Jawaban yang syarat dengan penekanan sebuah status itu, berhasil membuat Bara terperangah. Kedua bola matanya membulat penuh, menatap wajah Kara yang terlihat sedih namun tetap berusaha menampilkan seulas senyum.Hanya saja, gadis itu melupakan sesuatu, yaitu cara menyimpan air matanya agar tidak menggenang. Seperti saat ia menjawab pertanyaan sang majikan.Perasaan tak menentu yang tiba-tiba hadir dan bergejolak tanpa sadar. Antara marah, jengkel, dan suatu perasaan yang membuat hatinya merasa sedikit sakit. Bara sendiri tidak yakin, apa yang membuat perasaannya campur aduk seperti itu.Dalam hati, Bara berkata, "Tidak mungkin perkataan Ansel benar. Tidak mungkin!"Tepat beberapa jam yang lalu, Ansel dengan asal mengatakan jika semua sikap Bara selama ini pada Kara bisa jadi adalag sebuah rasa ketertarikan. Perasaan yang tumbuh secara spontan dan mendapat respon alamiah dari tubuh dan alam bawah sadarnya."Kau tahu? Cinta adalah sebuah perasaan yang dengan begitu dominan merasuk ke d
Setelah kejadian malam itu, semua berjalan seperti biasa. Bara menikmati sarapannya, lalu pergi bekerja. Pulang pun juga langsung tidur. Sesekali, dia melakukan meeting mendadak di ruang kerjanya. Semuanya berjalan normal, seolah tidak ada yang terjadi. Bahkan dua orang itu berbicara dengan normal, membahas menu yang ingin dia makan esok hari atau sesuatu yang dia inginkan."Pesankan aku makanan kesukaan ibu," pinta Bara pada Kara saat ia menikmati sarapannya."Anda akan mengunjungi Nyonya Besar?" tanya IsabelleBara mengangguk, sambil mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. Sebuah kartu hitam dengan limit tanpa batas, langsung di sodorkan pada Kara untuk membeli pesanan yang ia minta."Apa saya boleh ikut, Tuan? Ada hal yang ingin saya bicarakan dengan Nyonya Emily," lanjut Isabelle.Bara terdiam sejenak. Mencoba menebak hal yang membuat Isabelle ingin bertemu dengan bibinya, Emily. Namun rasa penasarannya hanya sepintas saja, tidak sampai membuatnya mengorek informasi lebih jauh.
Pikiran dan perasaan Kara menjadi kacau setelah mendengar ucapan Alexa. Tidak tahu itu benar atau tidak, tetapi kalimat Alexa berhasil membuat Kara terdiam.Alexa pun langsung pergi meninggalkan Kara di dapur sendirian. Mengambil tas dan mantel yang ia geletakkan di atas sofa."Apa yang kamu lakukan?" Suara berat seorang pria terdengar, membuat Alexa langsung menoleh. Melihat Bara berdiri di belakang, Alexa pun berjalan menghampiri pria itu. Kedua tangannya terulur, melonggarkan dasi yang dikenakan oleh Bara. "Aku sudah melakukan perintahmu, Sayang.""Oh, benarkah?"Bara berusaha menarik tangan Alexa, tetapi cengkraman tangan gadis itu begitu kuat. Hingga saat kancing kerah Bara terlepas, barulah ia menurunkan tangannya."Kamu yang meminta itu kan? Jadi aku melakukan apa yang kamu minta," jawab Alexa yang kemudian tersenyum, sedangkan Bara justru menatapnya dengan sinis. "Aku dengar, kamu ingin bertemu dengan ibu. Segeralah pergi, aku juga harus pergi ke kantor," lanjutnya.Bara masi
Kara terdiam, tatapannya lurus memandang dua binar mata Bara yang tidak memperlihatkan kebohongan. Dia menjadi linglung dan tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Pikirannya berkecamuk. Prasangkanya telah disangkal oleh sang majikan dengan mudah, bahkan tanpa emosi sedikitpun.Apa yang dia ucapkan benar?Bara tiba-tiba mendekat. Sorot matanya tajam tertuju pada Kara yang masih terbengong. Namun ketika Bara perlahan mendekatinya, kaki Kara secara spontan melangkah mundur."Dan untuk phobiaku, masih sama. Tidak ada sedikitpun kemajuan," ucap Bara sambil mendekat, berusaha memangkas jarak antara dirinya dan sang maid.Sampai akhirnya, salah satu tangan pria itu terulur dan dengan lembut menyentuh pipi Kara. Lalu, mendaratkan bibirnya dengan perlahan.Ciuman yang sangat amat lembut, mendarat dengan sempurna. Begitu lembutnya, hingga Kara yang mematung sejak tadi tidak bisa menolak apalagi menghindar.Namun entah apa yang terjadi. Dua mata indah dengan bulu tebal nan lentik itu tiba-tiba ba
Cuaca hari itu sangat cerah, dengan suhu 29 derajat di luar ruangan. Sedikit panas, tetapi tidak terlalu terik, lantaran angin sepoi-sepoi berhembus menebarkan kesejukan.Waktu masih menunjukkan pukul 1 siang, ketika Bara keluar dari kantor, mengunjungi kediaman Ansel. Yah, apalagi jika bukan untuk mengeluh tentang sakit kepala yang sudah beberapa hari ini mengganggunya."Aku tidak punya banyak saran," jawab Ansel dengan santai usai mendengarkan keluhan Bara. Keluhan yang selalu membuatnya bosan dan sakit kepala juga."Tinggalkan saja gadis itu. Dia sumber sakit kepala kita!"Tegas dan singkat. Namun mampu membuat Bara terperangah dan langsung bangkit berdiri."Kau gila! Bagaimana mungkin? Phobia ku masih belum sembuh, aku masih membutuhkannya!"Jawaban Bara seketika membuat Ansel terdiam. Kedua matanya menatap Bara dengan nanar, karena pemahaman mereka, ternyata berbeda.Tiba-tiba Ansel mengangkat dua sudut bibirnya. Melihat respon Bara, dia mendapatkan sebuah kenyataan yang tidak te
Di luar dugaan, Bara justru berkata, "Dua duanya. Aku takut orang yang berharga mati di depanku, lagi."Betapa terkejutnya Ansel, saat Bara menjawab pertanyaan yang sebenarnya asal ia tanyakan itu. Pertanyaan tentang hal yang sedikit berhubungan dengan luka masa lalu Bara, yang dengan susah payah ia kubur selama bertahun-tahun namun tidak pernah berhasil.Bara pun tertunduk lesu setelah mengatakan itu. Hela napas panjang beberapa kali terdengar di telinga Ansel, membuatnya sedikit menaruh rasa khawatir."Aku akan pergi mengurus administrasinya agar dia bisa segera mendapatkan kamar," ucap Ansel sebelum ia berlalu pergi meninggalkan Bara.Pria itu masih berdiri di tempat yang sama, tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya, dan tanpa bergerak dari tempatnya sedikitpun. Dia hanya berkedip dengan sorot mata yang tidak teralihkan sedikitpun dari Kara, bahkan sampai Ansel kembali dia masih berada di posisi yang sama."Perawat akan memindahkannya sebentar lagi. Duduklah dulu!" Ansel terl
Bara menegakkan kepalanya, lalu menatap Ansel tanpa berkata apa-apa. Hanya diam, dengan tatapan kosong, sambil mencermati perkataan sahabatnya itu.Dalam diam, juga pikiran yang mulai meracau, Bara tiba-tiba teringat. Sebuah kejadian belasan tahun lalu, ketika ia mengajak keluarganya untuk pergi menyelam bersama.Beruntung, Ansel yang memperhatikan Bara langsung membuat pria itu tergugah dari lamunan sesaat. Dengan sangat kuat, Ansel melayangkan tangannya dan mendarat dengan cukup kuat di pundak Bara."Sudahlah, Bro! Ada hal yang perlu kamu selesaikan saat ini, yaitu mencari tahu apa yang terjadi!" ujar Ansel yang berhasil membuat Bara tersadar. "Isabelle baru saja menghubungiku dan menjelaskan situasi sebelum dia pingsan begitu saja. Aku yakin, ada orang yang memanipulasi semua ini untuk mencelakai Kara."Penjelasan singkat dari Ansel membuat Bara berpikir dengan keras. Mencoba menebak, siapa dalang dari semua kejadian yang menimpa Kara."Menurutmu, apa ini ulahnya? Kau bilang, kalia
Perkataan Kara tertahan tiba-tiba ketika ia melihat Evelyn tersenyum. Benar, dia senyum. Dia bersikap seolah apa yang putranya itu lakukan sangat wajar meski dia sudah mempunyai tunangan."Kara, aku dan kamu memiliki beberapa kesamaan. Kita sama-sama berasal dari kalangan bawah." Evelyn merubah sorot matanya menjadi sedikit tajam. "Tapi kamu harus ingat, jangan pernah membangun benteng dengan rasa tidak percaya diri, karena itu tidak akan pernah bisa membuatmu bangkit!" tegas Evelyn mencoba memberi Kara pengertian."Dan cinta, itu bukan sesuatu yang bisa dibatasi dengan sikap seperti itu. Cinta, adalah kebebasan dan ungkapan atas rasa suka yang bisa kamu utarakan tanpa dibatasi oleh apapun."Kara terdiam, mencoba mencermati setiap kata yang di ucapkan oleh Evelyn. Ucapan yang menurutnya benar, hingga ia hanya bisa terdiam tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun setelah mendengarnya."Jangan buat dirimu terlihat lemah dan membuat orang lain menginjakmu dengan seenaknya. Setidaknya, kam
"Apa kau sungguh-sungguh meminta ku untuk mencarikan suami yang baik untuk kak Kara? Tadi sebelum aku masuk ke ruangan ini, aku melihat Will tengah mengusap pundak kakak ipar ku penuh kasih sayang, apa menurutmu dia pantas untuk menggantikan mu, kak Bara?" Tiba-tiba jari-jari tangan Bara bergerak, fungsi organ tubuh nya pun terdeteksi meningkatkan di alat-alat medis yang terpasang di tubuh nya. "Astaga! Aku baru tahu kalau Rasa cemburu bisa membawa orang kembali dari pintu kematian!" gumam G dalam hati dan menyerahkan Bara pada para dokter yang seharusnya, sebab G sudah harus kembali sebelum Dimitri terbangun dari tidurnya.keesokan hari nya ...."kau sudah bangun, sayang?" Terdengar suara Kara saat Bara membuka matanya."Sayang ..." ucap Bara sambil tersenyum."Ya tuhaaan!! terima kasih!! " ucap Kara penuh haru.Semua orang di dalam ruangan itu pun memanjatkan rasa syukur yang tak terkira karena Bara akhirnya sudah sadar."Ibu ...." Panggil Bara pada Evelyn."Ya sayang, apa kau but
"Elbara Alexandrio dan William Torez, selamat datang!" Ujar Zico saat dirinya sudah terpojok di parkiran atas gedung itu usai lomba lari dengan Bara dan Will dari lantai bawah."Zico, menyerah lah. Tidak ada guna nya kau kabur lagi. Sudah tidak ada tempat untuk kabur." Ucap Will."Kabur? Untuk apa aku kabur?" Jawab Zico sambil tersenyum."Pra gila sepertinya tidak mempan dengan tausiyah seperti itu. Dia akan lebih mempan jika langsung berhadapan dengan ini." Ujar Bara sambil mengarahkan senjatanya pada Zico."Wow, senjata! Kau kira aku takut dengan senjata itu?!" tanya Zico tertawa sambil membuka jasnya.Saat Zico membuka jas nya terlihat lah ada sebuah bom yang terpasang di tubuh Zico. "Kau ingin menembak ku? itu artinya kau sengaja ingin membuat istri mu menjadi janda." Ucap nya sambil tertawa keras.Bara dan Will pun saling pandang."Sekarang kalian tidak punya pilihan lain selain membiarkan ku pergi." Ucap nya dengan senyum terkembang sempurna.Zico merasa dirinya sudah di atas a
"Kau tidak bisa keluar begitu saja. Mereka bisa mengenali mu." ujar Kara lalu memandang ke sekeliling tempat itu hingga akhirnya dia melihat baju ok yang masih terlipat."Kau kenakan ini dulu. Baru setelah itu kita keluar." Ujar Kara.Gabby pun menuruti perkataan Kara untuk mengenakan pakaian yang ditunjukkan Kara."Bagaimana? Udah oke?" tanya Gabby sambil memasang maskernya."Sudah. Begini lebih baik." ujar Kara, Mereka berdua pun keluar dari ruangan itu.Gabby dan Kara berjalan biasa. Untungnya warna baju mereka sama jadi tidak ada yang curiga."Kita lewat sana saja." Tunjuk Gabby."Kenapa tidak lewat sebelah sana saja?" Tunjuk Kara pada arah yang sebaliknya."Aku tadi dari arah sana kak. Tidak ada ada apa-apa disana. Hanya jalan buntu." ucap nya pelan."Benarkah?" Tanya Kara."Ya ampun kak ... benar." Jawab Gabby meyakinkan kakak iparnya.Gabby dan Kara pun kembali berjalan. Setelah mereka berjalan cukup lama akhirnya mereka sampai ke pintu keluar yang ada di belakang gedung itu."
Kara mencoba berpikiran positif. Hingga tiba-tiba seseorang muncul dari belakang mobil dan membekap mulut Kara dari belakang tanpa Kara sadari."Tuan Zico, wanita ini cantik juga." Ujar anak buah Zico."Ck! Kau jangan macam-macam. Atau tuan Leon akan menghabisi mu!" jawab Zico, yang tak lain adalah paman dari Kara. Dia yang dulunya hidup nyaman, kini harus menjadi buron. Terlihat dari penampilannya yang sudah tidak seperti dulu lagi.Mobil itu pun melaju kencang keluar dari kota itu, menuju sebuah gedung yang kelihatan nya seperti gedung farmasi dari luar.******Saat ini, Bara dan Elka sudah berada di dalam mobil.Di saat Elka sedang menelpon anak buahnya untuk menanyakan apakah ada informasi, telpon Bara berbunyi."siapa?" tanya Elka."Ayah." Jawab Bara dengan wajah tegang."Bara kau dimana saja?!!" teriak Alfred pada putra nya begitu Bara mengangkat telpon itu."Aku sedang mencari Kara bersama dengan Elka, Ayah.""Aku sudah tahu! Kara memang di culik oleh Zico atas perintah organis
Kara menganggap ini hanya wujud dari sikap protektif seorang Elbara.Bara sadar kalau dia tidak akan bisa berdebat dengan ibu hamil ini. Jadi Bara putus kan untuk membiarkan Kara pergi tapi diam-diam mengikuti Kara.Untuk urusan keselamatan Kara dan calon anaknya, Bara tidak mau hanya mengandalkan para bodyguard nya. Jadi selain para bodyguard itu, dia pun akan mengawasi Kara dari jauh."Dasar keras kepala!!" Bara menyubit hidup Kara."Jam berapa kau dan Moon akan pergi?""Setelah menghabiskan sate ini bersama mu." Jawab Kara dengan senyum terkembang di wajahnya sebab akhirnya dia bisa bekerja seperti pekerja lainnya."Baik lah. Tapi berjanji lah kau harus berhati-hati. Sebab di dalam perut mu saat ini ada calon anak kita." Ujar Bara sambil mengelus perut Kara."Siap pak bos!" canda Kara lalu mengambil sate tadi dan mulai makan siang zuper romantis dengan sepiring sate bersama Bara.Usai menghabis sate itu, Kara pun kembali ke ruangan nya untuk bertemu Moon. Mereka sudah berjanji untu
Bara sangat mengenal istrinya itu. Kadang Kara bisa begitu lembut, tapi kadang dia pun bisa jadi sangat bar bar. "Tolong sate dan minuman ini di antar ke ruang pak Bara ya." pinta Kara pada staff kantin usai meletakkan kertas bertuliskan sesuatu di atasnya penutup sate."Dan minuman ini untuk dua wanita yang ada di dalam ruangan itu." tunjuk Kara pada dua gelas jus jeruk."Baik buk." jawab Staff kantin yang sudah mengenali Kara sebagai istri pemilik perusahaan.Sejak kejadian di hotel yang disaksikan oleh semua tamu dan staff hotel serta video-video kejadian yang tersebar luas di media, tidak ada yang tidak mengenali Kara sebagai istri dari Elbara."Sekarang aku tinggal menunggu telpon dari nya." Ujar Kara sambil berjalan ke arah ruangan Bara.Kara yakin, begitu sate ayam itu tiba maka Bara pasti akan menelpon nya.Keadaan di ruangan Bara saat ini sudah sangat di luar kendali Bara. Britany yang tadinya masih bersikap elegan kini malah mulai hilang kendali nya. Britany mulai membalas
Kejadian itu cukup viral dan masuk ke beberapa media, jadi wajah kalau Johan perlu waktu lama untuk self healing nya. Saat Kara dan Moon tekun dengan kerjaannya, Angela terus mengobrol bersama Britany. Sesekali mereka melihat ke arah Kara dari ujung mata mereka.Kara bukannya tidak menyadari hal itu, hanya saja Kara malas untuk ambil pusing. Prinsip Kara masih sama, Anjing menggonggong, Kara tetap berlalu.Jadi apapun yang mereka sedang bicarakan dan yang akan mereka bicarakan, Kara sih tetap akan tidak peduli sama sekali.Volume suara Angela dan Britany pun mulai bertambah."Benarkah seperti itu El?"Angela memanggil nama kecil Britany yang biasa nya hanya Bara yang memanggil Britany dengan panggilan itu. "Angela, please.. Jangan panggil aku dengan nama itu lagi. Aku sudah tidak ingin di panggil dengan nama itu. Kau membuat ku jadi teringat EMPAT TAHUN KU BERSAMA Bara. MEMBUAT KU TERINGAT BAGAIMANA KAMI MERAJUT CINTA SEWAKTU KAMI KULIAH DULU." Ucap Britany yang terdengar sangat nyar
Bara menarik pinggang Kara dan memeluk Kara sesaat untuk merasakan ketenangan dalam pelukan itu."Yakin tetap mau ngantor?" tanya Kara sekali lagi sambil mengelus kepala suaminya."Heem...kalau gitu sarapan itu di makan dulu ya?" tunjuk Kara pada roti bakar dan segelas susu yang dibawakan oleh pelayan ke kamar."Apakah roti dan susu itu sudah di tambahkan garam?" Tanya Bara. Sejak sadar lidah nya eror, Bara selalu mengecek makanannya sebelum dia makan.Karena keanehan lidahnya Bara minta di taburi garam dulu untuk makanan yang biasanya di taburi gula or yang biasanya terasa manis. Sedang kan untuk makanan yang biasanya gurih Bara minta di taburi gula."Bara.. itu roti bakar dan susu normal. No garam. Ibu sudah mengatakan kalau kau tidak boleh terlalu banyak mengonsumsi garam Bara. Tidak baik untuk kesehatan mu."Tegah Kara."Sayang kau tahu sendiri kan keadaan ku saat ini. Jujur saja sebenarnya aku sangat lapar." Rengek Bara."Heemm ... Kalau begitu bagaimana kalau aku saja yang suap
Di pagi hari yang cerah ini, Kara tampak tengah mengupas apel, sedangkan Bara yang baru saja sampai di meja makan itu langsung mengambil sepotong apel yNg sudah dipotong Kara tadi lalu memakannya.Namun anehnya Bara justru memuntahkan kembali apel dengan wajah jijiknya, seolah itu adalah makanan paling menjijikkan yang pernah ia makan."Sayang, kau itu kenapa?" tanya Kara panik sambil memberikan tisu pada suaminya."Sayang apakah apel ini kau taburi garam? Kenapa rasa nya asin sekali?" Ucap Bara sambil mengelap bibir kemudian mengelap lidahnya."Garam? Memang nya ada orang makan apel pakai garam? Kau ini ada-ada saja." Kara pun mengambil sepotong apel yang sama yang di makan Bara tadi. "Heeem... ini manis kok! Tidak terasa asin sama sekali." Tukas Kara sambil mengambil satu potong lagi dan memberikan nya pada Bara."No! "Bara langsung menolak apel tersebut.Kara pun akhirnya memakan apel yang di tolak Bara tadi."Ya sudah kalau gitu aku minta di buat kan jus mangga aja gimana?" tawar