Share

Bab 138

Penulis: Norman Tjio
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-05 14:15:23

Perjalanan yang dilakukan dengan santai dan tawa canda, jika dilakukan selama bertahun-tahun, tetap saja menyenangkan. Sudah 15 hari mereka lalui. Mengunjungi berbagai tempat yang indah. Di sebuah kota, Cio San membeli sebuah khim kecil. Tentu saja perjalanan kemudian menjadi ramai oleh nyanyian.

Kadang-kadang, jika sedang berhenti di danau atau telaga yang indah, mereka menikmati pemandangan di sana sambil menikmati lagu-lagu Cio San. Suaranya merdu dan permainan khimnya mendayu-dayu. Tapi tak satupun yang tahu jika lagu-lagu itu adalah ciptaan Cio San sendiri.

Hari ke 20. Mereka berhenti di sebuah telaga indah di pinggiran kota Yang Lin. Saat itu telah memasuki musim gugur. Bunga Bwee yang berguguran di sepanjang danau, membuat daerah sekitar situ terlihat seperti lautan bunga. Cahaya mentari pagi membuat warna pantulan bunga-bunga itu meliputi seluruh danau. Air terlihat berwarna merah muda.

Melihat air sesegar itu, Cio San jadi ingin berenang. Cukat Tong yang memang jarang mandi m
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 139

    Mereka berempat menjura. Jari-jari mereka demikian lentik. Jika ada orang yang mengaku bisa melukis jari-jari mereka, tentu saja orang itu adalah pembohong terbesar di muka bumi. Itu baru jari-jemari. Jadi mana mungkin ada orang yang bisa melukis wajah mereka? Cio San balas menjura sambil tersenyum. Ia tidak berkata apa-apa. Pada hakekatnya, tidak ada seorang lelaki pun yang bisa berkata-kata di hadapan perempuan-perempuan secantik mereka. Karena berkata-kata, berarti membuang waktu. Bukankah lebih baik waktu dihabiskan untuk memandang mereka saja? “Cio San-tayhiap, nama kebesaran Tuan sudah kami dengar beberapa bulan belakangan ini. Sungguh suatu kehormatan bisa bertemu langsung dengan Tuan,” kata salah seorang. “Tidak berani… tidak berani… Walaupun cayhe (saya) belum tahu nama Nona-nona sekalian, tapi kecantikan Nona-nona justru lebih dulu kukagumi.” “Memangnya, Tuan pernah dengar di mana tentang kami?” tanya salah seorang. “Aku mendengar tentang kalian dari bisikan bunga-bunga

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-05
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 140

    Ketika seluruh rombongan sudah kembali, Cio San tidak menceritakan apa-apa. Mereka melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya makan pagi dahulu.Di tengah jalan, Cukat Tong bertanya kepada Cio San, “Kau sungguh-sungguh akan pergi menemuinya?”“Iya. Kau tidak ikut, bukan?” kata Cio San.“Baiklah.”Jika sahabatmu mengatakan tidak ingin melakukan sesuatu, maka sebaiknya kau memang tidak bertanya kenapa. Ia pasti mempunyai alasan tersendiri yang tidak ingin diceritakannya kepadamu.“Bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu?” tanya Cio San.“Apa?”“Bisa tolong kau kawal anak buahku sampai nanti kita bertemu kembali?”“Tentu saja.”“Kota apa yang terdekat dari sini?”“Kita bisa kembali ke kota yang tadi, atau aku bisa menunggumu di kota depan, kota Bu Tiau,” jawab Cukat Tong.“Baik. Kalian tunggu aku di Bu Tiau. Cari penginapan terbaik. Aku akan menemui kalian di sana dalam beberapa hari ini,” kata Cio San.“Kauwcu hendak pergi kemana?” tanya Ang Lin Hua.“Mengunjungi wanita tercantik nomer dua

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-07
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 141

    “Nama cayhe Cio San.”“Aku belum pernah mendengar namamu.”“Memang nama cayhe bukan nama pesohor,” katanya tersenyum.“Di dunia ini, orang yang bisa menghindari pedangku tidak sampai 5 orang,” kata si pedang hitam itu.“Sudah berapa lama Ciokhee (Tuan) berada di sini?”“Sudah 3 tahun.”“Nampaknya Tuan harus sering-sering keluar. Serangan Tuan memang sungguh hebat, tapi kujamin, ada orang yang jurus pedangnya bisa menandingi jurus Tuan,” kata Cio San.Mata orang itu terbelalak. Ada sinar bahagia dan senang di wajahnya.“Siapa dia?”“Namanya Suma Sun.”“Aku juga belum pernah dengar nama itu.”“Itulah sebabnya cayhe bilang, Tuan harus sering keluar,” kata Cio San.“Jika aku keluar dari sini, tentulah aku akan langsung mati,” jawab orang itu.“Sehebat itukah ‘dia’?” tanya Cio San.“Jauh lebih hebat dari yang bisa kau bayangkan,” jawab orang itu. Ia melanjutkan, “Kau silahkan lewat. Aku mengaku kalah.”Di dunia ini yang mampu menghindari sabetan pedangnya dengan cara demikian, mungkin hany

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-07
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 142

    Entah bagaimana, tubuh Cio San sudah melolos melayang ke atas dan lepas dari cengkeraman besi itu. Seperti jika sebuah benda licin yang berada di telapak tanganmu. Saat kau mencoba menggengam erat, benda licin itu pasti meluncur keluar lepas dari genggaman tanganmu. Seperti itulah kejadian Cio San melepaskan diri dari rantai-rantai itu.Si penyerang terbelalak melihat kenyataan ini. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat gerakan demikian.“Kau... Kau bisa ilmu melemaskan tulang?” tanyanya.“Cayhe baru saja tahu. Apakah ilmu itu namanya ‘Melemaskan Tulang’? Lucu sekali,” katanya sambil tersenyum-senyum.Ia baru saja lolos dari kematian. Tapi wajah dan senyumnya seperti menunjukkan jika dia baru saja bersenang-senang.Ilmu Melemaskan Tulang adalah ilmu kuno yang dianggap sudah punah. Orang yang menguasai ilmu ini mampu membuat tulang-tulangnya lemas seperti kapas. Jika menggunakan ilmu ini, orang bisa lolos dari lubang yang amat sempit, karena tulang-tulangnya dapat ia atur sedemikia

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-07
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 143

    Jalan setapak ini berakhir pada sebuah gerbang. Gerbang yang tidak terlalu besar. Tidak ada tulisan apa-apa pada gerbangnya. Warna kuning cerah di gerbang itu, seperti membuatnya menyatu dengan kecantikan alamnya yang mempesona.Cio San terkesima. Tempat ini begitu indah namun begitu sunyi. Tiada suara seorang pun. Ia memasuki gerbang dengan enteng, walaupun dalam hatinya ia tahu, akan ada ribuan bahaya yang harus diterjangnya.Tak jauh dari gerbang, tepat di tengah-tengah jalan, terdapat seseorang duduk bersila. Kepalanya gundul. Bajunya berkain kasar dan berwarna kuning cerah. Sekali lihat, siapapun tahu, orang yang duduk itu adalah seorang Hwesio (Bhiksu).Matanya terpejam. Tubuhnya penuh peluh keringat. Tampaknya sudah sejak tadi ia duduk di tengah jalan. Cio San berjalan mendekatinya dan menyapanya.“Salam hormat,” ia menjura.Sang Hwesio membuka mata. Tatapannya teduh. Tapi sinar matanya mencorong. Di dunia ini, mungkin hanya dia seorang yang matanya teduh namun sekaligus mencor

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-07
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 144

    “Harap Cianpwe jangan salah paham. Cayhe sungguh benar-benar memuji. Ilmu Siau Lim-pay sangat sederhana, namun intisari silat sudah terangkum dan tercakup dengan lengkap.”Melihat ketulusan di mata Cio San, mau tidak mau, kemarahannya surut juga.“Cianpwe jatuh oleh jurus sendiri, itu jelas bukan hal memalukan,” lanjut Cio San menambahkan.Mendengar ini, si Hwesio malah bersemangat lagi. “Jika kau mengalahkanku dengan menggunakan jurusmu sendiri, aku baru mengaku kalah.”“Baiklah. Awas serangan!”Kali ini Cio San yang bergerak duluan. Tangan kirinya sudah mengeluarkan suara derik. Tangan kanannya sudah menyerang ke depan dengan membentuk moncong ular.Melihat serangan ini, si Hwesio kaget, namun ia tidak menjadi panik. Ia menghindar dengan bergerak ke samping. Tapi entah bagaimana, tangan kanan Cio San juga sudah ada di sana. Ia mencoba menangkis tangan Cio San, tapi tangan Cio San malah membelit lengannya seperti ular. Tangan Cio San sangat lemas bagai tak bertulang, membelit lengan

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-07
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 145

    Ia terus berjalan. Di ujung taman yang luas dan indah ini, Cio San dapat mendengar bunyi sungai di depan sana. Suara desahan dan erangan yang tadi menusuk-nusuk telinganya, kini perlahan hilang berganti suara gemericik air sungai.Ada suara langkah dari arah sungai. Entah siapa lagi yang akan ia temui.Perlahan lahan ia melangkah, terlihat sebuah bayangan di depannya.Seorang wanita sedang mencuci pakaian di sungai. Wanita itu menoleh dan terkejut melihat kedatangan Cio San.“Ah…, Tuan pasti hendak menemui Pangcu, bukan?” katanya.Cio San hanya mengangguk. Kenapa tempat ini tidak pernah kehabisan wanita cantik?Wanita di depannya ini memakai baju yang sederhana, hanya kain kasar yang modelnya ketinggalan jaman pula. Rambutnya digelung biasa. Tiada satu pun perhiasan yang melekat di tubuhnya. Tapi jika dibandingkan dengan ratusan perempuan maha cantik yang tadi ia temui, seperti membandingkan matahari dengan kunang-kunang.“Jika Tuan ingin menemui beliau, biar saya antarkan,” katanya l

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-07
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 146

    Si nona bagai tercekat. Ia terdiam lama, lalu lantang berkata,“Benar. Aku memang tak merasakan apapun. Bahkan, jika seluruh dunia tunduk dibawah kakiku, dan semua laki-laki berlutut memujaku, aku tak akan merasa apa-apa. Kau sudah puas?”“Aku justru kasihan.”Memang, jika kau melihat seseorang memiliki segalanya, tapi ia masih saja tidak bahagia, bukankah kau akan mengasihaninya?Tatapan mata nona ini kemudian berubah menjadi begitu menakutkan.“Kuakui kehebatan dan kecerdasanmu, tapi apa kau pikir itu semua cukup untuk menundukkan aku?” katanya.“Pada hakekatnya, tiada seorang pun yang sanggup menaklukkanmu.”“Nah, kalau kau sudah tahu begitu, mengapa tidak lekas kesini dan pegang tanganku? Belai rambutku dan cium bibirku?”Jika ia berkata begitu kepada seluruh lelaki di dunia ini, kau akan tetap merasa hanya kepadamu lahperkataan itu tertuju.Cio San hanya seorang pemuda. Pemuda sehat jasmani dan rohani pula. Maka ia melangkah ke depan, menuju singgasana nona itu. Singgasananya, en

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-07

Bab terbaru

  • Kisah Para Penggetar Langit   Penutup Kisah - TAMAT

    PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 253

    Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 252

    Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 251

    Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 250

    Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 249

    Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 248

    Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 247

    Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir

  • Kisah Para Penggetar Langit   246

    Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge

DMCA.com Protection Status