"Apa-apaan itu?" gumam Kara pelan, "Kiss ... kiss apa? Kissing partner katanya?"
Pemikiran buruk tentang Bara pun tercipta. Awalnya, Kara berpikir jika Bara adalah sosok pria yang penuh wibawa. Tapi nyatanya, dia hanyalah tuan muda cabul, tidak beretika dan sangat mesum. Yah, seperti itulah pendapatnya, setelah ia mendengar penawaran Bara.Dia bahkan tidak mau peduli dengan alasan yang Bara lontarkan, tentang phobia atau apalah itu. Menurut Kara, itu hanya sebuah trik licik.Namun disisi lain. Bara yang masih berdiri ternganga, merasa sangat kesal. Tentu saja, ini pertama kalinya dia mendapat penolakan. Padahal, biasanya Bara lah yang menolak para wanita yang mencoba mendekatinya.Ambisi untuk menaklukan Kara tiba-tiba tumbuh hanya dalam semalam, Bara seolah merasa tertantang untuk menghadapi penolakan dari gadis yang baru bekerja padanya selama beberapa hari itu.Sejak kejadian malam itu, setiap tindakan Kara selalu mendapatkan tatapan dingin dari Bara. Bahkan saat dia memasak, Bara berpura-pura membaca laporan sambil menatapnya diam-diam.Ketika bersih-bersih pun, tatapan pria itu masih menatapnya dengan tajam, membuat Kara merasa seperti diintai oleh harimau yang ingin menjadikannya sebagai santapan makan siang.Perlakuan Bara sudah pasti membuat Kara tidak nyaman. Gadis itu pun mencoba berbicara pada Helena untuk dipindahkan ke tempat lain. Namun sayangnya, sebelum dia berbicara pada Helena, Bara sudah lebih dulu mendahuluinya."Apa ada masalah di sana?" tanya Helena ketika Kara mengutarakan keinginannya."Ti-tidak. Itu hanya—" Perkataan Kara tiba-tiba tertahan.Dia sendiri juga merasa bingung harus memberikan alasan seperti apa pada Helena. Tidak mungkin jika dia menjadikan tawaran sang tuan muda sebagai alasan, karena ia yakin jika Helena pasti tidak akan mempercayainya."Kamu baru beberapa hari bekerja. Jika pekerjaan ini terasa berat, kamu bisa mengundurkan diri," terang Helena tanpa basa-basi.Sontak saja ucapan Helena membuat Kara gelagapan, "Tidak! Maaf, Bibi Helena. Saya kehilangan fokus sesaat. Saya akan bekerja lebih giat lagi.""Bagus. Aku menyukai pekerjaanmu yang rapi dan cekatan, Kara. Jadi, bertahanlah."Kara mengakhiri panggilan teleponnya, kemudian menghela napas kasar. Helena benar-benar tidak mudah dibujuk dengan alasan apapun, seperti rumor yang beredar di kalangan para pekerja.Pada akhirnya, dia mencoba untuk tetap bertahan, meski Bara terus menatapnya seperti seekor kelinci yang akan menjadi santapan. Hingga akhirnya, satu minggu pun berlalu setelah tawaran dari Bara.Hari itu Kara mendapatkan tugas untuk berbelanja kebutuhan di luar bersama Jefri, supir paruh baya yang sudah mengabdi pada keluarga Alexandrio selama lebih dari 10 tahun.Beberapa barang kebutuhan sudah berhasil dibeli oleh Kara, ketika tiba-tiba ia mendapatkan panggilan telepon dari kakak laki-lakinya."Kara, kamu ada dimana? Para preman itu datang lagi, dan memukuli Ayah!"Dengan panik, Kara menyuruh Jefri pulang lebih dulu dengan membawa barang belanjaan. Sedangkan dia buru-buru kembali ke rumah.*Beberapa menit berselang, sampai Kara tiba di sebuah kawasan yang bisa dibilang kumuh, dengan beberapa rumah dan bangunan yang terlihat tak terawat, bahkan hampir roboh. Salah satu diantara bangunan itu adalah milik keluarga Kara.Gadis dengan rambut panjang yang digelung rapi itu, terlihat berlari tergopoh-gopoh usai turun dari taxi. Melihat banyak orang berkerumun di depan rumahnya, membuat Kara semakin panik.Kara menerobos kerumunan tetangga yang sedang melihat sang ayah dihajar habis-habisan oleh para preman. Fokus Kara langsung tertuju pada sang ayah.Naas, tepisan tangan salah satu preman mengenai wajahnya, saat Kara hendak menyelamatkan sang Ayah. Kara pun jatuh tersungkur tak berdaya, namun dia buru-buru bangkit dan mengancam mereka sambil menunjukkan ponselnya."Berhenti atau kupanggil polisi!"Seketika, tiga preman bertubuh kekar itu menoleh dan menatap Kara yang memegang ponsel, bersiap memanggil polisi. Gertakan Kara akhirnya membuat para preman itu melepaskan sang ayah."Tidak bisa bayar, ambil rumahnya saja!" ucap pria bertubuh kurus tinggi yang sejak tadi berdiri bersandar pada sebuah mobil kuno berwarna biru.Seorang wanita paruh baya tiba-tiba saja berteriak dengan lantang, "Tidak! Tidak, jangan ambil rumahku!"Wanita bernama Viola itu buru-buru berlari menghampiri pria bertubuh kurus, dia berlutut dan memohon belas kasih padanya. Tak lama kemudian, seorang pria berusia 25 tahunan juga menghampiri pria itu."Kami pasti akan membayarnya. Adikku bekerja di kediaman orang kaya, dia akan membayar kalian dalam seminggu. Percayalah!"Perkataan sang kakak, tentu saja membuat Kara tertegun. Dia menoleh, melihat kakak dan ibu angkatnya dengan tega menjadikan dirinya sebagai tameng.Pria itu memincing tajam ke arah Kara, menatap dengan mata liciknya dari atas hingga ke bawah. Melihat baju maid hitam yang dipakai Kara, membuatnya sedikit percaya perkataan Eiden."Oke! Satu minggu lagi. Jika tidak bisa membayarnya, rumah ini jadi milikku!"Kaki Kara seketika lemas, saat orang-orang itu pergi meninggalkan mereka. Ada perasaan lega, ada juga rasa khawatir tentang janji yang disematkan Eiden.Namun, rasa kesal dan marah lebih mendominasi diri Kara. Dia mendekati Eiden, kemudian melayangkan tangannya di pipi sang kakak.PLAK!!"Apa kau sudah gila!" Kara meluapkan emosinya yang menggebu-gebu.Bukannya mendapatkan pembelaan dari sang ibu, wanita berumur 50 tahun itu justru membela kakaknya."Bukankah kamu sudah bekerja di tempat orang kaya? Setidaknya pinjamlah sedikit dari mereka, lalu cicil dengan memotong gajimu!"Mendengar kata-kata sang ibu, membuat Kara bertambah emosi. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat, berusaha menahan agar tidak meledak di depan umum. Hanya saja, perkataan sang ayah justru semakin memancing amarah dalam dirinya."Ibumu benar. Pinjam sedikit dari mereka, 200 ribu dollar hanya uang kecil bagi mereka."Tak hanya keluarganya saja yang terus memojokkan Kara, bahkan beberapa tetangga yang melihat pun ikut bersuara. "Benar, berbaktilah sedikit pada ayah dan ibumu, Kara. Mereka sudah memungut dan merawatmu, jangan tidak tau balas budi!"Mendengar kata-kata menyakitkan itu, membuat kara tersenyum miris. Benar, dia hanyalah anak pungut. Dia ditemukan di pinggiran sungai, oleh ayah dan ibunya saat dia masih bayi.Kara berbalik menatap beberapa tetangga yang belum juga pergi itu dan berkata, "Berbakti? Apa Anda yakin, Anda mengerti dengan benar arti kata berbakti? Selama 3 tahun ini aku bekerja siang dan malam untuk menghidupi keluarga ini! Menurut kalian, siapa yang hanya menonton serial di rumah, mabuk-mabukan dan berjudi?!" Kara menatap Eiden dengan tajam, "Apa kau pernah berpikir untuk mencari pekerjaan? Tidak kan?!"Kara menatap ketiga anggota keluarganya secara bergantian. Namun tak ada satupun dari mereka yang menampilkan raut wajah bersalah atau semacamnya, mereka justru menatapnya dengan tidak suka."Hutang 100 ribu baru saja selesai dibayar, dan aku harus bekerja dari siang sampai malam selama tiga tahun!" Kara masih meneruskan luapan emosinya. "Dan sekarang ... sekarang aku harus membayar lagi hutang yang dua kali lipat lebih banyak dari itu? Berapa lama aku harus bekerja untuk itu?!""Kamu mencoba berhitung dengan keluargamu sendiri? Ibu dan ayah sudah memungut dan membesarkanmu, Kara. Setidaknya bantulah sedikit. Itu tidak sebanding dengan pengorbanan mereka selama ini!"Perkataan Eiden berhasil membuat mata Kara memerah. Gadis itu tidak bisa berkata apapun lagi. Usahanya untuk menyadarkan keluarganya berakhir sia-sia. Alih-alih meneruskan perdebatan, Kara memilih pergi dengan membawa rasa kecewa, sedih dan emosinya."Haruskah aku merendahkan diri dan menerima tawaran Tuan Bara? Haruskah aku melakukan itu demi sebuah keluarga yang bahkan tidak pernah peduli dengan rasa lelahku?" batin Kara dengan menahan rasa sesak di dadanya.Kara kembali ke kediaman Bara dengan pikiran yang kacau. Dia bahkan sempat melewatkan satu pemberhentian lantaran melamun, memikirkan cara lain untuk mendapatkan uang selain setuju dengan tawaran sang majikan.Pergulatan batin dirasakan Kara selama beberapa hari. "Sepertinya aku tidak punya pilihan lain," gumam Kara lirih, dengan wajah sendunya.Sampai akhirnya, dia yang sudah berada diambang keputusasaan hanya memiliki satu pilihan, yaitu menerima tawaran dari majikannya.Hari telah larut, jam dinding pun sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kara yang sudah menyiapkan tekad untuk membicarakan hal itu dengan Bara, terlihat duduk di sofa menunggu kepulangan sang majikan sambil menahan kantuknya. Hingga akhirnya, suara pintu terbuka pun terdengar.Kara terkesiap dalam hitungan detik. Dia langsung bangkit berdiri sambil berkedip beberapa kali, mencoba membuat matanya yang sudah berat kembali terbuka secara sempurna."Ayolah Kara, kau pasti bisa!" seru Kara dalam hati.Kenyataan bahwa dia ma
Sang Mentari mulai naik dari peradabannya, setelah membuat setengah dari bumi gelap tanpa cahaya. Dia menyisingkan sinar yang begitu terang hingga membuat mata silau.Namun anehnya, burung-burung justru menyambutnya dengan kicauan merdu. Bahkan angin pun begitu, dia bergerak sepoi-sepoi menebarkan bau embun yang sangat khas.Waktu masih menunjukkan pukul 8 pagi, tetapi para maid di kediaman Bara sudah terlihat sangat sibuk, termasuk Kara. Gadis itu terlihat sangat amat sibuk membersihkan tempat tidur yang ada di kamar tamu. Meski tidak terpakai, selimut dan sprei tetao diganti setiap minggunya.Bara yang kebetulan sudah selesai bersiap untuk bekerja, sedang berjalan melewati kamar tamu. Pandangan matanya tiba-tiba terfokus pada Kara. Dia bahkan menghentikan langkah kakinya untuk bisa menatap gadis itu sedikit lebih lama.Baju maid yang berupa dress hitam, berpadu dengan renda putih di beberapa bagian seolah memperlihatkan tubuh sexy Kara. Kaki putih mulus nan bersih, dengan rambut yan
Kini, semua mata tertuju pada seorang pria berjas hitam yang berdiri dengan santai usai menerobos masuk begitu saja. Kedatangan pria itu bahkan membuat pemimpin dari para preman bangkit berdiri."Siapa kau?" tanya sang bos preman dengan nada ketus, sambil menunjukkan wajah tak suka lantaran kesenangannya di usik.Namun bukannya segera menjawab, pria yang ditanya justru menoleh ke sekeliling seolah tidak tahu siapa yang dimaksud, "Kau bertanya padaku?"Tindakan pria asing yang bahkan tidak dikenal oleh Kara itu, tentu saja membuat emosi para preman tersulut. Tanpa basa basi, bos dari para preman langsung menyuruh anak buahnya untuk menyerbu.Setidaknya ada lima orang yang menyerbu dalam waktu bersamaan. Beberapa pukulan dilayangkan, tetapi tidak ada satupun yang mengenai pria itu. Sampai akhirnya, dua orang yang memegangi kaki Kara pun ikut bertarung."Hei, hei! Satu lawan tujuh, itu tidak adil!" teriak seorang pria sambil berjalan masuk dengan santainya di tengah pergulatan.Kedatanga
Melihat tangan Bara yang siap menarik pelatuk dan membuat timah panas itu melesat menembus kepalanya, tentu saja membuat pria bertubuh kurus itu ketakutan. "Ba-baik. Sa-saya akan membuatkan tanda lunasnya!" Tidak sampai dua menit. Dia yang sejak tadi sibuk menulis tanda bukti lunas, kini berjalan menghampiri Bara dengan gugup dan menyerahkan tanda buktinya.Bara menarik secarik kertas dari tangan pria itu, kemudian mengajak Kara pergi dari sana. Namun belum sempat ia keluar dari pintu, Bara sempat berpesan."Jika aku menemukan salah satu dari kalian mengacau lagi. Maka jangan menyesal jika tangan ini melewati batasnya!"Mereka bertiga pun pergi meninggalkan bangunan tiga lantai yang sangat pengap dan tidak bersahabat itu, menuju mobil. Bara terlihat berjalan lebih dulu, disusul oleh Kara dan Zee yang berjalan beriringan. Ketika masuk ke dalam mobil pun begitu. Bara sengaja masuk lebih dulu dengan membiarkan pintu mobilnya terbuka, berharap Kara cukup peka. Namun gadis itu justru mem
"Se-sekarang? Disini?" tanya Kara yang sudah pasti terkejut dengan permintaan tiba-tiba dari Bara. Tentu saja Kara sangat canggung jika harus memberikan service pertamanya saat itu, karena tak hanya ada mereka berdua di dalam mobil.Bara menatap Kara dan mengangkat sebelah alisnya, "Kenapa? Bukankah di dalam kontrak tidak tertulis tempat dan waktu dimana kau harus melakukan tugasmu?" GLEK!Kara menelan kasar salivanya. Memang benar tidak ada penjelasan tentang tempat dan waktu di dalam perjanjian itu. Kapan dan dimana, semua terserah pada Bara. Hanya saja, dia tidak menyangka jika Bara akan meminta hal itu pada keadaan yang menurutnya kurang memungkinkan.Kara mengalihkan pandangannya ke depan, dan melihat Zer yang tengah mengubah posisi kaca tengahnya. Sepertinya, pria muda itu sangat ahli dalam memahami situasi. Terutama jika hal itu menyangkut urusan Bara."Ba-baiklah. Tapi sebelumnya, saya meminta maaf jika pelayanan pertama saya kurang memuaskan."Ketika Kara sibuk berbicara, t
Napas Bara perlahan menjadi sedikit cepat, pendek, dan berantakan. Tubuh yang semula hangat, langsung menjadi dingin dalam hitungan detik.Usahanya untuk bisa mencium sang kekasih, pada akhirnya harus kandas di jarak yang masih jauh. Dia pun langsung bangkit berdiri dan pergi meninggalkan Alexa tanpa sepatah katapun.Pria bertubuh kekar dengan kemeja putih itu, langsung berlari masuk ke dalam toilet. Rasa mual di perut yang sudah tidak bisa ditahan, akhirnya ia keluarkan. Suara Bara yang sedang muntah secara tidak sengaja terdengar samar di telinga Alexa, membuat gadis itu semakin jengkel dengan respon sang kekasih.Padahal sebelum datang menemui sang kekasih, dia sudah memastikan mulutnya tidak bau. Dia bahkan menyemprotkan banyak pewangi mulut. Namun tetap saja hal itu tidak bisa membuat sang kekasih memberinya sebuah kecupan."Sial! Kenapa masih belum bisa? Dimana letak kesalahannya?"Bara langsung keluar setelah perutnya merasa lebih baik. Niat hati ingin meminta maaf pada Alexa,
Derap langkah kaki terdengar nyaring di dalam rumah. Tidak ada suara atau kegaduhan sedikitpun, padahal beberapa menit yang lalu Bara baru saja mendapatkan informasi tentang kedatangan orang tuanya.Setengah jam ia tempuh perjalanan dengan mengebut, bahkan sempat menerobos lampu merah. Namun ketika datang, dia justru tidak melihat ada seorangpun yang menyambutnya.Bara hanya menghela napas kasar. Ada ekspresi lega yang tergambar di wajahnya, saat mendapati rumahnya dalam kondisi sepi. Yah, setidaknya dia tidak perlu mendengar ocehan dari sang ibu.Namun kegembiraan itu langsung buyar, ketika ia melihat Alfred sedang duduk di sofa. Pria tua yang rambutnya masih hitam karena disemir itu, langsung menaruh jari telunjuknya di bibir untuk memberi Bara sebuah kode agar tidak berisik.Ketika ia berjalan mendekat, barulah ia melihat sosok Evelyn yang sedang tidur sambil bersandar di pundak Alfred.Melihat sang ibu tertidur, Bara baru mengerti kenapa keadaan rumahnya begitu hening. Hal ini seo
Selesai menikmati makan malam dan bercengkrama sejenak, Alfred dan Evelyn pun memutuskan untuk menginap semalam. Bara tentu keberatan pada awalnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain setuju.Bara langsung mengutus Kara untuk membersihkan kamar yang ada di lantai pertama, setelah Evelyn memutuskan bermalam dengan mendadak. Awalnya Eve tidak berencana untuk menginap di rumah Bara, namun entah karena hal apa keinginannya berubah setelah makan malam.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam. Rumah sudah sunyi senyap, lampu-lampu utama pun sudah padam sejak satu jam lalu. Evelyn dan Alfred juga sudah masuk ke dalam kamar mereka.Bara yang sejak tadi berada di ruang baca setelah mengobrol, tiba-tiba merasa sedikit sesak. Dia pun berjalan menuju rooftop untuk menghirup udara segar. Namun ketika ia membuka pintu rooftop yang terbuat dari kaca, sosok wanita dengan piyama berwarna emerald terlihat duduk di kursi. Suara pintu yang terbuka pun, membuat wanita itu menoleh."Tuan Bar