Share

Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah
Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah
Penulis: Ida Ahmad

Fitnah

“Dek, tolong ke Taman Kenanga sekarang, ya … di persimpangan jalan arah rumah kita.” Suara berat Mas Hadi langsung terdengar setelah beberapa detik lalu aku menerima panggilan dari nomor yang tidak kukenal. Nada khawatir dan panik begitu nyata terdengar di telinga.

“Apa yang terjadi, Mas?!” tanyaku pada pria yang ada di ujung telpon.

“Maaf, Dek. Tadi Mas nggak sengaja menabrak motor lain karena oleng. Jadi, ini Mas dimintai ganti rugi sama yang punya motor. Mana motor kita juga rusak parah lagi.” Hembusan napas kasar menutup ceritanya.

“Baik, Mas. Tunggu sebentar.” Panggilan pun terputus. Aku tak ingin banyak bertanya lagi karena sekarang Mas Hadi lebih membutuhkan kehadiranku di sana.

Gegas kuambil semua uang tabungan yang ada, memasukkannya ke dalam tas kecil dan segera memakai jilbab instan agar lebih mudah dan cepat.

Tak lupa mengunci pintu dan segera menuju rumah Wulan, tetangga sekaligus teman dekatku untuk meminjam motor agar cepat sampai tujuan. Ya, motor kami hanya ada satu yang dipakai Mas Hadi untuk pulang pergi ke kantor tempat dia bekerja.

Sebagai karyawan biasa di sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang textile, gajinya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan jika sekali waktu dia mendapat bonus, baru lah kami bisa menyisihkan sedikit uang untuk menabung.

“Hati-hati, Salma. Jalanan pasti licin habis hujan gini,” ucap Wulan ketika aku mulai menstater motor matic miliknya.

“Iya, Lan. Makasih, ya. Aku berangkat dulu.” Tak menunggu jawaban Wulan, aku segera melaju dengan cepat menuju tempat sesuai arahan Mas Hadi di telpon.

Hawa dingin mulai terasa menusuk tulang karena hujan deras baru saja berhenti beberapa menit yang lalu, ditambah lagi dengan suasana yang mulai redup karena hari sudah mulai petang. Namun, semua tak kuhiraukan sebab Mas Hadi sudah menunggu.

Sampai di Taman Kenanga, segera kutepikan motor dan memarkirnya. Kuedarkan pandangan mencari sosok Mas Hadi. Namun, sepi … tidak ada siapa pun di sini.

Berkali-kali aku mencari dan mencari. Dari satu sisi taman pindah ke sisi yang lain, tetapi tetap saja tidak kudapati. Mas, sebenarnya kamu di mana? Kalau bukan kamu yang telpon tadi, lalu siapa?

Rentetan pertanyaan mulai datang satu persatu meminta jawab yang aku pun tidak tahu pada siapa.

Kusisir semua area taman yang lumayan luas. Namun, tidak juga kujumpai suamiku dimana. Setelah lelah mencari, aku memilih duduk di kursi taman yang tidak jauh dari tempat terakhir pencarian. Meski basah karena hujan, tetapi rasa lelah memaksaku untuk mendudukinya.

Hari semakin petang dan tidak ada seorang pun yang berlalu lalang di sini. Hingga datang lah seorang menyapa.

“Maaf, Mbak. Apakah benar dengan Mbak Salma?” ucap seorang pemuda sopan.

“Iya, benar, Mas,” jawabku jujur.

“Saya diminta Mas Hadi untuk mengantar Mbak bertemu dia,” ucapnya lagi.

"Memangnya Mas ini siapa, ya. Kenapa bisa tau suami saya." Aku tidak mau percaya begitu saja. Harus ada penjelasan dari semua.

“Tadi saya melihat Mas Hadi di tepi jalan sana. Kasihan motornya rusak parah. Lalu saya berinisiatif menolongnya," terang pemuda itu lagi dengan mimik sangat serius. Dia menunjuk satu sisi jalan tepat di sebelah kami.

"Kalau begitu, sekarang suami saya di mana?" tanyaku penasaran. Mendengar pernyataan darinya membuatku gusar. Teringat kemalangan yang menimpa suami.

"Ayo, ikut saya, Mbak. Suami Mbak ada di sana," tunjuknya lagi pada sebuah rumah di seberang jalan.

Rumah itu terlihat kosong dan sepi. Mana mungkin Mas Hadi ada di sana. Jangan-jangan pemuda ini hanya menipuku saja. Namun, bagaimana kalau Mas Hadi benar-benar ada di dalam sana dan dia sedang terluka.

"Baiklah," jawabku singkat. Demi untuk menjemput suami, aku harus percaya pada pemuda yang mulai berjalan di depanku ini.

Jalanan yang terasa lenggang membuat kami menyebarang dengan sangat mudah, hingga kami akhirnya sampai di depan rumah yang dituju.

"Silakan masuk, Mbak. Mas Hadi sudah menunggu di dalam," ucap pemuda dengan sopan seraya membuka pintu kayu.

Tanpa berpikir panjang aku segera melangkah masuk. Namun, keadaan benar-benar sepi, Bahkan seperti tidak ada kehidupan di sini.

"Di mana suami saya?!" Aku mulai panik dan bertanya kepada pemuda yang sampai sekarang aku belum tau siapa namanya.

Pria muda itu hanya tersenyum. Senyum miring penuh dengan misteri. Ya Allah, kenapa secepat ini aku percaya padanya.

"Santai dulu, Salma. Kita bis bersenang-senang dulu di sini," ucapnya dengan langkah mendekati.

"Berhenti! Jangan coba-coba mendekat!"

Aku kebingungan. Berlari menuju pintu, ternyata tidak bisa dibuka. Sial, dia sudah mengunci pintu ini. Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya.

"Mau lari ke mana?" ucapnya lagi seraya meraih jilbab pashmina yang aku pakai.

"Jangan pegang-pegang!" Aku menarik paksa jilbab yang sebagian ujungnya berada di genggaman pemuda itu. Namun, itu justru membuat jahitan di bagian dagu jilbab robek, dan jilbab pun terbuka.

"Nah, gitu dong. Kan lebih terlihat cantik," seringai pemuda yang kini bahkan sudah mulai memelukku.

Brugh!

Seorang membuka paksa pintu kayu yang tadi sangat susah untuk kubuka.

“Oh, jadi begini kelakuan kamu, Salma! … Dasar kamu ini, ya. Suami baru pulang kerja tidak disambut, malah kelayapan cari kehangatan di tempat lain.” Suara cempreng Bude Ratih benar-benar membuatku terkejut. Namun, tidak dengan pemuda yang masih memelukku.

Astaghfirullah, segera aku menarik diri dengan paksa dari pemuda ini dari pemuda berbadan tegap yang masih diam saja.

“Bukan begitu Bude, saya hanya dijebak. Justru saya ke sini tadi nyariin Mas Hadi.” Aku tidak mau diadili begitu saja oleh Bude Ratih. Meski dia lebih tua dariku, tetapi di sini aku memang tidak bersalah.

“Nggak usah ngelak deh. Lha wong saya sudah lihat sendiri. Tuh, kerudung yang kamu pakai aja sampai acak-acakan hampir terlepas. lagian, nyariin suami kok berdua di sini dengan laki-laki lain. Dasar munafik! Cuih!” Ejekan dan hinaan perempuan berbadan tambun ini benar-benar membuat hatiku nyeri. Rasanya bagai ditusuk dengan belati tajam.

“Tidak, Bude harus ingat! Fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan,” ucapku dibumbui dengan perasan benar-benar tidak terima.

“Ada apa ini?”

Di saat aku sedang ingin menjelaskan kebenaran dari apa yang dilihat Bude Ratih, tiba-tiba Pak RT datang dengan beberapa warga. Aku semakin terkejut melihat mereka datang bersamaan. Sungguh, keadaan ini membuatku bingung.

“Nggak ada apa-apa, Pak. Ini hanya salah paham,” jawabku dengan suara bergetar.

“Nggak ada apa-apa gimana?! Ini ada perselingkuhan, Pak! Bapak sebagai ketua RT harus bertindak tegas!” Seru Bude Ratih. “Bener nggak para warga semua?!” Perempuan berdaster biru langit ini mulai memprovokasi para warga yang datang.

“Betul itu! Yang salah harus dihukum! Kalau perlu kita usir dari komplek kita, Pak!”

“Betul! Betul!!” Suara warga begitu riuh bersahut-sahutan menanggapi dan menghakimi apa yang sebenarnya tidak aku perbuat.

“Apa yang dikatakan mereka itu benar, Mbak?” Pak RT mencoba bertabayun, mencari kebenaran dari tuduhan yang aku terima.

“Wallahi, demi Allah, saya tidak seperti apa yang mereka tuduhkan, Pak,” jawabku jujur disertai bulir bening yang mulai mengalir dari dua sudut mata. Pertahananku runtuh, air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya tumpah juga.

“Jangan bawa-bawa Allah kalau lagi maksiat! Ingat dosa, woi!” Suara seorang warga begitu memekakkan telinga diiringi riuh warga yang lain turut menanggapi.

“Sudah, sudah … kita bubar dulu karena ini sudah mau Magrib. Nanti kita bicarakan baik-baik di rumah Mbak Salma selepas salat Magrib.” Pak RT menginterupsi para warga dengan tegas.

“Nanggung, Pak. Mumpung belum Magrib kita arak aja Mbak Salma sama pacar gelapnya ini ke rumah Mas Hadi. Biar suaminya itu tahu kelakuan bejat istrinya!” Lagi-lagi Bude Ratih membuat keputusan yang memojokkanku. Namun, sialnya para warga menyetujui.

“Betul …!!” seru warga lain, yang aku sendiri kurang paham siapa mereka. Maklum, karena memang baru satu tahun aku dan Mas Hadi pindah ke komplek ini dan aku memang jarang keluar rumah.

Pak RT menggelengkan kepala melihat tingkah para warga yang tidak mau mendengar ajakannya.

“Mbak Salma, maaf ya, sementara kita ikuti para warga dulu, daripada ribut-ribut di sini. Nggak baik. Kasihan Mbak Salma juga kalau nanti lebih banyak warga yang datang.” Pak RT berkata bijak.

“Ayo, Pak! Lama banget sih. Keburu Magrib ini!” Bude Ratih tiba-tiba menarik kasar tanganku. dia setengah menyeret agar aku turut bergerak mengikutinya.

“Sakit … Bude. Pelan-pelan,” rintihku ditengah perlakuan perempuan berambut pirang ini. Tangan besarnya begitu kuat mencengkeram tangan kananku dan menyeret di waktu bersamaan. Sedang tangan kiriku sibuk menjaga agar jilbabku tidak terlepas.

“Nggak usah ngeluh! Sudah salah masih aja banyak tingkah!” Perempuan tambun ini susah sekali diajak kompromi. Bagai anak sapi yang dicucuk hidungnya, dia bebas menarikku kemanapun dia mau.

Sedang pemuda yang tadi bersamaku, dia turut digiring oleh beberapa warga di belakang.

Ya Allaaah … bagaimana ini? Apa Mas Hadi masih mempercayaiku jika dia mengetahui kejadian ini? Atau justru dia turut percaya pada warga dan akan murka padaku?

Bersambung.

Note:

"Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan." QS. Al-Baqarah Ayat 191

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status