"Lagi ngapain, Lu?" Suara temanku menyapa sambil mencolek pundakku dari belakang.
"Nggak ada, bengong aja," Jawabku, "Mau kemana, Lu?"
"Mau nyari makan gua, ikut gak, Lu? Kemaren malem gua pergi ama tamu gua. Makanan disitu enak-enak semua, Kiki!" Expresi gemas dia tunjukan sambil mengatakan itu. Belum sempat aku menjawab, kata-katanya sudah keluar lagi.
"Beneran ikh, hayukk! Kalo lu ikut, kita pergi kesana. Kalo lu gak mau, gua cari makan deket-deket sini aja," sambungnya.
"Lah, kenapa harus gua ikut baru kesana??"
"Ikh Lu, mah. Tempatnya lumayan jauh. Tapi seru tau! Pemandangannya bagus. Bisa sekalian cuci mata Lu, mah. Daripada Lu bengong-bengong gitu. Hayukk, Ki!" ucapnya penuh semangat.
"Yowes, ganti baju dulu,"
"Ho oh, gua tunggu depan, ya!"
Temanku yang satu itu, memang suka banget jalan keluar. Di kota manapun yang kami datangi, hampir semua tempat seru dan asik buat menikmati suasana dia tau. Berbeda dengan aku, yang memang lebih sering diam di rumah.
Setelah perjalanan lumayan jauh menggunakan motor, kami sampai pada sebuah tempat. Gapura yang kami lewati menuju tempat parkir kendaraan para tamu, terbuat dari semacam batu yang di ukir ala-ala candi. Hanya melihat itu dari photo, orang mungkin akan mengira kami sedang berada di Bali. Padahal kami tidak berada di Kota itu saat ini.
Dengan berjalan kaki, kami masuk ke area dalam restoran yang lumayan luas. Konsepnya out door dengan pemandangan alam sekitar. Ada kolam renang dengan tiga ukuran berbeda sesuai kebutuhan pelanggan. Disini, ternyata di perbolehkan menyewa kolam renangnya saja, tanpa harus makan di restorannya. Tentunya, ada batas waktu dan hari yang di tentukan oleh pihak pengelola.
Kami mengambil posisi tempat duduk yang sedikit ke dalam. Pemandangan terlihat lebih bagus disini, di banding dengan posisi lain.
Tak lama duduk, kami di hampiri seorang Pramusaji dengan beberapa menu yang dibawa. Dia seorang Perempuan muda berkulit kuning. Sekilas saat tersenyum, deretan behel menyembul dari mulutnya.
Akhirnya kami menikmati makanan dan minuman setelah menunggu beberapa saat. Seperti yang temanku bilang, semuanya memang terasa enak. Pas sesuai harga dan tempatnya.
Selebihnya, aku hanya mendengarkan curhatannya tentang keluarga, kekasih, mantan, gebetan baru, juga cowok yang berusaha mendekatinya tapi dia tak suka.
Karena terlalu banyak yang dia ceritakan, aku sampai tak fokus lagi mendengarnya.
Sampai saat dia bercerita tentang bagaimana mantan suaminya dulu dengan kasar mencumbunya. Pikiranku langsung pergi ke masa dimana hal itu pernah terjadi padaku. Bedanya, aku tidak mengenal orang itu.
Waktu itu, umurku baru sepuluh tahun.
Setelah lepas dari perjuangan berat, untuk bertahan hidup dengan Adikku di Kampung Papa. Mama membawa kami saat kembali ke Jakarta.
Di Jakarta, kehidupanku hampir tak jauh beda dengan saat di Kampung Papa dulu.
Aku masih harus mengurus Adikku, memasak, mencuci baju dan lain-lain. Bedanya, aku tidak membawa serta Adikku saat Sekolah pada siang harinya.
Semakin kesini, sikap Papa padaku juga semakin parah. Dari pertama bertemu, kami memang tidak dekat seperti selayaknya. Dia seperti tidak menganggapku anak, Tapi, setidaknya itu tidak terlalu menggangguku. Tidak seperti kemudian, dimana dia bukan hanya tidak menganggapku anak, tapi juga menganggapku sebagai perempuan dewasa.
Apalagi, Mama tak pernah ada di rumah hingga malam. Papa tiriku itu, sering kali memaksaku untuk melihat gambar-gambar porno koleksinya. Memaksaku menonton video porno dengannya. Bahkan Dia juga mengarang cerita, bahwa aku tertidur dan bermimpi, sambil mengucapkan kata ingin disetubuhi. Ingin memegang perangkat lunak milik lelaki, yang besar dan panjang. Hal itu dia ceritakan juga pada Mama, di hari dimana aku memergokinya, ketika dia ingin melakukan hal kurang ajar padaku. Mama hanya tertawa.
Dari mulai bangun tidur, aku sudah membersihkan rumah dan menyiapkan minuman dan makanan untuk kami semua. Jam 12 siang adalah waktuku Sekolah. Aku sudah siap sejak jam 11:30. Pulang Sekolah tentu saja sudah hampir malam. Saat hari libur, jam sekolah di ganti dengan mencuci baju dan setrika, tentu saja semua pekerjaan aku lakukan bersamaan dengan menjaga Adikku.
Aku tidak punya waktu untuk tidur siang. Bisanya dia mengarang cerita seperti itu! Bahkan kejadian yang sebenarnya saat itu terjadi, aku sedang menyetrika pakaian. Adikku tidur dengan pulasnya di atas kasur.
Dia memelukku dari belakang dan langsung meremas dadaku. Aku melepas pelukannya dan mendorongnya menjauh. Lalu, dia cengengesan dan meninggalkanku. Itu yang pertama kali. Setelah itu masih ada yang kedua dan berikutnya. Hingga yang terparah dan hampir menghilangkan kehormatanku.
Aku takut untuk berada di rumah lagi. Banyak upaya aku lakukan untuk menghindarinya. Salah satunya dengan tinggal di rumah tetangga sampai waktu Mama pulang kerja. Alhasil kerjaan di rumah ada yang tak bisa ku selesaikan seperti sebelumnya. Hal itu membuat Mama marah dan mengomel panjang lebar hampir setiap hari.
"Ma, aku tinggal sama Mbah aja, ya?"
Suatu hari aku memberanikan diri untuk bicara.
"Ngapain kamu disana?? Nanti jadi ikutan kapir!" jawabnya.
Mama dan keluargaku yang lain memang beda keyakinan. Sedangkan keyakinanku sama dengan keluargaku yang lain sejak kecil dulu. Mama pindah keyakinan setelah menikah dengan suaminya yang sekarang. Sejak itu, dia seperti menempatkan tembok pembatas antara dirinya dan keluarganya. Meski sesekali datang, tapi tujuan utamanya hanyalah uang. Dia bahkan tidak mau menyentuh makanan atau minuman yang di sediakan keluarganya.
Hari itu aku masih menurut. Meski seperti tak punya harapan lagi, aku tetap tinggal bersamanya. Hingga hal buruk itu terjadi lagi.
Aku mencoba melepaskan diri dari dekapan orang yang tak pantas ku panggil 'Papa' itu. Aku melempar barang-barang yang ada di dekatku ke arahnya saat berhasil lepas. Adikku yang ada disitu juga, menangis kencang melihat kami berkelahi. Sayangnya, tetangga dekat kami sedang tak ada di rumah.
Aku berhasil lari keluar rumah setelah menarik Adikku. Menitipkannya pada tetanggaku yang lain. Kemudian, aku pergi ke jalan tak punya tujuan.
Langkahku terhenti saat aku kelelahan. Aku tak tau berada dimana aku saat itu. Dipinggir jalan, aku duduk menatap kosong ke arah bendungan air.
Seorang Pria setengah baya menghampiriku, menawarkan sebotol minuman yang dia bawa. Karena aku memang terlalu haus setelah jauh berjalan, akupun menerima botol itu.
Saat itu entah bagaimana, aku menurut saja padanya. Dengan sepeda ontel, dia memboncengku ke tempat yang aku tak tau. Hingga pada area persawahan yang sudah di panen, tak jauh dari pemukiman penduduk.
Pada aliran sungai kecil, di balik tumpukan batako yang baru di buat. Dia berhenti, menyuruhku turun dan mandi di aliran air sungai itu. Aku menolak. Saat itu sudah sangat gelap, udara di situ juga sangat dingin.
"Yaudah, kamu tunggu. Saya mau kencing dulu," ucapnya. Aku mengangguk dan membalikan badanku agar tak melihatnya buang hajat.
Namun, yang terjadi. Dia mendekapku dari belakang dan dengan napsunya mencium wajahku. Aku sempat melihat, Dia bahkan tak memakai celananya lagi.
Aku mencoba untuk melawannya, sekali aku berteriak saat ada kesempatan. Sebelum kemudian dia membekap mulutku dan memukulku hingga jatuh, dan membekapku lagi.
Dia membuka paksa celana yang ku pakai saat itu, dan melemparnya entah kemana. Dengan satu tangan yang masih menekan kuat mulutku agar tak bisa teriak. Dia memaksakan perangkat lunaknya untuk memasuki area intimku.
Rasa nyeri yang teramat sangat, membuatku teriak dan menangis dalam bekapan telapak tangannya. Aku memukulnya membabi buta dengan kedua tangan. Kemudian tangannya yang satu mengambil tanganku dan menyatukan kedua tanganku ke atas kepala dan di tekannya. Aku menangis sekeras yang ku bisa. Hingga ... terdengar suara orang dari kejauhan.
"Hei! Siapa itu?!" ucap orang yang tak terlihat.
Suara itu menghentikan perbuatan bejatnya. Dengan tergesa-gesa dia memakai celana dan langsung mendorong sepeda ontelnya, bersamaan dengan suaraku berteriak.
Tak jauh dari tempatku terbaring, suara langkah kaki mendekat terdengar olehku yang masih menangis.
"Ehh itu orangnya. Maling, maling!" suara seseorang berteriak dan kemudian mengejar.
"Astagfirullah Hallajim!" suara lain yang sempat terdengar olehku, sebelum aku tak sadarkan diri.
Setelah sadar, aku berada di salah satu rumah warga, dikerumuni banyak orang yang entah hanya ingin melihatku, atau ada maksud lain ... aku tak tau. Beberapa dari mereka ada yang bertanya tentang keluarga, dan tinggal dimana mereka. Beberapa orang lagi, bertanya tentang ciri-ciri orang yang bersamaku malam itu, dan bagaimana aku bisa bersamanya. Kepalaku terasa sakit saat berusaha mengingat dan menjelaskan kepada mereka semua. "Sudah, biarkan anak ini istirahat."Sang pemilik rumah yang menyadari keadaanku, meminta kerumunan orang itu untuk tak terus mendesakku. Dia memapahku ke kamar, mendudukanku di atas ranjang anaknya yang sudah tak tinggal di rumah itu. "Sini, tiduran. Istirahat,” ucapnya sambil menepuk bantal yang selesai di rapihkan. Aku menuruti perkataannya. "Ibu, buatkan teh hangat, ya?" sambungnya lagi. Dengan mengangguk perlahan, aku mengiyakan tawarannya. Dan, dia beranjak pergi keluar kamar. S
Seseorang duduk di belakang meja, menghadapku yang duduk sendirian di depannya. Sebuah pulpen di tangan dan selembar kertas di atas meja.Aku menyapu sekeliling ruangan dengan mataku. Tampak beberapa orang dengan seragam ada disana. Terlihat juga dua orang yang tadi membawaku ke tempat ini.Salah satu dari mereka kemudian menghampiri, dengan segelas minuman di tangannya. Minuman itu lalu di letakkannya di atas meja di depanku, dan berkata,"Ini di minum dulu."Aku melirik ke arah dalam gelas itu, mencium aroma wangi teh hangat yang keluar bersama kepulan uap panasnya."Jadi, siapa namamu?" Tanya orang yang duduk di depanku.Aku masih takut menatapnya. Dengan menunduk aku menjawab pertanyaan itu, dan juga pertanyaan lainnya.Setelah itu, aku meraih gelas di depanku dan meminum isinya perlahan-lahan, dan kembali menundukkan kepala. Hingga sesi tanya jawab berakhir juga.Di depan sebuah rumah sederhana, disitulah aku
Hari berganti hari hingga bulan. Sikapku itu membuatku akhirnya mendapat teguran dari keluarga.Aku hanya bisa terdiam mendengar semua nasihat yang mereka ucapkan untukku. Rasanya ingin menangis dan berteriak, menyalahkan keadaan yang tak seperti ku inginkan. Dalam hati masih ada keinginan untuk menjalani hari dengan normal. Pergi beribadah seperti yang mereka inginkan. Hanya saja, perasaan tidak layak untuk berada disana sangat kuat. Aku merasa kotor dan menjijikan. Setiap kali berdoa, aku merasa seperti seorang munafik.Nasihat demi nasihat berlalu tanpa ada yang ku lakukan. Dalam hatiku, tak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku saat itu. Tentu saja karna aku memang tak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku.Lalu, aku memutuskan untuk bekerja pada sebuah warnet. Dimana aku mengambil shift malam yang membuatku berfikir, itu bisa jadi alasanku untuk tak perlu pulang dan bertemu dengan keluarga di rumah.Awalnya aku merasa kembali semua
"Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??"Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya.Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Ruma
Sejak itu, aku tak ingin memberi kesempatan pria manapun untuk melukai hatiku. Jika perlu aku yang membuat mereka terluka. Apalagi aku memiliki teman yang sepemikiran denganku saat itu, membuatku merasa apa yang ku lakukan benar. Kembali pada saat di mana temanku masih curhat di dalam Restoran. Tiba-tiba, aku tak mendengar lagi suaranya. Menoleh ke arahnya, ternyata dia sedang asik memperhatikan seseorang yang berdiri di pinggir kolam dengan celana renangnya. Tubuh tinggi tegap, dengan otot menyembul di beberapa bagian tubuhnya. Dia memang suka pria yang seperti itu, "Cowok kayak gitu, keliatan jantan banget di tempat tidur!" ucap temanku yang masih ku ingat. Tak sadar aku mengernyitkan dahi, masih dengan memperhatikan pria itu. 'Ck,' Aku berdecak dan memalingkan pandangan darinya. Nggak ada bagus-bagusnya, menurutku. Entah kenapa, definisi seksi seorang pria menurutku bukan itu. Menurutku, pria seksi terlihat dari kecerdasannya. Aku m
"Balik, yuk!" Suara itu kembali menyadarkanku. Tracy, temanku itu mungkin sudah bosan dengan apa yang di lihatnya. Aku mengangguk seraya bangkit dari tempat duduk. Kami berdua berjalan beriringan menuju kasir. Setelah sampai, aku membuka tas untuk mengambil dompet, "Gua yang bayar," ucapnya sambil menepis tanganku, mengisyaratkan untuk memasukkan kembali dompet yang sudah ku keluarkan. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, saat kami berebut menggunakan kamar mandi, "Cepet donk!" Suara temanku yang lain, terdengar nyaring di luar pintu. "Makanya mandi lebih awal," balasku sambil melangkah keluar, di sambut dengan wajahnya yang cemberut. Aku mengatakan itu, karena dia ada di mess seharian. Setelah mandi, aku duduk di depan kaca untuk merias diri. Aku sempat melirik ke arah Tracy yang mondar-mandir keluar, masuk kamar, "Nyari apa, Tres?" tanyaku penasaran. Tracy menoleh ke arahku sambil menjawab, "Stocking gua yang bolong-bolon
Pemandangan kamar yang berantakan setiap pagi, sudah hal biasa terlihat setiap hari. Sepatu, jaket, tas dan semua yang kami pakai malam harinya, berserak di sekitar tempat tidur. Masih dengan posisi tidur, aku menarik bulu mata palsu yang masih menempel di muka. Bisa di bayangkan betapa joroknya kami, tapi mau bagaimana lagi? Bisa pulang dan tidur di atas kasur ini saja sudah seperti anugrah, setelah mabuk yang membuat kami bahkan tak bisa berdiri di kaki sendiri. Aku menyerosot turun sampai kakiku menyentuh lantai untuk bangun. Lalu, menyenderkan kepalaku pada pinggiran kasur. "Tracy! tres! ... Oh tres!" Aku mulai berteriak-teriak memanggil temanku, yang ku kira masih tidur disitu. Di kasur besar ini, dalam satu kamar, kami tidur bersama. Namun, orang yang ku panggil namanya tak memberi jawaban. Saat itu aku paksakan untuk membuka mata, ternyata dia tak ikut pulang semalam. "Woy, bangun! Bangun, bangun!" Melihat du
“Kamu tahu? Sama saja kamu memberi makan keluargamu dengan uang haram."Kata-kata seperti itu sudah sering aku dengar. Aku hanya malas menanggapi.Aku menutup telinga dan mata, 'Tuhan tahu masalahku!'Aku memang mencari pembenaran pada apa yang aku lakukan. Jika memang aku salah, biar Tuhan yang memutuskan. Mereka yang bahkan tak ada saat aku susah, tak ada hak berkomentar!Aku juga tahu, usiaku tak akan berhenti sampai di situ. Pastinya aku akan menjadi tua dan tak terpakai lagi. Saat ini, saatnya aku mencari uang lebih banyak sebelum datang hari itu. Jika aku berhenti dari pekerjaanku sekarang, memangnya mereka akan membiayai sekolah adikku? Membayar sewa rumah kami? Tidak, kan?Mungkin, itu juga yang membuatku tak mau terlibat kisah cinta lebih dalam lagi ... atau karena hal lain? Entahlah, tak terasa beberapa tahun berlalu, aku tak memiliki kekasih dalam hidupku.‘Jinan ....’ Aku membisikkan namanya di antara
Pagi yang cerah menyambutku, secerah senyum seseorang di depanku.Aku mengangguk padanya sebelum masuk ke dalam mobil yang sudah siap.Minivan Putih membawaku, Miles, dua orang teman, salah satu asistenku dengan seorang driver juga barang perlengkapan kami ke tempat tujuan.Aku melirik mereka yang santai menyandarkan tubuh pada sandaran kursi mobil. Sementara aku merasa sedikit gelisah duduk di samping Miles yang mulai sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku.Bagaimana bisa makhluk setampan ini adalah seorang wanita?Bibirnya yang merah alami terlihat menggoda, tampak sedikit glossy oleh sentuhan lip balm. Tanpa sengaja aku menggigit bibirku sendiri.“Hmm ...?” Orang yang sedang ku perhatikan tiba-tiba membuka mata. Dia tersenyum menangkap expresi kagetku yang membuang muka.Asistenku melihat itu, entah sengaja atau tidak. Dia ikut tersenyum menggodaku yang ku balas dengan tatapan mengancam, membuatnya cekikikan.Seiring mobil
Langit cerah siang hari. Semilir angin menggoyangkan pucuk dedaunan di pohon.Aku berjalan di atas pasir di tepi pantai, mengabadikan keindahan alam dengan kamera kecilku.Beberapa orang berbeda usia terlihat sedang bermain pasir. Semuanya tak luput dari pandanganku.“Ahhh, segarnya!” manisnya air kelapa murni menyegarkan tenggorokanku setelah cukup lama berjalan.Mataku kembali menyapu sekeliling. Sesekali rambut panjangku berkibar di terpa angin.“Di sini selalu ramai seperti ini ya, Bang?”“Iya, mbak. Apalagi kalau liburan.”Seorang pria muda pemilik kedai kecil, beberapa kali aku melirik ke arahnya, ‘Manis,’ gumamku. Bibir tipis yang terlihat seksi menurutku apalagi saat tersenyum sempat mengalihkan fokus hingga aku ingin melirik terus.Ini kali pertama aku ke pantai ini, sepertinya aku akan sering ke sini nanti.“Halo,” ucapku menyapa seseorang di telpon.
Toyota yaris berwarna merah favoritku berhenti di pinggir jalan tepat di depan studio foto di tengah kota.Aku mengambil tas ransel besar di dalamnya dan keluar dari mobil itu, lalu berdiri untuk menatap bangunan studio dari depan.Inilah kehidupanku sekarang, menjadi fotografer lepas dan usaha kecil-kecilan. Pekerjaan seperti ini tak pernah terbayang akan aku jalani sebelumnya. Semua datang dengan tiba-tiba. Berawal dari kejadian aku meratapi kesedihanku atas pernikahan Jinan dulu itu.“Bayangkan ada yang lebih baik dari Jinan. Datang menghampiri dan menyambut lu, mendekap lu dengan penuh cinta.”Tracy mengucapkan itu dengan mendorong pelan tangan kanannya, lalu menarik kembali menempelkan didada. Matanya mengecil dengan bibir menciut sexy, di akhiri dengan helaan napas dan memejamkan mata. Aku melirik geli ke arahnya dan kembali menangis kencang.“Nggak! Pokoknya gua cuma mau Jinan!”“Yee, ya udah sana ke ka
“Kamu tahu? Sama saja kamu memberi makan keluargamu dengan uang haram."Kata-kata seperti itu sudah sering aku dengar. Aku hanya malas menanggapi.Aku menutup telinga dan mata, 'Tuhan tahu masalahku!'Aku memang mencari pembenaran pada apa yang aku lakukan. Jika memang aku salah, biar Tuhan yang memutuskan. Mereka yang bahkan tak ada saat aku susah, tak ada hak berkomentar!Aku juga tahu, usiaku tak akan berhenti sampai di situ. Pastinya aku akan menjadi tua dan tak terpakai lagi. Saat ini, saatnya aku mencari uang lebih banyak sebelum datang hari itu. Jika aku berhenti dari pekerjaanku sekarang, memangnya mereka akan membiayai sekolah adikku? Membayar sewa rumah kami? Tidak, kan?Mungkin, itu juga yang membuatku tak mau terlibat kisah cinta lebih dalam lagi ... atau karena hal lain? Entahlah, tak terasa beberapa tahun berlalu, aku tak memiliki kekasih dalam hidupku.‘Jinan ....’ Aku membisikkan namanya di antara
Pemandangan kamar yang berantakan setiap pagi, sudah hal biasa terlihat setiap hari. Sepatu, jaket, tas dan semua yang kami pakai malam harinya, berserak di sekitar tempat tidur. Masih dengan posisi tidur, aku menarik bulu mata palsu yang masih menempel di muka. Bisa di bayangkan betapa joroknya kami, tapi mau bagaimana lagi? Bisa pulang dan tidur di atas kasur ini saja sudah seperti anugrah, setelah mabuk yang membuat kami bahkan tak bisa berdiri di kaki sendiri. Aku menyerosot turun sampai kakiku menyentuh lantai untuk bangun. Lalu, menyenderkan kepalaku pada pinggiran kasur. "Tracy! tres! ... Oh tres!" Aku mulai berteriak-teriak memanggil temanku, yang ku kira masih tidur disitu. Di kasur besar ini, dalam satu kamar, kami tidur bersama. Namun, orang yang ku panggil namanya tak memberi jawaban. Saat itu aku paksakan untuk membuka mata, ternyata dia tak ikut pulang semalam. "Woy, bangun! Bangun, bangun!" Melihat du
"Balik, yuk!" Suara itu kembali menyadarkanku. Tracy, temanku itu mungkin sudah bosan dengan apa yang di lihatnya. Aku mengangguk seraya bangkit dari tempat duduk. Kami berdua berjalan beriringan menuju kasir. Setelah sampai, aku membuka tas untuk mengambil dompet, "Gua yang bayar," ucapnya sambil menepis tanganku, mengisyaratkan untuk memasukkan kembali dompet yang sudah ku keluarkan. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, saat kami berebut menggunakan kamar mandi, "Cepet donk!" Suara temanku yang lain, terdengar nyaring di luar pintu. "Makanya mandi lebih awal," balasku sambil melangkah keluar, di sambut dengan wajahnya yang cemberut. Aku mengatakan itu, karena dia ada di mess seharian. Setelah mandi, aku duduk di depan kaca untuk merias diri. Aku sempat melirik ke arah Tracy yang mondar-mandir keluar, masuk kamar, "Nyari apa, Tres?" tanyaku penasaran. Tracy menoleh ke arahku sambil menjawab, "Stocking gua yang bolong-bolon
Sejak itu, aku tak ingin memberi kesempatan pria manapun untuk melukai hatiku. Jika perlu aku yang membuat mereka terluka. Apalagi aku memiliki teman yang sepemikiran denganku saat itu, membuatku merasa apa yang ku lakukan benar. Kembali pada saat di mana temanku masih curhat di dalam Restoran. Tiba-tiba, aku tak mendengar lagi suaranya. Menoleh ke arahnya, ternyata dia sedang asik memperhatikan seseorang yang berdiri di pinggir kolam dengan celana renangnya. Tubuh tinggi tegap, dengan otot menyembul di beberapa bagian tubuhnya. Dia memang suka pria yang seperti itu, "Cowok kayak gitu, keliatan jantan banget di tempat tidur!" ucap temanku yang masih ku ingat. Tak sadar aku mengernyitkan dahi, masih dengan memperhatikan pria itu. 'Ck,' Aku berdecak dan memalingkan pandangan darinya. Nggak ada bagus-bagusnya, menurutku. Entah kenapa, definisi seksi seorang pria menurutku bukan itu. Menurutku, pria seksi terlihat dari kecerdasannya. Aku m
"Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??"Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya.Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Ruma
Hari berganti hari hingga bulan. Sikapku itu membuatku akhirnya mendapat teguran dari keluarga.Aku hanya bisa terdiam mendengar semua nasihat yang mereka ucapkan untukku. Rasanya ingin menangis dan berteriak, menyalahkan keadaan yang tak seperti ku inginkan. Dalam hati masih ada keinginan untuk menjalani hari dengan normal. Pergi beribadah seperti yang mereka inginkan. Hanya saja, perasaan tidak layak untuk berada disana sangat kuat. Aku merasa kotor dan menjijikan. Setiap kali berdoa, aku merasa seperti seorang munafik.Nasihat demi nasihat berlalu tanpa ada yang ku lakukan. Dalam hatiku, tak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku saat itu. Tentu saja karna aku memang tak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku.Lalu, aku memutuskan untuk bekerja pada sebuah warnet. Dimana aku mengambil shift malam yang membuatku berfikir, itu bisa jadi alasanku untuk tak perlu pulang dan bertemu dengan keluarga di rumah.Awalnya aku merasa kembali semua