Beri review di halaman muka buku untuk mendukung author. Terima kasih...
Pada hari ke-8, mereka beristirahat di sebuah hutan. Mereka membuat perapian dan menikmati makan malam. Rusa panggang dan nasi hangat. Tentunya dengan beberapa cangkir arak untuk menghangatkan badan. Setelah makan, mereka semua tidur. Kecuali Yan Tian Bu. Malam itu, ia memang mendapat giliran berjaga. Perapian dan arak memberi mereka semua kehangatan. Padahal mereka tidur di alam terbuka.Memasuki tengah malam, Cio San tiba-tiba terbangun. Cukat Tong juga ikut terbangun beberapa saat kemudian.“Kau dengar itu?” tanyanya kepada Cio San.Yang ditanya hanya mengangguk-angguk. Yan Tian Bu tetap berada di tempatnya. Ia heran, suara apa yang sedang didengarkan kedua orang itu. Tak berapa lama, muncul bayangan hitam. Seseorang telah muncul di situ. Ia berjalan dengan santai. Wajahnya tertutup topeng.“Salam kepada Mo Kauw-kauwcu dan Raja Maling,” kata orang itu sambil bersoja.“Salam,” jawab Cio San. “Tuan siapakah?”“Jika kau ingin tahu, silahkan ikut aku,” jawab si orang bertopeng.“Kau tu
Cio San menggeleng. “Tentu saja itu bukan dia.”“Mereka menggiringmu pergi agar dapat meringkus kami. Tapi dia salah perhitungan. Ang-Siocia (Nona Ang) menghabisi mereka semua. Dalam beberapa hari ini, ilmu silatnya meningkat pesat. Sungguh hebat.”Cukat Tong memujinya secara terang-terangan.Ang Lin Hua hanya bisa berkata, “Tidak berani..tidak berani..,” sambil menjura. “Semua berkat Kauwcu yang mulia.”“Baiklah. Mari kita kuburkan mayat-mayat ini secara layak,” kata Cio San.Mereka semua bekerja dan menguburkan belasan mayat saat itu juga. Setelah selesai, mereka kembali beristirahat.Kali ini giliran Cukat Tong yang berjaga-jaga.Lama ia diam saja. Akhirnya, karena tidak kuat menahan rasa penasaran, ia mengajak Cio San bicara. Padahal Cio San terlihat sudah tertidur.“Kau tidak ingin menjelaskan kepadaku apa yang tadi terjadi?”Dengan agak malas-malasan Cio San menjawab,“Mengapa kau anggap remeh akalmu sendiri? Kau adalah Raja Maling.”“Raja Maling jika berada di sebelahmu, hanya
Perjalanan yang dilakukan dengan santai dan tawa canda, jika dilakukan selama bertahun-tahun, tetap saja menyenangkan. Sudah 15 hari mereka lalui. Mengunjungi berbagai tempat yang indah. Di sebuah kota, Cio San membeli sebuah khim kecil. Tentu saja perjalanan kemudian menjadi ramai oleh nyanyian.Kadang-kadang, jika sedang berhenti di danau atau telaga yang indah, mereka menikmati pemandangan di sana sambil menikmati lagu-lagu Cio San. Suaranya merdu dan permainan khimnya mendayu-dayu. Tapi tak satupun yang tahu jika lagu-lagu itu adalah ciptaan Cio San sendiri.Hari ke 20. Mereka berhenti di sebuah telaga indah di pinggiran kota Yang Lin. Saat itu telah memasuki musim gugur. Bunga Bwee yang berguguran di sepanjang danau, membuat daerah sekitar situ terlihat seperti lautan bunga. Cahaya mentari pagi membuat warna pantulan bunga-bunga itu meliputi seluruh danau. Air terlihat berwarna merah muda.Melihat air sesegar itu, Cio San jadi ingin berenang. Cukat Tong yang memang jarang mandi m
Mereka berempat menjura. Jari-jari mereka demikian lentik. Jika ada orang yang mengaku bisa melukis jari-jari mereka, tentu saja orang itu adalah pembohong terbesar di muka bumi. Itu baru jari-jemari. Jadi mana mungkin ada orang yang bisa melukis wajah mereka? Cio San balas menjura sambil tersenyum. Ia tidak berkata apa-apa. Pada hakekatnya, tidak ada seorang lelaki pun yang bisa berkata-kata di hadapan perempuan-perempuan secantik mereka. Karena berkata-kata, berarti membuang waktu. Bukankah lebih baik waktu dihabiskan untuk memandang mereka saja? “Cio San-tayhiap, nama kebesaran Tuan sudah kami dengar beberapa bulan belakangan ini. Sungguh suatu kehormatan bisa bertemu langsung dengan Tuan,” kata salah seorang. “Tidak berani… tidak berani… Walaupun cayhe (saya) belum tahu nama Nona-nona sekalian, tapi kecantikan Nona-nona justru lebih dulu kukagumi.” “Memangnya, Tuan pernah dengar di mana tentang kami?” tanya salah seorang. “Aku mendengar tentang kalian dari bisikan bunga-bunga
Ketika seluruh rombongan sudah kembali, Cio San tidak menceritakan apa-apa. Mereka melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya makan pagi dahulu.Di tengah jalan, Cukat Tong bertanya kepada Cio San, “Kau sungguh-sungguh akan pergi menemuinya?”“Iya. Kau tidak ikut, bukan?” kata Cio San.“Baiklah.”Jika sahabatmu mengatakan tidak ingin melakukan sesuatu, maka sebaiknya kau memang tidak bertanya kenapa. Ia pasti mempunyai alasan tersendiri yang tidak ingin diceritakannya kepadamu.“Bolehkah aku meminta sesuatu kepadamu?” tanya Cio San.“Apa?”“Bisa tolong kau kawal anak buahku sampai nanti kita bertemu kembali?”“Tentu saja.”“Kota apa yang terdekat dari sini?”“Kita bisa kembali ke kota yang tadi, atau aku bisa menunggumu di kota depan, kota Bu Tiau,” jawab Cukat Tong.“Baik. Kalian tunggu aku di Bu Tiau. Cari penginapan terbaik. Aku akan menemui kalian di sana dalam beberapa hari ini,” kata Cio San.“Kauwcu hendak pergi kemana?” tanya Ang Lin Hua.“Mengunjungi wanita tercantik nomer dua
“Nama cayhe Cio San.”“Aku belum pernah mendengar namamu.”“Memang nama cayhe bukan nama pesohor,” katanya tersenyum.“Di dunia ini, orang yang bisa menghindari pedangku tidak sampai 5 orang,” kata si pedang hitam itu.“Sudah berapa lama Ciokhee (Tuan) berada di sini?”“Sudah 3 tahun.”“Nampaknya Tuan harus sering-sering keluar. Serangan Tuan memang sungguh hebat, tapi kujamin, ada orang yang jurus pedangnya bisa menandingi jurus Tuan,” kata Cio San.Mata orang itu terbelalak. Ada sinar bahagia dan senang di wajahnya.“Siapa dia?”“Namanya Suma Sun.”“Aku juga belum pernah dengar nama itu.”“Itulah sebabnya cayhe bilang, Tuan harus sering keluar,” kata Cio San.“Jika aku keluar dari sini, tentulah aku akan langsung mati,” jawab orang itu.“Sehebat itukah ‘dia’?” tanya Cio San.“Jauh lebih hebat dari yang bisa kau bayangkan,” jawab orang itu. Ia melanjutkan, “Kau silahkan lewat. Aku mengaku kalah.”Di dunia ini yang mampu menghindari sabetan pedangnya dengan cara demikian, mungkin hany
Entah bagaimana, tubuh Cio San sudah melolos melayang ke atas dan lepas dari cengkeraman besi itu. Seperti jika sebuah benda licin yang berada di telapak tanganmu. Saat kau mencoba menggengam erat, benda licin itu pasti meluncur keluar lepas dari genggaman tanganmu. Seperti itulah kejadian Cio San melepaskan diri dari rantai-rantai itu.Si penyerang terbelalak melihat kenyataan ini. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat gerakan demikian.“Kau... Kau bisa ilmu melemaskan tulang?” tanyanya.“Cayhe baru saja tahu. Apakah ilmu itu namanya ‘Melemaskan Tulang’? Lucu sekali,” katanya sambil tersenyum-senyum.Ia baru saja lolos dari kematian. Tapi wajah dan senyumnya seperti menunjukkan jika dia baru saja bersenang-senang.Ilmu Melemaskan Tulang adalah ilmu kuno yang dianggap sudah punah. Orang yang menguasai ilmu ini mampu membuat tulang-tulangnya lemas seperti kapas. Jika menggunakan ilmu ini, orang bisa lolos dari lubang yang amat sempit, karena tulang-tulangnya dapat ia atur sedemikia
Jalan setapak ini berakhir pada sebuah gerbang. Gerbang yang tidak terlalu besar. Tidak ada tulisan apa-apa pada gerbangnya. Warna kuning cerah di gerbang itu, seperti membuatnya menyatu dengan kecantikan alamnya yang mempesona.Cio San terkesima. Tempat ini begitu indah namun begitu sunyi. Tiada suara seorang pun. Ia memasuki gerbang dengan enteng, walaupun dalam hatinya ia tahu, akan ada ribuan bahaya yang harus diterjangnya.Tak jauh dari gerbang, tepat di tengah-tengah jalan, terdapat seseorang duduk bersila. Kepalanya gundul. Bajunya berkain kasar dan berwarna kuning cerah. Sekali lihat, siapapun tahu, orang yang duduk itu adalah seorang Hwesio (Bhiksu).Matanya terpejam. Tubuhnya penuh peluh keringat. Tampaknya sudah sejak tadi ia duduk di tengah jalan. Cio San berjalan mendekatinya dan menyapanya.“Salam hormat,” ia menjura.Sang Hwesio membuka mata. Tatapannya teduh. Tapi sinar matanya mencorong. Di dunia ini, mungkin hanya dia seorang yang matanya teduh namun sekaligus mencor