“Eh?! Filan! Kamu udah gila?” Heru tidak siap menerima kesepakatan itu.
“Kamu beneran enggak mau jual tempat ini, kan? Meski pun segitu harga?”
“Ya, dan jangan bilang kamu enggak tahu siapa lawan tandingmu!”
Filan merasa otaknya berdenyut, ucapan Heru barusan menampar pikirannya.
“Kamu tahu siapa ini?”
“Sedikit baca tentang dia. Yang punya NFC, Nester Food Corner. Pusat di Washington. Cabang yang aku tahu dan pernah ke sana, KL dan Kraton di Jogja.”
Tiga detik Filan menatap Nester yang ia pikir batinnya sedang mencibir perselisihannya dengan Heru.
“Jadi semua yang kamu tahu itu bikin dia pasti ngalahin aku?”
“Aku mulai tahu ternyata kamu cukup jenius. Tapi orang di hadapan kita, aku merasa, lebih advanced—maju—dari kejeniusanmu,” Heru meyakinkan.
“Any problem?” sela Nester dengan heran.
“Please wait a second!” jawab Heru.
“Kalau kamu memang pernah coba beberapa menu di NFC, menurutmu ... apa dia bisa bikin masakan buah lebih baik dari yang barusan kamu reviu?”
Heru merasa presepsinya terbelah bilah klarifikasi keoptimisan Filan, kebimbangannya meluber mengisi batin. Tergagap untuk menjawab.
“Aku di pihakmu. Kita buat dia dan kroninya angkat kaki secepatnya dari sini,” beralih pandang kepada Nester, “You must compensate my woking time along we do this—Kamu harus mengganti jam kerjaku selama kita melakukan ini!”
“Dont worry! It’s on me!” Nester meyakinkan. Di belakangnya, empat orang mengeluarkan beberapa peralatan dapur dari dalam van. Mengarahkan mereka untuk menyiapkan alat dan bahan yang dirinya perlukan.
***
Filan mengambil parutan buah berwarna hijau dengan oenjepit alumunium, dari dalam bejana bening berisi air berwarna sedikit kekuningan. Mendekatkan satu jepit parutan buah itu sejarah setengaj jengkal dari hidungnya. Mendalami aromanya, mengidentifikasi jenis manis, kesegaran, dan tawar yang minor. Lalu menaruhnya secara menyebar pada permukaan salah satu dari tiga adonan bulat berwarna putih. Ia melakukan cara yang sama pada bahan berikutnya yang berwarna kuning, oranye, cokelat dan ungu, sehingga ruang adonan terlihat penuh.
Melipat adonan seperti rumah kerang, mengunci ujung lipatan dengan teknik jemari yang membentuknya seperti simpul tali memilin. Melakukan teknis yang sama pada dua adonan tersisa. Filan mengambil loyang datar dari rak, mengolesi permukaannya dengan mentega, meletakkan tiga adonan itu padanya lalu memasukkan ke dalam oven, memutar pengaturan suhu pada angka 180°C.
Heru di tempat duduknya menikmati hisapan vapor, menjadikan asapnya hiburan aerosol yang meliuk secara abstrak di udara ruangan. Pola geraknya seolah menggambarkan rasa bimbang, cemas, yakin, dan harapnya yang campur aduk juga pasang surut dengan tidak menentu.Rambut faux pompadour warna cokelat pirang Nester bergoyang kena terpaan embus angin. Namun sinar matahari tidak memapar kepalanya, karena atap konstruksi tenda berwarna kuning menaungi dirinya yang menghadap dapur di muka kios. Heru dari tempatnya duduk bisa melihat Nester yang sedang membelah dua buah aplukat dengan pisau, masing-masing menjadi dua belahan. Nester membuang biji yang besar itu. Membungkus empat belah alpukat dengan kertas timah, lalu meletakkannya pada loyang datar dan memasukkannya ke dalam oven. Mengatur suhu pada angka 93°C.
Nester beralih pekerjaan, menyobek suatu saset dan menuangkan serbuk isinya pada air yang berasap tipis, dalam bejana transparan persegi panjang. Ia mengambil sebuah alat seperti corong silinder yang cekungannya ia celup mengambang ke dalam bejana air itu. Ibu jarinya memencet sebuah tombol pada alat itu, sehingga air dalam bejana bergerak seperti tertiup. Membiarkan air itu menimbulkan beberapa gelembung dan tetap berguncang selama sekian detik menurut perhitungannya.
Ia mengapit tiga buah lemon pada sela jari tangan kanannya, begitu juga yang kiri. Memasukkannya ke dalam suatu alat yang tidak Heru tahu sebutannya sewaktu memperhatikan Nester mengoperasikan benda itu. Menurut Heru bentuk alat itu memilik empat puluh persen kesamaan bentuk dan ukuran mikroskop floresen, selebihnya tidak ia bisa ia dekatkan kemiripannya dengan benda apa pun lainnya. Heru mendengar deru mesin itu bekerja, menurutnya jenis suara putaran yang memecah benda lunak. Nester memantau kerja mesin itu, mengamati air bening yang mengucur ke dalam wadah transparan yang terpasang, hingga mesin berhenti dengan sendirinya sewaktu air perasan itu mengisi dua per tiga volume wadahnya.
Nester beralih perhatian pada gelas transparan berisi larutan putih yang mengisi setengah wadahnya, yang sejajar dengan larutan berwarna mirip dalam wadah yang memiliki garis ukur, mengisi volume sampai batas garis 125 ml.
Di sampingnya ada wadah yang sejenis, berisi larutan bening pada batas batas 125 ml pada garis ukur, atau mengisi sekitar seperempat volume wadahnya. Di tambah air perasan lemon. Menuang empat bahan itu satu per satu ke dalam bejana kosong persegi panjang yang paling besar—seukuran kotak bekal makan siang—di atas mejanya, masing-masing dituanh habis kecuali air perasan lemon yang disisakannya setengah wadah. Nester juga punya setoples beling kecil berisi serbuk yang terlihat berwarna putih kemerahan, menuangkannya langsung tanpa takaran ke dalam bejana besar itu. Mengaduknya dengan stik berbahan kayu.
***
Filan memakai sarung tangan kulit, lalu menarik keluar loyang datar yang memuat tiga buntalan roti dari dalam oven. Meletakkan loyang itu pada lipatan kain wol warna abu-abu yang tampak basah di atas meja. Melepas sarung tangan kulitnya, mengangkat setiap roti dengan serokan besi, memindahkannya pada piring putih datar, dan menyiapkannya menjadi tiga porsi. Filan mengambil sebilah pisau, menggunakannya untuk membuat beberapa irisan celah pada setiap roti. Ia membungkuk, meresapi aroma isinya yang berasap.
Nester menuang habis semua potongan dadu buah warna kuning dari wadah silinder ke dalam blender, dua bulatan kuning telur dari mangkuk putih pun menyusul.
“Sugar!” kata Nester. Segera ia menerima setoples gula pasir dari Dani, mengambilnya sebanyak dua sendok teh lalu menuangkannya berjatuhan di antara potongan dadu buah dan kuning telur.
“Rest of the lemon juice and potassium lactate!” instruksi Nester. Segera Dani memberinya segas air lemon yang tersisa, lalu menuangkan sebotol ukuran sedang cairan bening ke dalam bejana plastik persegi panjang.
Nester memencet tombol kecepatan dua, sehingga blender berdesing meleburkan.
Heru melihat Filan berjalan membawa nampan kayu warna cokelat tua, menaruh tiga porsi pastel buah pada piring oval datar warna putih ke atas meja dengan nomor pod nol tiga—pertengahan ruangan.“Pastel buah, tiga porsi, ready!” kata Filan.
“Cepat kali, Filan!” sanjung Heru.
Nester menuangkan seperempat isi blender ke dalam wadah silinder transparan hingga hampir penuh, sedangkan yang tersisa dalam blender hanya leburan isi yang sulit dituang. Ia melirik ke muka, mendapati Filan sedang menyajikan hasil kerjanya di atas meja. Mengamati detail bentuk buntalan roti gembung itu.
“A spoon, Sir!” kata Dani ketika memberi Nester sendok cekung—setengah bulat—seukuran sendok sup.
“Thank you!” Nester menyiduk leburan kuning sepenuh satu sendok, menjatuhkannya ke dalam cairan bening dalam bejana persegi panjang. Ia melihat bahan warna kuning itu melayang mempertahankan bentuknya, tidak ambyar. Nester membuat yang serupa dua lagi.
“Water, please!” pinta Nester.
“Already, Sir!” Dani merespon cepat, masuk ke dalam van, keluar tiga detik kemudian membawa bejama transparan serupa dengan tempat bulatan kuning yang Nester buat. Menaruhnya dekat dengan jangkauan Nester di atas meja.
Nester memindah tiga bulatan kuning itu dengan sendok yang masih ia pegang, ke dalam bejana air. Menggoyang-goyang sedikit setiap bulatan itu, “Bowl!” pintanya.
“This is,” Dani menyediakan semangkuk lonjong agar Nester memindah tiga bulatan kuning ke dalamnya.
Nester bergeser ke kanan, menghadap bagian meja yang terdapat satu nampan lonjong warna hijau, berisi tiga piring sajian belahan buah alpukat yang bagian cekung tengahnya terdapat bahan berwarna putih susu. Pada bagian cekung itu, di tengah permukaan bahan putih Nester menaruh masing-masing bulatan kuning.
Mendampingi masing-masing porsi dengan pisau dan garpu terbalut tisu.
“Baked Eggvocado ... served!” kata Nester sewaktu menyajikan hasil kerjanya berhadapan dengan pastel buah.
Heru memperhatikan Filan dan Nester yang saling memberi bara tatapan perlawanan, sementara ia merasakan dampak dari dua aura itu pada sekujur kulit tubuhnya seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Ekstra presepsi Heru menggambarkan, Nester diselimuti pancaran aura putih yang mendorong kuat keluar dari tubuh, berbenturan dan saling menekan dengan kobaran aura merah yang menyelimuti tubuh Filan.“Filan. I give you a second change. Surrender, than I will give you a price I offered. Or I will defeat you and will be handed-over this place just for one hundred million—Aku beri kamu kesempatan memilih kembali. Menyerah padaku, aku akan memberi harga sesuai penawaran. Atau aku akan mengalahkanmu dan harus menghargai tempat ini seratus juta saja,” kata Nester dengan santai.“Not both. I will kick you to never expand your business in around this city forever—Tidak keduanya. Karena aku akan menendang (membuat)-mu untuk tidak akan pernah mengemb
“Ini bukan telur sungguhan, ya?” kata sang mama, “ini ada jenis rasa buahnya, dan bener kayaknya kamu, Rin. Ada kayak rasa cumi.” “iya, kan Ma? What is this banget rasanya!” “Ini pasti molekuler gastronomi,” sambung sang mama. Filan dan Heru seperti tersadar akan hal yang sama. “Apa itu, Ma?” “Metode masak pakai ilmu molekuler. Sains kuliner gitu, deh.” “Waw!” terkesima, “baru denger. Kok mama tahu?” “Masa kamu enggak?” “Oh, ya. Putih telur ini rasanya juga enggak kayak putih telur. Tapi teksturnya memang mirip putih telur asli. Lebih kayak ada rasa manis yang khas, bukan manis gula,” sang papa berpikir sedikit serius, “manis yang khas, kombinasi yang pas sama alpukat panggangnya. “Oke. Tolong kasih nilainya!” Heru mengalihkan topik, “dari bapak!” “Hem,” sang papa terdiam mempertimbangkan, “lima belas.” “Aku, ya? Em ... Iima belas,” kata si perempuan. “Dari saya, enam belas,” kata sang ma
Satu kepulan asap putih menyembul ke atas. Heru melihat ketinggian aerosol itu ingin menggapai baling-baling kipas di langit-langit susunan papan kayu mengkilap. Raut mukanya yang mendongak itu semuram Filan yang memegangi kepala dengan menunduk, duduk berhadapan di antarai meja bernomor pod nol lima. Tanpa satu pun menu tersaji menengahi kegundahan mereka, tetapi sekotak kopor abu-abu itu.“Kacau parah!” gumam Heru sambil tersenyum ironis, “terus kamu mau berbuat apa? Aku harus bantu kamu kek mana?”“Cepat atau lambat Paman akan tahu. Jadi bantu aku nutupin masalah ini selama mungkin,” jawab Filan nadanya lemas.“Jadi koper sialan ini ... hak Papaku,” kata Heru.Filan menanggapinya diam.“Seandainya aku tadi ng-iya-in penawarannya, mau kek mana pun misal Papa kecewa, tetep ada untungnya,” menutup ungkapan sesalnya dengan hisapan vapor.“Sorry! Aku kalah,” ucap Filan den
Recha menatap tembus ke luar jendela kaca fiber, kepada gumpalan putih yang dilalui konstruksi sayap kaku abu-abu, kepada birunya laut ... dan hijaunya daratan yang menurut anggapannya berkontur lebih tinggi daripada jajaran gedung-gedung diantarai jalanan aspal. Sebuah nada befrekuensi halus ia dengar, diikuti suara wanita yang menjelaskan posisi penerbangan juga arahan untuk memasang sabuk pengaman. Recha mengikuti sesuai arahan itu. Kembali melihat ke luar jendela, menyadari pesawat sedang menukik diagonal ke kanan sekaligus bawah.Perhatiannya menjadi terpusat kepada satu bukit hijau, di mana ada jajaran huruf waran putih yang—tentu saja sangat besar—bisa dibacanya “WELLCOME TO BATAM”.Filan berjalan di suatu trotoar sempit, melalui jajaran mobil berparkir, poni rambut undercut-nya bergoyang diterpa angin, bagian bawah jaket levisnya hampir terbang dari balik punggung. Ia memilih jalur penyeberangan yang selurus dengan tengah halaman banguna
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Penghuni rumah bambu di hamparan rumput. Meski pun lunak dan lembut, atapnya senantiasa menopang sebundar benua. Benua yang terbentuk dari sabuk api, samudera, sungai-sungai, daratan, dan pegunungan es sebagai lingkaran dinding.Sabuk api dijaga oleh dua kubu pasukan harimau. Kubu Baloasra pengendali benteng dan kubu Peeuon bersentaja jarum tombak. Semua harimau memakai mahkota Traeum warna merah dan mereka memancarkan energi panas yang disebut Zhipy.Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu.Para Thoge menyebar di tanah Toniourii yang banyak terdapat Oleupa. Anilbilo menjadi penguasa sungai Tateata dan sungai Chome yang menyebar di sepertiga tanah Toniourii.Sebagian tanah Toniourii adalah pegunungan merah yang dinamai Pentasncolta. Dari pegunungan merah mengalir sungai Rosa kecil. Di sana sebagian Thoge membaur dengan Mayota Grult dan Tronrvos.Benua itu ada dalam lingkar pegunungan es. Pegunungan e
“Udang windu,” Aris membacakan, “Penaeus monodon atau giant tiger prawn, Asian tiger shrimp, black tiger shrimp, adalah sebuah crustaces yang dibudidayakan secara luas untuk dikunsumsi. Di Indonesia, udang ini disebut udang pancet atau udang windu.”“Wait!” Filan menyela, “kamu nyebut kata tiger tiga kali.” Ia sama terkesimanya sebagaimana Recha dan Diksa.Recha segera beralih perhatian pada ponselnya. “Kak!” menunjukkan tampilan layarnya kepada Filan, “Harimau bersentaja jarum tombak.”Filan mengamati sebingkai gambar udang dengan corak bergaris belang. “Ya. Keterkaitannya cukup besar,” merasa yakin.“Apa tadi nama ilmiahnya?” tanya Diksa kepada Aris.“Penaeus Monodon.”Diksa menuliskan istilah itu. “Peeuon, ya?” gumamnya sambil mencermati apa yang barusan ditulisnya.Ia membuat garis di bawah beberapa huruf dalam ist
“Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu,” Filan membacakan kalimat.“Menurutku, sub tema berganti di paragraf ini,” sepaham Diksa.“Laut, ya? Apa ini punya konteks seafood?” tanya Recha.“Em, bener juga,” Diksa menyadari hal yang sama dengan Recha, “tadi sub tema api. Elemental yang udah kita catat punya sifat panas.”“Kalau gitu, Kauwus Las mungkin jenis ikan,” kata Filan.“Dan udang paling lunak. Ini kata yang sebenarnya atau metafor?” kata Recha.“Kalau kita sepakat di konteks seafood, kemungkinan besarnya itu leksikal,” kata Diksa.“Diksa, tolong cari bab seafood! Recha searching udang paling lunak!”Diksa dan Recha merespon sesuai perintah Filan.Filan mendengar suara dua takbir terlantun. Lalu mendengar lagi dengan lantunan lebih panjang.“Magrib. Kit
“Udang windu,” Aris membacakan, “Penaeus monodon atau giant tiger prawn, Asian tiger shrimp, black tiger shrimp, adalah sebuah crustaces yang dibudidayakan secara luas untuk dikunsumsi. Di Indonesia, udang ini disebut udang pancet atau udang windu.”“Wait!” Filan menyela, “kamu nyebut kata tiger tiga kali.” Ia sama terkesimanya sebagaimana Recha dan Diksa.Recha segera beralih perhatian pada ponselnya. “Kak!” menunjukkan tampilan layarnya kepada Filan, “Harimau bersentaja jarum tombak.”Filan mengamati sebingkai gambar udang dengan corak bergaris belang. “Ya. Keterkaitannya cukup besar,” merasa yakin.“Apa tadi nama ilmiahnya?” tanya Diksa kepada Aris.“Penaeus Monodon.”Diksa menuliskan istilah itu. “Peeuon, ya?” gumamnya sambil mencermati apa yang barusan ditulisnya.Ia membuat garis di bawah beberapa huruf dalam ist
Penghuni rumah bambu di hamparan rumput. Meski pun lunak dan lembut, atapnya senantiasa menopang sebundar benua. Benua yang terbentuk dari sabuk api, samudera, sungai-sungai, daratan, dan pegunungan es sebagai lingkaran dinding.Sabuk api dijaga oleh dua kubu pasukan harimau. Kubu Baloasra pengendali benteng dan kubu Peeuon bersentaja jarum tombak. Semua harimau memakai mahkota Traeum warna merah dan mereka memancarkan energi panas yang disebut Zhipy.Kauwus Las bersama udang paling lunak menguasai samudera bintang dan kupu-kupu.Para Thoge menyebar di tanah Toniourii yang banyak terdapat Oleupa. Anilbilo menjadi penguasa sungai Tateata dan sungai Chome yang menyebar di sepertiga tanah Toniourii.Sebagian tanah Toniourii adalah pegunungan merah yang dinamai Pentasncolta. Dari pegunungan merah mengalir sungai Rosa kecil. Di sana sebagian Thoge membaur dengan Mayota Grult dan Tronrvos.Benua itu ada dalam lingkar pegunungan es. Pegunungan e
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Filan meletakkan sewadah kaca oval yang besar dinatas meja kayu persegi panjang. Asapnya yang mengembun tampak menempel pada tutupnya, sedangkan isinya nampak dari luar seperti sekumpul gumpalan kuning kecoklatan dengan tekstur keras. Recha menaruh bentuk wadah yang sama, ia sejajarkan dengan sewadah yang diletakkan Filan. Lalu membawa teko kaca yang berisi larutan warna hijau segar, mengandung parutan entah apa di antara banyaknya butiran biji hitam dan dadu-dadu putih. Isi teko yang sejenis dengan yang ada dalam empat gelas dalam nampan yang sama. Filan meletakkannya di samping dua wadah masakan.Recha meletakkan satu wadah melamin besar warna putih, lalu empat set piring di hadapan masing-masing dari empat kursi.Filan mendengar derap langkah kaki, ia menoleh ke sumber suara dari arah ruang depan.“Yo!” laki-laki berbadan atletis dan berkacamata mengangkan sebelah tangan berisyarat salam.“Aris?!” Filan seketika melihat seor
Recha menatap tembus ke luar jendela kaca fiber, kepada gumpalan putih yang dilalui konstruksi sayap kaku abu-abu, kepada birunya laut ... dan hijaunya daratan yang menurut anggapannya berkontur lebih tinggi daripada jajaran gedung-gedung diantarai jalanan aspal. Sebuah nada befrekuensi halus ia dengar, diikuti suara wanita yang menjelaskan posisi penerbangan juga arahan untuk memasang sabuk pengaman. Recha mengikuti sesuai arahan itu. Kembali melihat ke luar jendela, menyadari pesawat sedang menukik diagonal ke kanan sekaligus bawah.Perhatiannya menjadi terpusat kepada satu bukit hijau, di mana ada jajaran huruf waran putih yang—tentu saja sangat besar—bisa dibacanya “WELLCOME TO BATAM”.Filan berjalan di suatu trotoar sempit, melalui jajaran mobil berparkir, poni rambut undercut-nya bergoyang diterpa angin, bagian bawah jaket levisnya hampir terbang dari balik punggung. Ia memilih jalur penyeberangan yang selurus dengan tengah halaman banguna
Satu kepulan asap putih menyembul ke atas. Heru melihat ketinggian aerosol itu ingin menggapai baling-baling kipas di langit-langit susunan papan kayu mengkilap. Raut mukanya yang mendongak itu semuram Filan yang memegangi kepala dengan menunduk, duduk berhadapan di antarai meja bernomor pod nol lima. Tanpa satu pun menu tersaji menengahi kegundahan mereka, tetapi sekotak kopor abu-abu itu.“Kacau parah!” gumam Heru sambil tersenyum ironis, “terus kamu mau berbuat apa? Aku harus bantu kamu kek mana?”“Cepat atau lambat Paman akan tahu. Jadi bantu aku nutupin masalah ini selama mungkin,” jawab Filan nadanya lemas.“Jadi koper sialan ini ... hak Papaku,” kata Heru.Filan menanggapinya diam.“Seandainya aku tadi ng-iya-in penawarannya, mau kek mana pun misal Papa kecewa, tetep ada untungnya,” menutup ungkapan sesalnya dengan hisapan vapor.“Sorry! Aku kalah,” ucap Filan den
“Ini bukan telur sungguhan, ya?” kata sang mama, “ini ada jenis rasa buahnya, dan bener kayaknya kamu, Rin. Ada kayak rasa cumi.” “iya, kan Ma? What is this banget rasanya!” “Ini pasti molekuler gastronomi,” sambung sang mama. Filan dan Heru seperti tersadar akan hal yang sama. “Apa itu, Ma?” “Metode masak pakai ilmu molekuler. Sains kuliner gitu, deh.” “Waw!” terkesima, “baru denger. Kok mama tahu?” “Masa kamu enggak?” “Oh, ya. Putih telur ini rasanya juga enggak kayak putih telur. Tapi teksturnya memang mirip putih telur asli. Lebih kayak ada rasa manis yang khas, bukan manis gula,” sang papa berpikir sedikit serius, “manis yang khas, kombinasi yang pas sama alpukat panggangnya. “Oke. Tolong kasih nilainya!” Heru mengalihkan topik, “dari bapak!” “Hem,” sang papa terdiam mempertimbangkan, “lima belas.” “Aku, ya? Em ... Iima belas,” kata si perempuan. “Dari saya, enam belas,” kata sang ma
Heru memperhatikan Filan dan Nester yang saling memberi bara tatapan perlawanan, sementara ia merasakan dampak dari dua aura itu pada sekujur kulit tubuhnya seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Ekstra presepsi Heru menggambarkan, Nester diselimuti pancaran aura putih yang mendorong kuat keluar dari tubuh, berbenturan dan saling menekan dengan kobaran aura merah yang menyelimuti tubuh Filan.“Filan. I give you a second change. Surrender, than I will give you a price I offered. Or I will defeat you and will be handed-over this place just for one hundred million—Aku beri kamu kesempatan memilih kembali. Menyerah padaku, aku akan memberi harga sesuai penawaran. Atau aku akan mengalahkanmu dan harus menghargai tempat ini seratus juta saja,” kata Nester dengan santai.“Not both. I will kick you to never expand your business in around this city forever—Tidak keduanya. Karena aku akan menendang (membuat)-mu untuk tidak akan pernah mengemb