Malam itu hujan turun dengan deras, namun Izora tak ingin berhenti. Tak ada payung dan ia hanya memakai jaket Bandit. Basah kuyup bersama lelaki itu. Meski sekujur tubuhnya remuk redam, ia tak peduli.
Ternyata seperti ini rasanya keluar dari penjara neraka yang mengurungnya selama ini. Meski kesakitan, meski kehujanan, meski kelaparan, Izora merasa senang. Hatinya meletup-letup seakan semua beban yang selama ini ditanggungnya sirna.
“Kita berteduh.” Bandit menuntun Izora ke bawah ruko yang tertutup.
“Sebenarnya aku senang, kita bisa lanjut berjalan.”
“Kau bisa sakit, Sayang.”
Untuk kedua kalinya, Izora mendengar panggilan sayang yang dalam itu dan ia selalu saja tertegun. Hatinya gemetar.
“Kita akan ke mana setelah ini?" Izora mendongak mempertemukan matanya dengan mata Bandit yang menatapnya lekat.
“Ke luar—“ Lalu ucapan Bandit terhenti begitu saja. Mata le
Di tengah pelukan Izora yang mendebarkan jantungnya dengan brutal, Bandit mengingat waktu saat mereka berteduh di emperan toko karena kehujanan.Izora hanya memakai baju rumah sakit yang ditutupi dengan kaus kebesaran Bandit pada malam itu. Dia ingat napas wanita itu terasa panas selang tiga jam berada di bawah atap toko yang tertutup.Izora tidur dengan badan yang panas dan deru napas yang lemah. Bandit sangat khawatir dan takut. Lagi-lagi dia membuat Izora begini. Terhitung sudah berapa kali dia membuat Izora kesakitan seperti ini?Wajah Bandit mengernyit kesakitan. Dadanya berdenyut perih melihat bagaimana Izora bahkan tidak bisa membuka mata meski berapa kali pun ia menepuk pipi wanita itu dan memanggil namanya berulang kali.Badannya amat panas, tapi ia menggigil sampai gemetaran. Bandit tak membuang waktu untuk segera mendekapnya. Demi Tuhan, dia akan sangat menyesal jika Izora sampai kenapa-kenapa.“Kumohon … jangan sakit lagi.&
“Kau bisa tersenyum dan tertawa sepuasnya di sini.”Alih-alih mengikuti perkataan yang meneduhkan itu, Izora mengunci rapat-rapat bibirnya. “Aku lapar.” Suaranya kembali menjadi dingin seolah Izora yang melompat-lompat kecil tadi hanyalah bayangannya.Bandit menyajikan mie hangat itu di atas meja bundar dengan dua kursi. Satu mangkuk untuknya, satu untuk Izora. Khusus buat Izora, dia berikan bagian yang paling banyak dengan isi yang melimpah.“Dari mana kau ambil ayam?” tanya Izora sambil mengangkat mie-nya dengan sumpit.“Itu bukan ayam, tapi kelinci.”Serta merta kening Izora mengerut. “Dari mana?”“Hutan.”Ah, berburu. Izora jadi membayangkan penampilan Bandit tanpa baju dengan memegang tombak dari kayu runcing dan mengendap waspada mencari mangsa. Mata buasnya memicing tajam pada kelinci yang sedang asyik makan.Izora membayangkannya sambil mengun
Sepertinya mandi tidak masuk dalam hitungan ‘bercinta seperti orang sakit jiwa’ tapi Izora berada di sini sekarang, dalam bath up kayu kecil yang sepertinya masih baru. Air hangat menembus pori-pori kulitnya dan membuat Izora amat sangat nyaman sampai tak menghitung waktu sudah berapa lama ia menyandarkan punggungnya pada dada Bandit.Ia berada dalam pelukan lelaki itu. Rasa nyamannya menjadi berkali-kali lipat. Dada bidang Bandit seperti dinding kokoh yang akan terus menjaganya.“Padahal aku mengajakmu bercinta seperti oang sakit jiwa. Mandi adalah cara orang normal.”Bandit mengeratkan dekapan dari belakang. Rambut Izora ia kecup. “Aku berkeringat. Akan ada banyak kuman yang menempelimu dan kau bisa sakit lagi.”“Kupikir kau tipe yang hanya menuruti insting liarmu, karena aku melihat kilat itu di matamu sejak tadi.”Kilat yang seolah akan memangsa Izora, memangsa dalam arti yang lain.&
“Ini bahkan sudah tiga hari dan dia belum ditemukan!”Suara Darius menggelegar di halaman depan di mana seluruh pengawal berjaga di sana. Dia tampak begitu marah diikuti dengan Raline yang berdiri di sampingnya sambil memegang lengan lelaki itu.Bhanu yang berdiri di barisan depan selalu mewakili dengan berani. “Kami akan berusaha lebih keras lagi untuk mencari Nyonya.”“Kau tahu bukan cuma Izora yang harus dicari, kan?” Napas Darius berembus kasar.Dia tatap seluruh pengawal yang ada. Matanya menjelajah, menemukan wajah-wajah baru yang bersih dari memar dan lebam.“Tambah lima puluh pengawal lagi. Aku ingin semua sudut di rumah ini dijaga. Pertinggi semua tembok yang mengelilingi rumah dan pasang jebakan di sana. Jangan biarkan seekor semut pun masuk. Kalian megerti!!”“Mengerti, Tuan!”“Tunggu apalagi? Cepat kerjakan!”Semua pengawal serempak berger
Wira melihat keraguan di mata Darius. “Yah … tidak ada yang tidak mungkin untuk seorang pembunuh gila yang berani menerobos penjagaan kuat dari kediaman Farzan. Dia tidak dijuluki Bandit secara cuma-cuma.”Tangan Darius mengepal di atas paha. “Apa dia pernah bergerak dengan sendirinya tanpa perintah dari siapa pun?”“Sayangnya tidak pernah.”“Selidiki mantan pengawal itu secepatnya. Bawa dokumennya padaku besok.”Wira mengangguk paham kemudian bangkit dari duduknya. “Akan saya bawakan besok pagi.”Detektif berpengalaman itu menunduk hormat dengan ekspresi santai lalu keluar dari ruangan Darius. Selepas kepergiannya, Bhanu mendengar erangan marah yang keluar dari bibir Darius.“Siapa yang berani menyuruh pembunuh itu untuk membunuhku?! Akan kucincang mereka semua!”***Paginya saat Izora terbangun, ia tak mendapati Bandit di sisinya. Padahal sei
Izora keluar kamar dengan memakai kaus Bandit. Kali ini yang berwarna hitam dan begitu kontras dengan kulitnya yang seputih susu.Wanita itu menyadari tatapan intens Bandit. “Aku tidak punya baju.” Lalu melirik ke baju Bandit yang sedang dipakainya. Dia bahkan tidak punya pakaian dalam.Makanan bisa dicari di tempat ini, tapi tidak dengan baju. Izora menghela napas sambil berjalan ke meja makan yang hanya cukup untuk dua orang itu.Dia mengintip makanan yang disajikan Bandit. Sup bening dengan daging yang dipotong dadu dan juga daging panggang.“Itu daging rusa?”Bandit yang mengatur piring di meja makan menoleh pada Izora yang sedang menarik kursi. “Ya, ini daging rusa.”Izora mengamati ekspresi Bandit. Entah sejak kapan wajah Bandit menjadi biasa? Tidak menakutkan dan tak lagi garang. Mimik mukanya tampak biasa. Ia sering tersenyum dan memandang dengan hangat.“Kau ternyata
Seseorang mengetuk pintu kamarnya ketika Serina baru saja keluar dari kamar mandi. Ia masih memakai bathrobe dengan kepala yang terlilit handuk saat seorang pelayan masuk dan membawakan senampan makanan.Serina mengintip isi piring yag disajikan di atas meja kecil dengan sofa yang mungil. Ah, hidangan mewah yang tidak pernah dia makan di apartemen maupun di tempat kerjanya.Pelayan muda bertubuh kurus itu langsung melangkah menuju pintu setelah menyajikan makanan tanpa repot-repot menyapa Serina.“Tunggu. Siapa namamu?”Pelayan berkuncir rapi itu berbalik, sedikit canggung dan terlihat tidak ingin berbicara dengan Serina. “Erika.”“Ah, Erika. Sudah jam berapa ini?”Erika mngerutkan kening seolah pertanyaan Serina sangatlah aneh. Matanya mencari-cari jam dinding atau jam apa pun tapi tidak menemukannya. “Ini sudah malam, sepertinya sudah lewat jam tujuh malam.”Serina mengangg
Saat Izora membuka pintu, ia langsung mendapati Bandit yang berdiri kaku sambil menenteng banyak paper bag dan satu kardus pipih yang ada dalam dekapannya.Lelaki itu menatapnya kaku dan rumit. Tidak menyapa dan langsung masuk untuk meletakkan semua barang itu.“Apa saja yang kau beli?” Izora mengintip isi paper bag yang terbuka. “Baju?”“Ya.” Bandit hanya menjawab dengan suara pelan yang sama sekali tidak antusias.Izora mengernyit heran lalu menahan lengan Bandit yang bergerak sibuk menata semua barang itu, yang mana itu sama sekali tidak perlu.“Ada apa?”Bandit berhenti, namun tidak menoleh untuk melihat Izora, dan Izora semakin heran.“Apa terjadi sesuatu?”Ketika akhirnya lelaki itu berdiri tegak dan meninggalkan semua gerakan sibuk kamuflasenya, Izora bisa melihat sesuatu yang tersembunyi di matanya.“Tidak apa. Aku lupa membeli ba