffe.”
Heru melihat Filan sedang menajamkan tatapan mata.
“Well. I came to tell you if I will open the fourth branch of NFC, my next copied restsurant. Your place is where in my planned built project—Baik. Aku datang untuk memberitahu kamu bahwa aku akan membuka cabang keempat NFC, salinan restoranku yang selanjutnya. Tempatmu berada dalam proyek rencana pembangunanku.”
“I am not selling it right now and forever—Aku tidak sedang menjualnya saat ini dan selamanya,” potong Filan tegas.
“Seriously? If I buy it at a high price?—Sungguh? Jika aku membelinya dengan harga tinggi?”
“Show me!”
“Dani!” sambil menoleh ke kiri kepada pria yang membawa searsip dokumen.
“Kafe kecil ini saya lihat enggak lebih dari delapan kali dua belas meter. ZNT di wilayah ini ...,” membuka dokumen, dengan cepat memindai beberapa informasi, “saya ambil yang paling tinggi, tiga juta per meter persegi. Total dua ratus delapan puluh delapan juta,” sambil menutup dokumen.
“Saya akan menghitung harga bangunannya,” penglihatan dari balik kacamata fedora-nya memindai setiap sudut ruangan dengan cepat, lalu menepi ke suatu sisi tembok yang paling dekat dengan tangan kirinya, memukul keras dengan bagian bawah genggaman tangan kiri—namun tidak membuat bingkai-bingkai wordart pada sisi dinding putih itu goyah.
“Dinding tembok, bata merah, plafon tripleks, tapi eternit bagian dapur, boleh juga. Termasuk wastafel, dan toiletnya aku hitung. Selain yang saya sebutkan bisa anda kemas. Totalnya, dua ratus lima puluh juta. Tanah dan bangungan, masing-masing dikali dua. Grand total, satu koma tujuh enam milyar rupiah,” pungkas Dani berapi hangat.
“So how?” Nester meminta keputusan.
Filan terdiam mempertimbangkan.
“Please decice immediately! I donna have so much time—Tolong putuskan segera. Aku tidak punya banyak waktu!” Nester mendesak.
Wajah Lila dalam beberapa potongan ingatan terlintas dalam pikiran Filan, juga apa yang ia katakan pada Lila terakhir kali.
“Filan!” Heru meletakkan sendok dan pisau ke nampan dan beranjak dari kursi, “Kamu ingat sama pamanmu?” tanya Heru dengan sedikit geram.
“Oh, ya.”
“Sorry!” ucap Heru kepada Nester, “ where you stand is my father’s,” tegasnya.
“Oh, well. Can I—,”
“No forever. I suggest you just change your planned project location. Offer it deal to other—Tidak untuk selamanya.
Saya sarankan anda geser saja lokasi rencana pembangunan anda. Tawarkan urusan itu kepada yang lain,” putus Heru.
“Oh, but I dont change that easily—tapi aku tidak mengubahnya semudah itu.”
“Why not?”
“Why dont we agree? I offer you a big win win solution—Kenapa kita tidak sepakat? Aku menawarkan solusi keuntungan bersama yang besar.”
“I said the answer—Saya sudah katakan jawabannya.”
“Hem, in that case. I cant draw apart of my big picture. How about we decide fairly—kakau begitu. Aku tidak bisa menarik kembali bagian dari gambar besarku. Bagaimana kalau kita putuskan dengan adil?”
“By what?”
“Chef style. Cooking duel,” tantang Nester penuh percaya diri.
“What?!” Heru tidak percaya mendengarnya.
“We bet our decision by this way—Kita pertaruhkan keputusan kita dengan cara ini.”
“Em, Filan!” Heru tidak yakin bagaimana harus menanggapi.
“I am against you—Aku yang melawanmu,” balas Filan dengan keyakinan sepenuh kesiapannya.
“Nice. You choose the theme—Bagus. Kamu pilih tema!” kata Nester kepada Filan.
“Fruit dishes!” Filan menentukan.
“Agreed,” Nester menerimanya.
“Eh?! Filan! Kamu udah gila?” Heru tidak siap menerima kesepakatan itu.“Kamu beneran enggak mau jual tempat ini, kan? Meski pun segitu harga?”“Ya, dan jangan bilang kamu enggak tahu siapa lawan tandingmu!”Filan merasa otaknya berdenyut, ucapan Heru barusan menampar pikirannya.“Kamu tahu siapa ini?”“Sedikit baca tentang dia. Yang punya NFC, Nester Food Corner. Pusat di Washington. Cabang yang aku tahu dan pernah ke sana, KL dan Kraton di Jogja.”Tiga detik Filan menatap Nester yang ia pikir batinnya sedang mencibir perselisihannya dengan Heru.“Jadi semua yang kamu tahu itu bikin dia pasti ngalahin aku?”“Aku mulai tahu ternyata kamu cukup jenius. Tapi orang di hadapan kita, aku merasa, lebih advanced—maju—dari kejeniusanmu,” Heru meyakinkan.“Any problem?” sela Nester dengan heran.“Please w
Heru memperhatikan Filan dan Nester yang saling memberi bara tatapan perlawanan, sementara ia merasakan dampak dari dua aura itu pada sekujur kulit tubuhnya seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Ekstra presepsi Heru menggambarkan, Nester diselimuti pancaran aura putih yang mendorong kuat keluar dari tubuh, berbenturan dan saling menekan dengan kobaran aura merah yang menyelimuti tubuh Filan.“Filan. I give you a second change. Surrender, than I will give you a price I offered. Or I will defeat you and will be handed-over this place just for one hundred million—Aku beri kamu kesempatan memilih kembali. Menyerah padaku, aku akan memberi harga sesuai penawaran. Atau aku akan mengalahkanmu dan harus menghargai tempat ini seratus juta saja,” kata Nester dengan santai.“Not both. I will kick you to never expand your business in around this city forever—Tidak keduanya. Karena aku akan menendang (membuat)-mu untuk tidak akan pernah mengemb
“Ini bukan telur sungguhan, ya?” kata sang mama, “ini ada jenis rasa buahnya, dan bener kayaknya kamu, Rin. Ada kayak rasa cumi.” “iya, kan Ma? What is this banget rasanya!” “Ini pasti molekuler gastronomi,” sambung sang mama. Filan dan Heru seperti tersadar akan hal yang sama. “Apa itu, Ma?” “Metode masak pakai ilmu molekuler. Sains kuliner gitu, deh.” “Waw!” terkesima, “baru denger. Kok mama tahu?” “Masa kamu enggak?” “Oh, ya. Putih telur ini rasanya juga enggak kayak putih telur. Tapi teksturnya memang mirip putih telur asli. Lebih kayak ada rasa manis yang khas, bukan manis gula,” sang papa berpikir sedikit serius, “manis yang khas, kombinasi yang pas sama alpukat panggangnya. “Oke. Tolong kasih nilainya!” Heru mengalihkan topik, “dari bapak!” “Hem,” sang papa terdiam mempertimbangkan, “lima belas.” “Aku, ya? Em ... Iima belas,” kata si perempuan. “Dari saya, enam belas,” kata sang ma
Satu kepulan asap putih menyembul ke atas. Heru melihat ketinggian aerosol itu ingin menggapai baling-baling kipas di langit-langit susunan papan kayu mengkilap. Raut mukanya yang mendongak itu semuram Filan yang memegangi kepala dengan menunduk, duduk berhadapan di antarai meja bernomor pod nol lima. Tanpa satu pun menu tersaji menengahi kegundahan mereka, tetapi sekotak kopor abu-abu itu.“Kacau parah!” gumam Heru sambil tersenyum ironis, “terus kamu mau berbuat apa? Aku harus bantu kamu kek mana?”“Cepat atau lambat Paman akan tahu. Jadi bantu aku nutupin masalah ini selama mungkin,” jawab Filan nadanya lemas.“Jadi koper sialan ini ... hak Papaku,” kata Heru.Filan menanggapinya diam.“Seandainya aku tadi ng-iya-in penawarannya, mau kek mana pun misal Papa kecewa, tetep ada untungnya,” menutup ungkapan sesalnya dengan hisapan vapor.“Sorry! Aku kalah,” ucap Filan den
Recha menatap tembus ke luar jendela kaca fiber, kepada gumpalan putih yang dilalui konstruksi sayap kaku abu-abu, kepada birunya laut ... dan hijaunya daratan yang menurut anggapannya berkontur lebih tinggi daripada jajaran gedung-gedung diantarai jalanan aspal. Sebuah nada befrekuensi halus ia dengar, diikuti suara wanita yang menjelaskan posisi penerbangan juga arahan untuk memasang sabuk pengaman. Recha mengikuti sesuai arahan itu. Kembali melihat ke luar jendela, menyadari pesawat sedang menukik diagonal ke kanan sekaligus bawah.Perhatiannya menjadi terpusat kepada satu bukit hijau, di mana ada jajaran huruf waran putih yang—tentu saja sangat besar—bisa dibacanya “WELLCOME TO BATAM”.Filan berjalan di suatu trotoar sempit, melalui jajaran mobil berparkir, poni rambut undercut-nya bergoyang diterpa angin, bagian bawah jaket levisnya hampir terbang dari balik punggung. Ia memilih jalur penyeberangan yang selurus dengan tengah halaman banguna
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Penghuni rumah bambu di hamparan rumput. Meski pun lunak dan lembut, atapnya senantiasa menopang sebundar benua. Benua yang terbentuk dari sabuk api, samudera, sungai-sungai, daratan, dan pegunungan es sebagai lingkaran dinding.Sabuk api dijaga oleh dua kubu pasukan harimau. Kubu Baloasra pengendali benteng dan kubu Peeuon bersentaja jarum tombak. Semua harimau memakai mahkota Traeum warna merah dan mereka memancarkan energi panas yang disebut Zhipy.Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu.Para Thoge menyebar di tanah Toniourii yang banyak terdapat Oleupa. Anilbilo menjadi penguasa sungai Tateata dan sungai Chome yang menyebar di sepertiga tanah Toniourii.Sebagian tanah Toniourii adalah pegunungan merah yang dinamai Pentasncolta. Dari pegunungan merah mengalir sungai Rosa kecil. Di sana sebagian Thoge membaur dengan Mayota Grult dan Tronrvos.Benua itu ada dalam lingkar pegunungan es. Pegunungan e
“Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu,” Filan membacakan kalimat.“Menurutku, sub tema berganti di paragraf ini,” sepaham Diksa.“Laut, ya? Apa ini punya konteks seafood?” tanya Recha.“Em, bener juga,” Diksa menyadari hal yang sama dengan Recha, “tadi sub tema api. Elemental yang udah kita catat punya sifat panas.”“Kalau gitu, Kauwus Las mungkin jenis ikan,” kata Filan.“Dan udang paling lunak. Ini kata yang sebenarnya atau metafor?” kata Recha.“Kalau kita sepakat di konteks seafood, kemungkinan besarnya itu leksikal,” kata Diksa.“Diksa, tolong cari bab seafood! Recha searching udang paling lunak!”Diksa dan Recha merespon sesuai perintah Filan.Filan mendengar suara dua takbir terlantun. Lalu mendengar lagi dengan lantunan lebih panjang.“Magrib. Kit
“Udang windu,” Aris membacakan, “Penaeus monodon atau giant tiger prawn, Asian tiger shrimp, black tiger shrimp, adalah sebuah crustaces yang dibudidayakan secara luas untuk dikunsumsi. Di Indonesia, udang ini disebut udang pancet atau udang windu.”“Wait!” Filan menyela, “kamu nyebut kata tiger tiga kali.” Ia sama terkesimanya sebagaimana Recha dan Diksa.Recha segera beralih perhatian pada ponselnya. “Kak!” menunjukkan tampilan layarnya kepada Filan, “Harimau bersentaja jarum tombak.”Filan mengamati sebingkai gambar udang dengan corak bergaris belang. “Ya. Keterkaitannya cukup besar,” merasa yakin.“Apa tadi nama ilmiahnya?” tanya Diksa kepada Aris.“Penaeus Monodon.”Diksa menuliskan istilah itu. “Peeuon, ya?” gumamnya sambil mencermati apa yang barusan ditulisnya.Ia membuat garis di bawah beberapa huruf dalam ist
Penghuni rumah bambu di hamparan rumput. Meski pun lunak dan lembut, atapnya senantiasa menopang sebundar benua. Benua yang terbentuk dari sabuk api, samudera, sungai-sungai, daratan, dan pegunungan es sebagai lingkaran dinding.Sabuk api dijaga oleh dua kubu pasukan harimau. Kubu Baloasra pengendali benteng dan kubu Peeuon bersentaja jarum tombak. Semua harimau memakai mahkota Traeum warna merah dan mereka memancarkan energi panas yang disebut Zhipy.Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu.Para Thoge menyebar di tanah Toniourii yang banyak terdapat Oleupa. Anilbilo menjadi penguasa sungai Tateata dan sungai Chome yang menyebar di sepertiga tanah Toniourii.Sebagian tanah Toniourii adalah pegunungan merah yang dinamai Pentasncolta. Dari pegunungan merah mengalir sungai Rosa kecil. Di sana sebagian Thoge membaur dengan Mayota Grult dan Tronrvos.Benua itu ada dalam lingkar pegunungan es. Pegunungan e
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Recha menatap tembus ke luar jendela kaca fiber, kepada gumpalan putih yang dilalui konstruksi sayap kaku abu-abu, kepada birunya laut ... dan hijaunya daratan yang menurut anggapannya berkontur lebih tinggi daripada jajaran gedung-gedung diantarai jalanan aspal. Sebuah nada befrekuensi halus ia dengar, diikuti suara wanita yang menjelaskan posisi penerbangan juga arahan untuk memasang sabuk pengaman. Recha mengikuti sesuai arahan itu. Kembali melihat ke luar jendela, menyadari pesawat sedang menukik diagonal ke kanan sekaligus bawah.Perhatiannya menjadi terpusat kepada satu bukit hijau, di mana ada jajaran huruf waran putih yang—tentu saja sangat besar—bisa dibacanya “WELLCOME TO BATAM”.Filan berjalan di suatu trotoar sempit, melalui jajaran mobil berparkir, poni rambut undercut-nya bergoyang diterpa angin, bagian bawah jaket levisnya hampir terbang dari balik punggung. Ia memilih jalur penyeberangan yang selurus dengan tengah halaman banguna
Satu kepulan asap putih menyembul ke atas. Heru melihat ketinggian aerosol itu ingin menggapai baling-baling kipas di langit-langit susunan papan kayu mengkilap. Raut mukanya yang mendongak itu semuram Filan yang memegangi kepala dengan menunduk, duduk berhadapan di antarai meja bernomor pod nol lima. Tanpa satu pun menu tersaji menengahi kegundahan mereka, tetapi sekotak kopor abu-abu itu.“Kacau parah!” gumam Heru sambil tersenyum ironis, “terus kamu mau berbuat apa? Aku harus bantu kamu kek mana?”“Cepat atau lambat Paman akan tahu. Jadi bantu aku nutupin masalah ini selama mungkin,” jawab Filan nadanya lemas.“Jadi koper sialan ini ... hak Papaku,” kata Heru.Filan menanggapinya diam.“Seandainya aku tadi ng-iya-in penawarannya, mau kek mana pun misal Papa kecewa, tetep ada untungnya,” menutup ungkapan sesalnya dengan hisapan vapor.“Sorry! Aku kalah,” ucap Filan den
“Ini bukan telur sungguhan, ya?” kata sang mama, “ini ada jenis rasa buahnya, dan bener kayaknya kamu, Rin. Ada kayak rasa cumi.” “iya, kan Ma? What is this banget rasanya!” “Ini pasti molekuler gastronomi,” sambung sang mama. Filan dan Heru seperti tersadar akan hal yang sama. “Apa itu, Ma?” “Metode masak pakai ilmu molekuler. Sains kuliner gitu, deh.” “Waw!” terkesima, “baru denger. Kok mama tahu?” “Masa kamu enggak?” “Oh, ya. Putih telur ini rasanya juga enggak kayak putih telur. Tapi teksturnya memang mirip putih telur asli. Lebih kayak ada rasa manis yang khas, bukan manis gula,” sang papa berpikir sedikit serius, “manis yang khas, kombinasi yang pas sama alpukat panggangnya. “Oke. Tolong kasih nilainya!” Heru mengalihkan topik, “dari bapak!” “Hem,” sang papa terdiam mempertimbangkan, “lima belas.” “Aku, ya? Em ... Iima belas,” kata si perempuan. “Dari saya, enam belas,” kata sang ma
Heru memperhatikan Filan dan Nester yang saling memberi bara tatapan perlawanan, sementara ia merasakan dampak dari dua aura itu pada sekujur kulit tubuhnya seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Ekstra presepsi Heru menggambarkan, Nester diselimuti pancaran aura putih yang mendorong kuat keluar dari tubuh, berbenturan dan saling menekan dengan kobaran aura merah yang menyelimuti tubuh Filan.“Filan. I give you a second change. Surrender, than I will give you a price I offered. Or I will defeat you and will be handed-over this place just for one hundred million—Aku beri kamu kesempatan memilih kembali. Menyerah padaku, aku akan memberi harga sesuai penawaran. Atau aku akan mengalahkanmu dan harus menghargai tempat ini seratus juta saja,” kata Nester dengan santai.“Not both. I will kick you to never expand your business in around this city forever—Tidak keduanya. Karena aku akan menendang (membuat)-mu untuk tidak akan pernah mengemb