"Maaf, Tuan. Saya tidak tahu Anda di sini!" ucap Kara yang buru-buru bangun.Bara tidak berkata apapun setelah itu. Dia hanya diam, menatap Kara yang juga menatapnya. Entah apa yang dipikirkan pada saat itu, hingga membuatnya diam memperhatikan Kara dengan seksama."Tuan," panggil Kara lirih. "Apa ada sesuatu yang ingin Anda katakan?"Lamunan singkat Bara pun berhamburan tak tahu arah. Suara batuk yang dibuat-buat pun terdengar, bersamaan dengan posisinya yang berubah."Dokter bilang keadaanmu sudah membaik. Besok sudah boleh pulang."Begitulah yang ia katakan. Entah, itu perkataan yang memang ingin ia ucapkan, atau hanyalah alibi belaka. Namun, perkataan itu berhasil membuat Kara mengangguk dan percaya dengan mudah."Baik, Tuan.""Ada rapat yang sudah menungguku besok. Jadi, Jefri yang akan menjemputmu," jelas Bara sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Baik, Tuan."Lagi dan lagi, gadis dengan piyama biru khas pasien rumah sakit itu hanya mengangguk dan menjawab dengan singkat
Dua bola mata Bara membulat penuh. Kaget, tentu saja. Dia tidak mengira, kedua adiknya kini tahu tentang phobianya. Juga, tentang perjanjiannya bersama dengan Kara."Apa, ayah tahu?" tanya Bara dengan nada khawatir.Xavier tidak menjawab, Gabby pun juga diam membisu, seakan enggan memberitahu jika Alfred pun sudah mengetahui phobia sang putra."Kak, kita tidak menganggap itu sebagai hal yang memalukan. Lagi pula, kakak masih bisa melakukan hal itu dengan ...." Gabby langsung diam ketika Bara menoleh ke arahnya."Hal yang paling penting sekarang, adalah menyingkirkan gadis itu. Jangan sampai dia membuat skandal dan menjatuhkan perusahaanmu, apalagi BIN. Juga, mengusik keluarga kita," sahut Xavier. Kening Bara mengerut, mendengar ucapan Xavier yang mengatakan jika gadis itu mengusik keluarga mereka, "Mengusik? Apa maksudnya?""Dia yang menyuruh salah satu petugas keamanan untuk mencelakai maid di rumahmu. Juga ...." Ansel terdiam sesaat. Dia menoleh, menatap Gabby yang tiba-tiba tertund
Suara serak Bara terdengar jelas di telinga pria itu, yang kemudian membuat dua sudut bibirnya terangkat dengan samar."Kebersamaan, membuat kita saling jatuh cinta. Atau mungkin, karena kami menemukan rasa aman dan nyaman. Atau juga, karena hal lain yang tidak bisa dijabarkan."Dua pria itu saling memandang langit. Langit yang sama, tetapi di titik yang berbeda. Keadaan menjadi hening beberapa saat.Perkataan Alfred sepertinya telah berhasil mengurai simpul di hati Bara yang sejak beberapa hari lalu kusut."Apa dulu kakek dan nenek tidak menentang kalian? Lalu, bagaimana dengan publik? Juga BIN?"Alfred lantas tertawa. Tawa yang sangat nyaring hingga membuat Bara kebingungan. Apakah pertanyaannya terlalu lucu?Tentu tidak.Semua karena Alfred yang pada akhirnya tahu, simpul mana yang harus dia lepas dalam pikiran putranya."Tidak ada yang mudah dalam cinta, Nak. Aku berjuang, ibumu juga berjuang. Tidak hanya untuk kestabilan perusahaan, tetapi juga nenek dan kakekmu yang dulu sangat
Anak-anak yang ia kira masih sibuk dengan dunia mereka, ternyata sudah berada di rumah. Bahkan, mereka berdiri menatap sang ayah yang berusaha membujuk istrinya."Ah, itu. Tidak, kami hanya ....""Ayah diusir ibu lagi karena minum?" sela Xavier."Ayah! Ayah kembali lagi? Ayo kita lanjutkan, aku baru saja meminta Xavier membawa sebotol whisky yang enak!" teriak Bara yang sudah mabuk dari ambang pintu.Alfred menghela napas kasar saat menatap anak sulungnya itu, "Oh, astaga. Dari mana mereka punya sikap seperti ini?" ujarnya dalam hati.Suasana sudah hening sejak Xavier membawa Bara ke kamarnya. Juga Gabby yang sudah lelah dan mengantuk. Pada akhirnya, mereka membiarkan sang ayah berbaring di sofa seperti biasa.Ya, benar. Alih-alih ikut campur, mereka lebih memilih mengamankan diri mereka sendiri dari pada harus berurusan dengan sang ibu keesokan harinya.Seperti itulah akhir dari Alfred Alexandrio malam ini. Berbaring di atas sofa tanpa selimut atau pun sempat mengganti bajunya. Dia t
Degup jantung Kara terasa berdetak dengan kencang. Seperti gendang yang ditabuh dengan kekuatan penuh. Meski hanya satu kali, tetapi tabuhan itu berhasil membuat Kara terkejut.Kenapa? Apa alasannya? Itulah yang menjadi pertanyaan terbesar di hati Kara saat ini.Kali ini, gadis bertubuh semampai itu tidak berani bertanya apapun pada Helena. Dia terdiam dan lebih memilih untuk memikirkan banyak pertanyaan tanpa jawaban itu, sendirian."Kamu keberatan Kara?" tanya Helena."Tidak. Bukan begitu!" Kara menggeleng dengan cepat. "Hanya saja ... ini terlalu mendadak. Jadi aku sedikit terkejut, iya hanya terkejut."Lagi dan lagi, Helena memamerkan seulas senyum singkatnya pada Kara. Seolah menjelaskan jika dia sudah mengerti penjelasan Kara."Kau sudah selesai berkemas?" tanya Helena yang langsung dijawab anggukan kepala Kara. "Kalau begitu, kita pergi sekarang!"Helena berjalan keluar lebih dulu, disusul oleh Kara yang mengikuti dari belakang sambil menenteng tas."Apa ada yang ingin kau bawa
Kara menoleh, menatap wajah Evelyn sambil terperangah. Kaget, tentu saja. Dia tidak merasa ada dendam dengan dua orang itu, lantas apa yang membuat mereka menyakiti dirinya?"T-tapi ... tapi kenapa?" tanyanya dengan tergagap, "Tidak! Maksud saya, bagaimana mungkin? Saya tidak memiliki masalah apapun dengan mereka, Nyonya. Apa mereka mengincar Tuan Bara?""Ya dan tidak." Jawaban ambigu dari Evelyn berhasil membuat Kara kebingungan."A-apa maksudnya itu, Nyonya?"Mentari bersinar cukup gagah pada saat itu. Suhu yang semula berada di angka 27 derajat, perlahan naik hingga mencapai angka 29 derajat. Sedikit terik memang, tetapi angin yang berhembus semilir, membuat udara di sekitar sedikit sejuk. Kara masih menatap Evelyn. Lengkap dengan raut wajah penasarannya. Di dalam hatinya hanya ada 1 pertanyaan yang tidak bisa ia temukan jawabannya.Kenapa?Benar, satu pertanyaan yang mungkin membutuhkan sebuah penjelasan panjang. Serta masalah baru untuk diulas bersama. Namun Evelyn dengan sikap
Melihat raut wajah Kara yang kebingungan, Evelyn pun bertanya dengan nada lembut. "Apa yang kamu pikirkan, Kara?"Gadis berkulit putih itu terperangah sesaat, tidak tahu harus menjawab apa, dan akhirnya hanya diam dengan mulut yang menganga. Hingga sepersekian detik kemudian, kata maaf terucap dari mulutnya."Ma-maaf, Nyonya. Pelayan ini memikirkan banyak hal, hingga tidak ada satupun yang bisa mewakili semuanya," terang Kara yang menunduk, seakan merasa bersalah."Aku tahu ini terdengar konyol, tapi dia tidak akan berhenti mengganggumu dan bahkan bisa menyakitimu lagi."Mendengar ucapan Evelyn, di pikiran Kara langsung terpintas insiden saat ia terkurung."Kejadian waktu itu ... apakah benar Nona Alexa yang melakukannya?" tanyanya memastikan sekali lagi, meski ia sudah melihat rekaman CCTV.Evelyn hanya diam, menatap Kara tanpa berkata apapun. Jelas dia tahu, kenyataan ini jelas membuat Kara terguncang. Terlebih, Kara dan Frans terbilang cukup akrab."Maaf, Nyonya. Bukan tidak percay
Langkahnya berhasil membuat salah satu bidak catur milik Xavier tidak dapat melangkah. Usai memastikan putra keduanya tidak dapat melanjutkan permainan, dia bangkit berdiri."Kau kalah, Nak! Ingat taruhan kita," ucap Alfred yang kemudian tersenyum tipis.Xavier menunduk lesu setelah kalah untuk yang ketiga kalinya dari sang ayah. Hingga membuatnya harus menepati taruhan yang telah mereka sepakati."Ash, sial!" keluhnya kesal.Setelah berhasil menang dari sang putra, Alfred berjalan ke arah kamar dengan senyum lebar. Bahkan senyum itu masih terpampang jelas ketika ia berusaha membuka pintu kamar dengan hati-hati.Tentu saja, untuk memastikan sang istri tidak terbangun dan membuatnya harus memijat punggungnya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Evelyn terlihat sedang duduk sambil membaca sebuah buku.'Love, After Marriage'. Seperti itulah judul yang terpampang jelas di sampul berwarna putih, dengan sepasang burung merpati di sudut bawah."Apa yang membuatmu terbangun, Sayang?" tanya