Share

Anak Siapa?

“Salma! Bangun, Salma ….” Sayup-sayup terdengar suara memaggil namaku. Ya, itu suara Wulan sahabatku.

Kini mulai terasa nyata suara Wulan yang masih memanggil. Terasa juga ada tangan yang menepuk lembut kedua pipi. Mas Hadi, kamu kah itu, Mas? Apakah kamu begitu mengkhawatirkanku, hingga tidak ingin kehilangan aku?

Kedua mata mulai terbuka perlahan. Ingin melihat senyum pria tersayang. Namun, kenyataan yang kuterima tidak semanis bayangan beberaapa detik lalu. Bukan Mas Hadi yang kudapati di hadapanku, melainkan Wulan, gadis berparas ayu dan hitam manis dengan senyumnya menyambut kesadaranku.

“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Sal. Aku takut kamu kenapa-napa tadi.” Wulan benar sahabat yang baik, tidak seperti Bude Darmi ibunya.

Aku berusaha tersenyum pada Wulan, meyakinkan dia bahwa aku tidak apa-apa. “Aku mau duduk dulu, Lan,” ucapku seraya bangkit dengan satu tangan yang masih setia memegangi kepala. Kuedarkan pandangan menyusuri tempat dimana aku duduk sekarang. Oh, ternyata aku sudah dipindahkan ke kamar, mungkin Mas Hadi yang mengangkat tubuhku ke sini. Aku tersenyum sendiri membayangkan jika benar Mas Hadi yang menggendongku. Namun, senyumku langsung pudar mengingat apa yang tengah terjadi, tatapan Mas Hadi yang tidak berpihak padaku, mana mungkin dia yang memindahkan aku ke sini. Aku kembali muram.

“Harusnya kamu istirahat dulu, Sal. Sebentar lagi Bidan Nasmah datang.” Suara Wulan membuyarkan lamunan.

Aku tak begitu menanggapi ucapan Wulan karena hati dan pikiran masih fokus pada Mas Hadi yang terasa semakin menjauh. “Lan … aku bingung, gimana nasib pernikahanku setelah ini? Mas Hadi sepertinya sudah tidak percaya padaku,” ratapku pada sahabat sekaligus teman curhat selama ini.

“Sabar, Sal. Mungkin Kang Hadi butuh waktu berpikir. Hatinya pasti turut terluka dengan kejadian yang tidak disangka.”

“Tapi aku hanya difitnah, Lan. Aku bahkan tidak pernah bertemu dengan pemuda bernama Ryan itu sebelumnya,” sanggahku membela diri. Dadaku terasa sesak menyebut nama itu.

“Iya, Sal. Aku percaya kamu tidak akan berbuat sejauh itu. Kamu wanita baik, Salma.” Wulan mencoba menenangkan jiwa yang tengah gundah gulana. Ya Allah, terima kasih telah mempertemukan aku dengan sahabat sebaik Wulan. Dia lah satu-satunya orang yang percaya dan mau menguatkan aku di saat semua orang memandang rendah padaku.

“Terima kasih ya, Lan. Kamu mau percaya padaku. Sungguh, hidupku terasa hampa … apalagi sejak tadi Mas Hadi tak memilih diam dan tidak sekali pun mengajakku bicara.” Aku mulai terisak mengingat perlakuan suami yang selalu kujadikan alasan kebahagiaanku itu.

Hari-hari kemarin begitu indah suasana rumah kami. Canda tawa menghiasi setiap ruang di rumah ini. Namun, sekarang … ya Allah, hamba berpasrah atas apa yang telah Kau tetapkan.

“Assalamualaikum, Mbak Salma. Saya masuk ya?” Suara lembut Bidan Nasmah terdengar mengiringi ketukan pintu beberapa kali.

“Wa’alaikumsalam, iya, Bu. Silakan masuk,” jawabku dan Wulan bersamaan.

Wulan bangkit membukakan pintu yang juga didorong dari luar oleh Bidan Nasmah.

“Alhamdulillah Mbak Salma sudah siuman. Sekarang apa yang dirasakan Mbak?” Bidan cantik dengan cekatan memeriksa keadaanku. Dia menempelkan stetoskop di dada untuk mendeteksi detak jantungku.

“Tadi terasa sangat pusing, Bu. Tapi ini sudah mendingan, sudah berkurang pusingnya,” jawabku seraya tersenyum.

“Permisi, saya cek perutnya ya?” ucap Bu Bidan lagi dan hanya kubalas dengan anggukan.

Beberapa menit berlalu, setelah beberapa kali Bidan mer*b* dan menekan pelan bagian tertentu di perut, dia kembali tersenyum. Senyum yang justru membuat aku bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi padaku?

“Mbak Salma berapa lama sudah tidak datang bulan?”

“Seingat saya terakhir datang bulan itu tanggal 5 bulan lalu.” Aku menjawab sambil mengingat jadwal datang bulan yang kadang maju dan kadang mundur.

“Sekarang sudah tanggal 20 loh, Mbak. Masa nggak ngerasa kalau lagi hamil?” ucap Bidan Nasmah lembut, tetapi mampu membuat aku dan Wulan membekap mulut bersamaan.

“Apa, Bu? Saya hamil? Jadi saya hamil, Bu?”

“Iya, Mbak. Alhamdulillah … selamat, ya.” Bidan Nasmah menepuk bahuku, memberi ucapan selamat.

“Tapi, keadaan saya sedang tidak baik-baik saja, Bu.” Suaraku parau menahan isak yang tertahan.

“Mbak Salma, bukankan setiap apa yang kita terima ujian. Cara Allah menguji hambanya. Sekarang tinggal kita yang menerimanya. Apakah kita bisa bersyukur, ataukah kita justru akan kufur.” Bidan bermata lentik itu kembali tersenyum padaku. “Mbak Salma, yang sabar … Mbak sedang diuji. Biar bagaimanapun kata orang, tetapi saya percaya Mbak Salma adalah wanita yang baik. Yang kuat, Mbak. Apalagi sekarang ada kehidupan baru di rahim Mbak Salma. Jadi, dijaga baik-baik, ya.” ucapan Bidan Nasmah benar-benar membuat hatiku menghangat. Bulir bening kembali luruh karena haru yang kurasa.

“Saya ucapkan terima kasih banyak, Bu.” Selain ucapan terima kasih, aku tidak tau akan berkata apa lagi.

“Iya, sama-sama, Mbak. Ini saya kasih vitamin, jangan lupa diminum, ya. Saya permisi dulu.” Setelah berpamitan, istri Komandan Jefri itu keluar, dan sudah dipastikan orang-orang di luar pasti akan bertanya padanya tentangku.

“Emang si Salma sakit apa, Bu Bidan?” Benar saja, suara Bude Ratih langsung terdengar begitu sang Bidan tidak terlihat lagi di kamar.

“Mbak Salma tidak sedang sakit apa-apa, Bu. Justru, kini dia tengah mengandung,” ucap Bidan lembut, tetapi masih bisa kudengar. “Mas Hadi, istrinya dijaga ya … maaf, saya permisi dulu, assalamualaikum.”

Setelah itu aku tidak mendengar suara Bidan cantik yang menenangkan hati. Hanya tersisa suara warga dan Pak RT yang kian riuh bersahutan, membuat nyeri di kepala kembali datang.

“Salma, aku tinggal sebentar, ya. Para warga harus dibubarkan.” Tidak menunggu jawaban dariku, Wulan keluar mendatangi masa yang kian gaduh. Sedang pikiranku kembali melayanh memikirkan ayah dari janin yang aku kandung. Entah apa yang tengah dilakukan Mas Hadi, kenapa sama sekali tidak terdengar suaranya.

Menit berikutnya, suasana kembali hening. Namun, Wulan tidak kunjung datang kembali. Rasa penasaran memaksaku berdiri dan turut keluar kamar. Aku sangat ingin tau apa sebenarnya yang terjadi.

Tertatih aku berjalan mendekati tiga orang yang kini masih setia duduk di bangku ruang tamu. Wulan, Mas Hadi dan pemuda bernama Ryan. Aku berniat menjelaskan semuanya pada pria yang belum sempat mengganti baju koko dan sarung yang dia kenakan.

“Salma, aku sungguh tidak menyangka … anak itu … bukan anakku!” Suara Mas Hadi terdengar tertahan. Namun, mampu kembali membuat duniaku runtuh untuk yang ke-tiga kalinya.

“M-mas … demi Allah ini anakmu!” Tidak, aku tidak terima jika Mas Hadi tidak mau mengakui anaknya sendiri. Bagaiman bisa lebih percaya mereka daripada aku istrinya.

“Salma, jangan berbohong pada Hadi. Katakanlah kalau itu adalah anakku,” ucap Ryan seenaknya sendiri.

“Kamu! Jangan ganggu rumah tanggaku! Pergi, sana pergi…!” Aku berteriak pada pemuda yang masih setia dengan senyum miringnya.

“Bukan hanya Ryan, kamu juga harus keluar dari rumah ini, Salma! Aku tidak mau menampung wanita pezina sepertimu!” kini Mas Hadi yang berteriak padaku. Ya Allah … kenapa jadi begini?

Bersambung.

Note:

* “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya)." Q.S. An-naml ayat : 40

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status