“Dek, tolong ke Taman Kenanga sekarang, ya … di persimpangan jalan arah rumah kita.” Suara berat Mas Hadi langsung terdengar setelah beberapa detik lalu aku menerima panggilan dari nomor yang tidak kukenal. Nada khawatir dan panik begitu nyata terdengar di telinga.
“Apa yang terjadi, Mas?!” tanyaku pada pria yang ada di ujung telpon. “Maaf, Dek. Tadi Mas nggak sengaja menabrak motor lain karena oleng. Jadi, ini Mas dimintai ganti rugi sama yang punya motor. Mana motor kita juga rusak parah lagi.” Hembusan napas kasar menutup ceritanya. “Baik, Mas. Tunggu sebentar.” Panggilan pun terputus. Aku tak ingin banyak bertanya lagi karena sekarang Mas Hadi lebih membutuhkan kehadiranku di sana. Gegas kuambil semua uang tabungan yang ada, memasukkannya ke dalam tas kecil dan segera memakai jilbab instan agar lebih mudah dan cepat. Tak lupa mengunci pintu dan segera menuju rumah Wulan, tetangga sekaligus teman dekatku untuk meminjam motor agar cepat sampai tujuan. Ya, motor kami hanya ada satu yang dipakai Mas Hadi untuk pulang pergi ke kantor tempat dia bekerja. Sebagai karyawan biasa di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang textile, gajinya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan jika sekali waktu dia mendapat bonus, baru lah kami bisa menyisihkan sedikit uang untuk menabung. “Hati-hati, Salma. Jalanan pasti licin habis hujan gini,” ucap Wulan ketika aku mulai menstater motor matic miliknya. “Iya, Lan. Makasih, ya. Aku berangkat dulu.” Tak menunggu jawaban Wulan, aku segera melaju dengan cepat menuju tempat sesuai arahan Mas Hadi di telpon. Hawa dingin mulai terasa menusuk tulang karena hujan deras baru saja berhenti beberapa menit yang lalu, ditambah lagi dengan suasana yang mulai redup karena hari sudah mulai petang. Namun, semua tak kuhiraukan sebab Mas Hadi sudah menunggu. Sampai di Taman Kenanga, segera kutepikan motor dan memarkirnya. Kuedarkan pandangan mencari sosok Mas Hadi. Namun, sepi … tidak ada siapa pun di sini. Berkali-kali aku mencari dan mencari. Dari satu sisi taman pindah ke sisi yang lain, tetapi tetap saja tidak kudapati. Mas, sebenarnya kamu di mana? Kalau bukan kamu yang telpon tadi, lalu siapa? Rentetan pertanyaan mulai datang satu persatu meminta jawab yang aku pun tidak tahu pada siapa. Kusisir semua area taman yang lumayan luas. Namun, tidak juga kujumpai suamiku dimana. Setelah lelah mencari, aku memilih duduk di kursi taman yang tidak jauh dari tempat terakhir pencarian. Meski basah karena hujan, tetapi rasa lelah memaksaku untuk mendudukinya. Hari semakin petang dan tidak ada seorang pun yang berlalu lalang di sini. Hingga datang lah seorang menyapa. “Maaf, Mbak. Apakah benar dengan Mbak Salma?” ucap seorang pemuda sopan. “Iya, benar, Mas,” jawabku jujur. “Saya diminta Mas Hadi untuk mengantar Mbak bertemu dia,” ucapnya lagi. "Memangnya Mas ini siapa, ya. Kenapa bisa tau suami saya." Aku tidak mau percaya begitu saja. Harus ada penjelasan dari semua. “Tadi saya melihat Mas Hadi di tepi jalan sana. Kasihan motornya rusak parah. Lalu saya berinisiatif menolongnya," terang pemuda itu lagi dengan mimik sangat serius. Dia menunjuk satu sisi jalan tepat di sebelah kami. "Kalau begitu, sekarang suami saya di mana?" tanyaku penasaran. Mendengar pernyataan darinya membuatku gusar. Teringat kemalangan yang menimpa suami. "Ayo, ikut saya, Mbak. Suami Mbak ada di sana," tunjuknya lagi pada sebuah rumah di seberang jalan. Rumah itu terlihat kosong dan sepi. Mana mungkin Mas Hadi ada di sana. Jangan-jangan pemuda ini hanya menipuku saja. Namun, bagaimana kalau Mas Hadi benar-benar ada di dalam sana dan dia sedang terluka. "Baiklah," jawabku singkat. Demi untuk menjemput suami, aku harus percaya pada pemuda yang mulai berjalan di depanku ini. Jalanan yang terasa lenggang membuat kami menyebarang dengan sangat mudah, hingga kami akhirnya sampai di depan rumah yang dituju. "Silakan masuk, Mbak. Mas Hadi sudah menunggu di dalam," ucap pemuda dengan sopan seraya membuka pintu kayu. Tanpa berpikir panjang aku segera melangkah masuk. Namun, keadaan benar-benar sepi, Bahkan seperti tidak ada kehidupan di sini. "Di mana suami saya?!" Aku mulai panik dan bertanya kepada pemuda yang sampai sekarang aku belum tau siapa namanya. Pria muda itu hanya tersenyum. Senyum miring penuh dengan misteri. Ya Allah, kenapa secepat ini aku percaya padanya. "Santai dulu, Salma. Kita bis bersenang-senang dulu di sini," ucapnya dengan langkah mendekati. "Berhenti! Jangan coba-coba mendekat!" Aku kebingungan. Berlari menuju pintu, ternyata tidak bisa dibuka. Sial, dia sudah mengunci pintu ini. Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya. "Mau lari ke mana?" ucapnya lagi seraya meraih jilbab pashmina yang aku pakai. "Jangan pegang-pegang!" Aku menarik paksa jilbab yang sebagian ujungnya berada di genggaman pemuda itu. Namun, itu justru membuat jahitan di bagian dagu jilbab robek, dan jilbab pun terbuka. "Nah, gitu dong. Kan lebih terlihat cantik," seringai pemuda yang kini bahkan sudah mulai memelukku. Brugh! Seorang membuka paksa pintu kayu yang tadi sangat susah untuk kubuka. “Oh, jadi begini kelakuan kamu, Salma! … Dasar kamu ini, ya. Suami baru pulang kerja tidak disambut, malah kelayapan cari kehangatan di tempat lain.” Suara cempreng Bude Ratih benar-benar membuatku terkejut. Namun, tidak dengan pemuda yang masih memelukku. Astaghfirullah, segera aku menarik diri dengan paksa dari pemuda ini dari pemuda berbadan tegap yang masih diam saja. “Bukan begitu Bude, saya hanya dijebak. Justru saya ke sini tadi nyariin Mas Hadi.” Aku tidak mau diadili begitu saja oleh Bude Ratih. Meski dia lebih tua dariku, tetapi di sini aku memang tidak bersalah. “Nggak usah ngelak deh. Lha wong saya sudah lihat sendiri. Tuh, kerudung yang kamu pakai aja sampai acak-acakan hampir terlepas. lagian, nyariin suami kok berdua di sini dengan laki-laki lain. Dasar munafik! Cuih!” Ejekan dan hinaan perempuan berbadan tambun ini benar-benar membuat hatiku nyeri. Rasanya bagai ditusuk dengan belati tajam. “Tidak, Bude harus ingat! Fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan,” ucapku dibumbui dengan perasan benar-benar tidak terima. “Ada apa ini?” Di saat aku sedang ingin menjelaskan kebenaran dari apa yang dilihat Bude Ratih, tiba-tiba Pak RT datang dengan beberapa warga. Aku semakin terkejut melihat mereka datang bersamaan. Sungguh, keadaan ini membuatku bingung. “Nggak ada apa-apa, Pak. Ini hanya salah paham,” jawabku dengan suara bergetar. “Nggak ada apa-apa gimana?! Ini ada perselingkuhan, Pak! Bapak sebagai ketua RT harus bertindak tegas!” Seru Bude Ratih. “Bener nggak para warga semua?!” Perempuan berdaster biru langit ini mulai memprovokasi para warga yang datang. “Betul itu! Yang salah harus dihukum! Kalau perlu kita usir dari komplek kita, Pak!” “Betul! Betul!!” Suara warga begitu riuh bersahut-sahutan menanggapi dan menghakimi apa yang sebenarnya tidak aku perbuat. “Apa yang dikatakan mereka itu benar, Mbak?” Pak RT mencoba bertabayun, mencari kebenaran dari tuduhan yang aku terima. “Wallahi, demi Allah, saya tidak seperti apa yang mereka tuduhkan, Pak,” jawabku jujur disertai bulir bening yang mulai mengalir dari dua sudut mata. Pertahananku runtuh, air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya tumpah juga. “Jangan bawa-bawa Allah kalau lagi maksiat! Ingat dosa, woi!” Suara seorang warga begitu memekakkan telinga diiringi riuh warga yang lain turut menanggapi. “Sudah, sudah … kita bubar dulu karena ini sudah mau Magrib. Nanti kita bicarakan baik-baik di rumah Mbak Salma selepas salat Magrib.” Pak RT menginterupsi para warga dengan tegas. “Nanggung, Pak. Mumpung belum Magrib kita arak aja Mbak Salma sama pacar gelapnya ini ke rumah Mas Hadi. Biar suaminya itu tahu kelakuan bejat istrinya!” Lagi-lagi Bude Ratih membuat keputusan yang memojokkanku. Namun, sialnya para warga menyetujui. “Betul …!!” seru warga lain, yang aku sendiri kurang paham siapa mereka. Maklum, karena memang baru satu tahun aku dan Mas Hadi pindah ke komplek ini dan aku memang jarang keluar rumah. Pak RT menggelengkan kepala melihat tingkah para warga yang tidak mau mendengar ajakannya. “Mbak Salma, maaf ya, sementara kita ikuti para warga dulu, daripada ribut-ribut di sini. Nggak baik. Kasihan Mbak Salma juga kalau nanti lebih banyak warga yang datang.” Pak RT berkata bijak. “Ayo, Pak! Lama banget sih. Keburu Magrib ini!” Bude Ratih tiba-tiba menarik kasar tanganku. dia setengah menyeret agar aku turut bergerak mengikutinya. “Sakit … Bude. Pelan-pelan,” rintihku ditengah perlakuan perempuan berambut pirang ini. Tangan besarnya begitu kuat mencengkeram tangan kananku dan menyeret di waktu bersamaan. Sedang tangan kiriku sibuk menjaga agar jilbabku tidak terlepas. “Nggak usah ngeluh! Sudah salah masih aja banyak tingkah!” Perempuan tambun ini susah sekali diajak kompromi. Bagai anak sapi yang dicucuk hidungnya, dia bebas menarikku kemanapun dia mau. Sedang pemuda yang tadi bersamaku, dia turut digiring oleh beberapa warga di belakang. Ya Allaaah … bagaimana ini? Apa Mas Hadi masih mempercayaiku jika dia mengetahui kejadian ini? Atau justru dia turut percaya pada warga dan akan murka padaku? Bersambung. Note: "Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan." QS. Al-Baqarah Ayat 191Di sepanjang perjalanan, aku terus meratapi nasib malang yang menimpa. Tidak pernah terbayangkan jika hari ini aku menjadi tersangka tindak asusila yang aku sendiri bahkan tidak memperbuatnya. Ya Allah … tolong hamba untuk bisa terlepas dari jerat fitnah ini. “Jalannya cepetan dikit napa? Lelet banget!” hardik Bude Ratih sambil menarikku lebih keras dari sebelumnya. Pergelangan tanganku rasanya perih sekali, mungkin ada sedikit luka yang tersemat di sana. Namun, aku tidak sanggup lagi untuk berkata-kata. “Iya, nih. Sudah mau Maghrib tau!” balas Ibu Dewi yang sedari tadi ikut menghinaku.Derai air mata tidak dapat terbendung lagi. Kejadian ini benar-benar telah meruntuhkan duniaku. Mas Hadi, semoga kamu masih bisa percaya padaku, Mas. Aku ini istri yang selalu berbakti padamu. Segala yang aku lakukan hanya untuk membuatmu nyaman, agar kita bisa hidup bahagia dan damai dalam rumah tangga kita
“Salma! Bangun, Salma ….” Sayup-sayup terdengar suara memaggil namaku. Ya, itu suara Wulan sahabatku. Kini mulai terasa nyata suara Wulan yang masih memanggil. Terasa juga ada tangan yang menepuk lembut kedua pipi. Mas Hadi, kamu kah itu, Mas? Apakah kamu begitu mengkhawatirkanku, hingga tidak ingin kehilangan aku? Kedua mata mulai terbuka perlahan. Ingin melihat senyum pria tersayang. Namun, kenyataan yang kuterima tidak semanis bayangan beberaapa detik lalu. Bukan Mas Hadi yang kudapati di hadapanku, melainkan Wulan, gadis berparas ayu dan hitam manis dengan senyumnya menyambut kesadaranku.“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Sal. Aku takut kamu kenapa-napa tadi.” Wulan benar sahabat yang baik, tidak seperti Bude Darmi ibunya. Aku berusaha tersenyum pada Wulan, meyakinkan dia bahwa aku tidak apa-apa. “Aku mau duduk dulu, Lan,” ucapku seraya bangkit dengan satu tangan yang masih seti
Aku tak menyangka Mas Hadi tega mengusirku dari rumah ini, rumah yang selama ini terasa seperti surga bagiku. Bagaimana tidak, kamu adalah sepasang suami istri yang selalu bahagia, jarang sekali perselisihan terjadi di rumah ini. Hanya ada damai, kasih sayang dan pengertian dari suami istri. Ketika kehangatan rumah ini terasa di hati, waktu itu aku berpikir, seperti inikah yang disabdakan Rasulullah, “Baiti jannati”? Namun, surga kami sepertinya tidak mampu bertahan lama. Ada duri tajam yang melukai kebahagiaan kami. Ibarat cermin, maka kini cerminku sudah retak, bahkan mungkin akan hancur berkeping-keping. Aku tau ini adalah ujian, akan tetapi aku merasa terlalu lemah menghadapinya. Ya Rabb … kuatkan hati dan iman hamba dalam menghadapi ujian-Mu.“Kenapa kamu masih berdiri di situ? Kemasi barang-barang secepatnya, dan jangan pernah kembali lagi.” Tanpa memandangku Mas Hadi berkata seolah aku adalah seorang pendosa yang haru
“Salma?! Apa-apaan, ini? Kenapa kamu berada di rumahku?! … Pergi kamu, aku tidak mau rumahku diinjak pelac*r sepertimu!” Bagai petir menyambar, suara Bude Ratih seolah mengeluarkan dengung di telinga. Meski sebelumnya aku sudah dapat menebak, tetapi nyatanya hatiku belum siap kembali mendengar cemooh dan umpatannya.Wulan berusaha masuk dengan melewati wanita berdaster itu. Namun, tenaganya kalah kuat dari sang ibu. “Kenapa kamu ajak dia ke sini? Mau dapat sial kamu, Hah?!” Bentak Bude Ratih pada anak gadisnya. Wulan hanya terdiam memandangi ibunya. Pandangan yang sulit untuk kuartikan. Sekejap kemudian, sekuat tenaga dia menarik lengan Bude Ratih untuk keluar kamar.“Bentar ya, Sal. Aku ngomong sama Ibu dulu.” Wulan berpamitan padaku sambil menarik lengan ibunya.“Iya, Lan,” jawabku singkat karena masih syok dengan umpatan Bude Ratih yang menyebutku sebagai pelacur. Ya Allah … sehina itu kah hamb
“Hei, kamu, Salma ‘kan? Yang kemarin diarak warga?” Seorang ibu-ibu datang menghampiriku yang tengah duduk di pos ronda. Setelah keluar dari kontrakan, aku segera pamit pada Wulan untuk menjauh dari kehidupan Mas Hadi. Berbekal uang pinjaman dari Wulan untuk ongkos pulang kampung, aku berjalan menuju pangkalan ojek terdekat. Meski berat, akan tetapi aku harus kuat. Sebenarnya, Wulan sudah menawarkan diri untuk mengantar ke terminal. Namun, lagi-lagi Bude Ratih melarangnya untuk membantuku. Belum sampai sepuluh menit perjalanan, perutku terasa keram, hingga akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di pos ronda yang tidak jauh dari tempatku berdiri.“Maaf, Bu. Saya telah difitnah,” elakku cepat.Tatapan sinis begitu saja terhunjam dari wanita yang aku saja tidak tahu siapa namanya.“Yang bener, Mbak?” tanyanya lagi seakan tak percaya. “Iya, Bu. Saya berani bersumpah, demi Allah saya tidak melakukan apa yang dituduhkan.” “Jangan asal sumpah, sumpah ya, Mbak. Ingat, kalau b
Aku mematut diri di depan cermin. Dengan memakai cadar dan baju syar'i yang kubeli kemarin, berputar memandang benda yang memantulkan bayangku, untuk memastikan penampilan berubah dari sebelumnya. Ya, aku tengah menyamar, anggap saja begitu. Berbagai keperluan dapur belum kumiliki, karena itu lah aku harus keluar untuk membelinya. Selain itu aku juga berniat melewati gang rumah tempat Mas Hadi tinggal. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk untuk apa yang tengah kucari.Dengan menjinjing tas yang kupakai membawa bajuku kemarin aku berjalan santai menuju arah perumahan calon mantan suami. Hari ini adalah hari Sabtu, hari di mana dia libur kerja. Jadi, bisa dipastikan dia sekarang ada di rumah.Beberapa warga yang tengah duduk santai di teras rumah melihatku dengan heran, raut wajah mereka terlihat sangat penasaran dengan kehadiranku. Masuk begitu, aku tidak peduli karena tujuanku bukan untuk berkumpul dan mengobrol dengan mereka. Biarlah mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri. “A
Sudah satu minggu aku tinggal jauh dari suami dan juga orang tua. Rumah kontrakan sederhana ini menjadi saksi bisu perjalanan kisah hidupku dalam mencari kebenaran. Selama satu Minggu ini, aku belum bisa menemukan cara untuk mendapatkan informasi dan petunjuk, padahal uang sisa penjualan kalung kemarin sudah sangat menipis. Gegas aku membuka gawai, mencari apakah ada yang bisa aku lakukan untuk dapat menghasilkan uang penyambung hidup. (Menghasilkan uang dari rumah) Kira-kira seperti itulah pencarianku lewat beranda suatu aplikasi video yang sudah sangat terkenal di kalangan ibu-ibu komplek kami dulu dengan sapaan Mbak Yu tub* Ada banyak video yang sudah berbaris rapi dari atas hingga bawah. Scroll naik dan turun, memilih dan mencari apa ada yang cocok denganku yang tengah berbadan dua ini. Hingga satu video aku klik dan tonton. Video tentang menjadi penjual, tetapi tidak perlu menyetok barang. Sepertinya mudah, aku hanya perlu aktif di sosial media, menyebarkan link penjualan k
‘Hah! Dia ‘kan ….’“Mbak Salma lihat apa? Fokus banget,” celetuk Bu Ningrum tiba-tiba, membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya. Untung saja aku memakai cadar, jadi dia tidak melihat wajahku yang memerah karena malu.“Eh, enggak ada, Bu. Lagi lihat warga sini ternyata banyak juga, ya,” jawabku sekenanya sambil menenangkan hati. “Oh, begitu … jadi di komplek ini memang banyak warganya, Mbak. Kalau dibanding komplek sebelah sih masih jauh banyak warga di komplek sini. Tapi orangnya baik-baik kok, Mbak. Percaya deh,” tutur Bu Ningrum dengan tersenyum.“Iya, Bu. Saya percaya kok. Alhamdulillah juga saya dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Bu Ningrum ini,” balasku juga dengan tersenyum.“Ah, Mbak Ifah bisa aja,” celetuknya dengan tersipu, dan aku hanya bisa tersenyum di balik cadar.“Bapak dan Ibu sekalian, perkenalkan, nama saya Afifurrahman, panggil saja Afif atau Rahman. Saya tinggal di sini bersama adik perempuan saya yang tadi pagi mengundang Bapak dan Ibu, namanya N
Hah! Itu suara Gus Afif. Pasti dia tengah mencari adik perempuannya. Bagaimana ini??Gegas kuusap air yang sebenarnya masih ingin mengalir dari sudut kedua mata. “Husna, itu suara abangmu,” bisikku pada gadis yang masih larut dalam sedih. Namun, dia hanya menjawab dengan gelengan lembut tanpa berniat bangkit dan mendatangi sang kakak. Pada akhirnya, aku memberanikan diri beranjak menuju pintu yang di baliknya ada sosok yang dulu pernah menggetarkan jiwa, bahkan sampai detik ini, getaran itu datang kembali tanpa diminta. Astaghfirullah, aku harus bisa mengendalikan diri, karena bagaimanapun aku belum betul-betul berpisah dengan Mas Hadi.“Assalamualaikum,” ucap pemuda itu lagi dengan getaran khawatir yang terdengar dari suaranya.Mendengar suara itu begitu dekat, dadaku semakin sesak, kegusaran menghampiri tanpa permisi. Bagaimana ini? Apa aku harus membukakan pintu untuknya? Sepertinya aku belum sanggup untuk bertatap muka. Namun, jika tidak cepat kubuka, yang ada dia akan berpikira
‘Hah! Dia ‘kan ….’“Mbak Salma lihat apa? Fokus banget,” celetuk Bu Ningrum tiba-tiba, membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya. Untung saja aku memakai cadar, jadi dia tidak melihat wajahku yang memerah karena malu.“Eh, enggak ada, Bu. Lagi lihat warga sini ternyata banyak juga, ya,” jawabku sekenanya sambil menenangkan hati. “Oh, begitu … jadi di komplek ini memang banyak warganya, Mbak. Kalau dibanding komplek sebelah sih masih jauh banyak warga di komplek sini. Tapi orangnya baik-baik kok, Mbak. Percaya deh,” tutur Bu Ningrum dengan tersenyum.“Iya, Bu. Saya percaya kok. Alhamdulillah juga saya dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Bu Ningrum ini,” balasku juga dengan tersenyum.“Ah, Mbak Ifah bisa aja,” celetuknya dengan tersipu, dan aku hanya bisa tersenyum di balik cadar.“Bapak dan Ibu sekalian, perkenalkan, nama saya Afifurrahman, panggil saja Afif atau Rahman. Saya tinggal di sini bersama adik perempuan saya yang tadi pagi mengundang Bapak dan Ibu, namanya N
Sudah satu minggu aku tinggal jauh dari suami dan juga orang tua. Rumah kontrakan sederhana ini menjadi saksi bisu perjalanan kisah hidupku dalam mencari kebenaran. Selama satu Minggu ini, aku belum bisa menemukan cara untuk mendapatkan informasi dan petunjuk, padahal uang sisa penjualan kalung kemarin sudah sangat menipis. Gegas aku membuka gawai, mencari apakah ada yang bisa aku lakukan untuk dapat menghasilkan uang penyambung hidup. (Menghasilkan uang dari rumah) Kira-kira seperti itulah pencarianku lewat beranda suatu aplikasi video yang sudah sangat terkenal di kalangan ibu-ibu komplek kami dulu dengan sapaan Mbak Yu tub* Ada banyak video yang sudah berbaris rapi dari atas hingga bawah. Scroll naik dan turun, memilih dan mencari apa ada yang cocok denganku yang tengah berbadan dua ini. Hingga satu video aku klik dan tonton. Video tentang menjadi penjual, tetapi tidak perlu menyetok barang. Sepertinya mudah, aku hanya perlu aktif di sosial media, menyebarkan link penjualan k
Aku mematut diri di depan cermin. Dengan memakai cadar dan baju syar'i yang kubeli kemarin, berputar memandang benda yang memantulkan bayangku, untuk memastikan penampilan berubah dari sebelumnya. Ya, aku tengah menyamar, anggap saja begitu. Berbagai keperluan dapur belum kumiliki, karena itu lah aku harus keluar untuk membelinya. Selain itu aku juga berniat melewati gang rumah tempat Mas Hadi tinggal. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk untuk apa yang tengah kucari.Dengan menjinjing tas yang kupakai membawa bajuku kemarin aku berjalan santai menuju arah perumahan calon mantan suami. Hari ini adalah hari Sabtu, hari di mana dia libur kerja. Jadi, bisa dipastikan dia sekarang ada di rumah.Beberapa warga yang tengah duduk santai di teras rumah melihatku dengan heran, raut wajah mereka terlihat sangat penasaran dengan kehadiranku. Masuk begitu, aku tidak peduli karena tujuanku bukan untuk berkumpul dan mengobrol dengan mereka. Biarlah mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri. “A
“Hei, kamu, Salma ‘kan? Yang kemarin diarak warga?” Seorang ibu-ibu datang menghampiriku yang tengah duduk di pos ronda. Setelah keluar dari kontrakan, aku segera pamit pada Wulan untuk menjauh dari kehidupan Mas Hadi. Berbekal uang pinjaman dari Wulan untuk ongkos pulang kampung, aku berjalan menuju pangkalan ojek terdekat. Meski berat, akan tetapi aku harus kuat. Sebenarnya, Wulan sudah menawarkan diri untuk mengantar ke terminal. Namun, lagi-lagi Bude Ratih melarangnya untuk membantuku. Belum sampai sepuluh menit perjalanan, perutku terasa keram, hingga akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di pos ronda yang tidak jauh dari tempatku berdiri.“Maaf, Bu. Saya telah difitnah,” elakku cepat.Tatapan sinis begitu saja terhunjam dari wanita yang aku saja tidak tahu siapa namanya.“Yang bener, Mbak?” tanyanya lagi seakan tak percaya. “Iya, Bu. Saya berani bersumpah, demi Allah saya tidak melakukan apa yang dituduhkan.” “Jangan asal sumpah, sumpah ya, Mbak. Ingat, kalau b
“Salma?! Apa-apaan, ini? Kenapa kamu berada di rumahku?! … Pergi kamu, aku tidak mau rumahku diinjak pelac*r sepertimu!” Bagai petir menyambar, suara Bude Ratih seolah mengeluarkan dengung di telinga. Meski sebelumnya aku sudah dapat menebak, tetapi nyatanya hatiku belum siap kembali mendengar cemooh dan umpatannya.Wulan berusaha masuk dengan melewati wanita berdaster itu. Namun, tenaganya kalah kuat dari sang ibu. “Kenapa kamu ajak dia ke sini? Mau dapat sial kamu, Hah?!” Bentak Bude Ratih pada anak gadisnya. Wulan hanya terdiam memandangi ibunya. Pandangan yang sulit untuk kuartikan. Sekejap kemudian, sekuat tenaga dia menarik lengan Bude Ratih untuk keluar kamar.“Bentar ya, Sal. Aku ngomong sama Ibu dulu.” Wulan berpamitan padaku sambil menarik lengan ibunya.“Iya, Lan,” jawabku singkat karena masih syok dengan umpatan Bude Ratih yang menyebutku sebagai pelacur. Ya Allah … sehina itu kah hamb
Aku tak menyangka Mas Hadi tega mengusirku dari rumah ini, rumah yang selama ini terasa seperti surga bagiku. Bagaimana tidak, kamu adalah sepasang suami istri yang selalu bahagia, jarang sekali perselisihan terjadi di rumah ini. Hanya ada damai, kasih sayang dan pengertian dari suami istri. Ketika kehangatan rumah ini terasa di hati, waktu itu aku berpikir, seperti inikah yang disabdakan Rasulullah, “Baiti jannati”? Namun, surga kami sepertinya tidak mampu bertahan lama. Ada duri tajam yang melukai kebahagiaan kami. Ibarat cermin, maka kini cerminku sudah retak, bahkan mungkin akan hancur berkeping-keping. Aku tau ini adalah ujian, akan tetapi aku merasa terlalu lemah menghadapinya. Ya Rabb … kuatkan hati dan iman hamba dalam menghadapi ujian-Mu.“Kenapa kamu masih berdiri di situ? Kemasi barang-barang secepatnya, dan jangan pernah kembali lagi.” Tanpa memandangku Mas Hadi berkata seolah aku adalah seorang pendosa yang haru
“Salma! Bangun, Salma ….” Sayup-sayup terdengar suara memaggil namaku. Ya, itu suara Wulan sahabatku. Kini mulai terasa nyata suara Wulan yang masih memanggil. Terasa juga ada tangan yang menepuk lembut kedua pipi. Mas Hadi, kamu kah itu, Mas? Apakah kamu begitu mengkhawatirkanku, hingga tidak ingin kehilangan aku? Kedua mata mulai terbuka perlahan. Ingin melihat senyum pria tersayang. Namun, kenyataan yang kuterima tidak semanis bayangan beberaapa detik lalu. Bukan Mas Hadi yang kudapati di hadapanku, melainkan Wulan, gadis berparas ayu dan hitam manis dengan senyumnya menyambut kesadaranku.“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Sal. Aku takut kamu kenapa-napa tadi.” Wulan benar sahabat yang baik, tidak seperti Bude Darmi ibunya. Aku berusaha tersenyum pada Wulan, meyakinkan dia bahwa aku tidak apa-apa. “Aku mau duduk dulu, Lan,” ucapku seraya bangkit dengan satu tangan yang masih seti
Di sepanjang perjalanan, aku terus meratapi nasib malang yang menimpa. Tidak pernah terbayangkan jika hari ini aku menjadi tersangka tindak asusila yang aku sendiri bahkan tidak memperbuatnya. Ya Allah … tolong hamba untuk bisa terlepas dari jerat fitnah ini. “Jalannya cepetan dikit napa? Lelet banget!” hardik Bude Ratih sambil menarikku lebih keras dari sebelumnya. Pergelangan tanganku rasanya perih sekali, mungkin ada sedikit luka yang tersemat di sana. Namun, aku tidak sanggup lagi untuk berkata-kata. “Iya, nih. Sudah mau Maghrib tau!” balas Ibu Dewi yang sedari tadi ikut menghinaku.Derai air mata tidak dapat terbendung lagi. Kejadian ini benar-benar telah meruntuhkan duniaku. Mas Hadi, semoga kamu masih bisa percaya padaku, Mas. Aku ini istri yang selalu berbakti padamu. Segala yang aku lakukan hanya untuk membuatmu nyaman, agar kita bisa hidup bahagia dan damai dalam rumah tangga kita