Heru memperhatikan Filan dan Nester yang saling memberi bara tatapan perlawanan, sementara ia merasakan dampak dari dua aura itu pada sekujur kulit tubuhnya seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Ekstra presepsi Heru menggambarkan, Nester diselimuti pancaran aura putih yang mendorong kuat keluar dari tubuh, berbenturan dan saling menekan dengan kobaran aura merah yang menyelimuti tubuh Filan.
“Filan. I give you a second change. Surrender, than I will give you a price I offered. Or I will defeat you and will be handed-over this place just for one hundred million—Aku beri kamu kesempatan memilih kembali. Menyerah padaku, aku akan memberi harga sesuai penawaran. Atau aku akan mengalahkanmu dan harus menghargai tempat ini seratus juta saja,” kata Nester dengan santai.
“Not both. I will kick you to never expand your business in around this city forever—Tidak keduanya. Karena aku akan menendang (membuat)-mu untuk tidak akan pernah mengembangkan bisnismu di kota ini untuk selamanya!” balas Filan.
“Oh, nice. I would love to see you regret so deep after this is over—Baik. Aku akan suka melihatmu menyesal begitu dalam setelah ini selesai,” kata Nester dengan seringai.
Sementara Heru beralih memandang ke luar, mendapati tiga orang—ia pikir mereka sekeluarga—tampak ingin masuk juga bingung dan ragu. “Silakan, Pak! Bu! Mbak!” menyapa dengan senyum ramah.Filan beralih perhatian kepada tiga pelanggan itu.“Mau makan di sini?” tanya Heru.
“Iy-iya,” jawab pria berpostur sedikit gemuk dan berkacamata.
Dalam kepala Heru muncul ide. “Oh, ya. Kebetulan. Boleh minta waktunya sebentar?” tanyanya tanpa ragu.
“Iya?” jawab pria berkacamata.
“Kami lagi ada acara duel masak. Sudah masuk sesi penilaian. Boleh minta tolong? Bapak, sama ibunya, sama mbaknya kasih penilaian sebagai juri spesial?” dengan senyum rayu.
“Oh,” kata pria berkacamata. Raut penuh tanda tanya iti seketika sirna. “Boleh, boleh!”
“Sebelah sini, Pak! Ada dua menu langka lagi tanding!” Langkah Heru diikuti tiga pelanggan itu.
“We have three judges,” kata Heru kepada dua koki yang siap dinilai.
“Pas banget, porsinya bikin tiga tiga,” Heru mengesan.
“Nah, ini pastel buah,” Heru menunjukkan tiga porsi buntalan roti isi di hadapan Filan.
“Pastel buah?” heran perempuan muda yang memakai topi sailor putih diagonal ke arah kanan mukanya.
“Dan ini ... Eggvocado,” Heru menunjukkan tiga porsi bentuk telur celpok di dalam cekungan bekas biji alpukat.
“Ouw! Mama pernah bikin ini!” kata perempuan muda, “waktu di rumah tante Santi, ingat kan, Ma?”
“Iya. Udah lama itu.”
“Kayaknya saya pengen nyicip pastel buahnya dulu, deh!” kata wanita berambut hitam lurus sebahu.
“Em, aku juga,” kata perempuan muda.
Filan memberikan dua porsi pastel buah kepada mereka berdua. “Silakan! Kalau mau nyicip sampai habis boleh, kok. Mumpung gratis.”“Wah! Gratis, nih!” wanita dewasa itu mengesan dengan senang, “nyicip dua porsi juga boleh, ya!” sambil mengedip mata kepada Filan.
“Boleh, kalau saya menang. Tiga pun saya kasih,” canda Filan merayu.
“Mantap, itu!” jawab ibu itu.
“Silakan duduk aja, Bu, Mbak, Pak!” kata Heru. Ia sedikit menepi dari tiga pelanggan itu, “karena Chef Filan, yang masak pastel buah selesai duluan. Tolong cicipin pastel buahnya dulu, ya!”
“Nah, pas banget, kan!” kata wanita dewasa.
Sang Papa itu mengiris sepotong belahan pastel dari sisi kanannya, mendapat potongan pada tusukan garpu seukuran satu lahap penuh.“Woa?” mengesan, “ini ...,” tampak bingung.
“Uum!” perempuan muda itu mengesan dengan imut. Saling memandang dengan mamanya, saling menunjukkan ekspresi kunyahan dan senyum yang sama.
“Dari bapaknya dulu, ya. Gimana, Pak impresinya?” tanya Heru kepada pria dewasa itu yang masih menyelesaikan kunyahan.
“Buruan, Pa! Sebelum kata-kataku keburu ilang!” pinta si perempuan muda.
“Super kombo. Kombinasi pemilihan aneka buahnya tepat. Asam, manis dan segar. Masing-masing elemen rasa juga terdiri dari beberapa jenis subnya. Saya jadi teringat dengan riwayat buah surga. Saya merasakan tiga macam asam. Tiga ... em, bukan, empat ... em, lima macam rasa manis. Dan lagi, ini juga spesial ... rasa segar yang enggak bisa saya jelaskan, berubah-ubah karakternya di setiap kunyahan.”
Filan tersenyum, merasa tersanjung mendengarnya.
Sang Papa mencoba lagi satu lahap.
“Mbaknya, gimana?” tanya Heru.
“Fantastik banget!” kesannya dengan gembira, membuat senyumnya itu Heru pandang terlihat manis yang meluluhkan hatinya.
“Aku speechless. Aku enggak tahu harus bilang apa!” menyesal.
“Buahnya ini enggak keras, enggak lembek, padahal dioven, rasa aslinya masih kerasa,” kesan sang mama, “kok bisa, sih?” herannya dengan bahagia.
“Kalau ibu penasaran, saya bisa kasih tahu rahasianya,” kata Filan.
“Mau, dong!”
“Buahnya saya rendam dalam air jahe buat meminimalisir oksidasi, minimal sekitar satu jam. Lalu dimasukkan ke freezer minimal dua puluh empat jam. Gunanya menambah stabilitas protopektin yang mengatur tekstur keras buah. Sebelum mau diolah, direndam pakai air jahe yang sedikit hangat, gunanya memperlambat oksidasi. Jadi sewaktu dioven, buah masih mempertahankan sisa senyawa protopektinnya, jadi peluang tekstur kelunakannya tidak terlalu lembek cukup besar,” jelas Filan.
“Mantap!”
“Baik. Tolong kasih nilai dari satu sampai dua puluh. Sepuluh jika merasa puas. Lebih dari sepuluh berarti ekstra nilai, selain memuaskan, juga merasakan pengalaman lebih dari itu,” jelas Heru.
“Hem, saya rasa pastel buah ini ...,” sang papa mempertimbangkan, “dua belas.”
“Empat belas. Selain excited juga bikin aku bahagia banget dan nge-booster mood aku,” kata si perempuan muda.
“Saya enggak terlalu suka olaham buah selain rujak dan salad. Tapi ini yang paling saya suka. Lima belas, ya!” putus sang mama.
“Oke. Total skor lima puluh satu buat Filan,” kata Heru, “selanjutnya, silakan kasih nilai Eggvocado dari chef Nester!” sambil menggeser tiap porsi pastel buah supaya tiga porsi Eggvocado tersaji di hadapan tiga juri.
“Please, Sir, Madam, and Miss! Relize your honest impression!” kata Nester dengan ramah.
“Sure. Thank you!” kata perempuan muda. Keceriaannya masih bertahan dalam kadar yang besar.
“Eggvocado, ya? I dont really like an eggs. But, its okay. Hopefully it wont beat my mood—Aku enggak terlalu suka telur. Tapi, baiklah. Semoga enggak merusak mood-ku,” kata si perempuan muda. Ia membuat beberapa jalur irisan supaya garpu yang menusuk bagian kuning, putih hingga tembus ke hijau buah membentuk ukuran potongan yang bisa ia makan sekali lahap. Ia mengunyah. Terbengong. Mendalami sensasi rasa yang ia dapat di setiap lumatan. Ekspresinya serupa kedua orangtuanya.
Ia mengambil tisu—yang diambil dari kotaknya di tengah meja sebelah pod nomor, segera mengusapkan pada bibirnya. Ia berdehem kecil sambil menutup bibir dan hidung dengan punggung tangan kiri sebentar saja.
“What this is really an egg—Apa ini beneran telur?” ia merasa heran dan tidak cukup percaya dengan tekstur kuning dan putih di antara irisan hijau buah alpukat, apakah itu memang telur, “What kind of egg is this—Telur macam apa ini?” menatap Nester dengan penuh tanya.
“What do you tasted from it—Apa yang kamu rasakan darinya?” Nester balik tanya dengan senyum elegan.
“Um, em ...,” memikirkan ungkapan yang tepat, I dont know. I dont got an egg taste. But ... its more like a mango ... or lime ... or um, I think I got an egg taste just a little. And I got ... like a sqid—Aku enggak tahu. Aku enggak dapat rasa telurnya. Tapi ... ini lebih seperti rasa mangga ... atau lemon ... atau um, aku pikir aku dapat rasa telurnya sedikit. Dan aku dapat ... (rasa) seperti cumi-cumi,” sambil tertawa kecil, “so nonsense my descript,” menertawakan deskripsinya sendiri yang dikira payah.
“I am give up. Okay I am give up,” mengakui kemampuan deskripsinya tidak mampu mengungkapkan pengalamannya dengan tepat, tetap dengan riang, “but the taste addicted me. I’ll try again—tapi rasanya bikin nagih aku. Aku akan coba lagi,” ia menginginkan suapan kedua.
“Jenis rasanya spesifik. Saya enggak bisa jelasin gimana rasanya. Padu, elemental rasanya padu banget seperti menghasilkan jenis rasa baru,” ungkap sang papa dengan sedikit keras berpikir, “rasanya lembut. Nyentuh hati. Sifat nagihnya kuat,” sedikit geleng-geleng kepala, “jenis rasa yang misterius. Ini maha karya,” katanya sambil menatap Nester dengan senang hati menyanjung.
Nester tersenyum puas mendengarnya, sedangkan raut muka Filan mulai terkejut dan berubuah sedikit cemas, sepertinya serupa dengan reaksi yang Heru alami.
“Ini bukan telur sungguhan, ya?” kata sang mama, “ini ada jenis rasa buahnya, dan bener kayaknya kamu, Rin. Ada kayak rasa cumi.” “iya, kan Ma? What is this banget rasanya!” “Ini pasti molekuler gastronomi,” sambung sang mama. Filan dan Heru seperti tersadar akan hal yang sama. “Apa itu, Ma?” “Metode masak pakai ilmu molekuler. Sains kuliner gitu, deh.” “Waw!” terkesima, “baru denger. Kok mama tahu?” “Masa kamu enggak?” “Oh, ya. Putih telur ini rasanya juga enggak kayak putih telur. Tapi teksturnya memang mirip putih telur asli. Lebih kayak ada rasa manis yang khas, bukan manis gula,” sang papa berpikir sedikit serius, “manis yang khas, kombinasi yang pas sama alpukat panggangnya. “Oke. Tolong kasih nilainya!” Heru mengalihkan topik, “dari bapak!” “Hem,” sang papa terdiam mempertimbangkan, “lima belas.” “Aku, ya? Em ... Iima belas,” kata si perempuan. “Dari saya, enam belas,” kata sang ma
Satu kepulan asap putih menyembul ke atas. Heru melihat ketinggian aerosol itu ingin menggapai baling-baling kipas di langit-langit susunan papan kayu mengkilap. Raut mukanya yang mendongak itu semuram Filan yang memegangi kepala dengan menunduk, duduk berhadapan di antarai meja bernomor pod nol lima. Tanpa satu pun menu tersaji menengahi kegundahan mereka, tetapi sekotak kopor abu-abu itu.“Kacau parah!” gumam Heru sambil tersenyum ironis, “terus kamu mau berbuat apa? Aku harus bantu kamu kek mana?”“Cepat atau lambat Paman akan tahu. Jadi bantu aku nutupin masalah ini selama mungkin,” jawab Filan nadanya lemas.“Jadi koper sialan ini ... hak Papaku,” kata Heru.Filan menanggapinya diam.“Seandainya aku tadi ng-iya-in penawarannya, mau kek mana pun misal Papa kecewa, tetep ada untungnya,” menutup ungkapan sesalnya dengan hisapan vapor.“Sorry! Aku kalah,” ucap Filan den
Recha menatap tembus ke luar jendela kaca fiber, kepada gumpalan putih yang dilalui konstruksi sayap kaku abu-abu, kepada birunya laut ... dan hijaunya daratan yang menurut anggapannya berkontur lebih tinggi daripada jajaran gedung-gedung diantarai jalanan aspal. Sebuah nada befrekuensi halus ia dengar, diikuti suara wanita yang menjelaskan posisi penerbangan juga arahan untuk memasang sabuk pengaman. Recha mengikuti sesuai arahan itu. Kembali melihat ke luar jendela, menyadari pesawat sedang menukik diagonal ke kanan sekaligus bawah.Perhatiannya menjadi terpusat kepada satu bukit hijau, di mana ada jajaran huruf waran putih yang—tentu saja sangat besar—bisa dibacanya “WELLCOME TO BATAM”.Filan berjalan di suatu trotoar sempit, melalui jajaran mobil berparkir, poni rambut undercut-nya bergoyang diterpa angin, bagian bawah jaket levisnya hampir terbang dari balik punggung. Ia memilih jalur penyeberangan yang selurus dengan tengah halaman banguna
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Penghuni rumah bambu di hamparan rumput. Meski pun lunak dan lembut, atapnya senantiasa menopang sebundar benua. Benua yang terbentuk dari sabuk api, samudera, sungai-sungai, daratan, dan pegunungan es sebagai lingkaran dinding.Sabuk api dijaga oleh dua kubu pasukan harimau. Kubu Baloasra pengendali benteng dan kubu Peeuon bersentaja jarum tombak. Semua harimau memakai mahkota Traeum warna merah dan mereka memancarkan energi panas yang disebut Zhipy.Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu.Para Thoge menyebar di tanah Toniourii yang banyak terdapat Oleupa. Anilbilo menjadi penguasa sungai Tateata dan sungai Chome yang menyebar di sepertiga tanah Toniourii.Sebagian tanah Toniourii adalah pegunungan merah yang dinamai Pentasncolta. Dari pegunungan merah mengalir sungai Rosa kecil. Di sana sebagian Thoge membaur dengan Mayota Grult dan Tronrvos.Benua itu ada dalam lingkar pegunungan es. Pegunungan e
“Udang windu,” Aris membacakan, “Penaeus monodon atau giant tiger prawn, Asian tiger shrimp, black tiger shrimp, adalah sebuah crustaces yang dibudidayakan secara luas untuk dikunsumsi. Di Indonesia, udang ini disebut udang pancet atau udang windu.”“Wait!” Filan menyela, “kamu nyebut kata tiger tiga kali.” Ia sama terkesimanya sebagaimana Recha dan Diksa.Recha segera beralih perhatian pada ponselnya. “Kak!” menunjukkan tampilan layarnya kepada Filan, “Harimau bersentaja jarum tombak.”Filan mengamati sebingkai gambar udang dengan corak bergaris belang. “Ya. Keterkaitannya cukup besar,” merasa yakin.“Apa tadi nama ilmiahnya?” tanya Diksa kepada Aris.“Penaeus Monodon.”Diksa menuliskan istilah itu. “Peeuon, ya?” gumamnya sambil mencermati apa yang barusan ditulisnya.Ia membuat garis di bawah beberapa huruf dalam ist
“Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu,” Filan membacakan kalimat.“Menurutku, sub tema berganti di paragraf ini,” sepaham Diksa.“Laut, ya? Apa ini punya konteks seafood?” tanya Recha.“Em, bener juga,” Diksa menyadari hal yang sama dengan Recha, “tadi sub tema api. Elemental yang udah kita catat punya sifat panas.”“Kalau gitu, Kauwus Las mungkin jenis ikan,” kata Filan.“Dan udang paling lunak. Ini kata yang sebenarnya atau metafor?” kata Recha.“Kalau kita sepakat di konteks seafood, kemungkinan besarnya itu leksikal,” kata Diksa.“Diksa, tolong cari bab seafood! Recha searching udang paling lunak!”Diksa dan Recha merespon sesuai perintah Filan.Filan mendengar suara dua takbir terlantun. Lalu mendengar lagi dengan lantunan lebih panjang.“Magrib. Kit
“Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu,” Filan membacakan kalimat.“Menurutku, sub tema berganti di paragraf ini,” sepaham Diksa.“Laut, ya? Apa ini punya konteks seafood?” tanya Recha.“Em, bener juga,” Diksa menyadari hal yang sama dengan Recha, “tadi sub tema api. Elemental yang udah kita catat punya sifat panas.”“Kalau gitu, Kauwus Las mungkin jenis ikan,” kata Filan.“Dan udang paling lunak. Ini kata yang sebenarnya atau metafor?” kata Recha.“Kalau kita sepakat di konteks seafood, kemungkinan besarnya itu leksikal,” kata Diksa.“Diksa, tolong cari bab seafood! Recha searching udang paling lunak!”Diksa dan Recha merespon sesuai perintah Filan.Filan mendengar suara dua takbir terlantun. Lalu mendengar lagi dengan lantunan lebih panjang.“Magrib. Kit
“Udang windu,” Aris membacakan, “Penaeus monodon atau giant tiger prawn, Asian tiger shrimp, black tiger shrimp, adalah sebuah crustaces yang dibudidayakan secara luas untuk dikunsumsi. Di Indonesia, udang ini disebut udang pancet atau udang windu.”“Wait!” Filan menyela, “kamu nyebut kata tiger tiga kali.” Ia sama terkesimanya sebagaimana Recha dan Diksa.Recha segera beralih perhatian pada ponselnya. “Kak!” menunjukkan tampilan layarnya kepada Filan, “Harimau bersentaja jarum tombak.”Filan mengamati sebingkai gambar udang dengan corak bergaris belang. “Ya. Keterkaitannya cukup besar,” merasa yakin.“Apa tadi nama ilmiahnya?” tanya Diksa kepada Aris.“Penaeus Monodon.”Diksa menuliskan istilah itu. “Peeuon, ya?” gumamnya sambil mencermati apa yang barusan ditulisnya.Ia membuat garis di bawah beberapa huruf dalam ist
Penghuni rumah bambu di hamparan rumput. Meski pun lunak dan lembut, atapnya senantiasa menopang sebundar benua. Benua yang terbentuk dari sabuk api, samudera, sungai-sungai, daratan, dan pegunungan es sebagai lingkaran dinding.Sabuk api dijaga oleh dua kubu pasukan harimau. Kubu Baloasra pengendali benteng dan kubu Peeuon bersentaja jarum tombak. Semua harimau memakai mahkota Traeum warna merah dan mereka memancarkan energi panas yang disebut Zhipy.Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu.Para Thoge menyebar di tanah Toniourii yang banyak terdapat Oleupa. Anilbilo menjadi penguasa sungai Tateata dan sungai Chome yang menyebar di sepertiga tanah Toniourii.Sebagian tanah Toniourii adalah pegunungan merah yang dinamai Pentasncolta. Dari pegunungan merah mengalir sungai Rosa kecil. Di sana sebagian Thoge membaur dengan Mayota Grult dan Tronrvos.Benua itu ada dalam lingkar pegunungan es. Pegunungan e
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Recha menatap tembus ke luar jendela kaca fiber, kepada gumpalan putih yang dilalui konstruksi sayap kaku abu-abu, kepada birunya laut ... dan hijaunya daratan yang menurut anggapannya berkontur lebih tinggi daripada jajaran gedung-gedung diantarai jalanan aspal. Sebuah nada befrekuensi halus ia dengar, diikuti suara wanita yang menjelaskan posisi penerbangan juga arahan untuk memasang sabuk pengaman. Recha mengikuti sesuai arahan itu. Kembali melihat ke luar jendela, menyadari pesawat sedang menukik diagonal ke kanan sekaligus bawah.Perhatiannya menjadi terpusat kepada satu bukit hijau, di mana ada jajaran huruf waran putih yang—tentu saja sangat besar—bisa dibacanya “WELLCOME TO BATAM”.Filan berjalan di suatu trotoar sempit, melalui jajaran mobil berparkir, poni rambut undercut-nya bergoyang diterpa angin, bagian bawah jaket levisnya hampir terbang dari balik punggung. Ia memilih jalur penyeberangan yang selurus dengan tengah halaman banguna
Satu kepulan asap putih menyembul ke atas. Heru melihat ketinggian aerosol itu ingin menggapai baling-baling kipas di langit-langit susunan papan kayu mengkilap. Raut mukanya yang mendongak itu semuram Filan yang memegangi kepala dengan menunduk, duduk berhadapan di antarai meja bernomor pod nol lima. Tanpa satu pun menu tersaji menengahi kegundahan mereka, tetapi sekotak kopor abu-abu itu.“Kacau parah!” gumam Heru sambil tersenyum ironis, “terus kamu mau berbuat apa? Aku harus bantu kamu kek mana?”“Cepat atau lambat Paman akan tahu. Jadi bantu aku nutupin masalah ini selama mungkin,” jawab Filan nadanya lemas.“Jadi koper sialan ini ... hak Papaku,” kata Heru.Filan menanggapinya diam.“Seandainya aku tadi ng-iya-in penawarannya, mau kek mana pun misal Papa kecewa, tetep ada untungnya,” menutup ungkapan sesalnya dengan hisapan vapor.“Sorry! Aku kalah,” ucap Filan den
“Ini bukan telur sungguhan, ya?” kata sang mama, “ini ada jenis rasa buahnya, dan bener kayaknya kamu, Rin. Ada kayak rasa cumi.” “iya, kan Ma? What is this banget rasanya!” “Ini pasti molekuler gastronomi,” sambung sang mama. Filan dan Heru seperti tersadar akan hal yang sama. “Apa itu, Ma?” “Metode masak pakai ilmu molekuler. Sains kuliner gitu, deh.” “Waw!” terkesima, “baru denger. Kok mama tahu?” “Masa kamu enggak?” “Oh, ya. Putih telur ini rasanya juga enggak kayak putih telur. Tapi teksturnya memang mirip putih telur asli. Lebih kayak ada rasa manis yang khas, bukan manis gula,” sang papa berpikir sedikit serius, “manis yang khas, kombinasi yang pas sama alpukat panggangnya. “Oke. Tolong kasih nilainya!” Heru mengalihkan topik, “dari bapak!” “Hem,” sang papa terdiam mempertimbangkan, “lima belas.” “Aku, ya? Em ... Iima belas,” kata si perempuan. “Dari saya, enam belas,” kata sang ma
Heru memperhatikan Filan dan Nester yang saling memberi bara tatapan perlawanan, sementara ia merasakan dampak dari dua aura itu pada sekujur kulit tubuhnya seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Ekstra presepsi Heru menggambarkan, Nester diselimuti pancaran aura putih yang mendorong kuat keluar dari tubuh, berbenturan dan saling menekan dengan kobaran aura merah yang menyelimuti tubuh Filan.“Filan. I give you a second change. Surrender, than I will give you a price I offered. Or I will defeat you and will be handed-over this place just for one hundred million—Aku beri kamu kesempatan memilih kembali. Menyerah padaku, aku akan memberi harga sesuai penawaran. Atau aku akan mengalahkanmu dan harus menghargai tempat ini seratus juta saja,” kata Nester dengan santai.“Not both. I will kick you to never expand your business in around this city forever—Tidak keduanya. Karena aku akan menendang (membuat)-mu untuk tidak akan pernah mengemb