Tan Hoat hanya menggeleng-geleng. Memang kesaktian Thay Suhunya itu sudah tidak bisa diukur lagi. Padahal Lau Tian Liong sudah memiliki ilmu kelas tinggi yang menempatkannya di puncak nama-nama dunia Kang Ouw, bahkan setara dengan pemimpin Siau Lim-pay (Partai Silat Shao-Lin) sekarang. Nama Lau Tian Liong mungkin sekarang termasuk 3 besar orang yang paling tinggi ilmunya di dunia Kang Ouw. Bisa dibayangkan, betapa tingginya ilmu Thio Sam Hong yang mampu mengalahkan Lau-ciangbunjin dalam satu pukulan saja!
“Pikir-pikirkanlah ucapan Thay Suhu yang tadi kuceritakan padamu. Otakmu cerdas, dan pikiranmu tajam.”
“Teecu sudah hafal dan akan teecu pikirkan terus, Suhu...,” kata Tan Hoat.
“Baiklah, jangan kau ceritakan ini kepada murid lain. Aku menceritakan ini hanya kepadamu saja,” kata Lau-ciangbunjin.
“Eh. Kenapa, Suhu?”
“Ah, sungguh berat mengatakannya. Aku tak tahu harus memulainya darimana...”
Lalu Lau Tian Liong melanjutkan, “Sebelum Thay Suhu meninggal, beliau bercerita bahwa di dunia Kang Ouw ini ada sebuah kitab rahasia ilmu silat yang sampai sekarang belum ditemukan orang. Kitab itu adalah kitab tulisan Tat Mo. Kita tahu bahwa Tat Mo sendiri adalah pencipta ilmu silat. Seluruh jurus dan aliran ilmu silat yang ada sekarang, bersumber dari kitab itu. Kitab itu tersembunyi di suatu tempat rahasia. Thay Suhu Thio Sam Hong memerintahkan aku menugaskan salah satu murid Bu Tong-pay untuk menyelidiki keberadaan kitab itu. Bukan karena Thay Suhu ingin kita menguasai isi kitab itu, tetapi untuk menjaganya dari tangan-tangan sesat. Bisa kau bayangkan, betapa hebohnya jika kitab itu nanti jadi rebutan semua aliran.”
Lau Tian Liong melanjutkan,
“Semua pelajaran ilmu pernafasan, ilmu silat, dan ilmu-ilmu lainnya bersumber dari kitab itu. Dulu, seratus tahun lebih, sempat ada kitab serupa yang jadi rebutan pendekar-pendekar Kang Ouw. Tapi kitab rebutan itu hanya berupa ringkasan dari kitab tulisan Tat Mo itu. Bisa kau bayangkan, kitab ringkasan saja, sudah bisa menghasilkan ilmu-ilmu dahsyat yang tiada tanding, apalagi kitab aslinya.”
“Thay Suhu berkata, bahwa ilmu Thay Suhu sendiri sebenarnya belumlah menyamai isi kitab Tat Mo itu. Tapi pemahaman beliau sebenarnya sudah bisa menjangkau isi kitab itu. Sayang, sebelum sempat memberi aku petunjuk-petunjuk, beliau sudah keburu meninggal. Hanya ujaran-ujaran yang tadi aku sampaikan padamu itu, yang sempat disampaikan Guru kepadaku.”
“Jadi sekarang, aku harus merepotkanmu untuk menyelidiki keberadaan kitab ini. Lakukan secara rahasia, jangan sampai menimbulkan kehebohan di dunia Kang Ouw. Menurut Thay Suhu, keberadaan kitab itu mungkin hanya diketahui tidak lebih dari 3 orang.”
“Teecu siap berangkat saat ini juga, jika itu perintah Suhu,” tegas Tan Hoat.
“Jangan, beberapa hari lagi saja. Nanti bisa menimbulkan kecurigaan jika kau langsung berangkat, padahal baru saja sampai di Bu Tong-san. Istirahatlah dulu. Pergunakan waktumu untuk memberi petunjuk-petunjuk dasar ilmu Bu Tong-pay pada muridmu. Walaupun ia belum resmi diangkat menjadi murid Bu Tong-pay, secara tidak langsung ia berhak belajar dasar ilmu Bu Tong-pay karena ia sudah menjadi anak angkatmu.”
“Teecu siap laksanakan perintah.”
“Nah, pergilah.”
Setelah mengucap salam dan menghaturkan hormat, Tan Hoat meninggalkan kamar Lau Tian Liong. Hatinya tidak enak mendengar adanya kabar kitab Tat Mo itu. Dunia Kang Ouw pasti akan heboh tidak lama lagi.
Sekitar 10 hari kemudian, seluruh murid angkatan ke-3 sudah kembali dan membawa muridnya masing-masing. Dua hari setelah itu, diadakan upacara penerimaan murid. Upacara ini merupakan salah satu acara besar di Bu Tong-pay. Oleh karena itu, harus diikuti oleh seluruh murid Bu Tong-pay. Perkecualian bagi yang mendapat tugas lain seperti berjaga, ronda, atau mengurus pekerjaan ‘rumah tangga’ seperti memasak, mengurusi air, bersih-bersih, atau mengurus ternak.
Balai yang digunakan untuk upacara ini adalah balai utama. Ukurannya besar dan sanggup menampung seluruh murid Bu Tong-pay. Bahkan masih sanggup menampung beberapa ratus orang lagi. Banyak sekali kejadian di ruangan ini sejak dahulu. Seperti kekacauan acara peringatan ulang tahun Thio Sam Hong ke-100. Saat itu Bu Tong-pay kedatangan banyak ‘tamu’ yang ingin memberi ucapan selamat, namun maksud sebenarnya adalah untuk memperebutkan benda-benda incaran dunia Kang Ouw.
Ada juga penyerbuan yang dilakukan seorang Putri Goan beserta anak buahnya. Penyerbuan ini berhasil digagalkan murid kesayangan Thio Sam Hong dulu itu. Malah akhirnya, murid kesayangan itu jatuh hati dan menikah dengan sang Putri Goan, lalu menghilang dan menyepi entah kemana.
Banyak lagi cerita-cerita mengharukan yang terjadi di balai utama ini. Maka memang ada suasana haru yang timbul di hati para murid jika memasuki ruangan ini. Apalagi bayangan Thay Suhu masih membekas di ingatan mereka kala memimpin upacara-upacara. Ada suasana syahdu dan sendu yang mengiringi suasana sakral jika memasuki ruangan ini.
Murid-murid sudah berbaris rapi. Para Tianglo (Penasehat) dari sang Ciangbunjin sudah hadir dan berada di posisi samping dari mimbar ketua. Tapi sang Ketua sendiri belum datang.
Beberapa murid membaca ujar-ujaran dari kitab kuno, dan juga ujar-ujaran Thio Sam Hong.
“Ciangbunjin memasuki balai utama…!”, terdengar teriakan dari sudut ruangan.
Semua orang lalu berlutut. Ini adalah Ciangbunjin pertama sejak kepergian Thio Sam Hong. Wibawanya tidak seperti Thio Sam Hong. Wibawa siapapun TIDAK AKAN MUNGKIN seperti Thio Sam Hong. Tapi Lau-ciangbunjin memiliki wibawa sebagai seorang Ciangbunjin. Itu saja sudah cukup.
“Murid-murid Bu Tong-pay, kini kita berkumpul untuk melakukan upacara penerimaan murid baru. Murid baru ini adalah murid-murid pilihan, yang cara pencariannya agak sedikit berbeda dari cara-cara dahulu.”
“Seperti kita semua tahu, Bu Tong harus menambah banyak murid berbakat. Kepergian Thay Suhu membuat kita harus rajin berbenah. Tidak ada satupun murid yang bisa lulus ujian naik ke tingkat 4. Sehingga kami, memutuskan untuk mencari banyak murid berbakat, melalui cara yang sedikit berbeda, agar Bu Tong tidak kekurangan murid-murid hebat nantinya.”
“Bagi kalian yang sudah menjadi murid Bu Tong, berlatihlah lebih giat untuk bisa mengharumkan nama perguruan Bu Tong. Yang terpenting, kalian harus bisa mengharumkan nama bangsa ini ke semua penjuru bumi.”
“Saat ini, Bu Tong kedatangan 15 murid baru. Mereka telah melewati syarat-syarat yang ditetapkan. Mereka berasal dari keluarga dan keturunan yang jelas. Memiliki bakat, tubuh, dan tulang yang cocok untuk belajar ilmu silat. Kecuali Cio San, yang memiliki masalah kesehatan. Walaupun sering sakit dan mempunyai tubuh yang lemah, ia tetap diterima, karena memiliki susunan tulang yang bagus untuk belajar silat. Ia juga memiliki ketertarikan untuk belajar kitab-kitab kuno dan kitab nabi-nabi. Kita sedang kekurangan murid yang mempelajari ilmu surat, karena selama ini kita terlalu memusatkan perhatian untuk mempelajari ilmu silat. Ini mungkin disebabkan pergolakan perang pengusiran penjajah dulu.”
“Sekarang kita harus menata lagi perguruan ini, karena sudah ditinggal oleh Thay Suhu. Aku harap seluruh murid Bu Tong-pay mendukung rencana-rencana ini, dan melakukan yang terbaik dalam pelaksaannya.”
“Murid siap menaati perintah.” Jawaban ratusan murid Bu Tong-pay menggema di dalam balai utama.
“Aku memanggil kelima belas calon murid Bu Tong-pay...” Lau Tian Long lalu menyebutkan nama-nama itu.
Kelimabelas nama murid itu, termasuk Cio San lalu maju kedepan. Mereka semua memang sudah diajarkan tata cara upacara penerimaan murid ini sebelumnya.
“Ucapkanlah sumpah setia Bu Tong ini, tirukan kata-kataku....,” perintah sang Ciangbunjin.
Terdengar Lau Tian Liong mengucapkan sumpah yang ditirukan oleh kelimabelas murid baru itu. Isi ucapan sumpah itu tidak begitu panjang. Intinya, semua murid Bu Tong menyatakan tunduk dan patuh kepada semua aturan yang ada di Bu Tong-pay.
Kelima belas murid pilihan itu ternyata memang tidak mengecewakan. Hanya dalam beberapa tahun saja, ilmu silat mereka mulai terlihat istimewa. Ini mungkin karena bakat mereka memang besar. Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa hampir seluruh kelimabelas murid itu sebelumnya memang sudah digembleng ilmu silat sebelum masuk ke Bu Tong-pay. Mereka sebagian besar berasal dari keturunan ahli silat atau keluarga terpandang.Hal ini berbeda dengan Cio San, yang sama sekali berbeda latar belakangnya. Walaupun anak dari seorang ahli silat Go Bi-pay, ia tidak diajarkan silat secara mendalam oleh ibunya. Karena tubuhnya memang lemah sejak lahir. Memang ibunya pernah sedikit menunjukkan gerakan silat Go Bi-pay padanya. Tapi karena kondisi tubuhnya yang lemah, latihan silat itu tidak diteruskan. Jadi, bisa dibilang Cio San itu memang tidak bisa ilmu silat, walaupun ia paham sedikit-sedikit gerakan silat. Ayahnya pun juga bukan seorang ahli silat. Malah ayahnya adalah seorang sastrawan, yang mana g
Saat serangan pertamanya berhasil dipunahkan, A Pao menggunakan tangan kirinya untuk mengincar sebuat titik di pelipis kanan Cio San. Melihat serangan ini, Cio San hanya memutar lehernya mengikuti aliran serangan, sehingga totokan itu hanya lewat di depan matanya.Melihat dua serangannya gagal, A Pao semakin bersemangat untuk menyerang. Gerakannya semakin cepat, namun gerakan Cio San juga tak kalah cepat.Setelah beberapa lama beradu silat, keringat mulai terlihat di dahi Cio San. Ia memang gampang sekali capek. Sistem kerja organ dalam tubuhnya memang kurang baik, sehingga membuatnya susah mengendalikan pernafasan, yang membuatnya mudah letih. Itulah juga sebabnya ia masih mengulang-ngulang pelajaran pernafasan tingkat 5.Melihat lawannya sudah mulai kedodoran, A Pao melencarkan serangannya lebih cepat lagi. Bagi orang Bu Tong, gerakan kedua orang ini biasa-biasa saja. Tapi bagi orang luar, apalagi bagi orang yang tidak mengerti ilmu silat, kedua orang murid Bu Tong ini bergerak sang
Saat siuman, ia merasa perutnya sakit sekali. Cio San kini sedang berada di biliknya sendiri. Ia terbaring diatas tempat tidurnya. Ada bau ramuan obat. Mungkin juga bau ini yang membuatnya tersadar. Di samping tempat tidur Cio San, Tan Hoat, sang gihu duduk disebuah bangku kayu kecil.Raut wajahnya kelam sekali. Biasanya, tidak seperti ini wajah gihunya. Tan Hoat baru kembali dari tugas perguruan. Selama beberapa tahun ini, Tan Hoat memang sering sekali turun-naik gunung untuk menunaikan tugas perguruan. Melihat ada gihunya di samping, Cio San merasa senang sekali.Namun gihunya bertanya dengan ketus, “Kau sudah siuman?”“Iya, Gihu,” jawab Cio San. Ada rasa tidak enak di ulu hatinya ketika ia berbicara.“Orang-orang bilang kau menangis karena menerima serangan A Pao?”Cio San menutup matanya. Ia tidak menangis karena serangan A Pao. Ia menangis karena merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh saudara-saudara seperguruannya sendiri. Tapi bagaimana ia menceritakan ini kepada gurunya? S
Setelah mendapat sedikit perawatan dari gurunya, Cio San merasa lebih baik. Selama 3 hari, gihunya merawatnya dengan memberi obat-obatan dari ramu-ramuan rebusan daun. Pahit sekali rasanya. Tapi Cio San merasa pahitnya obat itu masih kalah pahit dengan sikap gihunya. Selama merawatnya 3 hari itu, Tan Hoat tidak pernah menyapa atau berbicara dengan Cio San sama sekali. Untuk menanyakan kabarnya saja tidak. Tan Hoat cuma meraba nadi di pergelangan tangan Cio San untuk mengetahui kondisi kesehatannya.Cio San mencoba memecah kebuntuan dengan mengajak gihunya berbicara, namun cuma dibalas dengan anggukan atau gelengan. Walaupun begitu, Cio San tetap berusaha tersenyum kepada gihunya dan bersikap selalu hormat kepadanya.Setelah 3 hari dirawat, pada pagi hari ke empat, Cio San merasa tubuhnya sudah pulih sepenuhnya. Merasa bosan selama 3 hari di kamar terus, Cio San memutuskan untuk keluar biliknya. Suasana pagi itu sangat cerah. Terdengar suara murid-murid Bu Tong-pay yang sedang berlatih
Cio San mulai melakukan gerakan. Sama indahnya dengan gerakan-gerakan yang tadi ia buat. Namun kini ia memusatkan perhatian untuk melakukan gerakan ini sebaik-baiknya. Tapi tidak sampai berapa lama, ia merasa nafasnya sesak. Ada rasa sempit di dadanya. Hal ini berbeda dengan perasaan dorongan tenaga yang tadi sempat dirasakannya. Seketika Cio San merasa kepalanya pening. Ia lalu berhenti. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya.Tan Hoat memegang nadi di pergelangan tangannya. Denyut itu agak sedikit kacau. Sang gihu berkerut dahinya.“Tingkat 5 pernafasan saja belum kau kuasai, tapi kau sudah bisa mengeluarkan jurus ke-8 Thay Kek Kun. Aneh...,” ia seperti berbicara kepada diri sendiri.“Apa yang tadi kau lakukan sehingga bisa melakukan gerakan-gerakan jurus itu?” tanyanya.“Teecu hanya bergerak seenaknya saja. Tidak memikirkan macam-macam. Teecu keluar kamar dengan perasaan riang karena sudah sembuh. Teecu menikmati suasana pagi yang segar dan harumnya bunga-bunga di pagi hari. L
Waktu makan siang pun datang. Cio San membantu A Liang menata piring-piring dan masakan. Mereka juga dibantu oleh beberapa murid Bu Tong lain. Maklum, jumlah seluruh murid Bu Tong ada sekitar 1000an lebih.Letak meja-meja di ruang makan Bu Tong diatur berdasarkan tingkatan. Setiap tingkatan mempunyai posisi sendiri-sendiri. Begitu juga posisi meja para anggota ‘15 Naga Muda’. Cio San pun makan di situ juga. Cuma bedanya, kalau seluruh anggota ‘Naga Muda’ makan dengan riang dan bertegur sapa, Cio San makan dengan diam dan sepi. Memang, tidak ada orang yang menganggapnya ada. Apalagi mengajaknya berbicara.Hanya Beng Liong yang mau duduk di dekatnya dan berbicara padanya. Beng Liong ini adalah anggota ‘15 Naga Muda’ yang paling tua umurnya. Sekitar 18 tahun. Dia ini juga adalah anggota yang paling berbakat, paling tampan, dan paling gagah. Semua orang suka padanya. Ia punya tutur-kata yang sangat sopan dan halus. Ia juga ramah dan sama sekali tidak sombong. Walaupun ilmunya paling hebat
Begitu pintu dibuka, nampaklah ruang ketua itu. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu sempit. Ruangan ini biasanya dipakai sebagai ruang tugas Ciangbunjin. Tempat ia menerima tamu atau memberi perintah. Intinya, ruang ini dipakai sebagai ruang resmi kepala Bu Tong-pay.“Teecu, Cio San menghadap, Ketua.” Sambil berkata begitu, Cio San mengatup tangan di depan dada.Sambil tersenyum, Lau-ciangbunjin berkata, “Sudahlah, jangan terlalu banyak aturan.”Cio San mengangguk hormat.Ternyata di dalam ruangan ini, Lau-ciangbunjin tidak sendirian. Ada 4 orang disebelahnya. Dua di kiri dan dua di kanan. Keempat orang ini adalah Penasehat Utama Ketua Bu Tong-pay. Mereka dari angkatan ke 2. Wajah mereka angker. Cio San mengenal nama-nama orang ini.Cou Leng, berdagu panjang, dengan jenggot yang semakin membuat wajahnya terlihat lebih panjang.Yo Han, bertubuh tinggi besar, matanya selalu tertutup, dan bibirnya selalu berkomat-kamit.Yo Ang, kakak dari Yo Han, tapi justru tubuhnya kecil. Tata
Cio San telah selesai membuntal pakaian-pakaiannya. Begitu keluar dari biliknya, Tan Hoat telah berada di depan pintu menantinya. Berbeda dengan beberapa hari akhir-akhir ini, wajah Tan Hoat sudah tidak seketus belakangan ini.Tan Hoat sambil tersenyum berkata, “Sudah siap? Aku akan mengantarmu ke pondok bambu.”“Sudah, Gihu. Tapi ‘anak’ ingin berpamitan dengan beberapa orang terlebih dahulu. Bolehkah?”“Pergilah. Aku menanti di pohon Yang Liu, dekat kolam gedung utama. Jangan lama-lama, takutnya kita telat berangkat dan kemalaman.”“Terima kasih, Gihu.” Sambil berkata begitu, ia memberi hormat dan segera bergegas.Pertama-tama, ia mencari Liang-lopek. Orang tua ini memang selalu akrab dengannya. Kesukaan baru Cio San, yaitu belajar masak, memang harus tertunda dulu. Padahal ia senang sekali mempelajari kemampuan baru ini.Cio San menemukan Liang-lopek sedang beberes di dapur belakang.“Ah kau.., bagaimana? Sudah bertemu Ciangbunjin? Apa kata beliau?” tanya Liang-lopek.“Sudah, Lopek.