Cio San mulai melakukan gerakan. Sama indahnya dengan gerakan-gerakan yang tadi ia buat. Namun kini ia memusatkan perhatian untuk melakukan gerakan ini sebaik-baiknya. Tapi tidak sampai berapa lama, ia merasa nafasnya sesak. Ada rasa sempit di dadanya. Hal ini berbeda dengan perasaan dorongan tenaga yang tadi sempat dirasakannya. Seketika Cio San merasa kepalanya pening. Ia lalu berhenti. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya.
Tan Hoat memegang nadi di pergelangan tangannya. Denyut itu agak sedikit kacau. Sang gihu berkerut dahinya.
“Tingkat 5 pernafasan saja belum kau kuasai, tapi kau sudah bisa mengeluarkan jurus ke-8 Thay Kek Kun. Aneh...,” ia seperti berbicara kepada diri sendiri.
“Apa yang tadi kau lakukan sehingga bisa melakukan gerakan-gerakan jurus itu?” tanyanya.
“Teecu hanya bergerak seenaknya saja. Tidak memikirkan macam-macam. Teecu keluar kamar dengan perasaan riang karena sudah sembuh. Teecu menikmati suasana pagi yang segar dan harumnya bunga-bunga di pagi hari. Lalu teecu pikir, ada baiknya mencoba gerakan-gerakan pernafasan, karena teecu merasa hawa pagi ini nikmat sekali. Barangkali cocok untuk berlatih pernafasan...,” jelas Cio San.
“Lalu?” tanya suhunya lagi.
“Lalu saat bergerak itu, tahu-tahu teecu seperti dibawa oleh ombak atau angin yang lembut. Gelombang ini seperti menuntun teecu bergerak. Tahu-tahu teecu seperti tidak sadar. Seperti mimpi dalam tidur. Lalu tahu-tahu ada tenaga yang muncul dan mendesak dalam tubuh teecu. Kemudian teecu mendengar ada suara yang menuntun teecu mengeluarkan tenaga itu. Setelah teecu membuka mata, baru sadar bahwa itu ternyata suara Gihu....,” jawab Cio San.
“Hmmm... Aneh juga.”
Tan Hoat berkata begitu sambil berusaha berpikir. Memang Cio San tidak mungkin bisa mencuri belajar dari murid atau suhu lain. Tidak mungkin dia bisa menguasai jurus Thay Kek Kun tingkat pertama, karena ia belum bisa menguasai seluruh tingkat pernafasan yang berjumlah 15. Padahal 15 tingkat pernafasan itu adalah dasar dari ilmu Thay Kek Kun. Herannya, kini bahkan Cio San sudah bisa memainkan jurus ke-8 Thay Kek Kun.
“Sudahlah,” lanjutnya “Aku ke sini memberitahukan kepadamu bahwa nanti siang engkau dipanggil menghadap Ciangbunjin. Membahas kejadian kemarin.”
“Baik, Suhu. Teecu siap menghadap.” Cio San tahu bahwa perbuatannya kemarin sangat memalukan. Seorang murid Bu Tong menangis karena diserang oleh lawan. Itu adalah perbuatan yang sangat memalukan di dunia Kang Ouw. Jika dunia luar tahu bahwa ada murid Bu Tong yang seperti itu, tentu saja nama Bu Tong akan jatuh.
“Hari ini kau tidak usah latihan dulu, karena kau baru sembuh dari lukamu. Pergilah kau ke dapur dan ambil sarapanmu.”
“Baik, Gihu. Terima kasih.”
Cio San menghaturkan salam dan menjura kepada gurunya. Saat ia selesai membungkuk, suhunya sudah tidak berada di hadapannya.
Karena memang merasa lapar, Cio San menuju ke dapur umum. Seharusnya para murid Bu Tong makan di ruang makan yang besar menyerupai aula. Namun ia memang bangun agak terlambat sehingga lewat waktu makan. Biasanya murid yang terlambat makan, harus menunggu waktu makan berikutnya. Tetapi kondisi Cio San yang baru sembuh dari luka ini merupakan pengecualian.
Begitu di dapur, suasana sudah sepi. Tapi di bagian belakang memang masih ramai, karena ada beberapa murid yang kebagian tugas mencuci piring.
Saat Cio San masuk, ia disapa oleh tukang masaknya.
“Ah, kau terlambat. Tapi sudah kusediakan makanmu. Ambil saja di lemari kayu belakang. Di sebelah jendela besar itu,” katanya ramah seperti biasa.
Cio San memang lumayan akrab dengan A Liang, si juru masak Bu Tong. Mungkin karena A Liang sendiri memang tidak bisa silat, mereka jadi mempunyai kedekatan tersendiri. A Liang memang bukan murid resmi Bu Tong. Ia adalah seorang juru masak yang bekerja di Bu Tong. Ia tinggal di Bu Tong sudah lama sekali. Puluhan tahun malah. Umurnya sekarang sudah lebih dari 70 tahun.
“Ah, terima kasih, Liang-lopek (panggilan kepada orang yang sudah tua),” kata Cio San ramah.
“Bagaimana lukamu? Sudah sembuh?” tanya A Liang.
“Sudah, Lopek. Berkat perawatan Tan-suhu, teecu sudah segar bugar.” Cio San menjawab sambil tersenyum.
“Ah, lain kali kalau berlatih, hati-hatilah. Jangan sampai terluka lagi. Ayo sana, ambil makanmu. Kudengar perutmu sudah keroncongan begitu. Hahaha....”
Mereka berdua tertawa. Memang kalau dibanding dengan berlatih ilmu silat, sebenarnya Cio San lebih suka bercanda seperti ini. Sifatnya memang periang, suka bercanda. Cocok dengan si tua A Liang yang memang suka tertawa juga.
Selesai makan, Cio San membantu A Liang bersih-bersih dan menyiapkan makan siang. Pagi itu Cio San memang tidak ada kegiatan berlatih, karena sudah disuruh beristirahat dulu oleh suhunya. Ia memutuskan untuk membantu A Liang. Sebenarnya A Liang juga mempunyai beberapa pembantu yang masih kecil-kecil, mungkin berumur 10 tahunan. Tapi daripada nganggur, yah lebih baik membantu A Liang saja, begitu pikir Cio San.
Setelah beberapa lama bekerja memotong sayur, mengiris daging, dan menyiapkan bahan-bahan lain, Cio San pun diajak A Liang untuk memasak. Walaupun selama ini berteman dengan A Liang, belum pernah sekalipun Cio San belajar masak dari sahabat tuanya.
Pengalaman baru ini membuatnya tertarik dan senang. Membuatnya lupa akan masalah yang dihadapinya itu. Cio San pun ternyata baru tahu, kalau dia itu memiliki bakat memasak. Setelah diajarkan sebentar, Cio San mulai bisa.
Dasar rasa tahunya memang tinggi, ia pun rajin bertanya mengenai semua langkah-langkah memasak. Apa guna bahan ini? Apa guna bumbu itu? Mengapa bahan ini harus dibungkus daun terlebih dahulu? Kenapa minyak ini harus dipanaskan lama? Dan lain-lain.
Herannya, jika belajar silat kemajuan Cio San lambat sekali, belajar masak malah dia cepat bisa. Hanya dalam hal potong-memotong dan mengupas sajalah, yang dia perlu waktu untuk menyesuaikan. Sedangkan dalam hal mengolah, serta pemahamannya tentang bumbu, bahan, dan rasa, Cio San cepat sekali bisa.
A Liang pun dengan sabar mengajarkan dan menunjukkan cara memasak kepadanya. Dari pagi sampai hampir siang, Cio San membantu A Liang memasak. Jadi bisa dibilang, banyak sekali pengetahuan yang ia dapatkan dalam setengah hari itu.
Kadang-kadang banyak pertanyaan aneh yang keluar dari mulut Cio San, seperti ‘Mengapa merebusnya tidak menggunakan bahan ini? Bukankah bahan ini lebih harum?’ atau ‘Kenapa harus membungkus daging dengan daun pisang?’, dan masih banyak lagi pertanyaan Cio San yang dijawab dengan sabar oleh A Liang.
“Kau ini punya minat yang besar tentang masak, ya? Baiklah, tiap hari jika menganggur, kau kesini sajalah. Kuajarkan resep-resep masak yang hebat-hebat,” kata A Liang.
“Benarkah? Terima kasih, Liang-lopek,” tukas Cio San girang.
Waktu makan siang pun datang. Cio San membantu A Liang menata piring-piring dan masakan. Mereka juga dibantu oleh beberapa murid Bu Tong lain. Maklum, jumlah seluruh murid Bu Tong ada sekitar 1000an lebih.Letak meja-meja di ruang makan Bu Tong diatur berdasarkan tingkatan. Setiap tingkatan mempunyai posisi sendiri-sendiri. Begitu juga posisi meja para anggota ‘15 Naga Muda’. Cio San pun makan di situ juga. Cuma bedanya, kalau seluruh anggota ‘Naga Muda’ makan dengan riang dan bertegur sapa, Cio San makan dengan diam dan sepi. Memang, tidak ada orang yang menganggapnya ada. Apalagi mengajaknya berbicara.Hanya Beng Liong yang mau duduk di dekatnya dan berbicara padanya. Beng Liong ini adalah anggota ‘15 Naga Muda’ yang paling tua umurnya. Sekitar 18 tahun. Dia ini juga adalah anggota yang paling berbakat, paling tampan, dan paling gagah. Semua orang suka padanya. Ia punya tutur-kata yang sangat sopan dan halus. Ia juga ramah dan sama sekali tidak sombong. Walaupun ilmunya paling hebat
Begitu pintu dibuka, nampaklah ruang ketua itu. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu sempit. Ruangan ini biasanya dipakai sebagai ruang tugas Ciangbunjin. Tempat ia menerima tamu atau memberi perintah. Intinya, ruang ini dipakai sebagai ruang resmi kepala Bu Tong-pay.“Teecu, Cio San menghadap, Ketua.” Sambil berkata begitu, Cio San mengatup tangan di depan dada.Sambil tersenyum, Lau-ciangbunjin berkata, “Sudahlah, jangan terlalu banyak aturan.”Cio San mengangguk hormat.Ternyata di dalam ruangan ini, Lau-ciangbunjin tidak sendirian. Ada 4 orang disebelahnya. Dua di kiri dan dua di kanan. Keempat orang ini adalah Penasehat Utama Ketua Bu Tong-pay. Mereka dari angkatan ke 2. Wajah mereka angker. Cio San mengenal nama-nama orang ini.Cou Leng, berdagu panjang, dengan jenggot yang semakin membuat wajahnya terlihat lebih panjang.Yo Han, bertubuh tinggi besar, matanya selalu tertutup, dan bibirnya selalu berkomat-kamit.Yo Ang, kakak dari Yo Han, tapi justru tubuhnya kecil. Tata
Cio San telah selesai membuntal pakaian-pakaiannya. Begitu keluar dari biliknya, Tan Hoat telah berada di depan pintu menantinya. Berbeda dengan beberapa hari akhir-akhir ini, wajah Tan Hoat sudah tidak seketus belakangan ini.Tan Hoat sambil tersenyum berkata, “Sudah siap? Aku akan mengantarmu ke pondok bambu.”“Sudah, Gihu. Tapi ‘anak’ ingin berpamitan dengan beberapa orang terlebih dahulu. Bolehkah?”“Pergilah. Aku menanti di pohon Yang Liu, dekat kolam gedung utama. Jangan lama-lama, takutnya kita telat berangkat dan kemalaman.”“Terima kasih, Gihu.” Sambil berkata begitu, ia memberi hormat dan segera bergegas.Pertama-tama, ia mencari Liang-lopek. Orang tua ini memang selalu akrab dengannya. Kesukaan baru Cio San, yaitu belajar masak, memang harus tertunda dulu. Padahal ia senang sekali mempelajari kemampuan baru ini.Cio San menemukan Liang-lopek sedang beberes di dapur belakang.“Ah kau.., bagaimana? Sudah bertemu Ciangbunjin? Apa kata beliau?” tanya Liang-lopek.“Sudah, Lopek.
Setelah dari tempat Liang-lopek, Cio San menuju ke ruang latihan utama, tempat biasanya para ‘15 Naga Muda’ berlatih. Karena saat ini memang masih jam istirahat, ruangan itu masih sepi. Namun sesuai dugaan Cio San, masih ada satu orang yang berlatih disana. Siapa lagi kalau bukan Beng Liong.Remaja tampan dan gagah ini, memang tidak pernah melewatkan waktu tanpa berlatih silat. Ia bersilat sendirian. Memainkan jurus-jurus dasar Bu Tong-pay. Namun gerakannya terlihat mantap dan lincah. Peluh mengalir di sekujur tubuhnya yang bertelanjang dada. Di umur yang baru sekitar 18an tahun, tubuh Beng Liong terlihat tegap dan gagah.Melihat keseriusan Beng Liong dalam berlatih, Cio San sungkan mengganggunya. Ia hanya berdiri di belakang Beng Liong. Melihat gerakan-gerakan silatnya. Memang sungguh hebat sekali. Pantas saja kalau Beng Liong dianggap sebagai ‘15 Naga Muda’ yang paling berbakat.Merasa ada orang di belakangnya, Beng Liong menyelesaikan gerakannya. Ia berbalik lalu tersenyum kepada C
Bagian tertinggi Bu Tong-san ternyata sangat indah. Di sebelah kanan, sungai dan hutan. Di sebelah kiri, tebing-tebing bebatuan. Tan Hoat menjelaskan bahwa tebing-tebing itu sangat berbahaya, dan mewanti-wanti Cio San untuk berhati-hati jika berada di sekitar tebing itu.Pondok bambu itu sendiri juga berdiri tepat dibawah sebuah tebing tinggi. Jika menaiki tebing itu, yang tingginya sekitar 10 meter, maka seseorang akan berada di tempat tertinggi Bu Tong-san.Di dalam pondok, ternyata suasananya bersih sekali. Ada dipan bambu dan sebuah tikar diatasnya. Di sebelah dipan, ada meja kecil dan sebuah kursi. Ada juga sebuah tungku perapian yang berguna untuk memasak atau membuat api unggun sebagai penghangat tubuh. Ada juga lampu minyak, beserta minyaknya.Sampai saat ini, Cio San baru sadar bahwa hukumannya ini tidak main-main. Ia akan hidup sendirian di sini selama 3 bulan. Rasanya seram juga. Dalam hati, ia bergidik, namun sebisa mungkin ia menutupinya dari gihunya itu.Tan Hoat rupanya
Setelah malam, Cio San memutuskan untuk melatih ilmu pernafasannya yang sudah tertinggal jauh dari kawan-kawan seperguruan. Memang ia sangat terlambat, namun itu semua bukan karena kekurangpahamannya, melainkan karena organ-organ dalam tubuhnya yang bekerja kurang sempurna sehingga latihan-latihan itu gagal semua.Cio San pun mengerti dan paham hal ini. Ia sampai pada kesimpulan bahwa mungkin saja cara latihan yang diajarkan di Bu Tong-pay ini ditujukan kepada mereka yang memiliki organ-organ sehat dan normal, sehingga tidak cocok bagi orang yang seperti dia.Kesimpulan Cio San ini sebenarnya sungguhlah tepat. Karena pada dasarnya, ilmu silat itu harus dicocokkan dengan kemampuan fisik seseorang. Jika seseorang yang fisiknya tinggi, maka ada ilmu silat khusus yang membuat orang itu mampu memaksimalkan kelebihan fisiknya. Begitu juga jika orang itu pendek, atau kekar, dan lain-lain. Selalu ada ilmu silat yang lebih cocok bagi keadaan orang tersebut.Hal inilah yang melahirkan berbagai
Setelah beristirahat beberapa lama, Beng Liong pamit karena waktu istirahat sudah akan habis. Mereka berpisah, dan Beng Liong berjanji untuk sering mengunjungi Cio San. Begitu menuruni gunung, terlihat gerakan Beng Liong sangat lincah dan cepat sekali.“Wah, Liong-heng ternyata semakin hebat saja. Rupanya ia sudah mulai mempelajari ilmu meringankan tubuh Bu Tong-pay,” kata Cio San dalam hati.Hari berganti hari, Cio San terus berlatih silat Bu Tong-pay. Namun sambil berlatih silat, otaknya terus-mengingat-ingat tulisan yang ia pelajari dari dalam buku. Pada awalnya, nafasnya terengah-engah dan cepat merasa letih. Tapi ia terus memaksakan diri. Sedikit demi sedikit, rasa terengah-engah itu hilang, bahkan terasa ada kekuatan baru yang muncul perlahan-lahan.Cio San tidak pernah menyangka bahwa saat ia berlatih silat sambil mengingat-ingat tulisan di dalam buku itu, sebenarnya ia telah berhasil menggabungkan ilmu silat Bu Tong-pay dan pengetahuan tentang tubuh manusia.Saat ilmu Bu Tong-
Cio San terus berlatih dengan giat. Rasa lemas dan letih yang dahulu sering dirasakannya setiap kali berlatih silat, kini telah menghilang seluruhnya. Tubuhnya selalu terasa segar. Apalagi ketika selesai berlatih, ia malah semakin merasa bugar. Sudah hampir sebulan ia berada di atas gunung ini, tidak terasa ilmu silatnya maju pesat seperti orang yang telah berlatih silat selama 5 tahun.Ia mengingat seluruh teori silat dan pernafasan yang diajarkan oleh gurunya. Walaupun hanya di tingkatan rendah, teori itu ia gabungkan dengan pengetahuan dari buku yang diberikan A Liang. Hasilnya, ia seperti menciptakan ilmu baru. Ada terasa gaya Bu Tong-pay dalam ilmu itu, tapi juga terasa berbeda karena sudah ia gabungkan dengan teori lain.Ada rasa riang yang timbul karena tidak lagi ada rasa lemas dan letih. Cio San sudah hampir sembuh seluruhnya dari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Memang rasa sakit kepala dan denyut jantung yang berdetak cepat, kadang-kadang masih menyerangnya. Namun jik