Cuaca hari itu sangat cerah, dengan suhu 29 derajat di luar ruangan. Sedikit panas, tetapi tidak terlalu terik, lantaran angin sepoi-sepoi berhembus menebarkan kesejukan.Waktu masih menunjukkan pukul 1 siang, ketika Bara keluar dari kantor, mengunjungi kediaman Ansel. Yah, apalagi jika bukan untuk mengeluh tentang sakit kepala yang sudah beberapa hari ini mengganggunya."Aku tidak punya banyak saran," jawab Ansel dengan santai usai mendengarkan keluhan Bara. Keluhan yang selalu membuatnya bosan dan sakit kepala juga."Tinggalkan saja gadis itu. Dia sumber sakit kepala kita!"Tegas dan singkat. Namun mampu membuat Bara terperangah dan langsung bangkit berdiri."Kau gila! Bagaimana mungkin? Phobia ku masih belum sembuh, aku masih membutuhkannya!"Jawaban Bara seketika membuat Ansel terdiam. Kedua matanya menatap Bara dengan nanar, karena pemahaman mereka, ternyata berbeda.Tiba-tiba Ansel mengangkat dua sudut bibirnya. Melihat respon Bara, dia mendapatkan sebuah kenyataan yang tidak te
Di luar dugaan, Bara justru berkata, "Dua duanya. Aku takut orang yang berharga mati di depanku, lagi."Betapa terkejutnya Ansel, saat Bara menjawab pertanyaan yang sebenarnya asal ia tanyakan itu. Pertanyaan tentang hal yang sedikit berhubungan dengan luka masa lalu Bara, yang dengan susah payah ia kubur selama bertahun-tahun namun tidak pernah berhasil.Bara pun tertunduk lesu setelah mengatakan itu. Hela napas panjang beberapa kali terdengar di telinga Ansel, membuatnya sedikit menaruh rasa khawatir."Aku akan pergi mengurus administrasinya agar dia bisa segera mendapatkan kamar," ucap Ansel sebelum ia berlalu pergi meninggalkan Bara.Pria itu masih berdiri di tempat yang sama, tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya, dan tanpa bergerak dari tempatnya sedikitpun. Dia hanya berkedip dengan sorot mata yang tidak teralihkan sedikitpun dari Kara, bahkan sampai Ansel kembali dia masih berada di posisi yang sama."Perawat akan memindahkannya sebentar lagi. Duduklah dulu!" Ansel terl
Bara menegakkan kepalanya, lalu menatap Ansel tanpa berkata apa-apa. Hanya diam, dengan tatapan kosong, sambil mencermati perkataan sahabatnya itu.Dalam diam, juga pikiran yang mulai meracau, Bara tiba-tiba teringat. Sebuah kejadian belasan tahun lalu, ketika ia mengajak keluarganya untuk pergi menyelam bersama.Beruntung, Ansel yang memperhatikan Bara langsung membuat pria itu tergugah dari lamunan sesaat. Dengan sangat kuat, Ansel melayangkan tangannya dan mendarat dengan cukup kuat di pundak Bara."Sudahlah, Bro! Ada hal yang perlu kamu selesaikan saat ini, yaitu mencari tahu apa yang terjadi!" ujar Ansel yang berhasil membuat Bara tersadar. "Isabelle baru saja menghubungiku dan menjelaskan situasi sebelum dia pingsan begitu saja. Aku yakin, ada orang yang memanipulasi semua ini untuk mencelakai Kara."Penjelasan singkat dari Ansel membuat Bara berpikir dengan keras. Mencoba menebak, siapa dalang dari semua kejadian yang menimpa Kara."Menurutmu, apa ini ulahnya? Kau bilang, kalia
Perkataan Kara tertahan tiba-tiba ketika ia melihat Evelyn tersenyum. Benar, dia senyum. Dia bersikap seolah apa yang putranya itu lakukan sangat wajar meski dia sudah mempunyai tunangan."Kara, aku dan kamu memiliki beberapa kesamaan. Kita sama-sama berasal dari kalangan bawah." Evelyn merubah sorot matanya menjadi sedikit tajam. "Tapi kamu harus ingat, jangan pernah membangun benteng dengan rasa tidak percaya diri, karena itu tidak akan pernah bisa membuatmu bangkit!" tegas Evelyn mencoba memberi Kara pengertian."Dan cinta, itu bukan sesuatu yang bisa dibatasi dengan sikap seperti itu. Cinta, adalah kebebasan dan ungkapan atas rasa suka yang bisa kamu utarakan tanpa dibatasi oleh apapun."Kara terdiam, mencoba mencermati setiap kata yang di ucapkan oleh Evelyn. Ucapan yang menurutnya benar, hingga ia hanya bisa terdiam tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun setelah mendengarnya."Jangan buat dirimu terlihat lemah dan membuat orang lain menginjakmu dengan seenaknya. Setidaknya, kam
Satu kalimat dari Bara, membuat Evelyn menatap lekat wajah sang putra yang berdiri di depannya. Pria itu menunduk, berusaha menyembunyikan air matanya yang sudah menetes.Evelyn bukan tidak peka. Jelas ia tahu, jika mata sang putra sedang basah. Dia juga tahu, jika perasaan putra pertamanya itu sedang tidak baik-baik saja.Dengan perlahan tangan tuanya terulur, ingin menyentuh wajah Bara. Namun sayangnya, tangan tuanya tidak bisa menyentuh wajah sang putra yang sudah tumbuh lebih tinggi dari sebelumya.Melihat tangan Evelyn tidak bisa lagi meraih wajahnya seperti dulu, membuat Bara buru-buru berlutut. Ia meraih tangan Evelyn, lalu meletakkan tangan itu ke wajahnya. Sama seperti dulu, saat ia kecil dan tumbuh menjadi remaja."Lihatlah seberapa tinggi dirimu sekarang! Ibu bahkan tidak bisa lagi menggapaimu seperti dulu," protes Evelyn."Maaf, Ibu. Maaf," ucap Bara lagi, dengan air yang sudah membumbung di matanya."Dasar anak nakal! Untuk apa kamu meminta maaf sampai menangis seperti it
Mendengar sang ibu menyebut nama tunangannya, Bara menjadi sangat kaget hingga refleks bangkit berdiri. Tentu saja dia sangat terkejut, bagaimana bisa Alexa tahu tentang phobianya?"Dia berbicara pada Ibu?" tanyanya penasaran."Tidak. Ibu menyuruh paman Carlos mencari tahu, kenapa dia bisa terobsesi untuk bunuh diri dan memaksamu menikah. Setelah beberapa hari, barulah Ibu tahu kalau dia menyimpan kontrak perjanjian mu dengan Kara di ponselnya."Tidak habis pikir!Bara merasa kepalanya sedikit berdenyut setelah mendengar penjelasan dari ibunya. Bahkan, ia secara terang-terangan memijat kepala sambil berkacak pinggang.Bagaimana bisa dia kecolongan dengan mudahnya?"Ah, sial!" umpat Bara dalam hati, "Semua karena Alexa!"Namun dari itu semua, Bara baru menyadari sesuatu yang lebih penting dari siapa orang yang sudah membuat sang ibu tau akan phobianya. Dengan cepat ia menurunkan tangannya, lalu duduk di samping Evelyn."Jadi, ibu juga tahu tentang hubunganku dan Kara?" tanya Bara denga
"Siapa? Gadis apa? Aku hanya memiliki Gabby sebagai gadisku!""Aku serius, Al! Dia seorang maid yang ditempatkan Helena di rumah Bara. Aku melihatnya sebagai gadis yang baik," terang Evelyn."Bagiku tidak ada wanita yang cantik dan juga baik selain istriku dan Gabby.""Ah sudahlah! Memang seharusnya aku tidak membicarakan hal ini denganmu. Mungkin aku harus pergi ke kantor dan bertanya pada Xavier tentang hal ini!""Amm, bawa aku ke BIN!" Pinta Evelyn pada sopir yang sejak tadi fokus mengemudi."Tidak! Kita ke rumah!" pekik Alfred memberi perintah. "Kita masih harus menyelesaikan urusan kita, Sayang!" protesnya menatap Evelyn."Tidak! Kita ke BIN sekarang!""Eve, oh ayolah! Kamu menyiksaku pagi-pagi begini!""Eve, Sayang!"Di sisi lain, Bara masih duduk di tempat semula. Terdiam, selama hampir satu jam lebih. Rupanya, perkataan sang ibu tentang Alexa yang sudah mengetahui phobianya, berhasil membuat ia berpikir dengan keras.Mencoba menarik kesimpulan sederhana tentang kecemburuan seo
"Maaf, Tuan. Saya tidak tahu Anda di sini!" ucap Kara yang buru-buru bangun.Bara tidak berkata apapun setelah itu. Dia hanya diam, menatap Kara yang juga menatapnya. Entah apa yang dipikirkan pada saat itu, hingga membuatnya diam memperhatikan Kara dengan seksama."Tuan," panggil Kara lirih. "Apa ada sesuatu yang ingin Anda katakan?"Lamunan singkat Bara pun berhamburan tak tahu arah. Suara batuk yang dibuat-buat pun terdengar, bersamaan dengan posisinya yang berubah."Dokter bilang keadaanmu sudah membaik. Besok sudah boleh pulang."Begitulah yang ia katakan. Entah, itu perkataan yang memang ingin ia ucapkan, atau hanyalah alibi belaka. Namun, perkataan itu berhasil membuat Kara mengangguk dan percaya dengan mudah."Baik, Tuan.""Ada rapat yang sudah menungguku besok. Jadi, Jefri yang akan menjemputmu," jelas Bara sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Baik, Tuan."Lagi dan lagi, gadis dengan piyama biru khas pasien rumah sakit itu hanya mengangguk dan menjawab dengan singkat