Tak perlu waktu lama untuk Bhanu berlari meninggalkan tempatnya setelah menyuruh keempat pengawal yang tadi dia tunjuk untuk ikut bersamanya.
Tubuhnya terlihat panik, tapi tidak dengan hatinya. Dia hanya bergerak sesuai insting pengawal yang melayani majikannya. Dia segera masuk ke ruangan perawatan Darius dan mendapati lelaki itu sudah dikerumuni oleh dokter dan perawat.
Bhanu mengharapkan laporan mengenai kondisi sang tuan, namun kerumunan dokter itu malah melewatinya begitu saja setelah saling berbicara secara pelan yang tidak bisa didengar Bhanu.
Bhanu menunggu kerumunan dokter dan perawat itu meninggalkan ruangan lalu menghampiri ranjang sang tuan.
Bhanu memperlihatkan raut wajah yang lega. “Syukurlah, Anda sudah sadar. Dokter tidak mengatakan apa pun kepada saya.”
Darius hanya melirik sekilas. Perban tebal yang mengelilingi kepalanya dan memar-memar parah yang memenuhi wajahnya membuat lelaki itu cukup sulit bergerak.
“Kami menemukan rekaman CCTV yang menunjukkan mereka sedang menghentikan taksi di jalan depan rumah sakit.” Bhanu menatap kaku seperti biasa. “Kau yakin itu mereka?” “Postur pria itu sama dengan dokter yang masuk ke ruangan Nyonya terakhir kali. Dia menggendong seseorang yang tak sadarkan diri sampai ke lobi. Saat dia keluar, jas dokternya sudah dilepas dan dia melakukan kamuflase sampai rekan-rekan pengawal yang lain tidak curiga padanya.” “Teruskan.” “Dia menaiki taksi. Kami sudah melacak nomor platnya.” Bhanu mengembuskan napas. Ekspresi wajahnya sukar dimengerti. “Lanjutkan pencariannya.” Pengawal yang melapor itu pergi dan meninggalkan Bhanu sendirian di ruang tunggu khusus. Bhanu menumpukan kedua siku pada lutut sambil mengusap wajah. “Aku hanya bisa membantu mereka sampai di sini, Claudia.” Bhanu terlihat frustrasi. Beberapa hari batinnya terus berperang. Sangat sulit baginya untuk memilih antara menjaga ke
Izora belum jua melepaskan tangan Bandit bahkan ketika mereka sudah berada di gudang. Dari dadanya yang kembang kempis dan wajah pucatnya yang mengeras, Bandit tahu kemarahan wanita itu belum surut.Dengan kasar Izora melepaskan gips di tangannya. Gemelutuk giginya terdengar sangat jelas.Bandit segera menahan Izora yang ingin melepas semua perban yang melekat pada lukanya. “Apa yang kau lakukan? Kau bisa infeksi.”“Aku tidak peduli! Ronald sialan! Dia ingin aku tetap di sana? Apa bedanya dia dengan keluargaku?!”Bandit bisa melihat setitik kekecewaan di manik mata Izora. Dia pasti sangat mempercayai pria bernama Ronald itu.“Aku bukan pengecut! Aku akan kembali dan menghabisi Darius!” Izora menghentakkan kaki luar biasa kesal.Di luar dugaan Bandit malah menarik sudut bibir ke atas. Merasa sedikit geli. Izora terlihat seperti anak kecil yang merajuk karena dilarang bermain.“Kuran
“Jangan sentuh aku, Berengsek!” Dihunjamnya preman itu tajam dan tegas.“Kalau kau tidak cantik, sudah kupukul kepalamu itu. Bicaranya jangan kasar-kasar begitu dong, Sayang ... karena aku bisa marah, hm?”Tangan-tangan lain mendarat di rambut Izora, di lengannya, bahkan hampir menyentuh dadanya. Izora mengernyit luar biasa jijik.“Kubilang jangan sentuh aku!!”Alih-alih berhenti, sentuhan-sentuhan itu malah semakin berani dan kasar. Izora bahkan merasakan rambutnya ditarik dengan keras. Kepalanya sampai mendongak karena tarikan itu.“Heh, wanita jalang! Jangan sok jual mahal. Malam ini kau harus bersikap manis kalau tidak ingin salah satu anggota tubuhmu menghilang!”“Kita juga bisa menghilangkan nyawamu loh~”Bukannya merasa takut, Izora malah semakin marah.“Sudah kubilang bersikap manislah. Hilangkan tatapan jijikmu itu! kami ini wangi!&rdqu
Malam itu hujan turun dengan deras, namun Izora tak ingin berhenti. Tak ada payung dan ia hanya memakai jaket Bandit. Basah kuyup bersama lelaki itu. Meski sekujur tubuhnya remuk redam, ia tak peduli.Ternyata seperti ini rasanya keluar dari penjara neraka yang mengurungnya selama ini. Meski kesakitan, meski kehujanan, meski kelaparan, Izora merasa senang. Hatinya meletup-letup seakan semua beban yang selama ini ditanggungnya sirna.“Kita berteduh.” Bandit menuntun Izora ke bawah ruko yang tertutup.“Sebenarnya aku senang, kita bisa lanjut berjalan.”“Kau bisa sakit, Sayang.”Untuk kedua kalinya, Izora mendengar panggilan sayang yang dalam itu dan ia selalu saja tertegun. Hatinya gemetar.“Kita akan ke mana setelah ini?" Izora mendongak mempertemukan matanya dengan mata Bandit yang menatapnya lekat.“Ke luar—“ Lalu ucapan Bandit terhenti begitu saja. Mata le
Di tengah pelukan Izora yang mendebarkan jantungnya dengan brutal, Bandit mengingat waktu saat mereka berteduh di emperan toko karena kehujanan.Izora hanya memakai baju rumah sakit yang ditutupi dengan kaus kebesaran Bandit pada malam itu. Dia ingat napas wanita itu terasa panas selang tiga jam berada di bawah atap toko yang tertutup.Izora tidur dengan badan yang panas dan deru napas yang lemah. Bandit sangat khawatir dan takut. Lagi-lagi dia membuat Izora begini. Terhitung sudah berapa kali dia membuat Izora kesakitan seperti ini?Wajah Bandit mengernyit kesakitan. Dadanya berdenyut perih melihat bagaimana Izora bahkan tidak bisa membuka mata meski berapa kali pun ia menepuk pipi wanita itu dan memanggil namanya berulang kali.Badannya amat panas, tapi ia menggigil sampai gemetaran. Bandit tak membuang waktu untuk segera mendekapnya. Demi Tuhan, dia akan sangat menyesal jika Izora sampai kenapa-kenapa.“Kumohon … jangan sakit lagi.&
“Kau bisa tersenyum dan tertawa sepuasnya di sini.”Alih-alih mengikuti perkataan yang meneduhkan itu, Izora mengunci rapat-rapat bibirnya. “Aku lapar.” Suaranya kembali menjadi dingin seolah Izora yang melompat-lompat kecil tadi hanyalah bayangannya.Bandit menyajikan mie hangat itu di atas meja bundar dengan dua kursi. Satu mangkuk untuknya, satu untuk Izora. Khusus buat Izora, dia berikan bagian yang paling banyak dengan isi yang melimpah.“Dari mana kau ambil ayam?” tanya Izora sambil mengangkat mie-nya dengan sumpit.“Itu bukan ayam, tapi kelinci.”Serta merta kening Izora mengerut. “Dari mana?”“Hutan.”Ah, berburu. Izora jadi membayangkan penampilan Bandit tanpa baju dengan memegang tombak dari kayu runcing dan mengendap waspada mencari mangsa. Mata buasnya memicing tajam pada kelinci yang sedang asyik makan.Izora membayangkannya sambil mengun
Sepertinya mandi tidak masuk dalam hitungan ‘bercinta seperti orang sakit jiwa’ tapi Izora berada di sini sekarang, dalam bath up kayu kecil yang sepertinya masih baru. Air hangat menembus pori-pori kulitnya dan membuat Izora amat sangat nyaman sampai tak menghitung waktu sudah berapa lama ia menyandarkan punggungnya pada dada Bandit.Ia berada dalam pelukan lelaki itu. Rasa nyamannya menjadi berkali-kali lipat. Dada bidang Bandit seperti dinding kokoh yang akan terus menjaganya.“Padahal aku mengajakmu bercinta seperti oang sakit jiwa. Mandi adalah cara orang normal.”Bandit mengeratkan dekapan dari belakang. Rambut Izora ia kecup. “Aku berkeringat. Akan ada banyak kuman yang menempelimu dan kau bisa sakit lagi.”“Kupikir kau tipe yang hanya menuruti insting liarmu, karena aku melihat kilat itu di matamu sejak tadi.”Kilat yang seolah akan memangsa Izora, memangsa dalam arti yang lain.&
“Ini bahkan sudah tiga hari dan dia belum ditemukan!”Suara Darius menggelegar di halaman depan di mana seluruh pengawal berjaga di sana. Dia tampak begitu marah diikuti dengan Raline yang berdiri di sampingnya sambil memegang lengan lelaki itu.Bhanu yang berdiri di barisan depan selalu mewakili dengan berani. “Kami akan berusaha lebih keras lagi untuk mencari Nyonya.”“Kau tahu bukan cuma Izora yang harus dicari, kan?” Napas Darius berembus kasar.Dia tatap seluruh pengawal yang ada. Matanya menjelajah, menemukan wajah-wajah baru yang bersih dari memar dan lebam.“Tambah lima puluh pengawal lagi. Aku ingin semua sudut di rumah ini dijaga. Pertinggi semua tembok yang mengelilingi rumah dan pasang jebakan di sana. Jangan biarkan seekor semut pun masuk. Kalian megerti!!”“Mengerti, Tuan!”“Tunggu apalagi? Cepat kerjakan!”Semua pengawal serempak berger