Share

Ucapan Pahit

“Salma?! Apa-apaan, ini? Kenapa kamu berada di rumahku?! … Pergi kamu, aku tidak mau rumahku diinjak pelac*r sepertimu!”

Bagai petir menyambar, suara Bude Ratih seolah mengeluarkan dengung di telinga. Meski sebelumnya aku sudah dapat menebak, tetapi nyatanya hatiku belum siap kembali mendengar cemooh dan umpatannya.

Wulan berusaha masuk dengan melewati wanita berdaster itu. Namun, tenaganya kalah kuat dari sang ibu.

“Kenapa kamu ajak dia ke sini? Mau dapat sial kamu, Hah?!” Bentak Bude Ratih pada anak gadisnya.

Wulan hanya terdiam memandangi ibunya. Pandangan yang sulit untuk kuartikan. Sekejap kemudian, sekuat tenaga dia menarik lengan Bude Ratih untuk keluar kamar.

“Bentar ya, Sal. Aku ngomong sama Ibu dulu.” Wulan berpamitan padaku sambil menarik lengan ibunya.

“Iya, Lan,” jawabku singkat karena masih syok dengan umpatan Bude Ratih yang menyebutku sebagai pelacur. Ya Allah … sehina itu kah hamba di mata Bude Ratih.

Padahal selama ini aku selalu menjaga hubungan dengan para tetangga.eski tidak sering berkumpul, tetapi setiap bertemu aku akan menyapa mereka terlebih dulu, tidak terkecuali Bude Ratih.

Lama menunggu Wulan tidak kunjung kembali ke kamar, kurebahkan tubuh yang kini teras alebuh lemah dari biasanya. Dengan lembut kembali kuusap lembut perut, hingga kesadaranku hilang terbawa mimpi.

Jam dinding menunjuk angka tiga ketika aku terbangun dan setelahnya enggan menyambung mimpi. Tidak kudapati Wulan di sebelahku. Mungkin dia tidur di kamar ibunya, atau tidur di kamar lain. Karena sebelumnya aku tidak pernah masuk ke rumah ini dan lebih sering berbincang dengan Wulan lewat telpon. Padahal kami adalah tetangga dekat. Namun, karena sikap Bude Ratih, aku jadi enggan untuk berkunjung.

Kembali kubentengkan sajadah, bersujud di hadapan-Nya, mengharap keridhoan dan kekuatan dalam menjalani semua. Aku terhanyut dalam doa-doa yang kupanjatkan, hingga suara azan berkumandang merdu. Menyadarkan bahwa pagi benar-benar telah tiba.

Selesai azan, aku segera bangkit untuk melanjutkan ibadah wajibku. Namun, sebelumnya tidak lupa aku selesaikan dua rakaat qabliyah Subuh terlebih dahulu.

“Kamu sudah bangun, Salma.” Wulan masuk kamar dengan muka yang masih acak-acakan. Sepertinya dia baru bangun.

“Iya, Lan. Aku sudah bangun dari tadi.” kudatangi Wulan yang kini telah duduk di tepi ranjang. “Lan, aku minta maaf karena telah membuat Bude Ratih marah sama kamu,” ucapku lirih.

Wulan tersenyum dan menjawab, “Nggak papa, Sal. Ibu sudah ngerti, kok.”

“Kamu sudah salat belum?” tanyaku lagi.

“Eh, aku lagi datang bulan,” jawabnya singkat sambil kembali merebahkan tubuh.

“Terus, kamu mau tidur lagi. Nggak baik lho tidur habis Subuh.”

“Masih ngantuk banget, tidur bentar aja ya ….”

“Wulan, tidur habis Subuh itu bisa jadi penghalang datangnya rezeki lho,” ucapku lagi.

“Hemm … iya, iya, Bu Ustazah ….” Akhirnya Wulan bangkit dan bergegas menuju kamar mandi. Melihat tingkah Wulan,membuat aku tersenyum.

Pagi ini, aku berniat menemui Mas Hadi untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Semoga saja dia mau mendengarkanku kali ini.

Perlahan kuayun langkah menuju rumah yang penuh kenangan manis. Perasaan lega kembali muncul ketika melihat pintu depan masih terbuka, karena itu tandanya Mas Hadi masih di rumah.

“Assalamualaikum.” Aku berucap salam terlebih dahulu, mengingat semalam pria itu telah mengusirku, mungkin hari ini dia juga sudah malas bertemu. Namun, meski begitu aku harus menjelaskan semua.

“Wa’alaikumsalam.” Pria yang sudah rapi dengan baju kerjanya itu menatapku malas. Entah apa yang kini ada di pikirannya. “Mau apa lagi kamu ke sini? Belum puas kamu membuat aku malu, Sal. Rumah tangga kita hancur dalam semalam, itu semua karena perbuatanmu.” Tanpa menoleh ke arahku, Mas Hadi dengan lancar mengucapkan kata-kata pedasnya. Bagai air garam yang menyiram luka basahku. Sakit, sangat sakit hati ini.

“Ma-mas … sampai hati kau mengatakan semua itu padaku. Apakah kurang pengabdianku selama ini, Mas?” Sekuat hati aku menahan air mata. Aku tidak akan menangis lagi di hadapan laki-laki yang tidak lagi kukenal ini. Ya, kini dia bagai makhluk asing bagiku.

“Heh, bagaimana aku tidak tega, jika kau sendiri pun telah tega mendua, sampai-sampai kau berbadan dua. Andai kau jadi aku, kau pasti akan melakukan hal yang sama.”

“Jika aku jadi kamu, Mas … aku akan bertabayyun terlebih dulu. Mencari penjelasan dari semua pihak.” Napasku tersengal menahan amarah yang mulai menyapa.

“Jika semua sudah nyata, kenapa harus mencari penjelasan? Bahkan tidak hanya satu atau dua orang yang menjadi saksi. Itu semua sudah cukup sebagai bukti.”

Mendengar jawaban dari laki-laki keras di hadapanku ini, sepertihya sudah waktunya aku benar-benar k luar dari rumah ini. Biarlah kenangan manis terkubur bersamanya. Aku akan kuat demi bayi yang aku kandung.

“Baik, Mas. Setelah melahirkan, aku akan mengajukan cerai ke pengadilan agama.” Sudah muak dengan sikap Mas Hadi, aku segera bangkit untuk keluar.

“Tidak perlu, Sal, biar aku saja yang mengurus semua. Kau urus saja bayi pembawa sialmu itu.”

“Mas! Ini anakmu! Dan dia bukan anak pembawa sial!” Aku tak terima dengan ocehan Mas Hadi. Bisa-bisanya dia menghina darah dagingnya sendiri.

“Sudah, Salma. Ini sudah waktunya aku berangkat kerja. Aku tidak punya waktu lagi untuk mrladenimu. Silakan pergi,” ucapnya lagi seraya menangkat tangan kanannya ke arah pintu sebagai bentuk pengusirannya yang ke sekian kali.

“Baik, Mas. Kalau ini maumu. Assalamualaikum.” Aku melangkah keluar dengan kepala tegak, tanpa penyesalan dan Air mata. Sudah cukup aku menangis dan terus menangis. Aku harus bisa sabar, karena Allah selalu membersamai orang-orang yang sabar.

‘Nak, kamu jangan sedih, ya … akan selalu ada Mama yang jadi benteng pertahananmu. Mama akan selalu melindungimu, apapun yang terjadi.’

Bersambung.

Note :

_ Tidur pagi itu menghalangi datangnya rezeki. (HR Ahmad dan Baihaqi).

_ "Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah/2:153).

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status