Share

Sidang dadakan

Penulis: Ida Ahmad
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-29 15:49:09

Di sepanjang perjalanan, aku terus meratapi nasib malang yang menimpa. Tidak pernah terbayangkan jika hari ini aku menjadi tersangka tindak asusila yang aku sendiri bahkan tidak memperbuatnya. Ya Allah … tolong hamba untuk bisa terlepas dari jerat fitnah ini.

“Jalannya cepetan dikit napa? Lelet banget!” hardik Bude Ratih sambil menarikku lebih keras dari sebelumnya. Pergelangan tanganku rasanya perih sekali, mungkin ada sedikit luka yang tersemat di sana. Namun, aku tidak sanggup lagi untuk berkata-kata.

“Iya, nih. Sudah mau Maghrib tau!” balas Ibu Dewi yang sedari tadi ikut menghinaku.

Derai air mata tidak dapat terbendung lagi. Kejadian ini benar-benar telah meruntuhkan duniaku. Mas Hadi, semoga kamu masih bisa percaya padaku, Mas. Aku ini istri yang selalu berbakti padamu. Segala yang aku lakukan hanya untuk membuatmu nyaman, agar kita bisa hidup bahagia dan damai dalam rumah tangga kita.

Sampai di depan rumah, ternyata motor yang dipakai Mas Hadi ada di teras samping, tempat biasa suamiku memarkirnya. Jadi memang benar, telpon yang kuterima tadi hanya untuk memancingku keluar dari rumah menuju tempat yang telah direncakan akan terjadi fitnah yang tiba-tiba kuterima.

“Assalamualaikum,” ucap Pak RT sambil mengetuk pintu kayu rumah kami. Sedang aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja aku alami.

“Wa’alaikumsa- -lam.” Mata Mas Hadi membulat sempurna, terkejut dengan kedatangan kami yang tiba-tiba. Ditambah lagi dengan keadaanku yang tengah ditawan oleh Bude Ratih seperti pencuri yang baru saja ketahuan aksinya.

“Salma, ada apa ini?” tanya Mas Hadi penasaran.

Aku melepaskan diri dari Bude Ratih, berjalan menuju Mas Hadi yang masih tertegun di ambang pintu. “Mas, apapun yang terjadi, aku mohon … percayalah padaku.”

“Maksud kamu apa? Memangnya apa yang terjadi?”

“Ak-aku … ak–”

“Istri kamu kedapatan tengah asyik berduaan dengan dia di taman, Hadi!” Teriak Bude Ratih memotong pembicaraan. Dia arahkan jari telunjuknya tepat pada pemuda yang usianya bahkan di bawahku.

“Salma ….” Mas Hadi menatapku lekat.

“Tidak, Mas. Aku tidak melakukan apa pun dengan dia, tidak pernah bertemu dengannya, bahkan namanya pun aku tidak tahu siapa,” jelasku memelas. Kuraih tangan suamiku, berusaha meyakinkan dan mencari perlindungan darinya.

“Salma, jangan kau tutup-tutupi hubungan kita. Bukankah kita sudah tiga bulan terakhir ini kita sudah dekat?” Suara pria berwajah oval itu benar-benar mengejutkanku. Dari mana dia bisa berkata seperti itu? Siapa yang menyuruhnya? Dan imbalan apa yang dia dapat dengan mengakui hal yang dusta?

Aku menatapnya geram. “Heh! Jaga ucapanmu! Sebelum hari ini kita tidak pernah bertemu.” Napasku memburu menahan amarah karena tidak terima dengan pengakuannya. “Mas, aku mohon, percaya padaku. Ini semua hanya fitnah. Kamu sendiri mengerti bagaimana aku. Kita sudah bersama sudah tiga tahun, Mas,” ucapku pada Mas Hadi yang kini bahkan memandangku dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Salma, beri aku waktu untuk mencerna semua,” ucap Mas Hadi lirih. “ Pak RT, tolong para warga dibubarkan saja. Ini sudah masuk waktu Maghrib,” ujarnya lagi pada Pak RT yang langsung menyetujui dan mengikuti sarannya.

“M-mas … jadi kamu tidak percaya padaku?” tanyaku lemah tanpa mendapat jawaban dari suami yang lebih memilih masuk kembali ke rumah tanpa memperdulikan. Duniaku runtuh untuk yang ke-dua kalinya.

Pak RT dan warga mulai meninggalkan rumah kami setelah mereka sepakat akan kembali sesudah menunaikan tiga rakaan Maghrib untuk menyelesaikan masalah yang begitu runyam ini.

Rumah kembali sepi setelah Pak RT dan warga pulang, hanya tersisa aku dan Mas Hadi. Tidak seperti biasanya, hari ini Mas Hadi memilih salat lebih dulu dariku. Padahal, biasanya dia yang paling semangat mengajak salat berjamaah mengingat pahalanya lebih tinggi dua puluh tujuh derajat dari salat sendirian.

Kuhamparkan sajadah hijau kesukaan, ada kebahagiaan tersendiri ketika aku berdiri di atas sajadah ini, sajadah pemberian Mas Hadi setelah satu hari aku sah menjadi istrinya.

Terkenang kembali masa itu, ketika dengan tersenyum manis dia berkata, “Salma, Mas ingin menjadi imam sesungguhnya untukmu. Mulai hari ini kita salat berjamaah ya, Selain karena keutamaannya, dengan salat berjamaah kita juga akan senantiasa merasa bersama.”

Sungguh, hari itu menjadi hari yang selalu terkenang di ingatan. Namun, hari ini dia sendiri yang memilih tidak menjadi imam salatku. Apakah ini artinya kamu benar-benar tidak percaya padaku, Mas?

Tiga rakaat telah usai. Kuangkat tanganku menengadah ke arah langit. Memanjatkan doa dengan sungguh-sungguh, berharap Allah memberikan keadilan untukku.

Ya Allah … semua yang terjadi tidak lepas dari ketetapan dan ketentuan-Mu … berikanlah keadilan pada hamba … lapangkanlah hati hamba dalam menerima segala cobaan dan ujian … bukakanlah mata hati Mas Hadi untuk dapat melihat mana yang baik dan mana yang salah, Amin ….

“Assalamualaikum.” Terdengar suara Pak RT mengucap salam.

“Wa'alaikumsalam,” jawab Mas Hadi.

Aku masih memilih diam dan duduk di atas sajadah. Rasanya sangat malas keluar kamar, jika teringat apa yang telah dilakukan dan dikatakan oleh Bude Ratih dan beberapa warga lain. Namun, aku juga sadar, jika aku tidak keluar kamar, maka yang ada mereka benar-benar akan mengadiliku sekehendak mereka, dan aku tidak mau itu terjadi.

“Di mana Salma? Dia juga harus keluar. Lha wong dia yang salah kok!” Terdengar suara Bude Ratih begitu memekakkan telinga.

“Salma masih di kamar, Bude … sebentar lagi juga keluar,” jawab Mas Hadi memberi penjelasan.

Tidak ingin membuat suasana yang panas kian memanas, aku segera bangkit menuju pintu kamar. Namun, belum sempat aku membuka pintu, seketika kepalaku terasa pusing, benar-benar pusing.

“Salma, cepat keluar! Kami capek nungguin ini!” Kini suara Ibu Dewi yang kembali terdengar.

Aku mencoba menarik gagang pintu hingga terlihat semua orang yang telah menunggu, tidak terkecuali pemuda biang kerok dari masalah ini. Perlahan aku melangkah dengan satu tangan memegang kepala yang masih terasa pusing. Ya Allah … kenapa dengan kepalaku?

“Halah, jangan sok-sokan sakit gitu, Salma! Mau menghindar dari masalah?!” cerocos Bude Ratih berhasil menambah volume nyeri di kepala.

Sampai di ruang tamu, aku duduk di bangku kosong yang telah disiapkan. Bagai tersangka yang akan mendapatkan vonis hukuman dari hakim, semua warga memandangku sinis. Pak RT, Mas Hadi dan pemuda yang sampai detik ini aku tidak tau namanya, semua turut duduk di bangku ruang tamu dan selain kamu mereka semua berdiri, bahkan ada yang memasukkan setengah badan mereka lewat jendela.

“Karena semua sudah hadir, jadi bisa mulai pembicaraan kali ini. Saya ingin mendengar penjelasan dari Mbak Salma dan Mas Ryan. Untuk hal ini silakan Mas Ryan memulai bercerita,” ucap Pak RT mengawali pembicaraan.

Sosok laki-laki bernama Ryan sekilas menatapku dengan senyum miringnya. Namun, di sini lagi-lagi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku harus tegar dan sabar mendengar penuturannya yang sudah bisa kupastikan kepalsuannya.

“Begini, Pak RT dan Mas Hadi, saya ini sudah dekat dengan Salma. Sejak tiga bulan lalu aku dan Salma sering berkirim pesan dan kami juga sering janji ketemuan di saat jam kerja suaminya,” terang Ryan tanpa rasa bersalah.

Mas Hadi menatapku tajam seolah dia mempercayai ucapan pemuda itu. Namun, saat pandangan kami bertemu, dia membuang muka kasar. Sungguh, aku kecewa padamu, Mas. Semudah itu kepercayaanmu luntur, bahkan kau belum mendengar penjelasanku.

“Noh! Yang laki sudah ngaku. Sekarang tinggal yang bini tu! Cepat!” Seorang warga mengompori. Membuat denyut di kepala semakin terasa, pandangan pun turut memudar … ya Allah, kenapa ini? Kenapa aku semakin lemah, tubuhku rasanya tidak mampu duduk dengan tegak dan detik berikutnya aku tak ingat apa-apa.

Bersambung.

Note :

* Sabda Rasulullah s.a.w : "Sholat berjamaah lebih utama 27 derajat dibanding sholat sendirian." (HR. Bukhari dan Muslim)

Bab terkait

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Anak Siapa?

    “Salma! Bangun, Salma ….” Sayup-sayup terdengar suara memaggil namaku. Ya, itu suara Wulan sahabatku. Kini mulai terasa nyata suara Wulan yang masih memanggil. Terasa juga ada tangan yang menepuk lembut kedua pipi. Mas Hadi, kamu kah itu, Mas? Apakah kamu begitu mengkhawatirkanku, hingga tidak ingin kehilangan aku? Kedua mata mulai terbuka perlahan. Ingin melihat senyum pria tersayang. Namun, kenyataan yang kuterima tidak semanis bayangan beberaapa detik lalu. Bukan Mas Hadi yang kudapati di hadapanku, melainkan Wulan, gadis berparas ayu dan hitam manis dengan senyumnya menyambut kesadaranku.“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Sal. Aku takut kamu kenapa-napa tadi.” Wulan benar sahabat yang baik, tidak seperti Bude Darmi ibunya. Aku berusaha tersenyum pada Wulan, meyakinkan dia bahwa aku tidak apa-apa. “Aku mau duduk dulu, Lan,” ucapku seraya bangkit dengan satu tangan yang masih seti

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-29
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Sahabat Baik

    Aku tak menyangka Mas Hadi tega mengusirku dari rumah ini, rumah yang selama ini terasa seperti surga bagiku. Bagaimana tidak, kamu adalah sepasang suami istri yang selalu bahagia, jarang sekali perselisihan terjadi di rumah ini. Hanya ada damai, kasih sayang dan pengertian dari suami istri. Ketika kehangatan rumah ini terasa di hati, waktu itu aku berpikir, seperti inikah yang disabdakan Rasulullah, “Baiti jannati”? Namun, surga kami sepertinya tidak mampu bertahan lama. Ada duri tajam yang melukai kebahagiaan kami. Ibarat cermin, maka kini cerminku sudah retak, bahkan mungkin akan hancur berkeping-keping. Aku tau ini adalah ujian, akan tetapi aku merasa terlalu lemah menghadapinya. Ya Rabb … kuatkan hati dan iman hamba dalam menghadapi ujian-Mu.“Kenapa kamu masih berdiri di situ? Kemasi barang-barang secepatnya, dan jangan pernah kembali lagi.” Tanpa memandangku Mas Hadi berkata seolah aku adalah seorang pendosa yang haru

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-29
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Ucapan Pahit

    “Salma?! Apa-apaan, ini? Kenapa kamu berada di rumahku?! … Pergi kamu, aku tidak mau rumahku diinjak pelac*r sepertimu!” Bagai petir menyambar, suara Bude Ratih seolah mengeluarkan dengung di telinga. Meski sebelumnya aku sudah dapat menebak, tetapi nyatanya hatiku belum siap kembali mendengar cemooh dan umpatannya.Wulan berusaha masuk dengan melewati wanita berdaster itu. Namun, tenaganya kalah kuat dari sang ibu. “Kenapa kamu ajak dia ke sini? Mau dapat sial kamu, Hah?!” Bentak Bude Ratih pada anak gadisnya. Wulan hanya terdiam memandangi ibunya. Pandangan yang sulit untuk kuartikan. Sekejap kemudian, sekuat tenaga dia menarik lengan Bude Ratih untuk keluar kamar.“Bentar ya, Sal. Aku ngomong sama Ibu dulu.” Wulan berpamitan padaku sambil menarik lengan ibunya.“Iya, Lan,” jawabku singkat karena masih syok dengan umpatan Bude Ratih yang menyebutku sebagai pelacur. Ya Allah … sehina itu kah hamb

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-29
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Mencari Pelaku

    “Hei, kamu, Salma ‘kan? Yang kemarin diarak warga?” Seorang ibu-ibu datang menghampiriku yang tengah duduk di pos ronda. Setelah keluar dari kontrakan, aku segera pamit pada Wulan untuk menjauh dari kehidupan Mas Hadi. Berbekal uang pinjaman dari Wulan untuk ongkos pulang kampung, aku berjalan menuju pangkalan ojek terdekat. Meski berat, akan tetapi aku harus kuat. Sebenarnya, Wulan sudah menawarkan diri untuk mengantar ke terminal. Namun, lagi-lagi Bude Ratih melarangnya untuk membantuku. Belum sampai sepuluh menit perjalanan, perutku terasa keram, hingga akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di pos ronda yang tidak jauh dari tempatku berdiri.“Maaf, Bu. Saya telah difitnah,” elakku cepat.Tatapan sinis begitu saja terhunjam dari wanita yang aku saja tidak tahu siapa namanya.“Yang bener, Mbak?” tanyanya lagi seakan tak percaya. “Iya, Bu. Saya berani bersumpah, demi Allah saya tidak melakukan apa yang dituduhkan.” “Jangan asal sumpah, sumpah ya, Mbak. Ingat, kalau b

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-06
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Menyamar

    Aku mematut diri di depan cermin. Dengan memakai cadar dan baju syar'i yang kubeli kemarin, berputar memandang benda yang memantulkan bayangku, untuk memastikan penampilan berubah dari sebelumnya. Ya, aku tengah menyamar, anggap saja begitu. Berbagai keperluan dapur belum kumiliki, karena itu lah aku harus keluar untuk membelinya. Selain itu aku juga berniat melewati gang rumah tempat Mas Hadi tinggal. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk untuk apa yang tengah kucari.Dengan menjinjing tas yang kupakai membawa bajuku kemarin aku berjalan santai menuju arah perumahan calon mantan suami. Hari ini adalah hari Sabtu, hari di mana dia libur kerja. Jadi, bisa dipastikan dia sekarang ada di rumah.Beberapa warga yang tengah duduk santai di teras rumah melihatku dengan heran, raut wajah mereka terlihat sangat penasaran dengan kehadiranku. Masuk begitu, aku tidak peduli karena tujuanku bukan untuk berkumpul dan mengobrol dengan mereka. Biarlah mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri. “A

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-09
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Menyambung Hidup

    Sudah satu minggu aku tinggal jauh dari suami dan juga orang tua. Rumah kontrakan sederhana ini menjadi saksi bisu perjalanan kisah hidupku dalam mencari kebenaran. Selama satu Minggu ini, aku belum bisa menemukan cara untuk mendapatkan informasi dan petunjuk, padahal uang sisa penjualan kalung kemarin sudah sangat menipis. Gegas aku membuka gawai, mencari apakah ada yang bisa aku lakukan untuk dapat menghasilkan uang penyambung hidup. (Menghasilkan uang dari rumah) Kira-kira seperti itulah pencarianku lewat beranda suatu aplikasi video yang sudah sangat terkenal di kalangan ibu-ibu komplek kami dulu dengan sapaan Mbak Yu tub* Ada banyak video yang sudah berbaris rapi dari atas hingga bawah. Scroll naik dan turun, memilih dan mencari apa ada yang cocok denganku yang tengah berbadan dua ini. Hingga satu video aku klik dan tonton. Video tentang menjadi penjual, tetapi tidak perlu menyetok barang. Sepertinya mudah, aku hanya perlu aktif di sosial media, menyebarkan link penjualan k

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-10
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Pria di Masa Lalu

    ‘Hah! Dia ‘kan ….’“Mbak Salma lihat apa? Fokus banget,” celetuk Bu Ningrum tiba-tiba, membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya. Untung saja aku memakai cadar, jadi dia tidak melihat wajahku yang memerah karena malu.“Eh, enggak ada, Bu. Lagi lihat warga sini ternyata banyak juga, ya,” jawabku sekenanya sambil menenangkan hati. “Oh, begitu … jadi di komplek ini memang banyak warganya, Mbak. Kalau dibanding komplek sebelah sih masih jauh banyak warga di komplek sini. Tapi orangnya baik-baik kok, Mbak. Percaya deh,” tutur Bu Ningrum dengan tersenyum.“Iya, Bu. Saya percaya kok. Alhamdulillah juga saya dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Bu Ningrum ini,” balasku juga dengan tersenyum.“Ah, Mbak Ifah bisa aja,” celetuknya dengan tersipu, dan aku hanya bisa tersenyum di balik cadar.“Bapak dan Ibu sekalian, perkenalkan, nama saya Afifurrahman, panggil saja Afif atau Rahman. Saya tinggal di sini bersama adik perempuan saya yang tadi pagi mengundang Bapak dan Ibu, namanya N

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-16
  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Kenyataan Baru

    Hah! Itu suara Gus Afif. Pasti dia tengah mencari adik perempuannya. Bagaimana ini??Gegas kuusap air yang sebenarnya masih ingin mengalir dari sudut kedua mata. “Husna, itu suara abangmu,” bisikku pada gadis yang masih larut dalam sedih. Namun, dia hanya menjawab dengan gelengan lembut tanpa berniat bangkit dan mendatangi sang kakak. Pada akhirnya, aku memberanikan diri beranjak menuju pintu yang di baliknya ada sosok yang dulu pernah menggetarkan jiwa, bahkan sampai detik ini, getaran itu datang kembali tanpa diminta. Astaghfirullah, aku harus bisa mengendalikan diri, karena bagaimanapun aku belum betul-betul berpisah dengan Mas Hadi.“Assalamualaikum,” ucap pemuda itu lagi dengan getaran khawatir yang terdengar dari suaranya.Mendengar suara itu begitu dekat, dadaku semakin sesak, kegusaran menghampiri tanpa permisi. Bagaimana ini? Apa aku harus membukakan pintu untuknya? Sepertinya aku belum sanggup untuk bertatap muka. Namun, jika tidak cepat kubuka, yang ada dia akan berpikira

    Terakhir Diperbarui : 2024-07-17

Bab terbaru

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Kenyataan Baru

    Hah! Itu suara Gus Afif. Pasti dia tengah mencari adik perempuannya. Bagaimana ini??Gegas kuusap air yang sebenarnya masih ingin mengalir dari sudut kedua mata. “Husna, itu suara abangmu,” bisikku pada gadis yang masih larut dalam sedih. Namun, dia hanya menjawab dengan gelengan lembut tanpa berniat bangkit dan mendatangi sang kakak. Pada akhirnya, aku memberanikan diri beranjak menuju pintu yang di baliknya ada sosok yang dulu pernah menggetarkan jiwa, bahkan sampai detik ini, getaran itu datang kembali tanpa diminta. Astaghfirullah, aku harus bisa mengendalikan diri, karena bagaimanapun aku belum betul-betul berpisah dengan Mas Hadi.“Assalamualaikum,” ucap pemuda itu lagi dengan getaran khawatir yang terdengar dari suaranya.Mendengar suara itu begitu dekat, dadaku semakin sesak, kegusaran menghampiri tanpa permisi. Bagaimana ini? Apa aku harus membukakan pintu untuknya? Sepertinya aku belum sanggup untuk bertatap muka. Namun, jika tidak cepat kubuka, yang ada dia akan berpikira

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Pria di Masa Lalu

    ‘Hah! Dia ‘kan ….’“Mbak Salma lihat apa? Fokus banget,” celetuk Bu Ningrum tiba-tiba, membuat jantungku hampir melompat dari tempatnya. Untung saja aku memakai cadar, jadi dia tidak melihat wajahku yang memerah karena malu.“Eh, enggak ada, Bu. Lagi lihat warga sini ternyata banyak juga, ya,” jawabku sekenanya sambil menenangkan hati. “Oh, begitu … jadi di komplek ini memang banyak warganya, Mbak. Kalau dibanding komplek sebelah sih masih jauh banyak warga di komplek sini. Tapi orangnya baik-baik kok, Mbak. Percaya deh,” tutur Bu Ningrum dengan tersenyum.“Iya, Bu. Saya percaya kok. Alhamdulillah juga saya dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Bu Ningrum ini,” balasku juga dengan tersenyum.“Ah, Mbak Ifah bisa aja,” celetuknya dengan tersipu, dan aku hanya bisa tersenyum di balik cadar.“Bapak dan Ibu sekalian, perkenalkan, nama saya Afifurrahman, panggil saja Afif atau Rahman. Saya tinggal di sini bersama adik perempuan saya yang tadi pagi mengundang Bapak dan Ibu, namanya N

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Menyambung Hidup

    Sudah satu minggu aku tinggal jauh dari suami dan juga orang tua. Rumah kontrakan sederhana ini menjadi saksi bisu perjalanan kisah hidupku dalam mencari kebenaran. Selama satu Minggu ini, aku belum bisa menemukan cara untuk mendapatkan informasi dan petunjuk, padahal uang sisa penjualan kalung kemarin sudah sangat menipis. Gegas aku membuka gawai, mencari apakah ada yang bisa aku lakukan untuk dapat menghasilkan uang penyambung hidup. (Menghasilkan uang dari rumah) Kira-kira seperti itulah pencarianku lewat beranda suatu aplikasi video yang sudah sangat terkenal di kalangan ibu-ibu komplek kami dulu dengan sapaan Mbak Yu tub* Ada banyak video yang sudah berbaris rapi dari atas hingga bawah. Scroll naik dan turun, memilih dan mencari apa ada yang cocok denganku yang tengah berbadan dua ini. Hingga satu video aku klik dan tonton. Video tentang menjadi penjual, tetapi tidak perlu menyetok barang. Sepertinya mudah, aku hanya perlu aktif di sosial media, menyebarkan link penjualan k

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Menyamar

    Aku mematut diri di depan cermin. Dengan memakai cadar dan baju syar'i yang kubeli kemarin, berputar memandang benda yang memantulkan bayangku, untuk memastikan penampilan berubah dari sebelumnya. Ya, aku tengah menyamar, anggap saja begitu. Berbagai keperluan dapur belum kumiliki, karena itu lah aku harus keluar untuk membelinya. Selain itu aku juga berniat melewati gang rumah tempat Mas Hadi tinggal. Siapa tahu aku bisa menemukan petunjuk untuk apa yang tengah kucari.Dengan menjinjing tas yang kupakai membawa bajuku kemarin aku berjalan santai menuju arah perumahan calon mantan suami. Hari ini adalah hari Sabtu, hari di mana dia libur kerja. Jadi, bisa dipastikan dia sekarang ada di rumah.Beberapa warga yang tengah duduk santai di teras rumah melihatku dengan heran, raut wajah mereka terlihat sangat penasaran dengan kehadiranku. Masuk begitu, aku tidak peduli karena tujuanku bukan untuk berkumpul dan mengobrol dengan mereka. Biarlah mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri. “A

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Mencari Pelaku

    “Hei, kamu, Salma ‘kan? Yang kemarin diarak warga?” Seorang ibu-ibu datang menghampiriku yang tengah duduk di pos ronda. Setelah keluar dari kontrakan, aku segera pamit pada Wulan untuk menjauh dari kehidupan Mas Hadi. Berbekal uang pinjaman dari Wulan untuk ongkos pulang kampung, aku berjalan menuju pangkalan ojek terdekat. Meski berat, akan tetapi aku harus kuat. Sebenarnya, Wulan sudah menawarkan diri untuk mengantar ke terminal. Namun, lagi-lagi Bude Ratih melarangnya untuk membantuku. Belum sampai sepuluh menit perjalanan, perutku terasa keram, hingga akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di pos ronda yang tidak jauh dari tempatku berdiri.“Maaf, Bu. Saya telah difitnah,” elakku cepat.Tatapan sinis begitu saja terhunjam dari wanita yang aku saja tidak tahu siapa namanya.“Yang bener, Mbak?” tanyanya lagi seakan tak percaya. “Iya, Bu. Saya berani bersumpah, demi Allah saya tidak melakukan apa yang dituduhkan.” “Jangan asal sumpah, sumpah ya, Mbak. Ingat, kalau b

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Ucapan Pahit

    “Salma?! Apa-apaan, ini? Kenapa kamu berada di rumahku?! … Pergi kamu, aku tidak mau rumahku diinjak pelac*r sepertimu!” Bagai petir menyambar, suara Bude Ratih seolah mengeluarkan dengung di telinga. Meski sebelumnya aku sudah dapat menebak, tetapi nyatanya hatiku belum siap kembali mendengar cemooh dan umpatannya.Wulan berusaha masuk dengan melewati wanita berdaster itu. Namun, tenaganya kalah kuat dari sang ibu. “Kenapa kamu ajak dia ke sini? Mau dapat sial kamu, Hah?!” Bentak Bude Ratih pada anak gadisnya. Wulan hanya terdiam memandangi ibunya. Pandangan yang sulit untuk kuartikan. Sekejap kemudian, sekuat tenaga dia menarik lengan Bude Ratih untuk keluar kamar.“Bentar ya, Sal. Aku ngomong sama Ibu dulu.” Wulan berpamitan padaku sambil menarik lengan ibunya.“Iya, Lan,” jawabku singkat karena masih syok dengan umpatan Bude Ratih yang menyebutku sebagai pelacur. Ya Allah … sehina itu kah hamb

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Sahabat Baik

    Aku tak menyangka Mas Hadi tega mengusirku dari rumah ini, rumah yang selama ini terasa seperti surga bagiku. Bagaimana tidak, kamu adalah sepasang suami istri yang selalu bahagia, jarang sekali perselisihan terjadi di rumah ini. Hanya ada damai, kasih sayang dan pengertian dari suami istri. Ketika kehangatan rumah ini terasa di hati, waktu itu aku berpikir, seperti inikah yang disabdakan Rasulullah, “Baiti jannati”? Namun, surga kami sepertinya tidak mampu bertahan lama. Ada duri tajam yang melukai kebahagiaan kami. Ibarat cermin, maka kini cerminku sudah retak, bahkan mungkin akan hancur berkeping-keping. Aku tau ini adalah ujian, akan tetapi aku merasa terlalu lemah menghadapinya. Ya Rabb … kuatkan hati dan iman hamba dalam menghadapi ujian-Mu.“Kenapa kamu masih berdiri di situ? Kemasi barang-barang secepatnya, dan jangan pernah kembali lagi.” Tanpa memandangku Mas Hadi berkata seolah aku adalah seorang pendosa yang haru

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Anak Siapa?

    “Salma! Bangun, Salma ….” Sayup-sayup terdengar suara memaggil namaku. Ya, itu suara Wulan sahabatku. Kini mulai terasa nyata suara Wulan yang masih memanggil. Terasa juga ada tangan yang menepuk lembut kedua pipi. Mas Hadi, kamu kah itu, Mas? Apakah kamu begitu mengkhawatirkanku, hingga tidak ingin kehilangan aku? Kedua mata mulai terbuka perlahan. Ingin melihat senyum pria tersayang. Namun, kenyataan yang kuterima tidak semanis bayangan beberaapa detik lalu. Bukan Mas Hadi yang kudapati di hadapanku, melainkan Wulan, gadis berparas ayu dan hitam manis dengan senyumnya menyambut kesadaranku.“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Sal. Aku takut kamu kenapa-napa tadi.” Wulan benar sahabat yang baik, tidak seperti Bude Darmi ibunya. Aku berusaha tersenyum pada Wulan, meyakinkan dia bahwa aku tidak apa-apa. “Aku mau duduk dulu, Lan,” ucapku seraya bangkit dengan satu tangan yang masih seti

  • Kiriman Fitnah dari Sahabat Tak Amanah    Sidang dadakan

    Di sepanjang perjalanan, aku terus meratapi nasib malang yang menimpa. Tidak pernah terbayangkan jika hari ini aku menjadi tersangka tindak asusila yang aku sendiri bahkan tidak memperbuatnya. Ya Allah … tolong hamba untuk bisa terlepas dari jerat fitnah ini. “Jalannya cepetan dikit napa? Lelet banget!” hardik Bude Ratih sambil menarikku lebih keras dari sebelumnya. Pergelangan tanganku rasanya perih sekali, mungkin ada sedikit luka yang tersemat di sana. Namun, aku tidak sanggup lagi untuk berkata-kata. “Iya, nih. Sudah mau Maghrib tau!” balas Ibu Dewi yang sedari tadi ikut menghinaku.Derai air mata tidak dapat terbendung lagi. Kejadian ini benar-benar telah meruntuhkan duniaku. Mas Hadi, semoga kamu masih bisa percaya padaku, Mas. Aku ini istri yang selalu berbakti padamu. Segala yang aku lakukan hanya untuk membuatmu nyaman, agar kita bisa hidup bahagia dan damai dalam rumah tangga kita

DMCA.com Protection Status