Share

IBU.

Author: Rut Brielle
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

     Kiki, begitulah semua orang memanggilku. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang beda Ayah.  Ayahku sendiri telah meninggal, tak lama setelah aku mengenalnya. Ayah dan Ibuku, berpisah sejak aku masih dalam kandungan.

   Kedua adikku, Ibu dapatkan dari pernikahannya yang ke dua. Saat itu aku tak ada di sana.  Itu karna sejak bayi, Kakek dan Nenek di kampung yang merawatku. Bahkan aku mengira kedua orang tua itu adalah Ayah dan Ibuku.

Dan, inilah kisah perjalananku.

Kembali pada beberapa belas tahun yang lalu.

Pagi ini, masih sama dengan pagi sebelumnya. Masih dengan mengantuk, aku berjalan menuju sungai yang tak jauh dari Rumah. Dengan menenteng ember kecil berisi peralatan mandi, dan handuk melingkar di pundak.  Sesampainya di sana, seperti biasa aku duduk di atas batu besar yang ada di pinggir sungai.

Dengan memeluk lututku dan merapatkan handuk di pundak, supaya lebih hangat. Hingga menit berlalu, aku masih enggan membersihkan badanku dengan air sungai yang mengalir itu.

'BYURR!!'

Air dingin mengalir dari atas kepalaku, membasahi badanku yang masih lengkap memakai baju. Aku berjingkat berdiri karena kaget. Disusul suara cekikikan Nenekku, yang entah sejak kapan berada disitu.

"Tuman! Bukannya mandi, malah jagongan (duduk)!" Hardiknya masih diselingi tawa, melihatku yang bersungut-sungut sambil turun dari atas batu.

Sebenarnya, meski sangat dingin hingga mengeluarkan uap dari mulut saat bicara. Setelah selesai mandi tak terasa sedingin itu. Hanya saja, aku selalu sulit untuk memulai mengguyur badanku.

Hal itu terjadi hampir setiap hari. Usiaku saat ini sudah tujuh tahun, aku duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Terlepas dari itu, aku adalah anak yang sangat mandiri. Kakek dan Nenek akan selalu sibuk di ladang setiap hari dan seharian. Karena itu, aku harus mengerjakan semua keperluanku sendiri.

Jika sedang tak sibuk, Kakek membuat batako dan dikumpulkan untuk nanti jika ingin memperbaiki rumah kami. Rumah kami saat ini, dindingnya masih kayu dan anyaman bambu.

Untuk membantu Kakek, aku harus membawa pulang batu atau pasir dari sungai setiap habis mandi.

Di Sekolah, tak beda dengan murid kebanyakan. Aku melakukan aktifitas belajar dan bermain bersama teman-temanku seperti biasanya.

Pergi dan pulang Sekolah juga bersama-sama dengan mereka. Karena Sekolah kami cukup jauh dari rumah, dan kami akan berjalan kaki setiap harinya untuk kesana.

"Ahh! Aku telat!" pekikku sedikit panik, setelah melirik jam dinding di rumah. Benar saja, jalanan menuju Sekolah sangat sepi. Maksudku, tak terlihat teman-temanku lagi. Sedikit mempercepat langkah dan sesekali berlari, aku mencoba secepat mungkin untuk sampai.

Meski terlambat, akhirnya aku tiba dengan selamat. Aku mendapat hukuman atas keterlambatanku. Pak Guru, memintaku membersihkan papan tulis tempat Beliau menulis di kelas, dan menghapus tulisannya setiap kali selesai. Tidak berat memang, tapi cukup membuatku malu. Rutinitas seperti itu terjadi setiap hari, kecuali hukumannya, ya. Dan hari minggu tentunya.

Tahun berganti, aku akan naik ke kelas dua. Di sini, setiap murid berprestasi akan mendapat hadiah dari Sekolah. Aku adalah salah satunya. Namun, hari itu bukan hari yang membuatku senang. Tak seperti orang tua teman-temanku. Kakek ataupun Nenek, tak ada yang bisa datang menemaniku. Saat salah satu orang tua maju ke depan, mewakili anaknya menerima hadiah dengan wajah bangga. Aku maju untuk mewakili diriku sendiri. Mungkin ini bukanlah hal besar, tapi di usiaku saat itu, entah kenapa begitu sangat penting buatku. Yasudahlah ... bagaimanapun, Kakek dan Nenek sibuk juga untuk mencukupi kebutuhanku.

Sudah lewat magrib, Kakek dan Nenek baru sampai rumah. Baju di badannya kotor, wajah mereka juga. Nenek langsung menuju dapur memasak air untuk mandi Kakek. Beberapa hari ini kondisinya memang sedang tidak sehat, tapi Kakek tetap bersikap seperti biasa saja. Beliau memang bukan orang yang suka mengeluh. Kakek duduk di depan perapian. Merapikan kayu bakar supaya tetap menyala, sekalian menghangatkan badan.

    Diam-diam aku memperhatikannya. Wajah lelah terlihat jelas diterpa cahaya dari api dalam tungku. Ada hal yang ingin aku tanyakan, tapi tak pernah terucap dari mulutku. Rasanya tak tega untuk bicara. Tak sadar, embusan napasku terdengar.

"Nak, kalau belajarnya udah, langsung tidur. Jangan tidur malam-malam,"  Suara lembut Kakek mengagetkanku. Begitulah cara Beliau berbicara. Sangat lembut dan pelan. Tak pernah sekalipun kudengar Kakek berteriak.

Berbeda dengan Nenek, yang memang seperti terbiasa bicara dengan nada cukup tinggi.

Namun, satu hal yang ku tau pasti. Baik Kakek atau Nenek, keduanya menyayangiku.

"Iya, Mbah,” jawabku.

"Udah makan, belum?"  Sambung Kakek yang langsung aku jawab,  "Sudah,"  Setelah itu  aku berdiri dan beranjak ke kamar untuk tidur. Meski di kamar aku tak bisa langsung tidur. Tentu saja, karena pikiranku masih berputar pada rasa penasaranku.

'Kira-kira, Ibuku seperti apa, ya?' gumamku.

Malam pun berlalu.

Aku kembali melakukan aktifitasku seperti biasa. Hingga siang, saat waktunya aku pulang. Aku berjalan sambil bercanda dengan temanku, yang rumahnya dekat dengan rumahku. Saat aku sampai di depan rumah, Dia akan berbelok, dan masuk sebuah gang menuju rumahnya.

Aku melambaikan tangan ke arahnya, dan dia membalasku. Kemudian aku menaiki jalan yang sedikit lebih tinggi dari jalan utama untuk menuju kehalaman rumah.

Aku berdiri terdiam mematung di bawah gapura, melihat Nenek sedang duduk bersama seseorang di teras rumah. Namun, itu tak berlangsung lama. Aku kembali melangkah dan semakin mendekat kearah mereka berdua. Setelah memberi salam, aku langsung masuk menuju kamar.

 Rumah kami bukan rumah yang besar. Di dalamnya hanya ada dua kamar. Satu kamar untuk Kakek dan Nenek, dan satunya lagi kamarku dan Eyang buyutku- ibu dari Kakek. Dua kamar itu letaknya berhadapan, berada pada lorong yang menghubungkan ruang tamu dan dapur.

"Sudah pulang? Sini makan," sapa Eyang dari dapur, dengan masih duduk di depan baskom berisi kopi, yang mungkin baru dipetiknya dari belakang rumah tadi.

Aku membalas ucapannya dengan mengangguk sambil mengganti baju.

"Itu siapa?" tanyaku, setelah aku cukup dekat dengan tempatnya duduk. Sambil ikutan memilih kopi, aku menunggu jawaban.

"Masa gak tau? Itukan Mamamu," jawab Eyang datar tanpa memalingkan wajahnya dari baskom.

Aku terdiam dan meninggalkan Eyangku sendirian, melewati lorong menuju ruang tamu. Mengintip wanita yang sedang mengobrol dengan Nenekku.

Rasa penasaran selama ini telah hilang, aku sudah melihat seperti apa wujud Ibuku itu.

Menyadari keberadaanku. Nenek memanggil dan memintaku untuk bergabung dengan mereka. Aku menurut saja.  Wanita itu tersenyum menatapku, tangannya terulur menyentuh pipiku dan mengusapnya beberapa kali, sebelum kemudian memelukku. Aku hanya terdiam tanpa kata, sampai dia melepasnya.

"Kiki, udah besar, ya? Cantik," Kata pertama yang terucap darinya.

"Makasih," jawabku malu-malu.

Related chapters

  • Kiki's Journey   AWAL SEBUAH PERJALANAN.

    Malamnya, kami semua duduk membentuk setengah lingkaran di depan tungku yang menyala, untuk menghangatkan diri. Tak lama Eyang berdiri, mengambil gelas dan menawarkan minuman hangat untuk kami. "Jangan pake gula ya, Mbah." Ucap Wanita yang duduk disebelahku. Aku sempat melirik kearahnya sebentar. Dia menyambut lirikan dengan senyum, dan aku memalingkan wajahku darinya. Setelah cukup banyak mengobrol, yang aku bahkan tak mengerti dan tak terlalu mau tau isi obrolan itu. Kamipun beranjak untuk tidur. Wanita itu tidur di kamarku dan Eyang. Kami tiduran sambil menatap langit-langit rumah dalam kamar. Terdengar Eyang masih ngobrol dengan wanita itu. Aku yang berada di tengah merasa sedikit terganggu. Namun, ku coba untuk memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, terasa wanita itu bergerak dan memelukku. Aku yang masih memejamkan mata, memilih untuk berpura-pura tidur. Dia mencium kening dan membelai pipiku. Tak terasa sepertinya aku

  • Kiki's Journey   SAAT AKU MULAI LELAH.

    Satu tahun berlalu tanpa ada kabar dari Mama. Aku mulai merasakan seperti di buang. Ada rasa sesal terkadang datang, andai dulu aku tetap bersama Kakekku. Tiba-tiba rasa rindu menyapa, aku menangis mengingat wajah mereka berdua. Kelembutan Kakek yang masih terasa meski jarak telah begitu jauhnya membuatku meneteskan air mata. Adik kecilku menghampiri, menggelayut pada pundakku. Aku menarik badannya ke dalam pelukanku. Air mata tumpah, tangisku pecah. Anak sekecil ini sudah harus merasakan sulitnya hidup. Aku gendong hingga Dia terlelap. Di atas tempat tidur, aku meletakkan tubuh kecilnya dan kami tidur bersama. Pagi ini, kami berdua sudah selesai mandi. Aku sudah siap menggendongnya untuk pergi ke Sekolah. Di tengah pelajaran, terdengar suara tangis Adikku yang keras. Pagi tadi badannya memang terasa panas. Aku berlari ke ruang Guru untuk menenangkan Adikku. Ibu Guru yang biasa menemaninya sedang tak ada disana. Tak lama kemudi

  • Kiki's Journey   MELEKAT DALAM INGATAN, SAMPAI MATI

    "Lagi ngapain, Lu?" Suara temanku menyapa sambil mencolek pundakku dari belakang. "Nggak ada, bengong aja," Jawabku, "Mau kemana, Lu?" "Mau nyari makan gua, ikut gak, Lu? Kemaren malem gua pergi ama tamu gua. Makanan disitu enak-enak semua, Kiki!" Expresi gemas dia tunjukan sambil mengatakan itu. Belum sempat aku menjawab, kata-katanya sudah keluar lagi. "Beneran ikh, hayukk! Kalo lu ikut, kita pergi kesana. Kalo lu gak mau, gua cari makan deket-deket sini aja," sambungnya. "Lah, kenapa harus gua ikut baru kesana??" "Ikh Lu, mah. Tempatnya lumayan jauh. Tapi seru tau! Pemandangannya bagus. Bisa sekalian cuci mata Lu, mah. Daripada Lu bengong-bengong gitu. Hayukk, Ki!" ucapnya penuh semangat. "Yowes, ganti baju dulu," "Ho oh, gua tunggu depan, ya!" Temanku yang satu itu, memang suka banget jalan keluar. Di kota manapun yang kami datangi, hampir semua tempat seru dan asik buat menikmati suasana dia

  • Kiki's Journey   HANYA AKU YANG MENGERTI RASA INI

    Setelah sadar, aku berada di salah satu rumah warga, dikerumuni banyak orang yang entah hanya ingin melihatku, atau ada maksud lain ... aku tak tau. Beberapa dari mereka ada yang bertanya tentang keluarga, dan tinggal dimana mereka. Beberapa orang lagi, bertanya tentang ciri-ciri orang yang bersamaku malam itu, dan bagaimana aku bisa bersamanya. Kepalaku terasa sakit saat berusaha mengingat dan menjelaskan kepada mereka semua. "Sudah, biarkan anak ini istirahat."Sang pemilik rumah yang menyadari keadaanku, meminta kerumunan orang itu untuk tak terus mendesakku. Dia memapahku ke kamar, mendudukanku di atas ranjang anaknya yang sudah tak tinggal di rumah itu. "Sini, tiduran. Istirahat,” ucapnya sambil menepuk bantal yang selesai di rapihkan. Aku menuruti perkataannya. "Ibu, buatkan teh hangat, ya?" sambungnya lagi. Dengan mengangguk perlahan, aku mengiyakan tawarannya. Dan, dia beranjak pergi keluar kamar. S

  • Kiki's Journey   SEPARAH ITU.

    Seseorang duduk di belakang meja, menghadapku yang duduk sendirian di depannya. Sebuah pulpen di tangan dan selembar kertas di atas meja.Aku menyapu sekeliling ruangan dengan mataku. Tampak beberapa orang dengan seragam ada disana. Terlihat juga dua orang yang tadi membawaku ke tempat ini.Salah satu dari mereka kemudian menghampiri, dengan segelas minuman di tangannya. Minuman itu lalu di letakkannya di atas meja di depanku, dan berkata,"Ini di minum dulu."Aku melirik ke arah dalam gelas itu, mencium aroma wangi teh hangat yang keluar bersama kepulan uap panasnya."Jadi, siapa namamu?" Tanya orang yang duduk di depanku.Aku masih takut menatapnya. Dengan menunduk aku menjawab pertanyaan itu, dan juga pertanyaan lainnya.Setelah itu, aku meraih gelas di depanku dan meminum isinya perlahan-lahan, dan kembali menundukkan kepala. Hingga sesi tanya jawab berakhir juga.Di depan sebuah rumah sederhana, disitulah aku

  • Kiki's Journey   SESEORANG YANG LAIN.

    Hari berganti hari hingga bulan. Sikapku itu membuatku akhirnya mendapat teguran dari keluarga.Aku hanya bisa terdiam mendengar semua nasihat yang mereka ucapkan untukku. Rasanya ingin menangis dan berteriak, menyalahkan keadaan yang tak seperti ku inginkan. Dalam hati masih ada keinginan untuk menjalani hari dengan normal. Pergi beribadah seperti yang mereka inginkan. Hanya saja, perasaan tidak layak untuk berada disana sangat kuat. Aku merasa kotor dan menjijikan. Setiap kali berdoa, aku merasa seperti seorang munafik.Nasihat demi nasihat berlalu tanpa ada yang ku lakukan. Dalam hatiku, tak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku saat itu. Tentu saja karna aku memang tak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku.Lalu, aku memutuskan untuk bekerja pada sebuah warnet. Dimana aku mengambil shift malam yang membuatku berfikir, itu bisa jadi alasanku untuk tak perlu pulang dan bertemu dengan keluarga di rumah.Awalnya aku merasa kembali semua

  • Kiki's Journey   TERAKHIR KALINYA.

    "Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??"Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya.Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Ruma

  • Kiki's Journey   NAPSU BIRAHI

    Sejak itu, aku tak ingin memberi kesempatan pria manapun untuk melukai hatiku. Jika perlu aku yang membuat mereka terluka. Apalagi aku memiliki teman yang sepemikiran denganku saat itu, membuatku merasa apa yang ku lakukan benar. Kembali pada saat di mana temanku masih curhat di dalam Restoran. Tiba-tiba, aku tak mendengar lagi suaranya. Menoleh ke arahnya, ternyata dia sedang asik memperhatikan seseorang yang berdiri di pinggir kolam dengan celana renangnya. Tubuh tinggi tegap, dengan otot menyembul di beberapa bagian tubuhnya. Dia memang suka pria yang seperti itu, "Cowok kayak gitu, keliatan jantan banget di tempat tidur!" ucap temanku yang masih ku ingat. Tak sadar aku mengernyitkan dahi, masih dengan memperhatikan pria itu. 'Ck,' Aku berdecak dan memalingkan pandangan darinya. Nggak ada bagus-bagusnya, menurutku. Entah kenapa, definisi seksi seorang pria menurutku bukan itu. Menurutku, pria seksi terlihat dari kecerdasannya. Aku m

Latest chapter

  • Kiki's Journey   DALAM HIDUP ADA PILIHAN

    Pagi yang cerah menyambutku, secerah senyum seseorang di depanku.Aku mengangguk padanya sebelum masuk ke dalam mobil yang sudah siap.Minivan Putih membawaku, Miles, dua orang teman, salah satu asistenku dengan seorang driver juga barang perlengkapan kami ke tempat tujuan.Aku melirik mereka yang santai menyandarkan tubuh pada sandaran kursi mobil. Sementara aku merasa sedikit gelisah duduk di samping Miles yang mulai sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku.Bagaimana bisa makhluk setampan ini adalah seorang wanita?Bibirnya yang merah alami terlihat menggoda, tampak sedikit glossy oleh sentuhan lip balm. Tanpa sengaja aku menggigit bibirku sendiri.“Hmm ...?” Orang yang sedang ku perhatikan tiba-tiba membuka mata. Dia tersenyum menangkap expresi kagetku yang membuang muka.Asistenku melihat itu, entah sengaja atau tidak. Dia ikut tersenyum menggodaku yang ku balas dengan tatapan mengancam, membuatnya cekikikan.Seiring mobil

  • Kiki's Journey   HANDSOME GIRL

    Langit cerah siang hari. Semilir angin menggoyangkan pucuk dedaunan di pohon.Aku berjalan di atas pasir di tepi pantai, mengabadikan keindahan alam dengan kamera kecilku.Beberapa orang berbeda usia terlihat sedang bermain pasir. Semuanya tak luput dari pandanganku.“Ahhh, segarnya!” manisnya air kelapa murni menyegarkan tenggorokanku setelah cukup lama berjalan.Mataku kembali menyapu sekeliling. Sesekali rambut panjangku berkibar di terpa angin.“Di sini selalu ramai seperti ini ya, Bang?”“Iya, mbak. Apalagi kalau liburan.”Seorang pria muda pemilik kedai kecil, beberapa kali aku melirik ke arahnya, ‘Manis,’ gumamku. Bibir tipis yang terlihat seksi menurutku apalagi saat tersenyum sempat mengalihkan fokus hingga aku ingin melirik terus.Ini kali pertama aku ke pantai ini, sepertinya aku akan sering ke sini nanti.“Halo,” ucapku menyapa seseorang di telpon.

  • Kiki's Journey   BEBERAPA TAHUN KEMUDIAN

    Toyota yaris berwarna merah favoritku berhenti di pinggir jalan tepat di depan studio foto di tengah kota.Aku mengambil tas ransel besar di dalamnya dan keluar dari mobil itu, lalu berdiri untuk menatap bangunan studio dari depan.Inilah kehidupanku sekarang, menjadi fotografer lepas dan usaha kecil-kecilan. Pekerjaan seperti ini tak pernah terbayang akan aku jalani sebelumnya. Semua datang dengan tiba-tiba. Berawal dari kejadian aku meratapi kesedihanku atas pernikahan Jinan dulu itu.“Bayangkan ada yang lebih baik dari Jinan. Datang menghampiri dan menyambut lu, mendekap lu dengan penuh cinta.”Tracy mengucapkan itu dengan mendorong pelan tangan kanannya, lalu menarik kembali menempelkan didada. Matanya mengecil dengan bibir menciut sexy, di akhiri dengan helaan napas dan memejamkan mata. Aku melirik geli ke arahnya dan kembali menangis kencang.“Nggak! Pokoknya gua cuma mau Jinan!”“Yee, ya udah sana ke ka

  • Kiki's Journey   SADIS

    “Kamu tahu? Sama saja kamu memberi makan keluargamu dengan uang haram."Kata-kata seperti itu sudah sering aku dengar. Aku hanya malas menanggapi.Aku menutup telinga dan mata, 'Tuhan tahu masalahku!'Aku memang mencari pembenaran pada apa yang aku lakukan. Jika memang aku salah, biar Tuhan yang memutuskan. Mereka yang bahkan tak ada saat aku susah, tak ada hak berkomentar!Aku juga tahu, usiaku tak akan berhenti sampai di situ. Pastinya aku akan menjadi tua dan tak terpakai lagi. Saat ini, saatnya aku mencari uang lebih banyak sebelum datang hari itu. Jika aku berhenti dari pekerjaanku sekarang, memangnya mereka akan membiayai sekolah adikku? Membayar sewa rumah kami? Tidak, kan?Mungkin, itu juga yang membuatku tak mau terlibat kisah cinta lebih dalam lagi ... atau karena hal lain? Entahlah, tak terasa beberapa tahun berlalu, aku tak memiliki kekasih dalam hidupku.‘Jinan ....’ Aku membisikkan namanya di antara

  • Kiki's Journey   KELUARGAKU, SEGALANYA.

    Pemandangan kamar yang berantakan setiap pagi, sudah hal biasa terlihat setiap hari. Sepatu, jaket, tas dan semua yang kami pakai malam harinya, berserak di sekitar tempat tidur. Masih dengan posisi tidur, aku menarik bulu mata palsu yang masih menempel di muka. Bisa di bayangkan betapa joroknya kami, tapi mau bagaimana lagi? Bisa pulang dan tidur di atas kasur ini saja sudah seperti anugrah, setelah mabuk yang membuat kami bahkan tak bisa berdiri di kaki sendiri. Aku menyerosot turun sampai kakiku menyentuh lantai untuk bangun. Lalu, menyenderkan kepalaku pada pinggiran kasur. "Tracy! tres! ... Oh tres!" Aku mulai berteriak-teriak memanggil temanku, yang ku kira masih tidur disitu. Di kasur besar ini, dalam satu kamar, kami tidur bersama. Namun, orang yang ku panggil namanya tak memberi jawaban. Saat itu aku paksakan untuk membuka mata, ternyata dia tak ikut pulang semalam. "Woy, bangun! Bangun, bangun!" Melihat du

  • Kiki's Journey   SEXY DANCER.

    "Balik, yuk!" Suara itu kembali menyadarkanku. Tracy, temanku itu mungkin sudah bosan dengan apa yang di lihatnya. Aku mengangguk seraya bangkit dari tempat duduk. Kami berdua berjalan beriringan menuju kasir. Setelah sampai, aku membuka tas untuk mengambil dompet, "Gua yang bayar," ucapnya sambil menepis tanganku, mengisyaratkan untuk memasukkan kembali dompet yang sudah ku keluarkan. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, saat kami berebut menggunakan kamar mandi, "Cepet donk!" Suara temanku yang lain, terdengar nyaring di luar pintu. "Makanya mandi lebih awal," balasku sambil melangkah keluar, di sambut dengan wajahnya yang cemberut. Aku mengatakan itu, karena dia ada di mess seharian. Setelah mandi, aku duduk di depan kaca untuk merias diri. Aku sempat melirik ke arah Tracy yang mondar-mandir keluar, masuk kamar, "Nyari apa, Tres?" tanyaku penasaran. Tracy menoleh ke arahku sambil menjawab, "Stocking gua yang bolong-bolon

  • Kiki's Journey   NAPSU BIRAHI

    Sejak itu, aku tak ingin memberi kesempatan pria manapun untuk melukai hatiku. Jika perlu aku yang membuat mereka terluka. Apalagi aku memiliki teman yang sepemikiran denganku saat itu, membuatku merasa apa yang ku lakukan benar. Kembali pada saat di mana temanku masih curhat di dalam Restoran. Tiba-tiba, aku tak mendengar lagi suaranya. Menoleh ke arahnya, ternyata dia sedang asik memperhatikan seseorang yang berdiri di pinggir kolam dengan celana renangnya. Tubuh tinggi tegap, dengan otot menyembul di beberapa bagian tubuhnya. Dia memang suka pria yang seperti itu, "Cowok kayak gitu, keliatan jantan banget di tempat tidur!" ucap temanku yang masih ku ingat. Tak sadar aku mengernyitkan dahi, masih dengan memperhatikan pria itu. 'Ck,' Aku berdecak dan memalingkan pandangan darinya. Nggak ada bagus-bagusnya, menurutku. Entah kenapa, definisi seksi seorang pria menurutku bukan itu. Menurutku, pria seksi terlihat dari kecerdasannya. Aku m

  • Kiki's Journey   TERAKHIR KALINYA.

    "Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??"Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya.Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Ruma

  • Kiki's Journey   SESEORANG YANG LAIN.

    Hari berganti hari hingga bulan. Sikapku itu membuatku akhirnya mendapat teguran dari keluarga.Aku hanya bisa terdiam mendengar semua nasihat yang mereka ucapkan untukku. Rasanya ingin menangis dan berteriak, menyalahkan keadaan yang tak seperti ku inginkan. Dalam hati masih ada keinginan untuk menjalani hari dengan normal. Pergi beribadah seperti yang mereka inginkan. Hanya saja, perasaan tidak layak untuk berada disana sangat kuat. Aku merasa kotor dan menjijikan. Setiap kali berdoa, aku merasa seperti seorang munafik.Nasihat demi nasihat berlalu tanpa ada yang ku lakukan. Dalam hatiku, tak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku saat itu. Tentu saja karna aku memang tak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku.Lalu, aku memutuskan untuk bekerja pada sebuah warnet. Dimana aku mengambil shift malam yang membuatku berfikir, itu bisa jadi alasanku untuk tak perlu pulang dan bertemu dengan keluarga di rumah.Awalnya aku merasa kembali semua

DMCA.com Protection Status