Mereka berempat menjura. Jari-jari mereka demikian lentik. Jika ada orang yang mengaku bisa melukis jari-jari mereka, tentu saja orang itu adalah pembohong terbesar di muka bumi. Itu baru jari-jemari. Jadi mana mungkin ada orang yang bisa melukis wajah mereka? Cio San balas menjura sambil tersenyum. Ia tidak berkata apa-apa. Pada hakekatnya, tidak ada seorang lelaki pun yang bisa berkata-kata di hadapan perempuan-perempuan secantik mereka. Karena berkata-kata, berarti membuang waktu. Bukankah lebih baik waktu dihabiskan untuk memandang mereka saja? “Cio San-tayhiap, nama kebesaran Tuan sudah kami dengar beberapa bulan belakangan ini. Sungguh suatu kehormatan bisa bertemu langsung dengan Tuan,” kata salah seorang. “Tidak berani… tidak berani… Walaupun cayhe (saya) belum tahu nama Nona-nona sekalian, tapi kecantikan Nona-nona justru lebih dulu kukagumi.” “Memangnya, Tuan pernah dengar di mana tentang kami?” tanya salah seorang. “Aku mendengar tentang kalian dari bisikan bunga-bunga
Ketika seluruh rombongan sudah kembali, Cio San tidak menceritakan apa-apa. Mereka melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya makan pagi dahulu.Di tengah jalan, Cukat Tong bertanya kepada Cio San, “Kau sungguh-sungguh akan pergi menemuinya?”“Iya. Kau tidak ikut, bukan?” kata Cio San.“Baiklah.”Jika sahabatmu mengatakan tidak ingin melakukan sesuatu, maka sebaiknya kau memang tidak bertanya kenapa. Ia pasti mempunyai alasan tersendiri yang tidak ingin diceritakannya kepadamu.“Bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu?” tanya Cio San.“Apa?”“Bisa tolong kau kawal anak buahku sampai nanti kita bertemu kembali?”“Tentu saja.”“Kota apa yang terdekat dari sini?”“Kita bisa kembali ke kota yang tadi, atau aku bisa menunggumu di kota depan, kota Bu Tiau,” jawab Cukat Tong.“Baik. Kalian tunggu aku di Bu Tiau. Cari penginapan terbaik. Aku akan menemui kalian di sana dalam beberapa hari ini,” kata Cio San.“Kauwcu hendak pergi kemana?” tanya Ang Lin Hua.“Mengunjungi wanita tercantik nomer dua
“Nama cayhe Cio San.”“Aku belum pernah mendengar namamu.”“Memang nama cayhe bukan nama pesohor,” katanya tersenyum.“Di dunia ini, orang yang bisa menghindari pedangku tidak sampai 5 orang,” kata si pedang hitam itu.“Sudah berapa lama Ciokhee (Tuan) berada di sini?”“Sudah 3 tahun.”“Nampaknya Tuan harus sering-sering keluar. Serangan Tuan memang sungguh hebat, tapi kujamin, ada orang yang jurus pedangnya bisa menandingi jurus Tuan,” kata Cio San.Mata orang itu terbelalak. Ada sinar bahagia dan senang di wajahnya.“Siapa dia?”“Namanya Suma Sun.”“Aku juga belum pernah dengar nama itu.”“Itulah sebabnya cayhe bilang, Tuan harus sering keluar,” kata Cio San.“Jika aku keluar dari sini, tentulah aku akan langsung mati,” jawab orang itu.“Sehebat itukah ‘dia’?” tanya Cio San.“Jauh lebih hebat dari yang bisa kau bayangkan,” jawab orang itu. Ia melanjutkan, “Kau silahkan lewat. Aku mengaku kalah.”Di dunia ini yang mampu menghindari sabetan pedangnya dengan cara demikian, mungkin hany
Entah bagaimana, tubuh Cio San sudah melolos melayang ke atas dan lepas dari cengkeraman besi itu. Seperti jika sebuah benda licin yang berada di telapak tanganmu. Saat kau mencoba menggengam erat, benda licin itu pasti meluncur keluar lepas dari genggaman tanganmu. Seperti itulah kejadian Cio San melepaskan diri dari rantai-rantai itu.Si penyerang terbelalak melihat kenyataan ini. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat gerakan demikian.“Kau... Kau bisa ilmu melemaskan tulang?” tanyanya.“Cayhe baru saja tahu. Apakah ilmu itu namanya ‘Melemaskan Tulang’? Lucu sekali,” katanya sambil tersenyum-senyum.Ia baru saja lolos dari kematian. Tapi wajah dan senyumnya seperti menunjukkan jika dia baru saja bersenang-senang.Ilmu Melemaskan Tulang adalah ilmu kuno yang dianggap sudah punah. Orang yang menguasai ilmu ini mampu membuat tulang-tulangnya lemas seperti kapas. Jika menggunakan ilmu ini, orang bisa lolos dari lubang yang amat sempit, karena tulang-tulangnya dapat ia atur sedemikia
Jalan setapak ini berakhir pada sebuah gerbang. Gerbang yang tidak terlalu besar. Tidak ada tulisan apa-apa pada gerbangnya. Warna kuning cerah di gerbang itu, seperti membuatnya menyatu dengan kecantikan alamnya yang mempesona.Cio San terkesima. Tempat ini begitu indah namun begitu sunyi. Tiada suara seorang pun. Ia memasuki gerbang dengan enteng, walaupun dalam hatinya ia tahu, akan ada ribuan bahaya yang harus diterjangnya.Tak jauh dari gerbang, tepat di tengah-tengah jalan, terdapat seseorang duduk bersila. Kepalanya gundul. Bajunya berkain kasar dan berwarna kuning cerah. Sekali lihat, siapapun tahu, orang yang duduk itu adalah seorang Hwesio (Bhiksu).Matanya terpejam. Tubuhnya penuh peluh keringat. Tampaknya sudah sejak tadi ia duduk di tengah jalan. Cio San berjalan mendekatinya dan menyapanya.“Salam hormat,” ia menjura.Sang Hwesio membuka mata. Tatapannya teduh. Tapi sinar matanya mencorong. Di dunia ini, mungkin hanya dia seorang yang matanya teduh namun sekaligus mencor
“Harap Cianpwe jangan salah paham. Cayhe sungguh benar-benar memuji. Ilmu Siau Lim-pay sangat sederhana, namun intisari silat sudah terangkum dan tercakup dengan lengkap.”Melihat ketulusan di mata Cio San, mau tidak mau, kemarahannya surut juga.“Cianpwe jatuh oleh jurus sendiri, itu jelas bukan hal memalukan,” lanjut Cio San menambahkan.Mendengar ini, si Hwesio malah bersemangat lagi. “Jika kau mengalahkanku dengan menggunakan jurusmu sendiri, aku baru mengaku kalah.”“Baiklah. Awas serangan!”Kali ini Cio San yang bergerak duluan. Tangan kirinya sudah mengeluarkan suara derik. Tangan kanannya sudah menyerang ke depan dengan membentuk moncong ular.Melihat serangan ini, si Hwesio kaget, namun ia tidak menjadi panik. Ia menghindar dengan bergerak ke samping. Tapi entah bagaimana, tangan kanan Cio San juga sudah ada di sana. Ia mencoba menangkis tangan Cio San, tapi tangan Cio San malah membelit lengannya seperti ular. Tangan Cio San sangat lemas bagai tak bertulang, membelit lengan
Ia terus berjalan. Di ujung taman yang luas dan indah ini, Cio San dapat mendengar bunyi sungai di depan sana. Suara desahan dan erangan yang tadi menusuk-nusuk telinganya, kini perlahan hilang berganti suara gemericik air sungai.Ada suara langkah dari arah sungai. Entah siapa lagi yang akan ia temui.Perlahan lahan ia melangkah, terlihat sebuah bayangan di depannya.Seorang wanita sedang mencuci pakaian di sungai. Wanita itu menoleh dan terkejut melihat kedatangan Cio San.“Ah…, Tuan pasti hendak menemui Pangcu, bukan?” katanya.Cio San hanya mengangguk. Kenapa tempat ini tidak pernah kehabisan wanita cantik?Wanita di depannya ini memakai baju yang sederhana, hanya kain kasar yang modelnya ketinggalan jaman pula. Rambutnya digelung biasa. Tiada satu pun perhiasan yang melekat di tubuhnya. Tapi jika dibandingkan dengan ratusan perempuan maha cantik yang tadi ia temui, seperti membandingkan matahari dengan kunang-kunang.“Jika Tuan ingin menemui beliau, biar saya antarkan,” katanya l
Si nona bagai tercekat. Ia terdiam lama, lalu lantang berkata,“Benar. Aku memang tak merasakan apapun. Bahkan, jika seluruh dunia tunduk dibawah kakiku, dan semua laki-laki berlutut memujaku, aku tak akan merasa apa-apa. Kau sudah puas?”“Aku justru kasihan.”Memang, jika kau melihat seseorang memiliki segalanya, tapi ia masih saja tidak bahagia, bukankah kau akan mengasihaninya?Tatapan mata nona ini kemudian berubah menjadi begitu menakutkan.“Kuakui kehebatan dan kecerdasanmu, tapi apa kau pikir itu semua cukup untuk menundukkan aku?” katanya.“Pada hakekatnya, tiada seorang pun yang sanggup menaklukkanmu.”“Nah, kalau kau sudah tahu begitu, mengapa tidak lekas kesini dan pegang tanganku? Belai rambutku dan cium bibirku?”Jika ia berkata begitu kepada seluruh lelaki di dunia ini, kau akan tetap merasa hanya kepadamu lahperkataan itu tertuju.Cio San hanya seorang pemuda. Pemuda sehat jasmani dan rohani pula. Maka ia melangkah ke depan, menuju singgasana nona itu. Singgasananya, en