Share

Ucapan Pahit

Penulis: Ida Ahmad
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-29 15:55:33

“Salma?! Apa-apaan, ini? Kenapa kamu berada di rumahku?! … Pergi kamu, aku tidak mau rumahku diinjak pelac*r sepertimu!”

Bagai petir menyambar, suara Bude Ratih seolah mengeluarkan dengung di telinga. Meski sebelumnya aku sudah dapat menebak, tetapi nyatanya hatiku belum siap kembali mendengar cemooh dan umpatannya.

Wulan berusaha masuk dengan melewati wanita berdaster itu. Namun, tenaganya kalah kuat dari sang ibu.

“Kenapa kamu ajak dia ke sini? Mau dapat sial kamu, Hah?!” Bentak Bude Ratih pada anak gadisnya.

Wulan hanya terdiam memandangi ibunya. Pandangan yang sulit untuk kuartikan. Sekejap kemudian, sekuat tenaga dia menarik lengan Bude Ratih untuk keluar kamar.

“Bentar ya, Sal. Aku ngomong sama Ibu dulu.” Wulan berpamitan padaku sambil menarik lengan ibunya.

“Iya, Lan,” jawabku singkat karena masih syok dengan umpatan Bude Ratih yang menyebutku sebagai pelacur. Ya Allah … sehina itu kah hamba di mata Bude Ratih.

Padahal selama ini aku selalu menjaga hubungan dengan para tetangga.eski tidak sering berkumpul, tetapi setiap bertemu aku akan menyapa mereka terlebih dulu, tidak terkecuali Bude Ratih.

Lama menunggu Wulan tidak kunjung kembali ke kamar, kurebahkan tubuh yang kini teras alebuh lemah dari biasanya. Dengan lembut kembali kuusap lembut perut, hingga kesadaranku hilang terbawa mimpi.

Jam dinding menunjuk angka tiga ketika aku terbangun dan setelahnya enggan menyambung mimpi. Tidak kudapati Wulan di sebelahku. Mungkin dia tidur di kamar ibunya, atau tidur di kamar lain. Karena sebelumnya aku tidak pernah masuk ke rumah ini dan lebih sering berbincang dengan Wulan lewat telpon. Padahal kami adalah tetangga dekat. Namun, karena sikap Bude Ratih, aku jadi enggan untuk berkunjung.

Kembali kubentengkan sajadah, bersujud di hadapan-Nya, mengharap keridhoan dan kekuatan dalam menjalani semua. Aku terhanyut dalam doa-doa yang kupanjatkan, hingga suara azan berkumandang merdu. Menyadarkan bahwa pagi benar-benar telah tiba.

Selesai azan, aku segera bangkit untuk melanjutkan ibadah wajibku. Namun, sebelumnya tidak lupa aku selesaikan dua rakaat qabliyah Subuh terlebih dahulu.

“Kamu sudah bangun, Salma.” Wulan masuk kamar dengan muka yang masih acak-acakan. Sepertinya dia baru bangun.

“Iya, Lan. Aku sudah bangun dari tadi.” kudatangi Wulan yang kini telah duduk di tepi ranjang. “Lan, aku minta maaf karena telah membuat Bude Ratih marah sama kamu,” ucapku lirih.

Wulan tersenyum dan menjawab, “Nggak papa, Sal. Ibu sudah ngerti, kok.”

“Kamu sudah salat belum?” tanyaku lagi.

“Eh, aku lagi datang bulan,” jawabnya singkat sambil kembali merebahkan tubuh.

“Terus, kamu mau tidur lagi. Nggak baik lho tidur habis Subuh.”

“Masih ngantuk banget, tidur bentar aja ya ….”

“Wulan, tidur habis Subuh itu bisa jadi penghalang datangnya rezeki lho,” ucapku lagi.

“Hemm … iya, iya, Bu Ustazah ….” Akhirnya Wulan bangkit dan bergegas menuju kamar mandi. Melihat tingkah Wulan,membuat aku tersenyum.

Pagi ini, aku berniat menemui Mas Hadi untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Semoga saja dia mau mendengarkanku kali ini.

Perlahan kuayun langkah menuju rumah yang penuh kenangan manis. Perasaan lega kembali muncul ketika melihat pintu depan masih terbuka, karena itu tandanya Mas Hadi masih di rumah.

“Assalamualaikum.” Aku berucap salam terlebih dahulu, mengingat semalam pria itu telah mengusirku, mungkin hari ini dia juga sudah malas bertemu. Namun, meski begitu aku harus menjelaskan semua.

“Wa’alaikumsalam.” Pria yang sudah rapi dengan baju kerjanya itu menatapku malas. Entah apa yang kini ada di pikirannya. “Mau apa lagi kamu ke sini? Belum puas kamu membuat aku malu, Sal. Rumah tangga kita hancur dalam semalam, itu semua karena perbuatanmu.” Tanpa menoleh ke arahku, Mas Hadi dengan lancar mengucapkan kata-kata pedasnya. Bagai air garam yang menyiram luka basahku. Sakit, sangat sakit hati ini.

“Ma-mas … sampai hati kau mengatakan semua itu padaku. Apakah kurang pengabdianku selama ini, Mas?” Sekuat hati aku menahan air mata. Aku tidak akan menangis lagi di hadapan laki-laki yang tidak lagi kukenal ini. Ya, kini dia bagai makhluk asing bagiku.

“Heh, bagaimana aku tidak tega, jika kau sendiri pun telah tega mendua, sampai-sampai kau berbadan dua. Andai kau jadi aku, kau pasti akan melakukan hal yang sama.”

“Jika aku jadi kamu, Mas … aku akan bertabayyun terlebih dulu. Mencari penjelasan dari semua pihak.” Napasku tersengal menahan amarah yang mulai menyapa.

“Jika semua sudah nyata, kenapa harus mencari penjelasan? Bahkan tidak hanya satu atau dua orang yang menjadi saksi. Itu semua sudah cukup sebagai bukti.”

Mendengar jawaban dari laki-laki keras di hadapanku ini, sepertihya sudah waktunya aku benar-benar k luar dari rumah ini. Biarlah kenangan manis terkubur bersamanya. Aku akan kuat demi bayi yang aku kandung.

“Baik, Mas. Setelah melahirkan, aku akan mengajukan cerai ke pengadilan agama.” Sudah muak dengan sikap Mas Hadi, aku segera bangkit untuk keluar.

“Tidak perlu, Sal, biar aku saja yang mengurus semua. Kau urus saja bayi pembawa sialmu itu.”

“Mas! Ini anakmu! Dan dia bukan anak pembawa sial!” Aku tak terima dengan ocehan Mas Hadi. Bisa-bisanya dia menghina darah dagingnya sendiri.

“Sudah, Salma. Ini sudah waktunya aku berangkat kerja. Aku tidak punya waktu lagi untuk mrladenimu. Silakan pergi,” ucapnya lagi seraya menangkat tangan kanannya ke arah pintu sebagai bentuk pengusirannya yang ke sekian kali.

“Baik, Mas. Kalau ini maumu. Assalamualaikum.” Aku melangkah keluar dengan kepala tegak, tanpa penyesalan dan Air mata. Sudah cukup aku menangis dan terus menangis. Aku harus bisa sabar, karena Allah selalu membersamai orang-orang yang sabar.

‘Nak, kamu jangan sedih, ya … akan selalu ada Mama yang jadi benteng pertahananmu. Mama akan selalu melindungimu, apapun yang terjadi.’

Bersambung.

Note :

_ Tidur pagi itu menghalangi datangnya rezeki. (HR Ahmad dan Baihaqi).

_ "Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah/2:153).

Bab terkait

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Mencari Pelaku

    “Hei, kamu, Salma ‘kan? Yang kemarin diarak warga?” Seorang ibu-ibu datang menghampiriku yang tengah duduk di pos ronda. Setelah keluar dari kontrakan, aku segera pamit pada Wulan untuk menjauh dari kehidupan Mas Hadi. Berbekal uang pinjaman dari Wulan untuk ongkos pulang kampung, aku berjalan menuju pangkalan ojek terdekat. Meski berat, akan tetapi aku harus kuat. Sebenarnya, Wulan sudah menawarkan diri untuk mengantar ke terminal. Namun, lagi-lagi Bude Ratih melarangnya untuk membantuku. Belum sampai sepuluh menit perjalanan, perutku terasa keram, hingga akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di pos ronda yang tidak jauh dari tempatku berdiri.“Maaf, Bu. Saya telah difitnah,” elakku cepat.Tatapan sinis begitu saja terhunjam dari wanita yang aku saja tidak tahu siapa namanya.“Yang bener, Mbak?” tanyanya lagi seakan tak percaya. “Iya, Bu. Saya berani bersumpah, demi Allah saya tidak melakukan apa yang dituduhkan.” “Jangan asal sumpah, sumpah ya, Mbak. Ingat, kalau b

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-06
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Menyamar

    Aku mematut diri di depan cermin. Dengan memakai cadar dan baju syar'i yang kubeli kemarin, berputar memandang benda yang memantulkan bayangku, untuk memastikan penampilan berubah dari sebelumnya. Ya, aku tengah menyamar, anggap saja begitu. Berbagai keperluan dapur belum kumiliki, karena itu lah aku harus keluar untuk membelinya. Selain itu aku juga berniat melewati gang rumah tempat Mas Hadi tinggal. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk untuk apa yang tengah kucari.Dengan menjinjing tas yang kupakai membawa bajuku kemarin aku berjalan santai menuju arah perumahan calon mantan suami. Hari ini adalah hari Sabtu, hari di mana dia libur kerja. Jadi, bisa dipastikan dia sekarang ada di rumah.Beberapa warga yang tengah duduk santai di teras rumah melihatku dengan heran, raut wajah mereka terlihat sangat penasaran dengan kehadiranku. Masuk begitu, aku tidak peduli karena tujuanku bukan untuk berkumpul dan mengobrol dengan mereka. Biarlah mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri. “A

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-09
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Menyambung Hidup

    Sudah satu minggu aku tinggal jauh dari suami dan juga orang tua. Rumah kontrakan sederhana ini menjadi saksi bisu perjalanan kisah hidupku dalam mencari kebenaran. Selama satu Minggu ini, aku belum bisa menemukan cara untuk mendapatkan informasi dan petunjuk, padahal uang sisa penjualan kalung kemarin sudah sangat menipis. Gegas aku membuka gawai, mencari apakah ada yang bisa aku lakukan untuk dapat menghasilkan uang penyambung hidup. (Menghasilkan uang dari rumah) Kira-kira seperti itulah pencarianku lewat beranda suatu aplikasi video yang sudah sangat terkenal di kalangan ibu-ibu komplek kami dulu dengan sapaan Mbak Yu tub* Ada banyak video yang sudah berbaris rapi dari atas hingga bawah. Scroll naik dan turun, memilih dan mencari apa ada yang cocok denganku yang tengah berbadan dua ini. Hingga satu video aku klik dan tonton. Video tentang menjadi penjual, tetapi tidak perlu menyetok barang. Sepertinya mudah, aku hanya perlu aktif di sosial media, menyebarkan link penjualan k

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-10
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Pria di Masa Lalu

    ‘Hah! Dia ‘kan ….’“Mbak Salma lihat apa? Fokus banget,” celetuk Bu Ningrum tiba-tiba, membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya. Untung saja aku memakai cadar, jadi dia tidak melihat wajahku yang memerah karena malu.“Eh, enggak ada, Bu. Lagi lihat warga sini ternyata banyak juga, ya,” jawabku sekenanya sambil menenangkan hati. “Oh, begitu … jadi di komplek ini memang banyak warganya, Mbak. Kalau dibanding komplek sebelah sih masih jauh banyak warga di komplek sini. Tapi orangnya baik-baik kok, Mbak. Percaya deh,” tutur Bu Ningrum dengan tersenyum.“Iya, Bu. Saya percaya kok. Alhamdulillah juga saya dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Bu Ningrum ini,” balasku juga dengan tersenyum.“Ah, Mbak Ifah bisa aja,” celetuknya dengan tersipu, dan aku hanya bisa tersenyum di balik cadar.“Bapak dan Ibu sekalian, perkenalkan, nama saya Afifurrahman, panggil saja Afif atau Rahman. Saya tinggal di sini bersama adik perempuan saya yang tadi pagi mengundang Bapak dan Ibu, namanya N

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-16
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Kenyataan Baru

    Hah! Itu suara Gus Afif. Pasti dia tengah mencari adik perempuannya. Bagaimana ini??Gegas kuusap air yang sebenarnya masih ingin mengalir dari sudut kedua mata. “Husna, itu suara abangmu,” bisikku pada gadis yang masih larut dalam sedih. Namun, dia hanya menjawab dengan gelengan lembut tanpa berniat bangkit dan mendatangi sang kakak. Pada akhirnya, aku memberanikan diri beranjak menuju pintu yang di baliknya ada sosok yang dulu pernah menggetarkan jiwa, bahkan sampai detik ini, getaran itu datang kembali tanpa diminta. Astaghfirullah, aku harus bisa mengendalikan diri, karena bagaimanapun aku belum betul-betul berpisah dengan Mas Hadi.“Assalamualaikum,” ucap pemuda itu lagi dengan getaran khawatir yang terdengar dari suaranya.Mendengar suara itu begitu dekat, dadaku semakin sesak, kegusaran menghampiri tanpa permisi. Bagaimana ini? Apa aku harus membukakan pintu untuknya? Sepertinya aku belum sanggup untuk bertatap muka. Namun, jika tidak cepat kubuka, yang ada dia akan berpikira

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-17
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Fitnah

    “Dek, tolong ke Taman Kenanga sekarang, ya … di persimpangan jalan arah rumah kita.” Suara berat Mas Hadi langsung terdengar setelah beberapa detik lalu aku menerima panggilan dari nomor yang tidak kukenal. Nada khawatir dan panik begitu nyata terdengar di telinga. “Apa yang terjadi, Mas?!” tanyaku pada pria yang ada di ujung telpon. “Maaf, Dek. Tadi Mas nggak sengaja menabrak motor lain karena oleng. Jadi, ini Mas dimintai ganti rugi sama yang punya motor. Mana motor kita juga rusak parah lagi.” Hembusan napas kasar menutup ceritanya. “Baik, Mas. Tunggu sebentar.” Panggilan pun terputus. Aku tak ingin banyak bertanya lagi karena sekarang Mas Hadi lebih membutuhkan kehadiranku di sana. Gegas kuambil semua uang tabungan yang ada, memasukkannya ke dalam tas kecil dan segera memakai jilbab instan agar lebih mudah dan cepat. Tak lupa mengunci pintu dan segera menuju rumah Wulan, tetangga sekaligus teman dekatku untuk meminjam motor agar cepat sampai tujuan. Ya, motor kami hanya ada

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-29
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Sidang dadakan

    Di sepanjang perjalanan, aku terus meratapi nasib malang yang menimpa. Tidak pernah terbayangkan jika hari ini aku menjadi tersangka tindak asusila yang aku sendiri bahkan tidak memperbuatnya. Ya Allah … tolong hamba untuk bisa terlepas dari jerat fitnah ini. “Jalannya cepetan dikit napa? Lelet banget!” hardik Bude Ratih sambil menarikku lebih keras dari sebelumnya. Pergelangan tanganku rasanya perih sekali, mungkin ada sedikit luka yang tersemat di sana. Namun, aku tidak sanggup lagi untuk berkata-kata. “Iya, nih. Sudah mau Maghrib tau!” balas Ibu Dewi yang sedari tadi ikut menghinaku.Derai air mata tidak dapat terbendung lagi. Kejadian ini benar-benar telah meruntuhkan duniaku. Mas Hadi, semoga kamu masih bisa percaya padaku, Mas. Aku ini istri yang selalu berbakti padamu. Segala yang aku lakukan hanya untuk membuatmu nyaman, agar kita bisa hidup bahagia dan damai dalam rumah tangga kita

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-29
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Anak Siapa?

    “Salma! Bangun, Salma ….” Sayup-sayup terdengar suara memaggil namaku. Ya, itu suara Wulan sahabatku. Kini mulai terasa nyata suara Wulan yang masih memanggil. Terasa juga ada tangan yang menepuk lembut kedua pipi. Mas Hadi, kamu kah itu, Mas? Apakah kamu begitu mengkhawatirkanku, hingga tidak ingin kehilangan aku? Kedua mata mulai terbuka perlahan. Ingin melihat senyum pria tersayang. Namun, kenyataan yang kuterima tidak semanis bayangan beberaapa detik lalu. Bukan Mas Hadi yang kudapati di hadapanku, melainkan Wulan, gadis berparas ayu dan hitam manis dengan senyumnya menyambut kesadaranku.“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Sal. Aku takut kamu kenapa-napa tadi.” Wulan benar sahabat yang baik, tidak seperti Bude Darmi ibunya. Aku berusaha tersenyum pada Wulan, meyakinkan dia bahwa aku tidak apa-apa. “Aku mau duduk dulu, Lan,” ucapku seraya bangkit dengan satu tangan yang masih seti

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-29

Bab terbaru

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Kenyataan Baru

    Hah! Itu suara Gus Afif. Pasti dia tengah mencari adik perempuannya. Bagaimana ini??Gegas kuusap air yang sebenarnya masih ingin mengalir dari sudut kedua mata. “Husna, itu suara abangmu,” bisikku pada gadis yang masih larut dalam sedih. Namun, dia hanya menjawab dengan gelengan lembut tanpa berniat bangkit dan mendatangi sang kakak. Pada akhirnya, aku memberanikan diri beranjak menuju pintu yang di baliknya ada sosok yang dulu pernah menggetarkan jiwa, bahkan sampai detik ini, getaran itu datang kembali tanpa diminta. Astaghfirullah, aku harus bisa mengendalikan diri, karena bagaimanapun aku belum betul-betul berpisah dengan Mas Hadi.“Assalamualaikum,” ucap pemuda itu lagi dengan getaran khawatir yang terdengar dari suaranya.Mendengar suara itu begitu dekat, dadaku semakin sesak, kegusaran menghampiri tanpa permisi. Bagaimana ini? Apa aku harus membukakan pintu untuknya? Sepertinya aku belum sanggup untuk bertatap muka. Namun, jika tidak cepat kubuka, yang ada dia akan berpikira

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Pria di Masa Lalu

    ‘Hah! Dia ‘kan ….’“Mbak Salma lihat apa? Fokus banget,” celetuk Bu Ningrum tiba-tiba, membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya. Untung saja aku memakai cadar, jadi dia tidak melihat wajahku yang memerah karena malu.“Eh, enggak ada, Bu. Lagi lihat warga sini ternyata banyak juga, ya,” jawabku sekenanya sambil menenangkan hati. “Oh, begitu … jadi di komplek ini memang banyak warganya, Mbak. Kalau dibanding komplek sebelah sih masih jauh banyak warga di komplek sini. Tapi orangnya baik-baik kok, Mbak. Percaya deh,” tutur Bu Ningrum dengan tersenyum.“Iya, Bu. Saya percaya kok. Alhamdulillah juga saya dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Bu Ningrum ini,” balasku juga dengan tersenyum.“Ah, Mbak Ifah bisa aja,” celetuknya dengan tersipu, dan aku hanya bisa tersenyum di balik cadar.“Bapak dan Ibu sekalian, perkenalkan, nama saya Afifurrahman, panggil saja Afif atau Rahman. Saya tinggal di sini bersama adik perempuan saya yang tadi pagi mengundang Bapak dan Ibu, namanya N

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Menyambung Hidup

    Sudah satu minggu aku tinggal jauh dari suami dan juga orang tua. Rumah kontrakan sederhana ini menjadi saksi bisu perjalanan kisah hidupku dalam mencari kebenaran. Selama satu Minggu ini, aku belum bisa menemukan cara untuk mendapatkan informasi dan petunjuk, padahal uang sisa penjualan kalung kemarin sudah sangat menipis. Gegas aku membuka gawai, mencari apakah ada yang bisa aku lakukan untuk dapat menghasilkan uang penyambung hidup. (Menghasilkan uang dari rumah) Kira-kira seperti itulah pencarianku lewat beranda suatu aplikasi video yang sudah sangat terkenal di kalangan ibu-ibu komplek kami dulu dengan sapaan Mbak Yu tub* Ada banyak video yang sudah berbaris rapi dari atas hingga bawah. Scroll naik dan turun, memilih dan mencari apa ada yang cocok denganku yang tengah berbadan dua ini. Hingga satu video aku klik dan tonton. Video tentang menjadi penjual, tetapi tidak perlu menyetok barang. Sepertinya mudah, aku hanya perlu aktif di sosial media, menyebarkan link penjualan k

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Menyamar

    Aku mematut diri di depan cermin. Dengan memakai cadar dan baju syar'i yang kubeli kemarin, berputar memandang benda yang memantulkan bayangku, untuk memastikan penampilan berubah dari sebelumnya. Ya, aku tengah menyamar, anggap saja begitu. Berbagai keperluan dapur belum kumiliki, karena itu lah aku harus keluar untuk membelinya. Selain itu aku juga berniat melewati gang rumah tempat Mas Hadi tinggal. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk untuk apa yang tengah kucari.Dengan menjinjing tas yang kupakai membawa bajuku kemarin aku berjalan santai menuju arah perumahan calon mantan suami. Hari ini adalah hari Sabtu, hari di mana dia libur kerja. Jadi, bisa dipastikan dia sekarang ada di rumah.Beberapa warga yang tengah duduk santai di teras rumah melihatku dengan heran, raut wajah mereka terlihat sangat penasaran dengan kehadiranku. Masuk begitu, aku tidak peduli karena tujuanku bukan untuk berkumpul dan mengobrol dengan mereka. Biarlah mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri. “A

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Mencari Pelaku

    “Hei, kamu, Salma ‘kan? Yang kemarin diarak warga?” Seorang ibu-ibu datang menghampiriku yang tengah duduk di pos ronda. Setelah keluar dari kontrakan, aku segera pamit pada Wulan untuk menjauh dari kehidupan Mas Hadi. Berbekal uang pinjaman dari Wulan untuk ongkos pulang kampung, aku berjalan menuju pangkalan ojek terdekat. Meski berat, akan tetapi aku harus kuat. Sebenarnya, Wulan sudah menawarkan diri untuk mengantar ke terminal. Namun, lagi-lagi Bude Ratih melarangnya untuk membantuku. Belum sampai sepuluh menit perjalanan, perutku terasa keram, hingga akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di pos ronda yang tidak jauh dari tempatku berdiri.“Maaf, Bu. Saya telah difitnah,” elakku cepat.Tatapan sinis begitu saja terhunjam dari wanita yang aku saja tidak tahu siapa namanya.“Yang bener, Mbak?” tanyanya lagi seakan tak percaya. “Iya, Bu. Saya berani bersumpah, demi Allah saya tidak melakukan apa yang dituduhkan.” “Jangan asal sumpah, sumpah ya, Mbak. Ingat, kalau b

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Ucapan Pahit

    “Salma?! Apa-apaan, ini? Kenapa kamu berada di rumahku?! … Pergi kamu, aku tidak mau rumahku diinjak pelac*r sepertimu!” Bagai petir menyambar, suara Bude Ratih seolah mengeluarkan dengung di telinga. Meski sebelumnya aku sudah dapat menebak, tetapi nyatanya hatiku belum siap kembali mendengar cemooh dan umpatannya.Wulan berusaha masuk dengan melewati wanita berdaster itu. Namun, tenaganya kalah kuat dari sang ibu. “Kenapa kamu ajak dia ke sini? Mau dapat sial kamu, Hah?!” Bentak Bude Ratih pada anak gadisnya. Wulan hanya terdiam memandangi ibunya. Pandangan yang sulit untuk kuartikan. Sekejap kemudian, sekuat tenaga dia menarik lengan Bude Ratih untuk keluar kamar.“Bentar ya, Sal. Aku ngomong sama Ibu dulu.” Wulan berpamitan padaku sambil menarik lengan ibunya.“Iya, Lan,” jawabku singkat karena masih syok dengan umpatan Bude Ratih yang menyebutku sebagai pelacur. Ya Allah … sehina itu kah hamb

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Sahabat Baik

    Aku tak menyangka Mas Hadi tega mengusirku dari rumah ini, rumah yang selama ini terasa seperti surga bagiku. Bagaimana tidak, kamu adalah sepasang suami istri yang selalu bahagia, jarang sekali perselisihan terjadi di rumah ini. Hanya ada damai, kasih sayang dan pengertian dari suami istri. Ketika kehangatan rumah ini terasa di hati, waktu itu aku berpikir, seperti inikah yang disabdakan Rasulullah, “Baiti jannati”? Namun, surga kami sepertinya tidak mampu bertahan lama. Ada duri tajam yang melukai kebahagiaan kami. Ibarat cermin, maka kini cerminku sudah retak, bahkan mungkin akan hancur berkeping-keping. Aku tau ini adalah ujian, akan tetapi aku merasa terlalu lemah menghadapinya. Ya Rabb … kuatkan hati dan iman hamba dalam menghadapi ujian-Mu.“Kenapa kamu masih berdiri di situ? Kemasi barang-barang secepatnya, dan jangan pernah kembali lagi.” Tanpa memandangku Mas Hadi berkata seolah aku adalah seorang pendosa yang haru

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Anak Siapa?

    “Salma! Bangun, Salma ….” Sayup-sayup terdengar suara memaggil namaku. Ya, itu suara Wulan sahabatku. Kini mulai terasa nyata suara Wulan yang masih memanggil. Terasa juga ada tangan yang menepuk lembut kedua pipi. Mas Hadi, kamu kah itu, Mas? Apakah kamu begitu mengkhawatirkanku, hingga tidak ingin kehilangan aku? Kedua mata mulai terbuka perlahan. Ingin melihat senyum pria tersayang. Namun, kenyataan yang kuterima tidak semanis bayangan beberaapa detik lalu. Bukan Mas Hadi yang kudapati di hadapanku, melainkan Wulan, gadis berparas ayu dan hitam manis dengan senyumnya menyambut kesadaranku.“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Sal. Aku takut kamu kenapa-napa tadi.” Wulan benar sahabat yang baik, tidak seperti Bude Darmi ibunya. Aku berusaha tersenyum pada Wulan, meyakinkan dia bahwa aku tidak apa-apa. “Aku mau duduk dulu, Lan,” ucapku seraya bangkit dengan satu tangan yang masih seti

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Sidang dadakan

    Di sepanjang perjalanan, aku terus meratapi nasib malang yang menimpa. Tidak pernah terbayangkan jika hari ini aku menjadi tersangka tindak asusila yang aku sendiri bahkan tidak memperbuatnya. Ya Allah … tolong hamba untuk bisa terlepas dari jerat fitnah ini. “Jalannya cepetan dikit napa? Lelet banget!” hardik Bude Ratih sambil menarikku lebih keras dari sebelumnya. Pergelangan tanganku rasanya perih sekali, mungkin ada sedikit luka yang tersemat di sana. Namun, aku tidak sanggup lagi untuk berkata-kata. “Iya, nih. Sudah mau Maghrib tau!” balas Ibu Dewi yang sedari tadi ikut menghinaku.Derai air mata tidak dapat terbendung lagi. Kejadian ini benar-benar telah meruntuhkan duniaku. Mas Hadi, semoga kamu masih bisa percaya padaku, Mas. Aku ini istri yang selalu berbakti padamu. Segala yang aku lakukan hanya untuk membuatmu nyaman, agar kita bisa hidup bahagia dan damai dalam rumah tangga kita

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status