Share

Bab 10

Penulis: Norman Tjio
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-18 09:36:28

Saat siuman, ia merasa perutnya sakit sekali. Cio San kini sedang berada di biliknya sendiri. Ia terbaring diatas tempat tidurnya. Ada bau ramuan obat. Mungkin juga bau ini yang membuatnya tersadar. Di samping tempat tidur Cio San, Tan Hoat, sang gihu duduk disebuah bangku kayu kecil.

Raut wajahnya kelam sekali. Biasanya, tidak seperti ini wajah gihunya. Tan Hoat baru kembali dari tugas perguruan. Selama beberapa tahun ini, Tan Hoat memang sering sekali turun-naik gunung untuk menunaikan tugas perguruan. Melihat ada gihunya di samping, Cio San merasa senang sekali.

Namun gihunya bertanya dengan ketus, “Kau sudah siuman?”

“Iya, Gihu,” jawab Cio San. Ada rasa tidak enak di ulu hatinya ketika ia berbicara.

“Orang-orang bilang kau menangis karena menerima serangan A Pao?”

Cio San menutup matanya. Ia tidak menangis karena serangan A Pao. Ia menangis karena merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh saudara-saudara seperguruannya sendiri. Tapi bagaimana ia menceritakan ini kepada gurunya? Selama ini, gurunya tidak pernah tahu akan perlakuan mereka terhadapnya. Jika kemudian ia bercerita, bukankah nanti akan dianggap mencari-cari alasan? Apalagi jika nanti dia bercerita dan semua orang itu menyangkal, maka hasilnya akan lebih parah lagi. Ia akan semakin tersudut.

“Iya, Gihu,” Cio San menjawab pelan.

Gihunya juga hanya berbicara dengan pelan, namun kata-katanya menusuk sekali.

“Kau.... kau membuatku malu. Kau membuat semua murid Bu Tong-pay malu. Seorang laki-laki lebih baik mati di dalam pertempuran, daripada menangis ketakutan dalam perkelahian.”

“Maafkan teecu (murid), Guru.., teecu...” Cio San juga sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Suhu (guru) sekaligus gihunya itu berdiri lalu keluar dari bilik itu. Berjalan dengan gontai.

Cio San hanya menghela nafas. Ia menangis lagi. Ia sudah mempermalukan gurunya.

Ia tidak pernah menangis karena rasa takut. Ia tidak menangis karena kesakitan. Tidak. Ia menangis karena kemarahan. Karena diperlakukan tidak adil.

Ya! Benar!

Ia menangis karena melihat ketidakadilan. Ia lalu teringat ayahnya lagi yang dulu pernah berkata, “Laki-laki hanya pantas meneteskan airmata karena melihat penindasan.”

Cio San berpikir, apakah memang ia menangis karena alasan itu? Semakin lama ia berpikir, akhirnya ia tersadar. Yang dimaksudkan ayahnya adalah ‘penindasan’ terhadap orang lain. Jika penindasan itu terjadi kepada dirinya, maka itu bukanlah penindasan. Tapi itu karena ia tidak mampu membela dirinya sendiri.

Kesadaran berpikir seperti ini, bagi anak berumur belasan tahun sebenarnya boleh juga dibilang ajaib. Biasanya anak-anak itu lebih suka mencari pembenaran dan membela diri. Tapi Cio San sudah mulai paham bahwa, jangan-jangan ia memang hanya mencari pembenaran.

Dalam hati, ia menguatkan dirinya. Ia harus menerima resiko karena kelemahannya sendiri. Apapun nanti hukumannya, harus ia terima dengan berani. Ia tidak boleh menangis lagi. Ia tidak boleh membuat gihunya kecewa dan marah lagi seperti tadi. Dan yang lebih penting, ia tidak boleh LEMAH lagi!

Akhirnya ia tersenyum. Senyum pahit yang selalu dilakukannya. Tapi senyum seperti itu terkadang memang bisa mengobati luka hatinya. Luka hati siapa saja.

Bab terkait

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 11

    Setelah mendapat sedikit perawatan dari gurunya, Cio San merasa lebih baik. Selama 3 hari, gihunya merawatnya dengan memberi obat-obatan dari ramu-ramuan rebusan daun. Pahit sekali rasanya. Tapi Cio San merasa pahitnya obat itu masih kalah pahit dengan sikap gihunya. Selama merawatnya 3 hari itu, Tan Hoat tidak pernah menyapa atau berbicara dengan Cio San sama sekali. Untuk menanyakan kabarnya saja tidak. Tan Hoat cuma meraba nadi di pergelangan tangan Cio San untuk mengetahui kondisi kesehatannya.Cio San mencoba memecah kebuntuan dengan mengajak gihunya berbicara, namun cuma dibalas dengan anggukan atau gelengan. Walaupun begitu, Cio San tetap berusaha tersenyum kepada gihunya dan bersikap selalu hormat kepadanya.Setelah 3 hari dirawat, pada pagi hari ke empat, Cio San merasa tubuhnya sudah pulih sepenuhnya. Merasa bosan selama 3 hari di kamar terus, Cio San memutuskan untuk keluar biliknya. Suasana pagi itu sangat cerah. Terdengar suara murid-murid Bu Tong-pay yang sedang berlatih

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 12

    Cio San mulai melakukan gerakan. Sama indahnya dengan gerakan-gerakan yang tadi ia buat. Namun kini ia memusatkan perhatian untuk melakukan gerakan ini sebaik-baiknya. Tapi tidak sampai berapa lama, ia merasa nafasnya sesak. Ada rasa sempit di dadanya. Hal ini berbeda dengan perasaan dorongan tenaga yang tadi sempat dirasakannya. Seketika Cio San merasa kepalanya pening. Ia lalu berhenti. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya.Tan Hoat memegang nadi di pergelangan tangannya. Denyut itu agak sedikit kacau. Sang gihu berkerut dahinya.“Tingkat 5 pernafasan saja belum kau kuasai, tapi kau sudah bisa mengeluarkan jurus ke-8 Thay Kek Kun. Aneh...,” ia seperti berbicara kepada diri sendiri.“Apa yang tadi kau lakukan sehingga bisa melakukan gerakan-gerakan jurus itu?” tanyanya.“Teecu hanya bergerak seenaknya saja. Tidak memikirkan macam-macam. Teecu keluar kamar dengan perasaan riang karena sudah sembuh. Teecu menikmati suasana pagi yang segar dan harumnya bunga-bunga di pagi hari. L

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 13

    Waktu makan siang pun datang. Cio San membantu A Liang menata piring-piring dan masakan. Mereka juga dibantu oleh beberapa murid Bu Tong lain. Maklum, jumlah seluruh murid Bu Tong ada sekitar 1000an lebih.Letak meja-meja di ruang makan Bu Tong diatur berdasarkan tingkatan. Setiap tingkatan mempunyai posisi sendiri-sendiri. Begitu juga posisi meja para anggota ‘15 Naga Muda’. Cio San pun makan di situ juga. Cuma bedanya, kalau seluruh anggota ‘Naga Muda’ makan dengan riang dan bertegur sapa, Cio San makan dengan diam dan sepi. Memang, tidak ada orang yang menganggapnya ada. Apalagi mengajaknya berbicara.Hanya Beng Liong yang mau duduk di dekatnya dan berbicara padanya. Beng Liong ini adalah anggota ‘15 Naga Muda’ yang paling tua umurnya. Sekitar 18 tahun. Dia ini juga adalah anggota yang paling berbakat, paling tampan, dan paling gagah. Semua orang suka padanya. Ia punya tutur-kata yang sangat sopan dan halus. Ia juga ramah dan sama sekali tidak sombong. Walaupun ilmunya paling hebat

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 14

    Begitu pintu dibuka, nampaklah ruang ketua itu. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu sempit. Ruangan ini biasanya dipakai sebagai ruang tugas Ciangbunjin. Tempat ia menerima tamu atau memberi perintah. Intinya, ruang ini dipakai sebagai ruang resmi kepala Bu Tong-pay.“Teecu, Cio San menghadap, Ketua.” Sambil berkata begitu, Cio San mengatup tangan di depan dada.Sambil tersenyum, Lau-ciangbunjin berkata, “Sudahlah, jangan terlalu banyak aturan.”Cio San mengangguk hormat.Ternyata di dalam ruangan ini, Lau-ciangbunjin tidak sendirian. Ada 4 orang disebelahnya. Dua di kiri dan dua di kanan. Keempat orang ini adalah Penasehat Utama Ketua Bu Tong-pay. Mereka dari angkatan ke 2. Wajah mereka angker. Cio San mengenal nama-nama orang ini.Cou Leng, berdagu panjang, dengan jenggot yang semakin membuat wajahnya terlihat lebih panjang.Yo Han, bertubuh tinggi besar, matanya selalu tertutup, dan bibirnya selalu berkomat-kamit.Yo Ang, kakak dari Yo Han, tapi justru tubuhnya kecil. Tata

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 15

    Cio San telah selesai membuntal pakaian-pakaiannya. Begitu keluar dari biliknya, Tan Hoat telah berada di depan pintu menantinya. Berbeda dengan beberapa hari akhir-akhir ini, wajah Tan Hoat sudah tidak seketus belakangan ini.Tan Hoat sambil tersenyum berkata, “Sudah siap? Aku akan mengantarmu ke pondok bambu.”“Sudah, Gihu. Tapi ‘anak’ ingin berpamitan dengan beberapa orang terlebih dahulu. Bolehkah?”“Pergilah. Aku menanti di pohon Yang Liu, dekat kolam gedung utama. Jangan lama-lama, takutnya kita telat berangkat dan kemalaman.”“Terima kasih, Gihu.” Sambil berkata begitu, ia memberi hormat dan segera bergegas.Pertama-tama, ia mencari Liang-lopek. Orang tua ini memang selalu akrab dengannya. Kesukaan baru Cio San, yaitu belajar masak, memang harus tertunda dulu. Padahal ia senang sekali mempelajari kemampuan baru ini.Cio San menemukan Liang-lopek sedang beberes di dapur belakang.“Ah kau.., bagaimana? Sudah bertemu Ciangbunjin? Apa kata beliau?” tanya Liang-lopek.“Sudah, Lopek.

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 16

    Setelah dari tempat Liang-lopek, Cio San menuju ke ruang latihan utama, tempat biasanya para ‘15 Naga Muda’ berlatih. Karena saat ini memang masih jam istirahat, ruangan itu masih sepi. Namun sesuai dugaan Cio San, masih ada satu orang yang berlatih disana. Siapa lagi kalau bukan Beng Liong.Remaja tampan dan gagah ini, memang tidak pernah melewatkan waktu tanpa berlatih silat. Ia bersilat sendirian. Memainkan jurus-jurus dasar Bu Tong-pay. Namun gerakannya terlihat mantap dan lincah. Peluh mengalir di sekujur tubuhnya yang bertelanjang dada. Di umur yang baru sekitar 18an tahun, tubuh Beng Liong terlihat tegap dan gagah.Melihat keseriusan Beng Liong dalam berlatih, Cio San sungkan mengganggunya. Ia hanya berdiri di belakang Beng Liong. Melihat gerakan-gerakan silatnya. Memang sungguh hebat sekali. Pantas saja kalau Beng Liong dianggap sebagai ‘15 Naga Muda’ yang paling berbakat.Merasa ada orang di belakangnya, Beng Liong menyelesaikan gerakannya. Ia berbalik lalu tersenyum kepada C

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 17

    Bagian tertinggi Bu Tong-san ternyata sangat indah. Di sebelah kanan, sungai dan hutan. Di sebelah kiri, tebing-tebing bebatuan. Tan Hoat menjelaskan bahwa tebing-tebing itu sangat berbahaya, dan mewanti-wanti Cio San untuk berhati-hati jika berada di sekitar tebing itu.Pondok bambu itu sendiri juga berdiri tepat dibawah sebuah tebing tinggi. Jika menaiki tebing itu, yang tingginya sekitar 10 meter, maka seseorang akan berada di tempat tertinggi Bu Tong-san.Di dalam pondok, ternyata suasananya bersih sekali. Ada dipan bambu dan sebuah tikar diatasnya. Di sebelah dipan, ada meja kecil dan sebuah kursi. Ada juga sebuah tungku perapian yang berguna untuk memasak atau membuat api unggun sebagai penghangat tubuh. Ada juga lampu minyak, beserta minyaknya.Sampai saat ini, Cio San baru sadar bahwa hukumannya ini tidak main-main. Ia akan hidup sendirian di sini selama 3 bulan. Rasanya seram juga. Dalam hati, ia bergidik, namun sebisa mungkin ia menutupinya dari gihunya itu.Tan Hoat rupanya

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 18

    Setelah malam, Cio San memutuskan untuk melatih ilmu pernafasannya yang sudah tertinggal jauh dari kawan-kawan seperguruan. Memang ia sangat terlambat, namun itu semua bukan karena kekurangpahamannya, melainkan karena organ-organ dalam tubuhnya yang bekerja kurang sempurna sehingga latihan-latihan itu gagal semua.Cio San pun mengerti dan paham hal ini. Ia sampai pada kesimpulan bahwa mungkin saja cara latihan yang diajarkan di Bu Tong-pay ini ditujukan kepada mereka yang memiliki organ-organ sehat dan normal, sehingga tidak cocok bagi orang yang seperti dia.Kesimpulan Cio San ini sebenarnya sungguhlah tepat. Karena pada dasarnya, ilmu silat itu harus dicocokkan dengan kemampuan fisik seseorang. Jika seseorang yang fisiknya tinggi, maka ada ilmu silat khusus yang membuat orang itu mampu memaksimalkan kelebihan fisiknya. Begitu juga jika orang itu pendek, atau kekar, dan lain-lain. Selalu ada ilmu silat yang lebih cocok bagi keadaan orang tersebut.Hal inilah yang melahirkan berbagai

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18

Bab terbaru

  • Kisah Para Penggetar Langit   Penutup Kisah - TAMAT

    PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 253

    Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 252

    Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 251

    Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 250

    Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 249

    Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 248

    Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 247

    Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir

  • Kisah Para Penggetar Langit   246

    Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge

DMCA.com Protection Status