Share

Menyamar

Aku mematut diri di depan cermin. Dengan memakai cadar dan baju syar'i yang kubeli kemarin, berputar memandang benda yang memantulkan bayangku, untuk memastikan penampilan berubah dari sebelumnya. Ya, aku tengah menyamar, anggap saja begitu.

Berbagai keperluan dapur belum kumiliki, karena itu lah aku harus keluar untuk membelinya. Selain itu aku juga berniat melewati gang rumah tempat Mas Hadi tinggal. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk untuk apa yang tengah kucari.

Dengan menjinjing tas yang kupakai membawa bajuku kemarin aku berjalan santai menuju arah perumahan calon mantan suami. Hari ini adalah hari Sabtu, hari di mana dia libur kerja. Jadi, bisa dipastikan dia sekarang ada di rumah.

Beberapa warga yang tengah duduk santai di teras rumah melihatku dengan heran, raut wajah mereka terlihat sangat penasaran dengan kehadiranku. Masuk begitu, aku tidak peduli karena tujuanku bukan untuk berkumpul dan mengobrol dengan mereka. Biarlah mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri.

“Assalamualaikum, cari siapa ya, Mbak?” Seorang wanita muda menyapaku yang tengah sibuk memandang rumah Mas Hadi dari jarak kurang lebih sepuluh meter.

“Eh, tidak, Mbak. Saya kebetulan lewat sini, mau lihat-lihat apakah ada kontrakan kosong gitu.” Aku beristighfar dalam hati karena tidak mungkin menyatakan kebenaran dari maksud kedatanganku.

“Oh, kebetulan saya anak yang punya kontrakan, Mbak. Cuma sekarang sedang tidak ada kontrakan kosong, Mbak. Maaf, ya.” Wanita muda bernama Sari menjelaskan keadaan yang sebenarnya aku sendiri sudah tau jawabannya. Ya, bagaiman tidak, meski tidak dekat dengan para tetangga, tetapi aku juga biasa mengobrol dengan Bu Desi-pemilik kontrakan ketika kami disibukkan berbelanja di paman sayur yang biasa mangkal di depan rumah.

“Oh, iya, Mbak, tidak apa-apa. Kalau begitu saya permisi. Terima kasih, ya.”

Setelah aku dan Sari saling mengangguk, aku segera menjauh darinya. Kuambil langkah mendekati rumah Mas Hadi, tetapi hanya sekedar untuk lewat saja, sambil sekali waktu melirik dan mencuri dengar suara-suara yang mungkin berasal dari rumah itu.

“Ini masakan Wulan sendiri, lho. Jangan lupa dimakan ya.” Suara Bude Ratih begitu nyaring terdengar di telinga, membuat langkahku terhenti sejenak. Memang sudah ciri khas wanita tua itu, ketika berbicara maka seolah-olah hanya ada dia di bumi ini, hingga dia merasa bebas meninggikan suara sesuai hatinya. Pernah suatu hari Wulan mengingatkan perihal kebiasaan ibunya itu, tetapi tidak digubris, justru Wulan mendapat omelan panjang darinya.

Ingin rasanya mendekat ke arah suara lantang itu. Namun, di tempat lain, Sari masih berdiri di sisi jalan, dan dia masih menatapku.

Aku tidak punya pilihan selain melangkah maju dan maju, hingga tidak terasa aku telah sampai di taman Kenanga, taman tempat kejadian naas yang meruntuhkan duniaku.

Langkahku kembali terhenti melihat Ryan. Pemuda yang juga turut andil memfitnahku itu tengah asyik duduk di kursi yang sama saat dia memfitnahku. Tidak ingin kehilangan kesempatan, aku mendatanginya.

“Maaf, Mas. Boleh saya ngobrol sebentar?” tanyaku pada Ryan. Sekilas dia menoleh, menatapku sejenak dan kembali fokus pada gadget di tangannya.

“Hem,” jawabnya singkat dan terkesan acuh.

“Saya perlu bantuan. Apa Mas bisa bantu?” Kucoba menawarkan kerja sama yang tentunya akan menguntungkan baginya. Jika dia memang orang bayaran, maka dia tidak akan menolak tawaranku.

“Hem ….” Dia masih bersikap acuh.

Aku segera mengeluarkan tiga lembar kertas merah bergambar dua pahlawan Indonesia.

Sejenak matanya langsung tertuju pada benda yang kupegang. Namun, detik berikutnya dia mengabaikanku lagi.

Aku sangat paham, uang yang aku keluarkan ini pasti kurang baginya, hingga aku kembali merogoh tas dan mengeluarkan dua lembar serupa.

Melihat jumlah uang yang kini ada di tangan, dia memutar badan hingga membuat aku reflek mundur karena merasa dia semakin mendekat.

“Bantuan apa?” tanyanya dengan ekspresi wajah penasaran. Satu tangannya sudah maju hendak meraih uang di tangan. Namun, aku segera bangkit, karena itu tidak akan kubiarkan terjadi. Enak saja, belum kerja apa-apa, dia sudah mau menikmati hasilnya.

“Kau, harus jujur padaku! Siapa yang telah membayarmu untuk mengakui kau adalah selingkuhanku?! Bahkan, kau tega menyebut anak yang aku kandung adalah anakmu.”

Pemuda itu terkejut, “Kamu Sal- Sama ….” Seketika dia hendak berdiri. Namun, dengan cekatan kutarik ekor baju kemeja yang dia kenakan.

“Mau kemana, kamu?! Cepat katakan siapa yang membayarmu?!” Aku muak dengan tingkah pemuda ini. Bisa-bisanya dia ingin kabur dariku setelah berhasil merusak nama baik yang selama ini kujaga. Ya, bagaimana tidak, selama ini aku terus berusaha menjaga diri untuk tidak bertemu dan bercakap dengan laki-laki yang bukan mahram. Dia dengan leluasa mengaku menjadi ayah dari anak yang aku kandung. Huh! Menyebalkan.

“Lepaskan aku! Aku tidak ingin berurusan denganmu lagi.” Ryan berusaha menarik lenganku, tetapi dia tidak bisa. Entah mendapat kekuatan dari mana, hari ini aku merasa menjadi wonder woman yang tengah beraksi melawan para penjahat.

“Ayo! Cepat katakan!” bentakku lagi.

“Aku tidak tau apa-apa. Lepas!”

“Oh, enak sekali kamu, ya! Setelah menghancurkan rumah tanggaku dengan pengakuanmu, sekarang kamu bilang tidak tau apa-apa. Huh! Munafik kamu, Ryan!” aku semakin menarik kain yang dipakai Pemuda tegap itu. Namun, sepertinya dia lebih cerdas dari yang kubayangkan. Dia mencoba menanggalkan baju yang dipakainya.

“Mau apa, kamu?”

“Kamu lihat saja sendiri,” ucapnya ketus dengan tangan yang masih sibuk melepas satu persatu kancing kemeja.

Aku tidak ingin terjadi fitnah untuk yang kedua kalinya, hingga tanpa aba-aba segera kulepas cengkeramanku.

“Nah, gitu donk … coba dari tadi.” Ryan menoleh sambil tersenyum miring. Senyum yang membuat hatiku sakit, karena senyumnya itu mengingatkan setiap peristiwa penuh duka yang kulalui.

“Sudah, aku mau pergi. Jangan ganggu aku!” Ryan setengah berlari meninggalkanku.

“Hei! Jangan lari, Pengecut!” teriakku pada pemuda yang sudah jauh dari pandangan, membuat beberapa tatap mata mengarah padaku. Astaghfirullah, apa yang aku lakukan? Padahal aku hanya ingin mencari kebenaran. Kenapa sesulit ini?

Aku kembali menata hati. Memilih duduk dan mengalah dengan keadaan. Ya, aku harus sabar dalam semua ujian dan cobaan.

Beberapa saat aku kembali teringat apa yang aku dengar di rumah Mas Hadi. Apa yang dikatakan Bude Ratih seakan kembali terputar di ingatan, seperti rekaman yang diputar ulang.

“Ini masakan Wulan sendiri, lho. Jangan lupa dimakan ya.”

Maksudnya apa? Kenapa Bude menawarkan masakan Wulan pada Mas Hadi? Jangan-jangan, memang Bude Ratih yang memfitnahku, untuk mendekatkan Mas Hadi dengan anaknya? Astaghfirullah … prasangka apa lagi ini?

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status