Share

Bab 12

Cio San mulai melakukan gerakan. Sama indahnya dengan gerakan-gerakan yang tadi ia buat. Namun kini ia memusatkan perhatian untuk melakukan gerakan ini sebaik-baiknya. Tapi tidak sampai berapa lama, ia merasa nafasnya sesak. Ada rasa sempit di dadanya. Hal ini berbeda dengan perasaan dorongan tenaga yang tadi sempat dirasakannya. Seketika Cio San merasa kepalanya pening. Ia lalu berhenti. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya.

Tan Hoat memegang nadi di pergelangan tangannya. Denyut itu agak sedikit kacau. Sang gihu berkerut dahinya.

“Tingkat 5 pernafasan saja belum kau kuasai, tapi kau sudah bisa mengeluarkan jurus ke-8 Thay Kek Kun. Aneh...,” ia seperti berbicara kepada diri sendiri.

“Apa yang tadi kau lakukan sehingga bisa melakukan gerakan-gerakan jurus itu?” tanyanya.

“Teecu hanya bergerak seenaknya saja. Tidak memikirkan macam-macam. Teecu keluar kamar dengan perasaan riang karena sudah sembuh. Teecu menikmati suasana pagi yang segar dan harumnya bunga-bunga di pagi hari. Lalu teecu pikir, ada baiknya mencoba gerakan-gerakan pernafasan, karena teecu merasa hawa pagi ini nikmat sekali. Barangkali cocok untuk berlatih pernafasan...,” jelas Cio San.

“Lalu?” tanya suhunya lagi.

“Lalu saat bergerak itu, tahu-tahu teecu seperti dibawa oleh ombak atau angin yang lembut. Gelombang ini seperti menuntun teecu bergerak. Tahu-tahu teecu seperti tidak sadar. Seperti mimpi dalam tidur. Lalu tahu-tahu ada tenaga yang muncul dan mendesak dalam tubuh teecu. Kemudian teecu mendengar ada suara yang menuntun teecu mengeluarkan tenaga itu. Setelah teecu membuka mata, baru sadar bahwa itu ternyata suara Gihu....,” jawab Cio San.

“Hmmm... Aneh juga.”

Tan Hoat berkata begitu sambil berusaha berpikir. Memang Cio San tidak mungkin bisa mencuri belajar dari murid atau suhu lain. Tidak mungkin dia bisa menguasai jurus Thay Kek Kun tingkat pertama, karena ia belum bisa menguasai seluruh tingkat pernafasan yang berjumlah 15. Padahal 15 tingkat pernafasan itu adalah dasar dari ilmu Thay Kek Kun. Herannya, kini bahkan Cio San sudah bisa memainkan jurus ke-8 Thay Kek Kun.

“Sudahlah,” lanjutnya “Aku ke sini memberitahukan kepadamu bahwa nanti siang engkau dipanggil menghadap Ciangbunjin. Membahas kejadian kemarin.”

“Baik, Suhu. Teecu siap menghadap.” Cio San tahu bahwa perbuatannya kemarin sangat memalukan. Seorang murid Bu Tong menangis karena diserang oleh lawan. Itu adalah perbuatan yang sangat memalukan di dunia Kang Ouw. Jika dunia luar tahu bahwa ada murid Bu Tong yang seperti itu, tentu saja nama Bu Tong akan jatuh.

“Hari ini kau tidak usah latihan dulu, karena kau baru sembuh dari lukamu. Pergilah kau ke dapur dan ambil sarapanmu.”

“Baik, Gihu. Terima kasih.”

Cio San menghaturkan salam dan menjura kepada gurunya. Saat ia selesai membungkuk, suhunya sudah tidak berada di hadapannya.

Karena memang merasa lapar, Cio San menuju ke dapur umum. Seharusnya para murid Bu Tong makan di ruang makan yang besar menyerupai aula. Namun ia memang bangun agak terlambat sehingga lewat waktu makan. Biasanya murid yang terlambat makan, harus menunggu waktu makan berikutnya. Tetapi kondisi Cio San yang baru sembuh dari luka ini merupakan pengecualian.

Begitu di dapur, suasana sudah sepi. Tapi di bagian belakang memang masih ramai, karena ada beberapa murid yang kebagian tugas mencuci piring.

Saat Cio San masuk, ia disapa oleh tukang masaknya.

“Ah, kau terlambat. Tapi sudah kusediakan makanmu. Ambil saja di lemari kayu belakang. Di sebelah jendela besar itu,” katanya ramah seperti biasa.

Cio San memang lumayan akrab dengan A Liang, si juru masak Bu Tong. Mungkin karena A Liang sendiri memang tidak bisa silat, mereka jadi mempunyai kedekatan tersendiri. A Liang memang bukan murid resmi Bu Tong. Ia adalah seorang juru masak yang bekerja di Bu Tong. Ia tinggal di Bu Tong sudah lama sekali. Puluhan tahun malah. Umurnya sekarang sudah lebih dari 70 tahun.

“Ah, terima kasih, Liang-lopek (panggilan kepada orang yang sudah tua),” kata Cio San ramah.

“Bagaimana lukamu? Sudah sembuh?” tanya A Liang.

“Sudah, Lopek. Berkat perawatan Tan-suhu, teecu sudah segar bugar.” Cio San menjawab sambil tersenyum.

“Ah, lain kali kalau berlatih, hati-hatilah. Jangan sampai terluka lagi. Ayo sana, ambil makanmu. Kudengar perutmu sudah keroncongan begitu. Hahaha....”

Mereka berdua tertawa. Memang kalau dibanding dengan berlatih ilmu silat, sebenarnya Cio San lebih suka bercanda seperti ini. Sifatnya memang periang, suka bercanda. Cocok dengan si tua A Liang yang memang suka tertawa juga.

Selesai makan, Cio San membantu A Liang bersih-bersih dan menyiapkan makan siang. Pagi itu Cio San memang tidak ada kegiatan berlatih, karena sudah disuruh beristirahat dulu oleh suhunya. Ia memutuskan untuk membantu A Liang. Sebenarnya A Liang juga mempunyai beberapa pembantu yang masih kecil-kecil, mungkin berumur 10 tahunan. Tapi daripada nganggur, yah lebih baik membantu A Liang saja, begitu pikir Cio San.

Setelah beberapa lama bekerja memotong sayur, mengiris daging, dan menyiapkan bahan-bahan lain, Cio San pun diajak A Liang untuk memasak. Walaupun selama ini berteman dengan A Liang, belum pernah sekalipun Cio San belajar masak dari sahabat tuanya.

Pengalaman baru ini membuatnya tertarik dan senang. Membuatnya lupa akan masalah yang dihadapinya itu. Cio San pun ternyata baru tahu, kalau dia itu memiliki bakat memasak. Setelah diajarkan sebentar, Cio San mulai bisa.

Dasar rasa tahunya memang tinggi, ia pun rajin bertanya mengenai semua langkah-langkah memasak. Apa guna bahan ini? Apa guna bumbu itu? Mengapa bahan ini harus dibungkus daun terlebih dahulu? Kenapa minyak ini harus dipanaskan lama? Dan lain-lain.

Herannya, jika belajar silat kemajuan Cio San lambat sekali, belajar masak malah dia cepat bisa. Hanya dalam hal potong-memotong dan mengupas sajalah, yang dia perlu waktu untuk menyesuaikan. Sedangkan dalam hal mengolah, serta pemahamannya tentang bumbu, bahan, dan rasa, Cio San cepat sekali bisa.

A Liang pun dengan sabar mengajarkan dan menunjukkan cara memasak kepadanya. Dari pagi sampai hampir siang, Cio San membantu A Liang memasak. Jadi bisa dibilang, banyak sekali pengetahuan yang ia dapatkan dalam setengah hari itu.

Kadang-kadang banyak pertanyaan aneh yang keluar dari mulut Cio San, seperti ‘Mengapa merebusnya tidak menggunakan bahan ini? Bukankah bahan ini lebih harum?’ atau ‘Kenapa harus membungkus daging dengan daun pisang?’, dan masih banyak lagi pertanyaan Cio San yang dijawab dengan sabar oleh A Liang.

“Kau ini punya minat yang besar tentang masak, ya? Baiklah, tiap hari jika menganggur, kau kesini sajalah. Kuajarkan resep-resep masak yang hebat-hebat,” kata A Liang.

“Benarkah? Terima kasih, Liang-lopek,” tukas Cio San girang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status