Share

Anak Siapa?

Author: Ida Ahmad
last update Last Updated: 2024-05-29 15:50:55

“Salma! Bangun, Salma ….” Sayup-sayup terdengar suara memaggil namaku. Ya, itu suara Wulan sahabatku.

Kini mulai terasa nyata suara Wulan yang masih memanggil. Terasa juga ada tangan yang menepuk lembut kedua pipi. Mas Hadi, kamu kah itu, Mas? Apakah kamu begitu mengkhawatirkanku, hingga tidak ingin kehilangan aku?

Kedua mata mulai terbuka perlahan. Ingin melihat senyum pria tersayang. Namun, kenyataan yang kuterima tidak semanis bayangan beberaapa detik lalu. Bukan Mas Hadi yang kudapati di hadapanku, melainkan Wulan, gadis berparas ayu dan hitam manis dengan senyumnya menyambut kesadaranku.

“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Sal. Aku takut kamu kenapa-napa tadi.” Wulan benar sahabat yang baik, tidak seperti Bude Darmi ibunya.

Aku berusaha tersenyum pada Wulan, meyakinkan dia bahwa aku tidak apa-apa. “Aku mau duduk dulu, Lan,” ucapku seraya bangkit dengan satu tangan yang masih setia memegangi kepala. Kuedarkan pandangan menyusuri tempat dimana aku duduk sekarang. Oh, ternyata aku sudah dipindahkan ke kamar, mungkin Mas Hadi yang mengangkat tubuhku ke sini. Aku tersenyum sendiri membayangkan jika benar Mas Hadi yang menggendongku. Namun, senyumku langsung pudar mengingat apa yang tengah terjadi, tatapan Mas Hadi yang tidak berpihak padaku, mana mungkin dia yang memindahkan aku ke sini. Aku kembali muram.

“Harusnya kamu istirahat dulu, Sal. Sebentar lagi Bidan Nasmah datang.” Suara Wulan membuyarkan lamunan.

Aku tak begitu menanggapi ucapan Wulan karena hati dan pikiran masih fokus pada Mas Hadi yang terasa semakin menjauh. “Lan … aku bingung, gimana nasib pernikahanku setelah ini? Mas Hadi sepertinya sudah tidak percaya padaku,” ratapku pada sahabat sekaligus teman curhat selama ini.

“Sabar, Sal. Mungkin Kang Hadi butuh waktu berpikir. Hatinya pasti turut terluka dengan kejadian yang tidak disangka.”

“Tapi aku hanya difitnah, Lan. Aku bahkan tidak pernah bertemu dengan pemuda bernama Ryan itu sebelumnya,” sanggahku membela diri. Dadaku terasa sesak menyebut nama itu.

“Iya, Sal. Aku percaya kamu tidak akan berbuat sejauh itu. Kamu wanita baik, Salma.” Wulan mencoba menenangkan jiwa yang tengah gundah gulana. Ya Allah, terima kasih telah mempertemukan aku dengan sahabat sebaik Wulan. Dia lah satu-satunya orang yang percaya dan mau menguatkan aku di saat semua orang memandang rendah padaku.

“Terima kasih ya, Lan. Kamu mau percaya padaku. Sungguh, hidupku terasa hampa … apalagi sejak tadi Mas Hadi tak memilih diam dan tidak sekali pun mengajakku bicara.” Aku mulai terisak mengingat perlakuan suami yang selalu kujadikan alasan kebahagiaanku itu.

Hari-hari kemarin begitu indah suasana rumah kami. Canda tawa menghiasi setiap ruang di rumah ini. Namun, sekarang … ya Allah, hamba berpasrah atas apa yang telah Kau tetapkan.

“Assalamualaikum, Mbak Salma. Saya masuk ya?” Suara lembut Bidan Nasmah terdengar mengiringi ketukan pintu beberapa kali.

“Wa’alaikumsalam, iya, Bu. Silakan masuk,” jawabku dan Wulan bersamaan.

Wulan bangkit membukakan pintu yang juga didorong dari luar oleh Bidan Nasmah.

“Alhamdulillah Mbak Salma sudah siuman. Sekarang apa yang dirasakan Mbak?” Bidan cantik dengan cekatan memeriksa keadaanku. Dia menempelkan stetoskop di dada untuk mendeteksi detak jantungku.

“Tadi terasa sangat pusing, Bu. Tapi ini sudah mendingan, sudah berkurang pusingnya,” jawabku seraya tersenyum.

“Permisi, saya cek perutnya ya?” ucap Bu Bidan lagi dan hanya kubalas dengan anggukan.

Beberapa menit berlalu, setelah beberapa kali Bidan mer*b* dan menekan pelan bagian tertentu di perut, dia kembali tersenyum. Senyum yang justru membuat aku bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi padaku?

“Mbak Salma berapa lama sudah tidak datang bulan?”

“Seingat saya terakhir datang bulan itu tanggal 5 bulan lalu.” Aku menjawab sambil mengingat jadwal datang bulan yang kadang maju dan kadang mundur.

“Sekarang sudah tanggal 20 loh, Mbak. Masa nggak ngerasa kalau lagi hamil?” ucap Bidan Nasmah lembut, tetapi mampu membuat aku dan Wulan membekap mulut bersamaan.

“Apa, Bu? Saya hamil? Jadi saya hamil, Bu?”

“Iya, Mbak. Alhamdulillah … selamat, ya.” Bidan Nasmah menepuk bahuku, memberi ucapan selamat.

“Tapi, keadaan saya sedang tidak baik-baik saja, Bu.” Suaraku parau menahan isak yang tertahan.

“Mbak Salma, bukankan setiap apa yang kita terima ujian. Cara Allah menguji hambanya. Sekarang tinggal kita yang menerimanya. Apakah kita bisa bersyukur, ataukah kita justru akan kufur.” Bidan bermata lentik itu kembali tersenyum padaku. “Mbak Salma, yang sabar … Mbak sedang diuji. Biar bagaimanapun kata orang, tetapi saya percaya Mbak Salma adalah wanita yang baik. Yang kuat, Mbak. Apalagi sekarang ada kehidupan baru di rahim Mbak Salma. Jadi, dijaga baik-baik, ya.” ucapan Bidan Nasmah benar-benar membuat hatiku menghangat. Bulir bening kembali luruh karena haru yang kurasa.

“Saya ucapkan terima kasih banyak, Bu.” Selain ucapan terima kasih, aku tidak tau akan berkata apa lagi.

“Iya, sama-sama, Mbak. Ini saya kasih vitamin, jangan lupa diminum, ya. Saya permisi dulu.” Setelah berpamitan, istri Komandan Jefri itu keluar, dan sudah dipastikan orang-orang di luar pasti akan bertanya padanya tentangku.

“Emang si Salma sakit apa, Bu Bidan?” Benar saja, suara Bude Ratih langsung terdengar begitu sang Bidan tidak terlihat lagi di kamar.

“Mbak Salma tidak sedang sakit apa-apa, Bu. Justru, kini dia tengah mengandung,” ucap Bidan lembut, tetapi masih bisa kudengar. “Mas Hadi, istrinya dijaga ya … maaf, saya permisi dulu, assalamualaikum.”

Setelah itu aku tidak mendengar suara Bidan cantik yang menenangkan hati. Hanya tersisa suara warga dan Pak RT yang kian riuh bersahutan, membuat nyeri di kepala kembali datang.

“Salma, aku tinggal sebentar, ya. Para warga harus dibubarkan.” Tidak menunggu jawaban dariku, Wulan keluar mendatangi masa yang kian gaduh. Sedang pikiranku kembali melayanh memikirkan ayah dari janin yang aku kandung. Entah apa yang tengah dilakukan Mas Hadi, kenapa sama sekali tidak terdengar suaranya.

Menit berikutnya, suasana kembali hening. Namun, Wulan tidak kunjung datang kembali. Rasa penasaran memaksaku berdiri dan turut keluar kamar. Aku sangat ingin tau apa sebenarnya yang terjadi.

Tertatih aku berjalan mendekati tiga orang yang kini masih setia duduk di bangku ruang tamu. Wulan, Mas Hadi dan pemuda bernama Ryan. Aku berniat menjelaskan semuanya pada pria yang belum sempat mengganti baju koko dan sarung yang dia kenakan.

“Salma, aku sungguh tidak menyangka … anak itu … bukan anakku!” Suara Mas Hadi terdengar tertahan. Namun, mampu kembali membuat duniaku runtuh untuk yang ke-tiga kalinya.

“M-mas … demi Allah ini anakmu!” Tidak, aku tidak terima jika Mas Hadi tidak mau mengakui anaknya sendiri. Bagaiman bisa lebih percaya mereka daripada aku istrinya.

“Salma, jangan berbohong pada Hadi. Katakanlah kalau itu adalah anakku,” ucap Ryan seenaknya sendiri.

“Kamu! Jangan ganggu rumah tanggaku! Pergi, sana pergi…!” Aku berteriak pada pemuda yang masih setia dengan senyum miringnya.

“Bukan hanya Ryan, kamu juga harus keluar dari rumah ini, Salma! Aku tidak mau menampung wanita pezina sepertimu!” kini Mas Hadi yang berteriak padaku. Ya Allah … kenapa jadi begini?

Bersambung.

Note:

* “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya)." Q.S. An-naml ayat : 40

Related chapters

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Sahabat Baik

    Aku tak menyangka Mas Hadi tega mengusirku dari rumah ini, rumah yang selama ini terasa seperti surga bagiku. Bagaimana tidak, kamu adalah sepasang suami istri yang selalu bahagia, jarang sekali perselisihan terjadi di rumah ini. Hanya ada damai, kasih sayang dan pengertian dari suami istri. Ketika kehangatan rumah ini terasa di hati, waktu itu aku berpikir, seperti inikah yang disabdakan Rasulullah, “Baiti jannati”? Namun, surga kami sepertinya tidak mampu bertahan lama. Ada duri tajam yang melukai kebahagiaan kami. Ibarat cermin, maka kini cerminku sudah retak, bahkan mungkin akan hancur berkeping-keping. Aku tau ini adalah ujian, akan tetapi aku merasa terlalu lemah menghadapinya. Ya Rabb … kuatkan hati dan iman hamba dalam menghadapi ujian-Mu.“Kenapa kamu masih berdiri di situ? Kemasi barang-barang secepatnya, dan jangan pernah kembali lagi.” Tanpa memandangku Mas Hadi berkata seolah aku adalah seorang pendosa yang haru

    Last Updated : 2024-05-29
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Ucapan Pahit

    “Salma?! Apa-apaan, ini? Kenapa kamu berada di rumahku?! … Pergi kamu, aku tidak mau rumahku diinjak pelac*r sepertimu!” Bagai petir menyambar, suara Bude Ratih seolah mengeluarkan dengung di telinga. Meski sebelumnya aku sudah dapat menebak, tetapi nyatanya hatiku belum siap kembali mendengar cemooh dan umpatannya.Wulan berusaha masuk dengan melewati wanita berdaster itu. Namun, tenaganya kalah kuat dari sang ibu. “Kenapa kamu ajak dia ke sini? Mau dapat sial kamu, Hah?!” Bentak Bude Ratih pada anak gadisnya. Wulan hanya terdiam memandangi ibunya. Pandangan yang sulit untuk kuartikan. Sekejap kemudian, sekuat tenaga dia menarik lengan Bude Ratih untuk keluar kamar.“Bentar ya, Sal. Aku ngomong sama Ibu dulu.” Wulan berpamitan padaku sambil menarik lengan ibunya.“Iya, Lan,” jawabku singkat karena masih syok dengan umpatan Bude Ratih yang menyebutku sebagai pelacur. Ya Allah … sehina itu kah hamb

    Last Updated : 2024-05-29
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Mencari Pelaku

    “Hei, kamu, Salma ‘kan? Yang kemarin diarak warga?” Seorang ibu-ibu datang menghampiriku yang tengah duduk di pos ronda. Setelah keluar dari kontrakan, aku segera pamit pada Wulan untuk menjauh dari kehidupan Mas Hadi. Berbekal uang pinjaman dari Wulan untuk ongkos pulang kampung, aku berjalan menuju pangkalan ojek terdekat. Meski berat, akan tetapi aku harus kuat. Sebenarnya, Wulan sudah menawarkan diri untuk mengantar ke terminal. Namun, lagi-lagi Bude Ratih melarangnya untuk membantuku. Belum sampai sepuluh menit perjalanan, perutku terasa keram, hingga akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di pos ronda yang tidak jauh dari tempatku berdiri.“Maaf, Bu. Saya telah difitnah,” elakku cepat.Tatapan sinis begitu saja terhunjam dari wanita yang aku saja tidak tahu siapa namanya.“Yang bener, Mbak?” tanyanya lagi seakan tak percaya. “Iya, Bu. Saya berani bersumpah, demi Allah saya tidak melakukan apa yang dituduhkan.” “Jangan asal sumpah, sumpah ya, Mbak. Ingat, kalau b

    Last Updated : 2024-07-06
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Menyamar

    Aku mematut diri di depan cermin. Dengan memakai cadar dan baju syar'i yang kubeli kemarin, berputar memandang benda yang memantulkan bayangku, untuk memastikan penampilan berubah dari sebelumnya. Ya, aku tengah menyamar, anggap saja begitu. Berbagai keperluan dapur belum kumiliki, karena itu lah aku harus keluar untuk membelinya. Selain itu aku juga berniat melewati gang rumah tempat Mas Hadi tinggal. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk untuk apa yang tengah kucari.Dengan menjinjing tas yang kupakai membawa bajuku kemarin aku berjalan santai menuju arah perumahan calon mantan suami. Hari ini adalah hari Sabtu, hari di mana dia libur kerja. Jadi, bisa dipastikan dia sekarang ada di rumah.Beberapa warga yang tengah duduk santai di teras rumah melihatku dengan heran, raut wajah mereka terlihat sangat penasaran dengan kehadiranku. Masuk begitu, aku tidak peduli karena tujuanku bukan untuk berkumpul dan mengobrol dengan mereka. Biarlah mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri. “A

    Last Updated : 2024-07-09
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Menyambung Hidup

    Sudah satu minggu aku tinggal jauh dari suami dan juga orang tua. Rumah kontrakan sederhana ini menjadi saksi bisu perjalanan kisah hidupku dalam mencari kebenaran. Selama satu Minggu ini, aku belum bisa menemukan cara untuk mendapatkan informasi dan petunjuk, padahal uang sisa penjualan kalung kemarin sudah sangat menipis. Gegas aku membuka gawai, mencari apakah ada yang bisa aku lakukan untuk dapat menghasilkan uang penyambung hidup. (Menghasilkan uang dari rumah) Kira-kira seperti itulah pencarianku lewat beranda suatu aplikasi video yang sudah sangat terkenal di kalangan ibu-ibu komplek kami dulu dengan sapaan Mbak Yu tub* Ada banyak video yang sudah berbaris rapi dari atas hingga bawah. Scroll naik dan turun, memilih dan mencari apa ada yang cocok denganku yang tengah berbadan dua ini. Hingga satu video aku klik dan tonton. Video tentang menjadi penjual, tetapi tidak perlu menyetok barang. Sepertinya mudah, aku hanya perlu aktif di sosial media, menyebarkan link penjualan k

    Last Updated : 2024-07-10
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Pria di Masa Lalu

    ‘Hah! Dia ‘kan ….’“Mbak Salma lihat apa? Fokus banget,” celetuk Bu Ningrum tiba-tiba, membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya. Untung saja aku memakai cadar, jadi dia tidak melihat wajahku yang memerah karena malu.“Eh, enggak ada, Bu. Lagi lihat warga sini ternyata banyak juga, ya,” jawabku sekenanya sambil menenangkan hati. “Oh, begitu … jadi di komplek ini memang banyak warganya, Mbak. Kalau dibanding komplek sebelah sih masih jauh banyak warga di komplek sini. Tapi orangnya baik-baik kok, Mbak. Percaya deh,” tutur Bu Ningrum dengan tersenyum.“Iya, Bu. Saya percaya kok. Alhamdulillah juga saya dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Bu Ningrum ini,” balasku juga dengan tersenyum.“Ah, Mbak Ifah bisa aja,” celetuknya dengan tersipu, dan aku hanya bisa tersenyum di balik cadar.“Bapak dan Ibu sekalian, perkenalkan, nama saya Afifurrahman, panggil saja Afif atau Rahman. Saya tinggal di sini bersama adik perempuan saya yang tadi pagi mengundang Bapak dan Ibu, namanya N

    Last Updated : 2024-07-16
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Kenyataan Baru

    Hah! Itu suara Gus Afif. Pasti dia tengah mencari adik perempuannya. Bagaimana ini??Gegas kuusap air yang sebenarnya masih ingin mengalir dari sudut kedua mata. “Husna, itu suara abangmu,” bisikku pada gadis yang masih larut dalam sedih. Namun, dia hanya menjawab dengan gelengan lembut tanpa berniat bangkit dan mendatangi sang kakak. Pada akhirnya, aku memberanikan diri beranjak menuju pintu yang di baliknya ada sosok yang dulu pernah menggetarkan jiwa, bahkan sampai detik ini, getaran itu datang kembali tanpa diminta. Astaghfirullah, aku harus bisa mengendalikan diri, karena bagaimanapun aku belum betul-betul berpisah dengan Mas Hadi.“Assalamualaikum,” ucap pemuda itu lagi dengan getaran khawatir yang terdengar dari suaranya.Mendengar suara itu begitu dekat, dadaku semakin sesak, kegusaran menghampiri tanpa permisi. Bagaimana ini? Apa aku harus membukakan pintu untuknya? Sepertinya aku belum sanggup untuk bertatap muka. Namun, jika tidak cepat kubuka, yang ada dia akan berpikira

    Last Updated : 2024-07-17
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Fitnah

    “Dek, tolong ke Taman Kenanga sekarang, ya … di persimpangan jalan arah rumah kita.” Suara berat Mas Hadi langsung terdengar setelah beberapa detik lalu aku menerima panggilan dari nomor yang tidak kukenal. Nada khawatir dan panik begitu nyata terdengar di telinga. “Apa yang terjadi, Mas?!” tanyaku pada pria yang ada di ujung telpon. “Maaf, Dek. Tadi Mas nggak sengaja menabrak motor lain karena oleng. Jadi, ini Mas dimintai ganti rugi sama yang punya motor. Mana motor kita juga rusak parah lagi.” Hembusan napas kasar menutup ceritanya. “Baik, Mas. Tunggu sebentar.” Panggilan pun terputus. Aku tak ingin banyak bertanya lagi karena sekarang Mas Hadi lebih membutuhkan kehadiranku di sana. Gegas kuambil semua uang tabungan yang ada, memasukkannya ke dalam tas kecil dan segera memakai jilbab instan agar lebih mudah dan cepat. Tak lupa mengunci pintu dan segera menuju rumah Wulan, tetangga sekaligus teman dekatku untuk meminjam motor agar cepat sampai tujuan. Ya, motor kami hanya ada

    Last Updated : 2024-05-29

Latest chapter

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Kenyataan Baru

    Hah! Itu suara Gus Afif. Pasti dia tengah mencari adik perempuannya. Bagaimana ini??Gegas kuusap air yang sebenarnya masih ingin mengalir dari sudut kedua mata. “Husna, itu suara abangmu,” bisikku pada gadis yang masih larut dalam sedih. Namun, dia hanya menjawab dengan gelengan lembut tanpa berniat bangkit dan mendatangi sang kakak. Pada akhirnya, aku memberanikan diri beranjak menuju pintu yang di baliknya ada sosok yang dulu pernah menggetarkan jiwa, bahkan sampai detik ini, getaran itu datang kembali tanpa diminta. Astaghfirullah, aku harus bisa mengendalikan diri, karena bagaimanapun aku belum betul-betul berpisah dengan Mas Hadi.“Assalamualaikum,” ucap pemuda itu lagi dengan getaran khawatir yang terdengar dari suaranya.Mendengar suara itu begitu dekat, dadaku semakin sesak, kegusaran menghampiri tanpa permisi. Bagaimana ini? Apa aku harus membukakan pintu untuknya? Sepertinya aku belum sanggup untuk bertatap muka. Namun, jika tidak cepat kubuka, yang ada dia akan berpikira

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Pria di Masa Lalu

    ‘Hah! Dia ‘kan ….’“Mbak Salma lihat apa? Fokus banget,” celetuk Bu Ningrum tiba-tiba, membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya. Untung saja aku memakai cadar, jadi dia tidak melihat wajahku yang memerah karena malu.“Eh, enggak ada, Bu. Lagi lihat warga sini ternyata banyak juga, ya,” jawabku sekenanya sambil menenangkan hati. “Oh, begitu … jadi di komplek ini memang banyak warganya, Mbak. Kalau dibanding komplek sebelah sih masih jauh banyak warga di komplek sini. Tapi orangnya baik-baik kok, Mbak. Percaya deh,” tutur Bu Ningrum dengan tersenyum.“Iya, Bu. Saya percaya kok. Alhamdulillah juga saya dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Bu Ningrum ini,” balasku juga dengan tersenyum.“Ah, Mbak Ifah bisa aja,” celetuknya dengan tersipu, dan aku hanya bisa tersenyum di balik cadar.“Bapak dan Ibu sekalian, perkenalkan, nama saya Afifurrahman, panggil saja Afif atau Rahman. Saya tinggal di sini bersama adik perempuan saya yang tadi pagi mengundang Bapak dan Ibu, namanya N

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Menyambung Hidup

    Sudah satu minggu aku tinggal jauh dari suami dan juga orang tua. Rumah kontrakan sederhana ini menjadi saksi bisu perjalanan kisah hidupku dalam mencari kebenaran. Selama satu Minggu ini, aku belum bisa menemukan cara untuk mendapatkan informasi dan petunjuk, padahal uang sisa penjualan kalung kemarin sudah sangat menipis. Gegas aku membuka gawai, mencari apakah ada yang bisa aku lakukan untuk dapat menghasilkan uang penyambung hidup. (Menghasilkan uang dari rumah) Kira-kira seperti itulah pencarianku lewat beranda suatu aplikasi video yang sudah sangat terkenal di kalangan ibu-ibu komplek kami dulu dengan sapaan Mbak Yu tub* Ada banyak video yang sudah berbaris rapi dari atas hingga bawah. Scroll naik dan turun, memilih dan mencari apa ada yang cocok denganku yang tengah berbadan dua ini. Hingga satu video aku klik dan tonton. Video tentang menjadi penjual, tetapi tidak perlu menyetok barang. Sepertinya mudah, aku hanya perlu aktif di sosial media, menyebarkan link penjualan k

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Menyamar

    Aku mematut diri di depan cermin. Dengan memakai cadar dan baju syar'i yang kubeli kemarin, berputar memandang benda yang memantulkan bayangku, untuk memastikan penampilan berubah dari sebelumnya. Ya, aku tengah menyamar, anggap saja begitu. Berbagai keperluan dapur belum kumiliki, karena itu lah aku harus keluar untuk membelinya. Selain itu aku juga berniat melewati gang rumah tempat Mas Hadi tinggal. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk untuk apa yang tengah kucari.Dengan menjinjing tas yang kupakai membawa bajuku kemarin aku berjalan santai menuju arah perumahan calon mantan suami. Hari ini adalah hari Sabtu, hari di mana dia libur kerja. Jadi, bisa dipastikan dia sekarang ada di rumah.Beberapa warga yang tengah duduk santai di teras rumah melihatku dengan heran, raut wajah mereka terlihat sangat penasaran dengan kehadiranku. Masuk begitu, aku tidak peduli karena tujuanku bukan untuk berkumpul dan mengobrol dengan mereka. Biarlah mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri. “A

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Mencari Pelaku

    “Hei, kamu, Salma ‘kan? Yang kemarin diarak warga?” Seorang ibu-ibu datang menghampiriku yang tengah duduk di pos ronda. Setelah keluar dari kontrakan, aku segera pamit pada Wulan untuk menjauh dari kehidupan Mas Hadi. Berbekal uang pinjaman dari Wulan untuk ongkos pulang kampung, aku berjalan menuju pangkalan ojek terdekat. Meski berat, akan tetapi aku harus kuat. Sebenarnya, Wulan sudah menawarkan diri untuk mengantar ke terminal. Namun, lagi-lagi Bude Ratih melarangnya untuk membantuku. Belum sampai sepuluh menit perjalanan, perutku terasa keram, hingga akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di pos ronda yang tidak jauh dari tempatku berdiri.“Maaf, Bu. Saya telah difitnah,” elakku cepat.Tatapan sinis begitu saja terhunjam dari wanita yang aku saja tidak tahu siapa namanya.“Yang bener, Mbak?” tanyanya lagi seakan tak percaya. “Iya, Bu. Saya berani bersumpah, demi Allah saya tidak melakukan apa yang dituduhkan.” “Jangan asal sumpah, sumpah ya, Mbak. Ingat, kalau b

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Ucapan Pahit

    “Salma?! Apa-apaan, ini? Kenapa kamu berada di rumahku?! … Pergi kamu, aku tidak mau rumahku diinjak pelac*r sepertimu!” Bagai petir menyambar, suara Bude Ratih seolah mengeluarkan dengung di telinga. Meski sebelumnya aku sudah dapat menebak, tetapi nyatanya hatiku belum siap kembali mendengar cemooh dan umpatannya.Wulan berusaha masuk dengan melewati wanita berdaster itu. Namun, tenaganya kalah kuat dari sang ibu. “Kenapa kamu ajak dia ke sini? Mau dapat sial kamu, Hah?!” Bentak Bude Ratih pada anak gadisnya. Wulan hanya terdiam memandangi ibunya. Pandangan yang sulit untuk kuartikan. Sekejap kemudian, sekuat tenaga dia menarik lengan Bude Ratih untuk keluar kamar.“Bentar ya, Sal. Aku ngomong sama Ibu dulu.” Wulan berpamitan padaku sambil menarik lengan ibunya.“Iya, Lan,” jawabku singkat karena masih syok dengan umpatan Bude Ratih yang menyebutku sebagai pelacur. Ya Allah … sehina itu kah hamb

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Sahabat Baik

    Aku tak menyangka Mas Hadi tega mengusirku dari rumah ini, rumah yang selama ini terasa seperti surga bagiku. Bagaimana tidak, kamu adalah sepasang suami istri yang selalu bahagia, jarang sekali perselisihan terjadi di rumah ini. Hanya ada damai, kasih sayang dan pengertian dari suami istri. Ketika kehangatan rumah ini terasa di hati, waktu itu aku berpikir, seperti inikah yang disabdakan Rasulullah, “Baiti jannati”? Namun, surga kami sepertinya tidak mampu bertahan lama. Ada duri tajam yang melukai kebahagiaan kami. Ibarat cermin, maka kini cerminku sudah retak, bahkan mungkin akan hancur berkeping-keping. Aku tau ini adalah ujian, akan tetapi aku merasa terlalu lemah menghadapinya. Ya Rabb … kuatkan hati dan iman hamba dalam menghadapi ujian-Mu.“Kenapa kamu masih berdiri di situ? Kemasi barang-barang secepatnya, dan jangan pernah kembali lagi.” Tanpa memandangku Mas Hadi berkata seolah aku adalah seorang pendosa yang haru

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Anak Siapa?

    “Salma! Bangun, Salma ….” Sayup-sayup terdengar suara memaggil namaku. Ya, itu suara Wulan sahabatku. Kini mulai terasa nyata suara Wulan yang masih memanggil. Terasa juga ada tangan yang menepuk lembut kedua pipi. Mas Hadi, kamu kah itu, Mas? Apakah kamu begitu mengkhawatirkanku, hingga tidak ingin kehilangan aku? Kedua mata mulai terbuka perlahan. Ingin melihat senyum pria tersayang. Namun, kenyataan yang kuterima tidak semanis bayangan beberaapa detik lalu. Bukan Mas Hadi yang kudapati di hadapanku, melainkan Wulan, gadis berparas ayu dan hitam manis dengan senyumnya menyambut kesadaranku.“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Sal. Aku takut kamu kenapa-napa tadi.” Wulan benar sahabat yang baik, tidak seperti Bude Darmi ibunya. Aku berusaha tersenyum pada Wulan, meyakinkan dia bahwa aku tidak apa-apa. “Aku mau duduk dulu, Lan,” ucapku seraya bangkit dengan satu tangan yang masih seti

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Sidang dadakan

    Di sepanjang perjalanan, aku terus meratapi nasib malang yang menimpa. Tidak pernah terbayangkan jika hari ini aku menjadi tersangka tindak asusila yang aku sendiri bahkan tidak memperbuatnya. Ya Allah … tolong hamba untuk bisa terlepas dari jerat fitnah ini. “Jalannya cepetan dikit napa? Lelet banget!” hardik Bude Ratih sambil menarikku lebih keras dari sebelumnya. Pergelangan tanganku rasanya perih sekali, mungkin ada sedikit luka yang tersemat di sana. Namun, aku tidak sanggup lagi untuk berkata-kata. “Iya, nih. Sudah mau Maghrib tau!” balas Ibu Dewi yang sedari tadi ikut menghinaku.Derai air mata tidak dapat terbendung lagi. Kejadian ini benar-benar telah meruntuhkan duniaku. Mas Hadi, semoga kamu masih bisa percaya padaku, Mas. Aku ini istri yang selalu berbakti padamu. Segala yang aku lakukan hanya untuk membuatmu nyaman, agar kita bisa hidup bahagia dan damai dalam rumah tangga kita

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status