Share

Sidang dadakan

Di sepanjang perjalanan, aku terus meratapi nasib malang yang menimpa. Tidak pernah terbayangkan jika hari ini aku menjadi tersangka tindak asusila yang aku sendiri bahkan tidak memperbuatnya. Ya Allah … tolong hamba untuk bisa terlepas dari jerat fitnah ini.

“Jalannya cepetan dikit napa? Lelet banget!” hardik Bude Ratih sambil menarikku lebih keras dari sebelumnya. Pergelangan tanganku rasanya perih sekali, mungkin ada sedikit luka yang tersemat di sana. Namun, aku tidak sanggup lagi untuk berkata-kata.

“Iya, nih. Sudah mau Maghrib tau!” balas Ibu Dewi yang sedari tadi ikut menghinaku.

Derai air mata tidak dapat terbendung lagi. Kejadian ini benar-benar telah meruntuhkan duniaku. Mas Hadi, semoga kamu masih bisa percaya padaku, Mas. Aku ini istri yang selalu berbakti padamu. Segala yang aku lakukan hanya untuk membuatmu nyaman, agar kita bisa hidup bahagia dan damai dalam rumah tangga kita.

Sampai di depan rumah, ternyata motor yang dipakai Mas Hadi ada di teras samping, tempat biasa suamiku memarkirnya. Jadi memang benar, telpon yang kuterima tadi hanya untuk memancingku keluar dari rumah menuju tempat yang telah direncakan akan terjadi fitnah yang tiba-tiba kuterima.

“Assalamualaikum,” ucap Pak RT sambil mengetuk pintu kayu rumah kami. Sedang aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja aku alami.

“Wa’alaikumsa- -lam.” Mata Mas Hadi membulat sempurna, terkejut dengan kedatangan kami yang tiba-tiba. Ditambah lagi dengan keadaanku yang tengah ditawan oleh Bude Ratih seperti pencuri yang baru saja ketahuan aksinya.

“Salma, ada apa ini?” tanya Mas Hadi penasaran.

Aku melepaskan diri dari Bude Ratih, berjalan menuju Mas Hadi yang masih tertegun di ambang pintu. “Mas, apapun yang terjadi, aku mohon … percayalah padaku.”

“Maksud kamu apa? Memangnya apa yang terjadi?”

“Ak-aku … ak–”

“Istri kamu kedapatan tengah asyik berduaan dengan dia di taman, Hadi!” Teriak Bude Ratih memotong pembicaraan. Dia arahkan jari telunjuknya tepat pada pemuda yang usianya bahkan di bawahku.

“Salma ….” Mas Hadi menatapku lekat.

“Tidak, Mas. Aku tidak melakukan apa pun dengan dia, tidak pernah bertemu dengannya, bahkan namanya pun aku tidak tahu siapa,” jelasku memelas. Kuraih tangan suamiku, berusaha meyakinkan dan mencari perlindungan darinya.

“Salma, jangan kau tutup-tutupi hubungan kita. Bukankah kita sudah tiga bulan terakhir ini kita sudah dekat?” Suara pria berwajah oval itu benar-benar mengejutkanku. Dari mana dia bisa berkata seperti itu? Siapa yang menyuruhnya? Dan imbalan apa yang dia dapat dengan mengakui hal yang dusta?

Aku menatapnya geram. “Heh! Jaga ucapanmu! Sebelum hari ini kita tidak pernah bertemu.” Napasku memburu menahan amarah karena tidak terima dengan pengakuannya. “Mas, aku mohon, percaya padaku. Ini semua hanya fitnah. Kamu sendiri mengerti bagaimana aku. Kita sudah bersama sudah tiga tahun, Mas,” ucapku pada Mas Hadi yang kini bahkan memandangku dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Salma, beri aku waktu untuk mencerna semua,” ucap Mas Hadi lirih. “ Pak RT, tolong para warga dibubarkan saja. Ini sudah masuk waktu Maghrib,” ujarnya lagi pada Pak RT yang langsung menyetujui dan mengikuti sarannya.

“M-mas … jadi kamu tidak percaya padaku?” tanyaku lemah tanpa mendapat jawaban dari suami yang lebih memilih masuk kembali ke rumah tanpa memperdulikan. Duniaku runtuh untuk yang ke-dua kalinya.

Pak RT dan warga mulai meninggalkan rumah kami setelah mereka sepakat akan kembali sesudah menunaikan tiga rakaan Maghrib untuk menyelesaikan masalah yang begitu runyam ini.

Rumah kembali sepi setelah Pak RT dan warga pulang, hanya tersisa aku dan Mas Hadi. Tidak seperti biasanya, hari ini Mas Hadi memilih salat lebih dulu dariku. Padahal, biasanya dia yang paling semangat mengajak salat berjamaah mengingat pahalanya lebih tinggi dua puluh tujuh derajat dari salat sendirian.

Kuhamparkan sajadah hijau kesukaan, ada kebahagiaan tersendiri ketika aku berdiri di atas sajadah ini, sajadah pemberian Mas Hadi setelah satu hari aku sah menjadi istrinya.

Terkenang kembali masa itu, ketika dengan tersenyum manis dia berkata, “Salma, Mas ingin menjadi imam sesungguhnya untukmu. Mulai hari ini kita salat berjamaah ya, Selain karena keutamaannya, dengan salat berjamaah kita juga akan senantiasa merasa bersama.”

Sungguh, hari itu menjadi hari yang selalu terkenang di ingatan. Namun, hari ini dia sendiri yang memilih tidak menjadi imam salatku. Apakah ini artinya kamu benar-benar tidak percaya padaku, Mas?

Tiga rakaat telah usai. Kuangkat tanganku menengadah ke arah langit. Memanjatkan doa dengan sungguh-sungguh, berharap Allah memberikan keadilan untukku.

Ya Allah … semua yang terjadi tidak lepas dari ketetapan dan ketentuan-Mu … berikanlah keadilan pada hamba … lapangkanlah hati hamba dalam menerima segala cobaan dan ujian … bukakanlah mata hati Mas Hadi untuk dapat melihat mana yang baik dan mana yang salah, Amin ….

“Assalamualaikum.” Terdengar suara Pak RT mengucap salam.

“Wa'alaikumsalam,” jawab Mas Hadi.

Aku masih memilih diam dan duduk di atas sajadah. Rasanya sangat malas keluar kamar, jika teringat apa yang telah dilakukan dan dikatakan oleh Bude Ratih dan beberapa warga lain. Namun, aku juga sadar, jika aku tidak keluar kamar, maka yang ada mereka benar-benar akan mengadiliku sekehendak mereka, dan aku tidak mau itu terjadi.

“Di mana Salma? Dia juga harus keluar. Lha wong dia yang salah kok!” Terdengar suara Bude Ratih begitu memekakkan telinga.

“Salma masih di kamar, Bude … sebentar lagi juga keluar,” jawab Mas Hadi memberi penjelasan.

Tidak ingin membuat suasana yang panas kian memanas, aku segera bangkit menuju pintu kamar. Namun, belum sempat aku membuka pintu, seketika kepalaku terasa pusing, benar-benar pusing.

“Salma, cepat keluar! Kami capek nungguin ini!” Kini suara Ibu Dewi yang kembali terdengar.

Aku mencoba menarik gagang pintu hingga terlihat semua orang yang telah menunggu, tidak terkecuali pemuda biang kerok dari masalah ini. Perlahan aku melangkah dengan satu tangan memegang kepala yang masih terasa pusing. Ya Allah … kenapa dengan kepalaku?

“Halah, jangan sok-sokan sakit gitu, Salma! Mau menghindar dari masalah?!” cerocos Bude Ratih berhasil menambah volume nyeri di kepala.

Sampai di ruang tamu, aku duduk di bangku kosong yang telah disiapkan. Bagai tersangka yang akan mendapatkan vonis hukuman dari hakim, semua warga memandangku sinis. Pak RT, Mas Hadi dan pemuda yang sampai detik ini aku tidak tau namanya, semua turut duduk di bangku ruang tamu dan selain kamu mereka semua berdiri, bahkan ada yang memasukkan setengah badan mereka lewat jendela.

“Karena semua sudah hadir, jadi bisa mulai pembicaraan kali ini. Saya ingin mendengar penjelasan dari Mbak Salma dan Mas Ryan. Untuk hal ini silakan Mas Ryan memulai bercerita,” ucap Pak RT mengawali pembicaraan.

Sosok laki-laki bernama Ryan sekilas menatapku dengan senyum miringnya. Namun, di sini lagi-lagi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku harus tegar dan sabar mendengar penuturannya yang sudah bisa kupastikan kepalsuannya.

“Begini, Pak RT dan Mas Hadi, saya ini sudah dekat dengan Salma. Sejak tiga bulan lalu aku dan Salma sering berkirim pesan dan kami juga sering janji ketemuan di saat jam kerja suaminya,” terang Ryan tanpa rasa bersalah.

Mas Hadi menatapku tajam seolah dia mempercayai ucapan pemuda itu. Namun, saat pandangan kami bertemu, dia membuang muka kasar. Sungguh, aku kecewa padamu, Mas. Semudah itu kepercayaanmu luntur, bahkan kau belum mendengar penjelasanku.

“Noh! Yang laki sudah ngaku. Sekarang tinggal yang bini tu! Cepat!” Seorang warga mengompori. Membuat denyut di kepala semakin terasa, pandangan pun turut memudar … ya Allah, kenapa ini? Kenapa aku semakin lemah, tubuhku rasanya tidak mampu duduk dengan tegak dan detik berikutnya aku tak ingat apa-apa.

Bersambung.

Note :

* Sabda Rasulullah s.a.w : "Sholat berjamaah lebih utama 27 derajat dibanding sholat sendirian." (HR. Bukhari dan Muslim)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status