Mendengar sang ibu menyebut nama tunangannya, Bara menjadi sangat kaget hingga refleks bangkit berdiri. Tentu saja dia sangat terkejut, bagaimana bisa Alexa tahu tentang phobianya?"Dia berbicara pada Ibu?" tanyanya penasaran."Tidak. Ibu menyuruh paman Carlos mencari tahu, kenapa dia bisa terobsesi untuk bunuh diri dan memaksamu menikah. Setelah beberapa hari, barulah Ibu tahu kalau dia menyimpan kontrak perjanjian mu dengan Kara di ponselnya."Tidak habis pikir!Bara merasa kepalanya sedikit berdenyut setelah mendengar penjelasan dari ibunya. Bahkan, ia secara terang-terangan memijat kepala sambil berkacak pinggang.Bagaimana bisa dia kecolongan dengan mudahnya?"Ah, sial!" umpat Bara dalam hati, "Semua karena Alexa!"Namun dari itu semua, Bara baru menyadari sesuatu yang lebih penting dari siapa orang yang sudah membuat sang ibu tau akan phobianya. Dengan cepat ia menurunkan tangannya, lalu duduk di samping Evelyn."Jadi, ibu juga tahu tentang hubunganku dan Kara?" tanya Bara denga
"Siapa? Gadis apa? Aku hanya memiliki Gabby sebagai gadisku!""Aku serius, Al! Dia seorang maid yang ditempatkan Helena di rumah Bara. Aku melihatnya sebagai gadis yang baik," terang Evelyn."Bagiku tidak ada wanita yang cantik dan juga baik selain istriku dan Gabby.""Ah sudahlah! Memang seharusnya aku tidak membicarakan hal ini denganmu. Mungkin aku harus pergi ke kantor dan bertanya pada Xavier tentang hal ini!""Amm, bawa aku ke BIN!" Pinta Evelyn pada sopir yang sejak tadi fokus mengemudi."Tidak! Kita ke rumah!" pekik Alfred memberi perintah. "Kita masih harus menyelesaikan urusan kita, Sayang!" protesnya menatap Evelyn."Tidak! Kita ke BIN sekarang!""Eve, oh ayolah! Kamu menyiksaku pagi-pagi begini!""Eve, Sayang!"Di sisi lain, Bara masih duduk di tempat semula. Terdiam, selama hampir satu jam lebih. Rupanya, perkataan sang ibu tentang Alexa yang sudah mengetahui phobianya, berhasil membuat ia berpikir dengan keras.Mencoba menarik kesimpulan sederhana tentang kecemburuan seo
"Maaf, Tuan. Saya tidak tahu Anda di sini!" ucap Kara yang buru-buru bangun.Bara tidak berkata apapun setelah itu. Dia hanya diam, menatap Kara yang juga menatapnya. Entah apa yang dipikirkan pada saat itu, hingga membuatnya diam memperhatikan Kara dengan seksama."Tuan," panggil Kara lirih. "Apa ada sesuatu yang ingin Anda katakan?"Lamunan singkat Bara pun berhamburan tak tahu arah. Suara batuk yang dibuat-buat pun terdengar, bersamaan dengan posisinya yang berubah."Dokter bilang keadaanmu sudah membaik. Besok sudah boleh pulang."Begitulah yang ia katakan. Entah, itu perkataan yang memang ingin ia ucapkan, atau hanyalah alibi belaka. Namun, perkataan itu berhasil membuat Kara mengangguk dan percaya dengan mudah."Baik, Tuan.""Ada rapat yang sudah menungguku besok. Jadi, Jefri yang akan menjemputmu," jelas Bara sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Baik, Tuan."Lagi dan lagi, gadis dengan piyama biru khas pasien rumah sakit itu hanya mengangguk dan menjawab dengan singkat
Dua bola mata Bara membulat penuh. Kaget, tentu saja. Dia tidak mengira, kedua adiknya kini tahu tentang phobianya. Juga, tentang perjanjiannya bersama dengan Kara."Apa, ayah tahu?" tanya Bara dengan nada khawatir.Xavier tidak menjawab, Gabby pun juga diam membisu, seakan enggan memberitahu jika Alfred pun sudah mengetahui phobia sang putra."Kak, kita tidak menganggap itu sebagai hal yang memalukan. Lagi pula, kakak masih bisa melakukan hal itu dengan ...." Gabby langsung diam ketika Bara menoleh ke arahnya."Hal yang paling penting sekarang, adalah menyingkirkan gadis itu. Jangan sampai dia membuat skandal dan menjatuhkan perusahaanmu, apalagi BIN. Juga, mengusik keluarga kita," sahut Xavier. Kening Bara mengerut, mendengar ucapan Xavier yang mengatakan jika gadis itu mengusik keluarga mereka, "Mengusik? Apa maksudnya?""Dia yang menyuruh salah satu petugas keamanan untuk mencelakai maid di rumahmu. Juga ...." Ansel terdiam sesaat. Dia menoleh, menatap Gabby yang tiba-tiba tertund
Suara serak Bara terdengar jelas di telinga pria itu, yang kemudian membuat dua sudut bibirnya terangkat dengan samar."Kebersamaan, membuat kita saling jatuh cinta. Atau mungkin, karena kami menemukan rasa aman dan nyaman. Atau juga, karena hal lain yang tidak bisa dijabarkan."Dua pria itu saling memandang langit. Langit yang sama, tetapi di titik yang berbeda. Keadaan menjadi hening beberapa saat.Perkataan Alfred sepertinya telah berhasil mengurai simpul di hati Bara yang sejak beberapa hari lalu kusut."Apa dulu kakek dan nenek tidak menentang kalian? Lalu, bagaimana dengan publik? Juga BIN?"Alfred lantas tertawa. Tawa yang sangat nyaring hingga membuat Bara kebingungan. Apakah pertanyaannya terlalu lucu?Tentu tidak.Semua karena Alfred yang pada akhirnya tahu, simpul mana yang harus dia lepas dalam pikiran putranya."Tidak ada yang mudah dalam cinta, Nak. Aku berjuang, ibumu juga berjuang. Tidak hanya untuk kestabilan perusahaan, tetapi juga nenek dan kakekmu yang dulu sangat
Anak-anak yang ia kira masih sibuk dengan dunia mereka, ternyata sudah berada di rumah. Bahkan, mereka berdiri menatap sang ayah yang berusaha membujuk istrinya."Ah, itu. Tidak, kami hanya ....""Ayah diusir ibu lagi karena minum?" sela Xavier."Ayah! Ayah kembali lagi? Ayo kita lanjutkan, aku baru saja meminta Xavier membawa sebotol whisky yang enak!" teriak Bara yang sudah mabuk dari ambang pintu.Alfred menghela napas kasar saat menatap anak sulungnya itu, "Oh, astaga. Dari mana mereka punya sikap seperti ini?" ujarnya dalam hati.Suasana sudah hening sejak Xavier membawa Bara ke kamarnya. Juga Gabby yang sudah lelah dan mengantuk. Pada akhirnya, mereka membiarkan sang ayah berbaring di sofa seperti biasa.Ya, benar. Alih-alih ikut campur, mereka lebih memilih mengamankan diri mereka sendiri dari pada harus berurusan dengan sang ibu keesokan harinya.Seperti itulah akhir dari Alfred Alexandrio malam ini. Berbaring di atas sofa tanpa selimut atau pun sempat mengganti bajunya. Dia t
Degup jantung Kara terasa berdetak dengan kencang. Seperti gendang yang ditabuh dengan kekuatan penuh. Meski hanya satu kali, tetapi tabuhan itu berhasil membuat Kara terkejut.Kenapa? Apa alasannya? Itulah yang menjadi pertanyaan terbesar di hati Kara saat ini.Kali ini, gadis bertubuh semampai itu tidak berani bertanya apapun pada Helena. Dia terdiam dan lebih memilih untuk memikirkan banyak pertanyaan tanpa jawaban itu, sendirian."Kamu keberatan Kara?" tanya Helena."Tidak. Bukan begitu!" Kara menggeleng dengan cepat. "Hanya saja ... ini terlalu mendadak. Jadi aku sedikit terkejut, iya hanya terkejut."Lagi dan lagi, Helena memamerkan seulas senyum singkatnya pada Kara. Seolah menjelaskan jika dia sudah mengerti penjelasan Kara."Kau sudah selesai berkemas?" tanya Helena yang langsung dijawab anggukan kepala Kara. "Kalau begitu, kita pergi sekarang!"Helena berjalan keluar lebih dulu, disusul oleh Kara yang mengikuti dari belakang sambil menenteng tas."Apa ada yang ingin kau bawa
Kara menoleh, menatap wajah Evelyn sambil terperangah. Kaget, tentu saja. Dia tidak merasa ada dendam dengan dua orang itu, lantas apa yang membuat mereka menyakiti dirinya?"T-tapi ... tapi kenapa?" tanyanya dengan tergagap, "Tidak! Maksud saya, bagaimana mungkin? Saya tidak memiliki masalah apapun dengan mereka, Nyonya. Apa mereka mengincar Tuan Bara?""Ya dan tidak." Jawaban ambigu dari Evelyn berhasil membuat Kara kebingungan."A-apa maksudnya itu, Nyonya?"Mentari bersinar cukup gagah pada saat itu. Suhu yang semula berada di angka 27 derajat, perlahan naik hingga mencapai angka 29 derajat. Sedikit terik memang, tetapi angin yang berhembus semilir, membuat udara di sekitar sedikit sejuk. Kara masih menatap Evelyn. Lengkap dengan raut wajah penasarannya. Di dalam hatinya hanya ada 1 pertanyaan yang tidak bisa ia temukan jawabannya.Kenapa?Benar, satu pertanyaan yang mungkin membutuhkan sebuah penjelasan panjang. Serta masalah baru untuk diulas bersama. Namun Evelyn dengan sikap