Share

Sahabat Baik

Aku tak menyangka Mas Hadi tega mengusirku dari rumah ini, rumah yang selama ini terasa seperti surga bagiku. Bagaimana tidak, kamu adalah sepasang suami istri yang selalu bahagia, jarang sekali perselisihan terjadi di rumah ini. Hanya ada damai, kasih sayang dan pengertian dari suami istri. Ketika kehangatan rumah ini terasa di hati, waktu itu aku berpikir, seperti inikah yang disabdakan Rasulullah, “Baiti jannati”?

Namun, surga kami sepertinya tidak mampu bertahan lama. Ada duri tajam yang melukai kebahagiaan kami. Ibarat cermin, maka kini cerminku sudah retak, bahkan mungkin akan hancur berkeping-keping.

Aku tau ini adalah ujian, akan tetapi aku merasa terlalu lemah menghadapinya. Ya Rabb … kuatkan hati dan iman hamba dalam menghadapi ujian-Mu.

“Kenapa kamu masih berdiri di situ? Kemasi barang-barang secepatnya, dan jangan pernah kembali lagi.” Tanpa memandangku Mas Hadi berkata seolah aku adalah seorang pendosa yang harus dia jauhi. Padahal nyatanya statusku masih istri sahnya. Tidakkah dia ingat betapa hanya kepadanya baktiku sebagai istri kuserahkan seutuhnya?

“Mas … dengarkan penjelasanku dulu.” Aku mendekatinya perlahan.

“Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Salma. Ryan sudah bercerita tentang semua yang kalian lakukan!”

“Tapi, Mas. Jika ada suatu praduga buruk, bukankah kita dianjurkan untuk bertabayyun terlebih dulu? Bagaimana bisa kamu hanya mendengarkan penjelasan dari satu pihak. Itu bukan tabayyun yang sebenarnya, Mas!” Aku mulai meninggikan suara, tidak terima jika selalu dipojokkan tanpa dimintai keterangan.

“Sudahlah, Salma. Aku capek,” ketusnya seraya bangkit dan meninggalkan hatiku yang semakin terir*s, pedih dan sakit.

“Baik, Mas. Kalau itu maumu … aku pastikan kau akan menyesal suatu saat nanti.” Aku berucap lirih.

Segera menuju kamar untuk mengemasi barang-barang yang kupunya. Aku sudah tak ragu untuk pergi dari sini karena memang kehadiranku sudah tidak diinginkan lagi. Namun, meski begitu aku tidak akan langsung menjauh, sebelum kutemukan siapa pelaku fitnah sebenarnya.

Dia harus mendapatkan ganjaran dari apa yang dilakukannya padaku. Bukan untuk balas dendam, tetapi aku lebih ingin menegurnya dengan caraku. Dia harus tau, jika aku adalah wanita kuat yang tidak bisa sembarangan diganggu. Terlebih lagi sampai mengusik rumah tanggaku hingga di ujung tanduk seperti ini.

“Salma, apa kamu yakin mau keluar dari rumah ini?” Wulan menghampiriku yang tengah sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas.

“Kamu lihat sendiri kan, Mas Hadi sudah tidak ingin aku ada di sini. Dia benar-benar telah berubah, Lan,” jawabku lirih.

“Malam ini, kamu nginep di rumahku aja dulu, ya?” tawarnya dengan wajah yang terlihat begitu cemas.

Kuhentikan aktivitas sejenak. Kuoandang lekat sahabat yang selalu ada di setiap suka duka. “Terima kasih, Wulan. Bantuanmu ini tidak akan pernah aku lupakan.” Setitik bening mulai terjatuh dari ujung mata. Sungguh beruntung aku mempunyai sahabat seperti Wulan.

“Iya, sama-sama, Sal. Selama ini ‘kan kamu selalu bantu aku, jadi sudah waktunya kini aku yang bantu kamu.” Gadis ayu itu tersenyum.

Lima menit berlalu, akhirnya semua pakaianku tertumpuk rapi di dalam tas yang ukurannya tidak terlalu besar. Lagi pula, memang hanya pakaian dan selembar sajadah saja yang aku bawa. Aku tidak tertarik membawa barang atau perabot selain itu, bahkan uang tabungan pun sama sekali tidak aku sentuh. Biarlah, mungkin suatu saat, Mas Hadi akan membutuhkannya.

Tok tok …

Kuketuk pintu kamar sebelah, dimana Mas Hadi ada di dalam sejak dia mengusirku.

“Mas, aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik, ya. Assalamualaikum.” Tidak menunggu jawabannya, aku segera melangkah ke luar.

“Sini, biar aku yang bawakan tas kamu, Sal.” Wulan mengambil alih tas yang ada di tangan. Sedang aku tidak berniat menjawabnya.

Pandanganku terasa kabur oleh derai air mata yang tidak tertahan. Setiap langkah terasa berat. Namun, aku tidak mungkin bisa berbalik dan kembali. Itu akan membuat Mas Hadi semakin marah dan pastinya juga akan membuat hatiku terluka lebih dalam.

Sampai di rumah Wulan, dia langsung mengajak masuk ke kamarnya. Tidak kulihat Bude Ratih di rumah ini. Entahlah, mungkin dia sedang di dapur atau mungkin dia sudah tidur. Semoga saja memang begitu, karena aku tidak ingin mendengar perkataannya yang tidak mengenakkan hati.

“Lan, aku mau salat Isya dulu,” ucapku seraya melihat benda bulat yang terpasang di dinding. Sudah jam 10 malam ternyata.

“Iya, Sal. Kamu bisa berwudhu di kamar mandi. Salatnya di sini saja. Habis itu kamu makan, ya.” Wulan menunjuk arah kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.

“Iya, Lan. Terima kasih,” jawabku lirih.

Kugelar sajadah kesayangan untuk segera menunaikan empat rakaat yang tertunda. Seketika bayangan Mas Hadi muncul saat pandangan ini fokus pada sajadah. Ya Allah … begitu berat cobaanmu ini …. Segera kupejamkan mata sejenak, hingga bayang Mas Hadi hilang entah kemana.

Selesai salat, aku tidak lantas beranjak,ingin kutumpahkan segala lara yang kurasa. Kutengadahkan kedua tangan mengemis kepada Sang Maha Agung, Tuhan semesta alam, hingga kedamaian menyusup di relung hati ini.

Aku sadar, Allah tidak akan memberi ujian kepada seorang hamba, kecuali hamba tersebut memang sanggup menerimanya. Aku harus kuat, karena aku yakin aku kuat.

Kuelus perut yang masih rata. Kubisikkan kata lembut padanya, makhluk mungil yang akan menghiasi hari-hariku setelah dia lahir. “Nak, terima kasih sudah hadir dalam kehidupan Mama, insyaallah Mama kuat, Nak. Kamu juga harus kuat, ya. Bismillah, kita berjuang bersama.”

Tak terasa air mata telah membasahi kedua pipi. Entah sedih atau haru, rasaku menumpuk menjadi satu.

“Ngapain kamu bawa makanan ke kamar, Wulan?! Bukannya kamu tadi sudah makan, ya?” Suara Bude Ratih mulai masuk keo pendengaranku. Sepertinya dia tengah memergoki Wulan.

“Ak-aku mau makan lagi di kamar, Bu,” jawab Wulan ragu, terdengar dari ucapannya yang terbata.

“Aneh, biasanya nggak pernah seperti ini? Apa yang kamu sembunyikan dari ibu?” Derap langkah terdengar mendekati kamar Wulan.

Aku hanya bisa terdiam mendengar obrolan dua anak dan ibu di luar kamar. Perasaan cemas datang tiba-tiba, takut jika Bude Ratih mengetahui dan tidak mengizinkan aku bermalam di rumahnya. Mengingat hubungan kami yang tidak pernah akur, padahal setiap kami bertemu atau berpapasan, aku selalu mencoba menyapa ibu dari sahabatku itu. Akan tetapi nyatanya usahaku tak pernah berhasil.

Beberapa detik selanjutnya, terdengar suara pintu terbuka, membuat aku menoleh tepat ke arah wanita berbadan tambun itu berdiri. Matanya menatapku tajam, dadanya terlihat naik turun menahan amarah yang membuncah.

“Salma?! Apa-apaan, ini? Kenapa kamu berada di rumahku?! … Pergi kamu, aku tidak mau rumahku diinjak pelac*r sepertimu!”

Bersambung.

Note:

* "Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya." (QS Al Baqarah: 286)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status