Setelah mendengar penjelasan dari sang Ibu, Bara pun sadar kalau dirinya tak boleh sampai terjebak dalam suasana. Hal yang perlu dia pikirkan sekarang adalah mengatasi problem selanjutnya yang mungkin bisa saja terjadi."Benar kata ibu, wanita lebih pintar berpura-pura tertindas dari pada menyembunyikan rasa jengkelnya. Dan itu terlihat jelas di wajahnya ketika cincin murahan itu kusematkan," batin Bara.Setelah Bara menyematkan cincin ke tangan Alexa, Alfred langsung mengangkat gelas berisi wine. Mengajak beberapa orang yang disana untuk bersulang atas pertunangan sang putra.Yah, meski pada akhirnya, mereka semua hanya menempelkan gelas di bibir dan tidak meneguk isinya. Seakan menunjukkan ketidaksukaan mereka pada Alexa.Gelas masih ada di tangan masing-masing, belum sempat di letakkan ke atas meja. Seorang maid terlihat berlari tergopoh-gopoh masuk ke dalam dari arah luar."Tuan Besar, Tuan Eraz sudah datang!" ucap salah seorang maid.Mendengar informasi itu, dua sudut bibir Alfred
Semilir angin berhembus sedikit kencang pada malam itu, membawa udara yang terasa sedikit dingin hingga menusuk sumsum, padahal musim akan berganti sebentar lagi.Saat ini, di rumah pribadi Bara sudah terlihat sepi setelah beberapa jam yang lalu sempat heboh lantaran kabar pertunangan tuan muda mereka yang di langsungkan secara mendadak di kediaman utama.Tuan muda yang selama ini mereka anggap sebagai sosok yang dingin, namun sangat peduli dengan para pekerjanya. Sosok pria penyendiri yang mereka ketahui tak pernah memiliki pasangan, apalagi sampai menimbulkan skandal.Kabar yang beredar diantara mereka tentu saja tidak luput dari telinga Kara. Gadis itu mendengarnya dengan jelas, tetapi masih berusaha untuk tidak percaya begitu saja.Namun setelah ia melihat sebuah foto, barulah ia percaya dengan kabar yang beredar. Secara sepintas, perasaan yang menurutnya aneh dan tak berdasar, telah berhasil membuat gadis itu terjaga hingga pukul 3 pagi."Oh, ayolah. Apa yang membuatmu terasa sesa
Begitulah yang Bara ucapkan, sebelum akhirnya ia berlari keluar dengan raut wajah kebingungan. Dia terus berjalan, menuruni tangga tanpa menggunakan alas kaki. Mungkin itu karena dia terlalu terkejut dan buru-buru menutupi rasa malunya.Ketika sampai di bawah, manik matanya langsung menemukan sosok Ansel yang sedang menikmati sarapannya. Tanpa banyak berkata, dia langsung menarik baju pria itu begitu saja."Hei! Hei, Bro!" teriak Ansel ketika Bara menarik bajunya dan menyeretnya pergi."Jangan banyak bicara, ikut saja!" ucap Bara terus menarik kerah baju belakang milik Ansel.Pria dengan raut wajah bingung itu lantas berhenti saat di depan mobil. la sempat merogoh saku, mencari kunci mobil miliknya. Namun sayangnya, dia tidak menemukan itu."Assh, sial!" keluh Bara kesal. "Dimana kunci mobilmu?""Di ... meja?" jawab Ansel sedikit ragu."Kalau begitu, cepat ambil itu ke dalam!""Memang kenapa? Apa ada hal penting?" Ansel menatap nanar wajah Bara yang terlihat bingung. Namun dirinya leb
Usai meluapkan rasa kesalnya, ia pun pergi dari kamar Bara. Tentu setelah kamar sang majikan itu kembali rapi.Kara baru saja turun ke bawah usai berurusan dengan kamar tuan mudanya, ketika Alexa masuk ke dalam sana untuk mencari keberadaan sang tunangan."Tuan Bara baru saja keluar bersama Tuan Ansel, Nona," ucap salah seorang maid yang terdengar oleh Kara.Dahi Alexa mengkerut mendengar penuturan maid itu, "Kemana dia pergi pagi-pagi begini? Bahkan dia tidak memberitahuku," pikirnya.Alexa hendak beranjak pergi lantaran usahanya bertemu Bara gagal. Namun saat ia hendak berbalik, manik matanya menangkap keberadaan Kara yang berdiri di ujung anak tangga. Entah mengapa, Alexa tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk pergi. Dia melangkah sambil menatap Kara, lalu duduk di atas sofa dan menyilangkan kedua kakinya tanpa permisi lebih dahulu."Aku tau, berita pertunanganku dengan Bara pasti sudah kalian dengar," katanya tiba-tiba dengan angkuh. "Yah, karena semua serba mendadak, kami tidak pu
Setiap kalimat yang diucapkan oleh staf, terdengar begitu sopan sampai di telinga Kara. Meski pada kenyataannya, perkataan itu bagai sebilah pedang tanpa mata.Sambil memasang senyum palsu, ia mengambil dua paper bag itu dan berlalu pergi dari sana. Kakinya melangkah dengan asal, entah kemana dua kakinya membawa tubuhnya pergi.Senyum kecut terbit di bibir mungil Kara, "Ponsel tertinggal katanya? Bukankah itu memang di sengaja? Dia tidak membiarkan aku bersiap, bahkan untuk sekedar mengambil dompet dan ponsel."Marah, kesal, dan sedih. Semua berkumpul, menjelma menjadi sebuah anak panah yang langsung menembus dadanya. Membuat napas terasa sesak dan berat untuk beberapa saat.Rasanya ingin mengutuk, tapi tidak tahu harus mengutuk siapa. Dia benar-benar dibuat tak berdaya oleh keadaan, baik itu posisinya sebagai pembantu atau sebagai orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan apapun.Kara terus berjalan sambil menenteng dua paper bag dan segelas es kopi pesanan Alexa, melangkah pulang de
Jawaban yang syarat dengan penekanan sebuah status itu, berhasil membuat Bara terperangah. Kedua bola matanya membulat penuh, menatap wajah Kara yang terlihat sedih namun tetap berusaha menampilkan seulas senyum.Hanya saja, gadis itu melupakan sesuatu, yaitu cara menyimpan air matanya agar tidak menggenang. Seperti saat ia menjawab pertanyaan sang majikan.Perasaan tak menentu yang tiba-tiba hadir dan bergejolak tanpa sadar. Antara marah, jengkel, dan suatu perasaan yang membuat hatinya merasa sedikit sakit. Bara sendiri tidak yakin, apa yang membuat perasaannya campur aduk seperti itu.Dalam hati, Bara berkata, "Tidak mungkin perkataan Ansel benar. Tidak mungkin!"Tepat beberapa jam yang lalu, Ansel dengan asal mengatakan jika semua sikap Bara selama ini pada Kara bisa jadi adalag sebuah rasa ketertarikan. Perasaan yang tumbuh secara spontan dan mendapat respon alamiah dari tubuh dan alam bawah sadarnya."Kau tahu? Cinta adalah sebuah perasaan yang dengan begitu dominan merasuk ke d
Setelah kejadian malam itu, semua berjalan seperti biasa. Bara menikmati sarapannya, lalu pergi bekerja. Pulang pun juga langsung tidur. Sesekali, dia melakukan meeting mendadak di ruang kerjanya. Semuanya berjalan normal, seolah tidak ada yang terjadi. Bahkan dua orang itu berbicara dengan normal, membahas menu yang ingin dia makan esok hari atau sesuatu yang dia inginkan."Pesankan aku makanan kesukaan ibu," pinta Bara pada Kara saat ia menikmati sarapannya."Anda akan mengunjungi Nyonya Besar?" tanya IsabelleBara mengangguk, sambil mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. Sebuah kartu hitam dengan limit tanpa batas, langsung di sodorkan pada Kara untuk membeli pesanan yang ia minta."Apa saya boleh ikut, Tuan? Ada hal yang ingin saya bicarakan dengan Nyonya Emily," lanjut Isabelle.Bara terdiam sejenak. Mencoba menebak hal yang membuat Isabelle ingin bertemu dengan bibinya, Emily. Namun rasa penasarannya hanya sepintas saja, tidak sampai membuatnya mengorek informasi lebih jauh.
Pikiran dan perasaan Kara menjadi kacau setelah mendengar ucapan Alexa. Tidak tahu itu benar atau tidak, tetapi kalimat Alexa berhasil membuat Kara terdiam.Alexa pun langsung pergi meninggalkan Kara di dapur sendirian. Mengambil tas dan mantel yang ia geletakkan di atas sofa."Apa yang kamu lakukan?" Suara berat seorang pria terdengar, membuat Alexa langsung menoleh. Melihat Bara berdiri di belakang, Alexa pun berjalan menghampiri pria itu. Kedua tangannya terulur, melonggarkan dasi yang dikenakan oleh Bara. "Aku sudah melakukan perintahmu, Sayang.""Oh, benarkah?"Bara berusaha menarik tangan Alexa, tetapi cengkraman tangan gadis itu begitu kuat. Hingga saat kancing kerah Bara terlepas, barulah ia menurunkan tangannya."Kamu yang meminta itu kan? Jadi aku melakukan apa yang kamu minta," jawab Alexa yang kemudian tersenyum, sedangkan Bara justru menatapnya dengan sinis. "Aku dengar, kamu ingin bertemu dengan ibu. Segeralah pergi, aku juga harus pergi ke kantor," lanjutnya.Bara masi