Beberapa hari kemudian, mereka sudah sampai di Bu Tong-san. Tan Hoat langsung menuju ke makam Thio Sam Hong. Di sana, ia berlutut dan bersujud lama sekali. Di sana, ia menumpahkan air mata. Saudara-saudara seperguruannya pun membiarkan saja. Sepertinya memang hal itu sudah sering terjadi saat anak murid Bu Tong-pay yang baru mendengar kabar kematian itu tiba di kuburan.
Setelah puas menumpahkan kesedihan dan penghormatannya, Tan Hoat baru membersihkan diri dan beristirahat sejenak. Ingin ia bertemu dengan Ciangbunjinnya yang baru, tapi Lau-ciangbunjin berada di biliknya dan tidak keluar dari pagi sampai sore. Berhubung saat itu masih pagi, Tan Hoat menggunakan waktunya itu untuk menemui murid-murid yang lain. Bercengkerama dan bertukar cerita. Sekaligus memperkenalkan Cio San sebagai muridnya, dan juga menceritakan asal-usulnya.
Semua orang kagum mendengar bahwa anak itu adalah cucu dari Cio Hong Lim. Panglima terkenal yang taktik perangnya banyak berhasil mengusir pasukan penjajah Goan. Cio San sendiri bersikap santun dan merendah. Pada dasarnya, dia memang anak yang tidak suka tampil menonjol. Pembawaan yang sebenarnya diturunkan dari kakeknya itu.
Ayahnya, Cio-siucai, atau Sastrawan Cio, juga mewarisi sifat merendah itu. Jika kakeknya lebih suka mengucilkan diri dan menjadi petani di desa, ayah Cio San ini malah lebih suka mempelajari kitab-kitab kuno, musik, dan sastra. Ia tidak mau menjadi menjadi pegawai di ibukota. Padahal dengan gelarnya, ia bisa saja memiliki jabatan yang tinggi, bahkan bekerja di istana kaisar, mengingat jasa-jasa Cio Hong Lim. Tapi Cio-siucai malah lebih suka mendekatkan diri dengan keluarga.
Akhirnya, sifat merendah dan tidak suka menonjolkan diri itu pun mengalir jugalah ke dalam jiwa Cio San. Ia paling tidak suka dipuji. Paling tidak suka menjilat-jilat. Tapi tutur-katanya sopan, polos, dan jujur. Itulah kenapa murid-murid Bu Tong yang lain langsung suka padanya. Padahal mereka baru mengenalnya beberapa saat.
Hari itu ternyata ada tiga murid Bu Tong yang pulang ke Bu Tong-san. Selain Tan Hoat, ada juga Wan Siau Ji dan Kwee Leng. Keduanya turut membawa murid pula. Dan yang mereka lakukan persis sama dengan yang dilakukan Tan Hoat ketika pertama kali sampai ke Bu Tong-san. Yaitu bersujud di makam Thio Sam Hong. Lalu bercengkerama dan bertukar cerita. Setelah agak siang, murid-murid angkatan ke-3 yang baru pulang itu kemudian istirahat. Sambil menanti sore untuk bertemu dengan Lau-ciangbunjin, ketua mereka yang baru.
Sore pun tiba, Lau Tian Liong keluar dari biliknya. Usianya sudah sekitar 70 tahunan, tapi raut mukanya terlihat lebih muda. Benar juga kata orang yang bilang bahwa ilmu-ilmu Bu Tong-pay bisa membuat orang jadi awet muda.
Ciangbunjin partai Bu Tong ini berkeliling melihat keadaan perguruan. Dari murid-muridnya, ia mendengar bahwa tiga orang murid angkatan ke-3 sudah pulang dengan membawa muridnya masing-masing. Ia lalu berkunjung ke kamar-kamar para murid itu. Hal ini menunjukkan kerendahan hati sang Ciangbunjin. Padahal sebagai Ciangbunjin (Kepala Partai Besar), ia bisa saja memerintahkan para murid menghadapnya di biliknya sendiri.
Pintu kamar Tan Hoat diketuk orang. Padahal ia tidak mendengar langkah seorang pun yang mendekat. Seperti tersadar, ia lalu berlari cepat membuka pintu, setelah itu ia berlutut, dan berkata, “Teecu, Tan Hoat berlaku tidak sopan, tidak mengetahui kedatangan Ciangbunjin. Apakah Ciangbunjin sehat-sehat saja?”
“Ah, jangan terlalu banyak adat. Berdirilah,” sambil berkata begitu ia mengangkat Tan Hoat.
Begitu tangannya menempel ke tangan Tan Hoat, seperti ada getaran tenaga besar yang menghantam Tan Hoat. Ia sadar. Rupanya sang Ciangbunjin sedang mengujinya. Tan Hoat tidak melawan desakan tenaga besar itu, ia malah menerimanya dengan ilmu Thay Kek Kun. Ilmu lembut ciptaan Thio Sam Hong. Desakan tenaga itu malah punah seperti hilang ditelan samudra yang luas.
Lau Tian Liong tersenyum, ia berkata, “Bagus, ilmumu meningkat. Tidak percuma kau mengaku angkatan ke-3.”
“Atas petuah-petuah Suhu, teecu berhasil sampai ke tingkat 6 Thay Kek Kun.”
“Bagus.., bagus... Teruslah berlatih. Aku ini hanya berhasil mencapai tingkat 11. Aku sudah memutar otak mencari rahasia tingkat ke 12, tapi masih saja otak bebalku ini tidak bisa memecahkannya. Mudah-mudahan nanti kau yang bisa memecahkannya,” kata Lau-ciangbunjin pelan.
Ketika Tan Hoat baru membuka mulut untuk menjawab, Lau-ciangbunjin sudah memotong dengan pertanyaan, “Eh, mana muridmu? Aku belum melihatnya.”
“Dia sedang berkenalan dengan murid-murid yang lain. Teecu menyuruhnya memperkenalkan diri ke bilik-bilik murid angkatan 7 dan 6.”
“Oh.. Baiklah kalau begitu. Nanti malam aku akan kesini lagi untuk melihatnya.”
“Teecu akan menyuruhnya ke bilik Suhu saja,” kata Tan Hoat cepat. Memang sudah menjadi kebiasaan di Bu Tong-pay untuk memanggil ketua mereka sebagai ‘Suhu’ atau Guru, dan membahasakan diri sendiri sebagai ‘teecu’ atau murid.
“Tidak usah, biar aku saja yang kesini lagi. Nah, kau istirahatlah. Nanti malam kita bercerita ya..” Lau Tian Liong pun pergi. Lebih tepatnya menghilang.
“Ilmu Suhu semakin hebat saja.” Tan Hoat hanya menggeleng-geleng. “Ah, aku sampai lupa memberinya selamat atas pengangkatan menjadi Ciangbunjin...”
Malamnya, Lau-ciangbunjin memang benar-benar mengunjungi kamar Tan Hoat untuk berbincang-bincang. Cio San sudah menggunakan pakaian terbaiknya yang didapatkan dari pemberian orang-orang desa. Setelah memberi salam dan penghormatan, ia memperkenalkan dirinya.
“Teecu (murid) bernama Cio San, Ayah teecu bernama Cio Kim, dan Ibu teecu bernama Li Swat Ing,” katanya.
“She (marga) Cio, ada hubungan dengan Jenderal Cio Hong Lim?” tanya Lau-ciangbunjin.
“Beliau adalah Kong-kong (Kakek) teecu,” jawab Cio San.
“Ah, kau keturunan orang besar rupanya. Bagus…, bagus… Eh, nafasmu kenapa berat, dan wajahmu pucat,” sambil bicara begitu, Lau-ciangbunjin meraih tangan Cio San, dan memeriksa nadinya.
“Teecu dalam kandungan Ibu tidak lengkap 9 bulan. Jadi kata Ibu, tubuh teecu lemah dan sering sakit-sakitan,” kata Cio San perlahan.
“Aih.., tak apa-tak apa...” Lau-ciangbunjin seperti membatin.
“Teecu sering terkena serangan sesak nafas dan sering lemah. Harap Ciangbunjin maafkan. Jika nanti dikira teecu merepotkan Bu Tong-pay, lebih baik teecu tidak..,” ucapan Cio San itu dipotong Lau-ciangbunjin.
“Ah bicara apa kau ini. Bu Tong-pay punya ilmu hebat-hebat. Nanti pasti bisa menolong kesehatanmu jika kau rajin berlatih.”
“Terima kasih, Ciangbunjin,” Cio San berkata dengan penuh hormat.
“Hmmm, kau sudah memperoleh ijin dari kedua orang tuamu, bukan? Untuk menjadi anak murid Bu Tong-pay?” tanya Lau-ciangbunjin.
“Eh.. Orang tua boanpwe baru saja meninggal. Boanpwe lalu dititipkan kepada Tan-gihu (Ayah Angkat Tan),” Cio San menjawab perlahan.
“Oh..” Lau-ciangbunjin terdiam, lalu ia melanjutkan, “Kau istirahatlah, Cio San. Nanti mudah-mudahan beberapa hari lagi, kalau murid-murid baru sudah terkumpul semua, kita adakan upacara penerimaan murid. Untuk sementara, kau nikmati dulu suasana Bu Tong-san (gunung Bu Tong) ini, dan berkenalan dengan yang lain.”
“Baik, Ciangbunjin, terima kasih,” kata Cio San.
“Tan Hoat, ikutlah ke bilikku, ada beberapa hal penting yang ingin kubicarakan.”
Setelah sampai di bilik, Lau Tian Liong mulai bertanya,
“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Cio San?”
“Keluarganya semua dibantai. Kakeknya, ayah-ibunya, seluruh keluarganya dibantai dalam waktu yang hampir berdekatan,” jawab Tan Hoat.
“Hmm... Kau sudah tahu siapa pelakunya?”
“Belum, Suhu. Akan teecu selidiki nanti. Teecu masih sungkan bertanya kepada Cio San. Khawatir dia jadi sedih,” kata Tan Hoat.
“Ya.. Ya.. Selidikilah setuntas mungkin. Aku khawatir banyak orang yang dendam terhadap keluarganya. Untunglah kau menemukannya dan cepat membawanya kesini. Di Bu Tong-san kita bisa menjaganya,” kata Lau Tian Liong. Ia melanjutkan, “Ada hal penting lain yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Teecu siap menerima perintah.”
“Sebelum Thay Suhu (Guru Besar) Thio Sam Hong meninggal, beliau sebenarnya berhasil menciptakan sebuah ilmu yang jauh lebih dahsyat dari Thay Kek Kun.”
Tan Hoat hanya berdecak kagum dalam hati.
Lau-ciangbunjin berkata, “Aku sendiri sudah mencoba kedahsyatan ilmu itu. Ah..., kesaktian Thay Suhu memang tak bisa diukur lagi...,” ia berhenti sebentar, “Sayangnya, Guru belum menurunkan ilmu itu kepada siapapun...”
“Ah.....” Tan Hoat tak bisa berkata apa-apa.
“Tapi beliau sempat memberi aku petunjuk yang sampai sekarang tidak bisa kupecahkan. Beliau berkata, ‘Segala itu hampa. Memiliki ilmu sebenarnya tidak memiliki ilmu. Tidak memiliki ilmu sebenarnya yang paling sakti diantara semua.’”
“Bukankah itu ujar-ujaran kuno, Suhu?” tanya Tan Hoat.
“Benar..., tapi apa hubungannya dengan ilmu silat ciptaan Guru itu? Eh, tapi ada lagi sambungannya. Beliau berkata,‘Segala yang bukan ilmu silat, adalah ilmu silat.’”
Tan Hoat diam karena berpikir keras tentang ujar-ujaran Guru Besarnya itu.
“Eh, apakah Suhu sempat melihat bagaimana jurus-jurusnya?”
“Aku.. Aku sebenarnya sempat mencoba ilmu itu. Aku memukul Thay Suhu satu kali, hanya satu kali saja. Beliau tidak memasang kuda-kuda, tidak menangkis, juga tidak memukul...”
“Lalu....,” Tan Hoat bertanya penasaran.
“Sebelum pukulanku sampai, beliau sudah menyentuh pundakku. Saat itu sepertinya seluruh kekuatan hilang. Beliau lalu berbisik, ‘Berlatihlah terus.....’”
“Hah?”
“Iya, ilmu beliau itu seperti tanpa jurus dan kuda-kuda. Sepertinya beliau hanya berjalan saja menuju aku, menyambut pukulan itu seperti... seperti pukulanku hanya berupa uluran tangan....”
Tan Hoat hanya menggeleng-geleng. Memang kesaktian Thay Suhunya itu sudah tidak bisa diukur lagi. Padahal Lau Tian Liong sudah memiliki ilmu kelas tinggi yang menempatkannya di puncak nama-nama dunia Kang Ouw, bahkan setara dengan pemimpin Siau Lim-pay (Partai Silat Shao-Lin) sekarang. Nama Lau Tian Liong mungkin sekarang termasuk 3 besar orang yang paling tinggi ilmunya di dunia Kang Ouw. Bisa dibayangkan, betapa tingginya ilmu Thio Sam Hong yang mampu mengalahkan Lau-ciangbunjin dalam satu pukulan saja!“Pikir-pikirkanlah ucapan Thay Suhu yang tadi kuceritakan padamu. Otakmu cerdas, dan pikiranmu tajam.”“Teecu sudah hafal dan akan teecu pikirkan terus, Suhu...,” kata Tan Hoat.“Baiklah, jangan kau ceritakan ini kepada murid lain. Aku menceritakan ini hanya kepadamu saja,” kata Lau-ciangbunjin.“Eh. Kenapa, Suhu?”“Ah, sungguh berat mengatakannya. Aku tak tahu harus memulainya darimana...”Lalu Lau Tian Liong melanjutkan, “Sebelum Thay Suhu meninggal, beliau bercerita bahwa di dunia
Kelima belas murid pilihan itu ternyata memang tidak mengecewakan. Hanya dalam beberapa tahun saja, ilmu silat mereka mulai terlihat istimewa. Ini mungkin karena bakat mereka memang besar. Ditambah lagi dengan kenyataan, bahwa hampir seluruh kelimabelas murid itu sebelumnya memang sudah digembleng ilmu silat sebelum masuk ke Bu Tong-pay. Mereka sebagian besar berasal dari keturunan ahli silat atau keluarga terpandang.Hal ini berbeda dengan Cio San, yang sama sekali berbeda latar belakangnya. Walaupun anak dari seorang ahli silat Go Bi-pay, ia tidak diajarkan silat secara mendalam oleh ibunya. Karena tubuhnya memang lemah sejak lahir. Memang ibunya pernah sedikit menunjukkan gerakan silat Go Bi-pay padanya. Tapi karena kondisi tubuhnya yang lemah, latihan silat itu tidak diteruskan. Jadi, bisa dibilang Cio San itu memang tidak bisa ilmu silat, walaupun ia paham sedikit-sedikit gerakan silat. Ayahnya pun juga bukan seorang ahli silat. Malah ayahnya adalah seorang sastrawan, yang mana g
Saat serangan pertamanya berhasil dipunahkan, A Pao menggunakan tangan kirinya untuk mengincar sebuat titik di pelipis kanan Cio San. Melihat serangan ini, Cio San hanya memutar lehernya mengikuti aliran serangan, sehingga totokan itu hanya lewat di depan matanya.Melihat dua serangannya gagal, A Pao semakin bersemangat untuk menyerang. Gerakannya semakin cepat, namun gerakan Cio San juga tak kalah cepat.Setelah beberapa lama beradu silat, keringat mulai terlihat di dahi Cio San. Ia memang gampang sekali capek. Sistem kerja organ dalam tubuhnya memang kurang baik, sehingga membuatnya susah mengendalikan pernafasan, yang membuatnya mudah letih. Itulah juga sebabnya ia masih mengulang-ngulang pelajaran pernafasan tingkat 5.Melihat lawannya sudah mulai kedodoran, A Pao melencarkan serangannya lebih cepat lagi. Bagi orang Bu Tong, gerakan kedua orang ini biasa-biasa saja. Tapi bagi orang luar, apalagi bagi orang yang tidak mengerti ilmu silat, kedua orang murid Bu Tong ini bergerak sang
Saat siuman, ia merasa perutnya sakit sekali. Cio San kini sedang berada di biliknya sendiri. Ia terbaring diatas tempat tidurnya. Ada bau ramuan obat. Mungkin juga bau ini yang membuatnya tersadar. Di samping tempat tidur Cio San, Tan Hoat, sang gihu duduk disebuah bangku kayu kecil.Raut wajahnya kelam sekali. Biasanya, tidak seperti ini wajah gihunya. Tan Hoat baru kembali dari tugas perguruan. Selama beberapa tahun ini, Tan Hoat memang sering sekali turun-naik gunung untuk menunaikan tugas perguruan. Melihat ada gihunya di samping, Cio San merasa senang sekali.Namun gihunya bertanya dengan ketus, “Kau sudah siuman?”“Iya, Gihu,” jawab Cio San. Ada rasa tidak enak di ulu hatinya ketika ia berbicara.“Orang-orang bilang kau menangis karena menerima serangan A Pao?”Cio San menutup matanya. Ia tidak menangis karena serangan A Pao. Ia menangis karena merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh saudara-saudara seperguruannya sendiri. Tapi bagaimana ia menceritakan ini kepada gurunya? S
Setelah mendapat sedikit perawatan dari gurunya, Cio San merasa lebih baik. Selama 3 hari, gihunya merawatnya dengan memberi obat-obatan dari ramu-ramuan rebusan daun. Pahit sekali rasanya. Tapi Cio San merasa pahitnya obat itu masih kalah pahit dengan sikap gihunya. Selama merawatnya 3 hari itu, Tan Hoat tidak pernah menyapa atau berbicara dengan Cio San sama sekali. Untuk menanyakan kabarnya saja tidak. Tan Hoat cuma meraba nadi di pergelangan tangan Cio San untuk mengetahui kondisi kesehatannya.Cio San mencoba memecah kebuntuan dengan mengajak gihunya berbicara, namun cuma dibalas dengan anggukan atau gelengan. Walaupun begitu, Cio San tetap berusaha tersenyum kepada gihunya dan bersikap selalu hormat kepadanya.Setelah 3 hari dirawat, pada pagi hari ke empat, Cio San merasa tubuhnya sudah pulih sepenuhnya. Merasa bosan selama 3 hari di kamar terus, Cio San memutuskan untuk keluar biliknya. Suasana pagi itu sangat cerah. Terdengar suara murid-murid Bu Tong-pay yang sedang berlatih
Cio San mulai melakukan gerakan. Sama indahnya dengan gerakan-gerakan yang tadi ia buat. Namun kini ia memusatkan perhatian untuk melakukan gerakan ini sebaik-baiknya. Tapi tidak sampai berapa lama, ia merasa nafasnya sesak. Ada rasa sempit di dadanya. Hal ini berbeda dengan perasaan dorongan tenaga yang tadi sempat dirasakannya. Seketika Cio San merasa kepalanya pening. Ia lalu berhenti. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya.Tan Hoat memegang nadi di pergelangan tangannya. Denyut itu agak sedikit kacau. Sang gihu berkerut dahinya.“Tingkat 5 pernafasan saja belum kau kuasai, tapi kau sudah bisa mengeluarkan jurus ke-8 Thay Kek Kun. Aneh...,” ia seperti berbicara kepada diri sendiri.“Apa yang tadi kau lakukan sehingga bisa melakukan gerakan-gerakan jurus itu?” tanyanya.“Teecu hanya bergerak seenaknya saja. Tidak memikirkan macam-macam. Teecu keluar kamar dengan perasaan riang karena sudah sembuh. Teecu menikmati suasana pagi yang segar dan harumnya bunga-bunga di pagi hari. L
Waktu makan siang pun datang. Cio San membantu A Liang menata piring-piring dan masakan. Mereka juga dibantu oleh beberapa murid Bu Tong lain. Maklum, jumlah seluruh murid Bu Tong ada sekitar 1000an lebih.Letak meja-meja di ruang makan Bu Tong diatur berdasarkan tingkatan. Setiap tingkatan mempunyai posisi sendiri-sendiri. Begitu juga posisi meja para anggota ‘15 Naga Muda’. Cio San pun makan di situ juga. Cuma bedanya, kalau seluruh anggota ‘Naga Muda’ makan dengan riang dan bertegur sapa, Cio San makan dengan diam dan sepi. Memang, tidak ada orang yang menganggapnya ada. Apalagi mengajaknya berbicara.Hanya Beng Liong yang mau duduk di dekatnya dan berbicara padanya. Beng Liong ini adalah anggota ‘15 Naga Muda’ yang paling tua umurnya. Sekitar 18 tahun. Dia ini juga adalah anggota yang paling berbakat, paling tampan, dan paling gagah. Semua orang suka padanya. Ia punya tutur-kata yang sangat sopan dan halus. Ia juga ramah dan sama sekali tidak sombong. Walaupun ilmunya paling hebat
Begitu pintu dibuka, nampaklah ruang ketua itu. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu sempit. Ruangan ini biasanya dipakai sebagai ruang tugas Ciangbunjin. Tempat ia menerima tamu atau memberi perintah. Intinya, ruang ini dipakai sebagai ruang resmi kepala Bu Tong-pay.“Teecu, Cio San menghadap, Ketua.” Sambil berkata begitu, Cio San mengatup tangan di depan dada.Sambil tersenyum, Lau-ciangbunjin berkata, “Sudahlah, jangan terlalu banyak aturan.”Cio San mengangguk hormat.Ternyata di dalam ruangan ini, Lau-ciangbunjin tidak sendirian. Ada 4 orang disebelahnya. Dua di kiri dan dua di kanan. Keempat orang ini adalah Penasehat Utama Ketua Bu Tong-pay. Mereka dari angkatan ke 2. Wajah mereka angker. Cio San mengenal nama-nama orang ini.Cou Leng, berdagu panjang, dengan jenggot yang semakin membuat wajahnya terlihat lebih panjang.Yo Han, bertubuh tinggi besar, matanya selalu tertutup, dan bibirnya selalu berkomat-kamit.Yo Ang, kakak dari Yo Han, tapi justru tubuhnya kecil. Tata
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding
Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad
Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir
Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge