Begitulah yang Bara ucapkan, sebelum akhirnya ia berlari keluar dengan raut wajah kebingungan. Dia terus berjalan, menuruni tangga tanpa menggunakan alas kaki. Mungkin itu karena dia terlalu terkejut dan buru-buru menutupi rasa malunya.Ketika sampai di bawah, manik matanya langsung menemukan sosok Ansel yang sedang menikmati sarapannya. Tanpa banyak berkata, dia langsung menarik baju pria itu begitu saja."Hei! Hei, Bro!" teriak Ansel ketika Bara menarik bajunya dan menyeretnya pergi."Jangan banyak bicara, ikut saja!" ucap Bara terus menarik kerah baju belakang milik Ansel.Pria dengan raut wajah bingung itu lantas berhenti saat di depan mobil. la sempat merogoh saku, mencari kunci mobil miliknya. Namun sayangnya, dia tidak menemukan itu."Assh, sial!" keluh Bara kesal. "Dimana kunci mobilmu?""Di ... meja?" jawab Ansel sedikit ragu."Kalau begitu, cepat ambil itu ke dalam!""Memang kenapa? Apa ada hal penting?" Ansel menatap nanar wajah Bara yang terlihat bingung. Namun dirinya leb
Usai meluapkan rasa kesalnya, ia pun pergi dari kamar Bara. Tentu setelah kamar sang majikan itu kembali rapi.Kara baru saja turun ke bawah usai berurusan dengan kamar tuan mudanya, ketika Alexa masuk ke dalam sana untuk mencari keberadaan sang tunangan."Tuan Bara baru saja keluar bersama Tuan Ansel, Nona," ucap salah seorang maid yang terdengar oleh Kara.Dahi Alexa mengkerut mendengar penuturan maid itu, "Kemana dia pergi pagi-pagi begini? Bahkan dia tidak memberitahuku," pikirnya.Alexa hendak beranjak pergi lantaran usahanya bertemu Bara gagal. Namun saat ia hendak berbalik, manik matanya menangkap keberadaan Kara yang berdiri di ujung anak tangga. Entah mengapa, Alexa tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk pergi. Dia melangkah sambil menatap Kara, lalu duduk di atas sofa dan menyilangkan kedua kakinya tanpa permisi lebih dahulu."Aku tau, berita pertunanganku dengan Bara pasti sudah kalian dengar," katanya tiba-tiba dengan angkuh. "Yah, karena semua serba mendadak, kami tidak pu
Setiap kalimat yang diucapkan oleh staf, terdengar begitu sopan sampai di telinga Kara. Meski pada kenyataannya, perkataan itu bagai sebilah pedang tanpa mata.Sambil memasang senyum palsu, ia mengambil dua paper bag itu dan berlalu pergi dari sana. Kakinya melangkah dengan asal, entah kemana dua kakinya membawa tubuhnya pergi.Senyum kecut terbit di bibir mungil Kara, "Ponsel tertinggal katanya? Bukankah itu memang di sengaja? Dia tidak membiarkan aku bersiap, bahkan untuk sekedar mengambil dompet dan ponsel."Marah, kesal, dan sedih. Semua berkumpul, menjelma menjadi sebuah anak panah yang langsung menembus dadanya. Membuat napas terasa sesak dan berat untuk beberapa saat.Rasanya ingin mengutuk, tapi tidak tahu harus mengutuk siapa. Dia benar-benar dibuat tak berdaya oleh keadaan, baik itu posisinya sebagai pembantu atau sebagai orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan apapun.Kara terus berjalan sambil menenteng dua paper bag dan segelas es kopi pesanan Alexa, melangkah pulang de
Jawaban yang syarat dengan penekanan sebuah status itu, berhasil membuat Bara terperangah. Kedua bola matanya membulat penuh, menatap wajah Kara yang terlihat sedih namun tetap berusaha menampilkan seulas senyum.Hanya saja, gadis itu melupakan sesuatu, yaitu cara menyimpan air matanya agar tidak menggenang. Seperti saat ia menjawab pertanyaan sang majikan.Perasaan tak menentu yang tiba-tiba hadir dan bergejolak tanpa sadar. Antara marah, jengkel, dan suatu perasaan yang membuat hatinya merasa sedikit sakit. Bara sendiri tidak yakin, apa yang membuat perasaannya campur aduk seperti itu.Dalam hati, Bara berkata, "Tidak mungkin perkataan Ansel benar. Tidak mungkin!"Tepat beberapa jam yang lalu, Ansel dengan asal mengatakan jika semua sikap Bara selama ini pada Kara bisa jadi adalag sebuah rasa ketertarikan. Perasaan yang tumbuh secara spontan dan mendapat respon alamiah dari tubuh dan alam bawah sadarnya."Kau tahu? Cinta adalah sebuah perasaan yang dengan begitu dominan merasuk ke d
Setelah kejadian malam itu, semua berjalan seperti biasa. Bara menikmati sarapannya, lalu pergi bekerja. Pulang pun juga langsung tidur. Sesekali, dia melakukan meeting mendadak di ruang kerjanya. Semuanya berjalan normal, seolah tidak ada yang terjadi. Bahkan dua orang itu berbicara dengan normal, membahas menu yang ingin dia makan esok hari atau sesuatu yang dia inginkan."Pesankan aku makanan kesukaan ibu," pinta Bara pada Kara saat ia menikmati sarapannya."Anda akan mengunjungi Nyonya Besar?" tanya IsabelleBara mengangguk, sambil mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. Sebuah kartu hitam dengan limit tanpa batas, langsung di sodorkan pada Kara untuk membeli pesanan yang ia minta."Apa saya boleh ikut, Tuan? Ada hal yang ingin saya bicarakan dengan Nyonya Emily," lanjut Isabelle.Bara terdiam sejenak. Mencoba menebak hal yang membuat Isabelle ingin bertemu dengan bibinya, Emily. Namun rasa penasarannya hanya sepintas saja, tidak sampai membuatnya mengorek informasi lebih jauh.
Pikiran dan perasaan Kara menjadi kacau setelah mendengar ucapan Alexa. Tidak tahu itu benar atau tidak, tetapi kalimat Alexa berhasil membuat Kara terdiam.Alexa pun langsung pergi meninggalkan Kara di dapur sendirian. Mengambil tas dan mantel yang ia geletakkan di atas sofa."Apa yang kamu lakukan?" Suara berat seorang pria terdengar, membuat Alexa langsung menoleh. Melihat Bara berdiri di belakang, Alexa pun berjalan menghampiri pria itu. Kedua tangannya terulur, melonggarkan dasi yang dikenakan oleh Bara. "Aku sudah melakukan perintahmu, Sayang.""Oh, benarkah?"Bara berusaha menarik tangan Alexa, tetapi cengkraman tangan gadis itu begitu kuat. Hingga saat kancing kerah Bara terlepas, barulah ia menurunkan tangannya."Kamu yang meminta itu kan? Jadi aku melakukan apa yang kamu minta," jawab Alexa yang kemudian tersenyum, sedangkan Bara justru menatapnya dengan sinis. "Aku dengar, kamu ingin bertemu dengan ibu. Segeralah pergi, aku juga harus pergi ke kantor," lanjutnya.Bara masi
Kara terdiam, tatapannya lurus memandang dua binar mata Bara yang tidak memperlihatkan kebohongan. Dia menjadi linglung dan tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Pikirannya berkecamuk. Prasangkanya telah disangkal oleh sang majikan dengan mudah, bahkan tanpa emosi sedikitpun.Apa yang dia ucapkan benar?Bara tiba-tiba mendekat. Sorot matanya tajam tertuju pada Kara yang masih terbengong. Namun ketika Bara perlahan mendekatinya, kaki Kara secara spontan melangkah mundur."Dan untuk phobiaku, masih sama. Tidak ada sedikitpun kemajuan," ucap Bara sambil mendekat, berusaha memangkas jarak antara dirinya dan sang maid.Sampai akhirnya, salah satu tangan pria itu terulur dan dengan lembut menyentuh pipi Kara. Lalu, mendaratkan bibirnya dengan perlahan.Ciuman yang sangat amat lembut, mendarat dengan sempurna. Begitu lembutnya, hingga Kara yang mematung sejak tadi tidak bisa menolak apalagi menghindar.Namun entah apa yang terjadi. Dua mata indah dengan bulu tebal nan lentik itu tiba-tiba ba
Cuaca hari itu sangat cerah, dengan suhu 29 derajat di luar ruangan. Sedikit panas, tetapi tidak terlalu terik, lantaran angin sepoi-sepoi berhembus menebarkan kesejukan.Waktu masih menunjukkan pukul 1 siang, ketika Bara keluar dari kantor, mengunjungi kediaman Ansel. Yah, apalagi jika bukan untuk mengeluh tentang sakit kepala yang sudah beberapa hari ini mengganggunya."Aku tidak punya banyak saran," jawab Ansel dengan santai usai mendengarkan keluhan Bara. Keluhan yang selalu membuatnya bosan dan sakit kepala juga."Tinggalkan saja gadis itu. Dia sumber sakit kepala kita!"Tegas dan singkat. Namun mampu membuat Bara terperangah dan langsung bangkit berdiri."Kau gila! Bagaimana mungkin? Phobia ku masih belum sembuh, aku masih membutuhkannya!"Jawaban Bara seketika membuat Ansel terdiam. Kedua matanya menatap Bara dengan nanar, karena pemahaman mereka, ternyata berbeda.Tiba-tiba Ansel mengangkat dua sudut bibirnya. Melihat respon Bara, dia mendapatkan sebuah kenyataan yang tidak te