"Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??"
Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.
Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.
Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.
Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya.
Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.
Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.
Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.
Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Rumah Sakit di Kota. Aku mulai mengikuti terapi disana beberapa kali sejak itu. Namun, tak sampai aku menyelesaikan terapi itu, aku berhenti.
Sering aku mendengar kata-kata dari teman-temannya, yang menjadikan kondisiku sebagai object bercandaan mereka. Bahkan salah satu keluarganya menyebutku gila.
Aku tak mau lagi datang ke Rumah Sakit itu. Dia tak memaksaku pada akhirnya, karena aku terus memohon. Hingga, hubungan kami memasuki tahun ke dua. Mantan kekasihnya yang dulu meninggalkannya untuk lelaki lain, tiba-tiba datang menawarkan kembali cinta yang dulu padanya.
Awalnya aku tahu, bahwa dia mengabaikan perempuan itu. Sampai suatu malam, hujan turun deras sekali.
"Kamu dimana?" Tanyaku.
"Di rumah, di mana lagi?" Jawabnya.
Biasanya saat hujan turun seperti itu, dia akan datang menemaniku. Dia tahu bahwa aku benci hujan dan takut dengan suara petir yang menggelegar. Namun, malam itu dengan alasan akan ada acara esok paginya, dia tidak bisa datang. Akupun mengerti kondisinya, dan melewati malam dengan ketakutan, sendiri.
Pagi-pagi sekali, aku datang ke tempat tinggalnya dengan membawa makanan untuk sarapan, tapi dia tidak ada di sana.
Aku menghubungi salah satu temannya, yang ku tahu mereka sering bersama. Dari temannya itu aku tahu, mereka pergi ke diskotik tadi malam.
"Kris masih tidur kayaknya," ucap temannya itu, sepertinya dia tidah tahu Kris pergi tanpa sepengetahuanku.
Tak lama, aku mendatangi rumah temannya. Seperti ucap temannya tadi, dia memang masih tidur.
Perlahan aku masuk, dan menghampirinya. Selama ini aku selalu percaya padanya, tapi tidak untuk saat itu. Mungkin karena dia berbohong semalam, aku menjadi curiga. Mencoba mencari sesuatu untuk membuktikan pikiranku, dengan menggeledah kantong jaket dan dompetnya.
Benar saja, pada salah satu kantong jaket itu, aku menemukan dua lembar kertas yang telah di remas. Satu lembar kertas adalah karcis parkir semalam, dan satunya lagi sebuah struk pembayaran kamar sebuah hotel. Aku keluar tanpa membangunkannya, menangis di balkon rumah temannya itu sendirian. Entah bagaimana, dia menyusul ketempatku berada.
"Kamu ngapain sendirian disini?" ucapnya saat sudah berada di dekatku. Aku tak menjawab ucapannya itu. Kertas yang ku temukan di kantong jaketnya, ku letakkan di lantai tepat di depan kakinya. Dia mengambil kertas itu,
"Ohh, ini mah si Andi, minjem buat bayarin," Andi adalah nama temannya yang lain, "Abis bayarin, yaudah aku tinggalin," lanjutnya lagi. Aku masih tak percaya dengan ucapannya.
"Nggak percaya? aku telpon, nih, orangnya!" lanjutnya lagi.
Setelah mengucap itu, handphonenya berdering. Namun, suara handphone itu terdengar jauh.
"Nggak mau kamu angkat?" Aku bertanya, karena dia seperti enggan mengambil handphone itu. Membuatku semakin penasaran.
"Nggak, lah. Biarin aja," jawabnya.
Aku berdiri dan berjalan menuju suara dering yang belum berhenti. Tiba-tiba, dengan cepat dia berlari hingga menyenggolku, untuk sampai ke tempat handphone itu lebih dulu. Dering handphone berhenti, karena dia menolak panggilan masuk itu. Sikapnya semakin membuatku curiga.
"Coba lihat," ucapku sembari menengadahkan tangan, memintanya memberiku handphone itu. Tapi, dia menolak.
Kami mulai rebutan handphone di tangannya. Hal itu membuatku menjadi emosi. Aku mendorongnya, membuat dia mundur beberapa langkah, dan benda yang kami perebutkan terjatuh. Aku lebih dulu mengambil benda itu, dengan isyarat jari telunjuk ku acungkan ke depan, aku memintanya untuk jangan mengikutiku.
Di tempatku menangis tadi, aku mengecek panggilan masuk dan beberapa pesan singkat di dalamnya. Air mata menetes seketika. Hatiku sakit membaca setiap kata dari pesan-pesan itu. Aku bangkit untuk mengembalikan handphone miliknya dan pamit.
Suatu malam, di rumah kost tempat tinggalku. Aku mencoba mengakhiri hidup. Meminum sebotol shampoo di kamar mandi, dengan bersimpuh di bawah shower yang menyala.
Malam itu, adalah malam ke 3 setelah pertengkaran kami. Kris sama sekali tak pernah menghubungiku sejak hari itu. Aku merasa seakan tak berarti, mudahnya di buang seperti sampah yang tak terpakai lagi.
Saat itu aku masih berstatus karyawan di salah satu Agency, sebagai SPG kartu kredit. Tiga hari aku tak ada masuk kerja, dan tak memberi kabar berita. Membuat teman kerjaku akhirnya berada di depan pintu kamarku.
Aku masih sempat mendengar suaranya memanggil namaku beberapa kali, juga ketukan pintu yang keras saat itu. Hingga entah bagaimana, aku bangun dan menemukan diriku tidak di dalam kamar mandi lagi.
Terbaring di atas ranjang sebuah klinik dengan selang infus. Aku menangis menyadari diriku yang belum mati, saat melihat temanku itu duduk di sampingku.
Dari temanku, kemudian aku tahu kata-kata Kris saat dia menghubunginya, memberi tahu keadaanku dan percobaan untuk mengakhiri hidup,
"Dia nggak akan mati, nyawanya banyak!"
"Mati demi cinta, itu cuma ada di film-film cengeng!"
Begitulah.
Aku menangis setelah mendengar kata-kata itu, yang di ucapkan temanku dengan meniru gaya bicara Kris. Kemudian, aku tertawa, menghapus air mata, melepas selang infus, dan mengajak temanku pulang.
Seminggu berlalu, amarahku membuatku merasa kuat. 'Siapa juga yang butuh cowok seperti itu!' ucapku dalam hati.
Namun, setelah aku tak memikirkannya lagi. Tiba-tiba dia menghubungiku.
Padaku, dia mengaku sedang berada di parkiran diskotik. Menjelaskan alasannya menelponku, sambil di selingi tawa. Dia bilang, wajahku muncul dalam ingatannya. Kemudian, suaranya seperti sedang menangis. Tak ingin tergoda lagi, aku mengatakan padanya akan menutup telp. Aku melakukannya.
Kemudian, dia terus mengirimiku pesan singkat. Membuatku kesulitan beristirahat malam itu. Akhirnya, aku memutuskan menemuinya ... untuk alasan apa aku lakukan itu, aku masih tak tahu.
Singkat cerita, kami kembali bersama. Aku maafkan semua kesalahannya karena dia berjanji tak kan mengulangi lagi.
Tapi, janji hanya tinggal janji. Belum genap sebulan kami kembali bersama. Masih dengan orang yang sama, dia menghianatiku untuk kali kedua. Aku mengingatkannya pada janji yang pernah dia ucapkan padaku. Dan, jawabnya,
"Jangan naif, janji ada untuk di ingkari," lanjutnya lagi, "Jangan sakit hati karena aku begini. Salahkan orang yang udah bikin aku seperti ini!" Aku tersenyum sinis setelah mendengar kata-kata itu, dan melangkah pergi tanpa berpaling kearahnya lagi.
Satu hal yang akhirnya ku sadari, bukan aku yang sebenarnya butuh therapy dari psikiater itu, tapi dia! Siapa sekarang yang sebenarnya lebih gila?!
Aku berjalan pulang sambil menertawakan diri sendiri. Orang yang ku kira tulus, ternyata lebih busuk dari yang lain.
Beberapa bulan berlalu, aku kembali menjalani hari-hariku dengan tenang. Namun, sepertinya aku masih belum diizinkan untuk bernapas lega. Dia menghubungiku lagi!
'Sakit jiwa' itu yang bisa ku gambarkan untuk dirinya saat itu. Lebih gila lagi, aku menemuinya juga. Ah, sudahlah ....
Dia menangis di telpon, mengatakan ingin mengakhiri hidupnya sama seperti yang pernah ku lakukan dulu. Teringat kata-katanya, aku mengembalikan kata-kata itu untuknya. Kemudian, dia bilang bahwa dia mengaku salah, dan sadar. Wanita yang tulus padanya, hanya aku. Namun, rasaku padanya saat itu sudah tak sama seperti dulu.
Aku mengetuk pintu kamar hotel tempat dia berada, dia membuka pintu dan langsung memelukku. Aku mendorongnya masih dalam pelukanku, supaya aku bisa menutup pintu. Duduk di sampingnya, aku memperhatikannya yang tampak kusut. Dia mencoba memelukku lagi, dan aku menepis dengan lima jariku di dadanya, sambil tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Aku tau, aku hanya orang terlambat buatmu, kan?!" ucapnya.
"Jika itu menurutmu ... maaf, aku hanya nggak pengen punya hubungan dulu," jawabku.
"Iya, aku tau! aku memang orang terlambat! iya, kan?? yaudah kamu pergi aja, udah puas, kan? lihat gimana aku sekarang!" Dia mengatakan itu sambil memadamkan api rokok ke tangannya. Aku mencoba mencegah, menarik tangannya untuk merebut rokok itu. Dia menangis tersedu-sedu, sambil berlutut mencoba meraih pinggangku untuk di peluknya. Rasa iba muncul. Aku membalas pelukan itu dengan membelai rambutnya. Kemudian dia berdiri, perlahan di usapnya pipiku. Tak lama setelah itu, dia mencium bibirku dengan penuh napsu. Aku hanya diam berdiri. Dia masih melanjutkan aksinya dengan menciumi leherku, sambil berusaha membuka pakaianku. Saat itu yang ku rasakan, hanya rasa sakit atas penghianatan dan kata-katanya dulu. Aku juga berfikir, sepertinya dia hanya ingin melepas hasratnya padaku. Aku merasa lebih sakit lagi. Menyadari aku tak bergeming, dia menghentikan aksinya dan menatapku.
Kemudian, dia membuka pintu. Aku melangkah keluar tanpa mendengar suaranya. Tak lagi peduli dengan apa yang dia lakukan setelah itu, dan apa yang akan terjadi padanya.
Sejak itu, aku tak ingin memberi kesempatan pria manapun untuk melukai hatiku. Jika perlu aku yang membuat mereka terluka. Apalagi aku memiliki teman yang sepemikiran denganku saat itu, membuatku merasa apa yang ku lakukan benar. Kembali pada saat di mana temanku masih curhat di dalam Restoran. Tiba-tiba, aku tak mendengar lagi suaranya. Menoleh ke arahnya, ternyata dia sedang asik memperhatikan seseorang yang berdiri di pinggir kolam dengan celana renangnya. Tubuh tinggi tegap, dengan otot menyembul di beberapa bagian tubuhnya. Dia memang suka pria yang seperti itu, "Cowok kayak gitu, keliatan jantan banget di tempat tidur!" ucap temanku yang masih ku ingat. Tak sadar aku mengernyitkan dahi, masih dengan memperhatikan pria itu. 'Ck,' Aku berdecak dan memalingkan pandangan darinya. Nggak ada bagus-bagusnya, menurutku. Entah kenapa, definisi seksi seorang pria menurutku bukan itu. Menurutku, pria seksi terlihat dari kecerdasannya. Aku m
"Balik, yuk!" Suara itu kembali menyadarkanku. Tracy, temanku itu mungkin sudah bosan dengan apa yang di lihatnya. Aku mengangguk seraya bangkit dari tempat duduk. Kami berdua berjalan beriringan menuju kasir. Setelah sampai, aku membuka tas untuk mengambil dompet, "Gua yang bayar," ucapnya sambil menepis tanganku, mengisyaratkan untuk memasukkan kembali dompet yang sudah ku keluarkan. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, saat kami berebut menggunakan kamar mandi, "Cepet donk!" Suara temanku yang lain, terdengar nyaring di luar pintu. "Makanya mandi lebih awal," balasku sambil melangkah keluar, di sambut dengan wajahnya yang cemberut. Aku mengatakan itu, karena dia ada di mess seharian. Setelah mandi, aku duduk di depan kaca untuk merias diri. Aku sempat melirik ke arah Tracy yang mondar-mandir keluar, masuk kamar, "Nyari apa, Tres?" tanyaku penasaran. Tracy menoleh ke arahku sambil menjawab, "Stocking gua yang bolong-bolon
Pemandangan kamar yang berantakan setiap pagi, sudah hal biasa terlihat setiap hari. Sepatu, jaket, tas dan semua yang kami pakai malam harinya, berserak di sekitar tempat tidur. Masih dengan posisi tidur, aku menarik bulu mata palsu yang masih menempel di muka. Bisa di bayangkan betapa joroknya kami, tapi mau bagaimana lagi? Bisa pulang dan tidur di atas kasur ini saja sudah seperti anugrah, setelah mabuk yang membuat kami bahkan tak bisa berdiri di kaki sendiri. Aku menyerosot turun sampai kakiku menyentuh lantai untuk bangun. Lalu, menyenderkan kepalaku pada pinggiran kasur. "Tracy! tres! ... Oh tres!" Aku mulai berteriak-teriak memanggil temanku, yang ku kira masih tidur disitu. Di kasur besar ini, dalam satu kamar, kami tidur bersama. Namun, orang yang ku panggil namanya tak memberi jawaban. Saat itu aku paksakan untuk membuka mata, ternyata dia tak ikut pulang semalam. "Woy, bangun! Bangun, bangun!" Melihat du
“Kamu tahu? Sama saja kamu memberi makan keluargamu dengan uang haram."Kata-kata seperti itu sudah sering aku dengar. Aku hanya malas menanggapi.Aku menutup telinga dan mata, 'Tuhan tahu masalahku!'Aku memang mencari pembenaran pada apa yang aku lakukan. Jika memang aku salah, biar Tuhan yang memutuskan. Mereka yang bahkan tak ada saat aku susah, tak ada hak berkomentar!Aku juga tahu, usiaku tak akan berhenti sampai di situ. Pastinya aku akan menjadi tua dan tak terpakai lagi. Saat ini, saatnya aku mencari uang lebih banyak sebelum datang hari itu. Jika aku berhenti dari pekerjaanku sekarang, memangnya mereka akan membiayai sekolah adikku? Membayar sewa rumah kami? Tidak, kan?Mungkin, itu juga yang membuatku tak mau terlibat kisah cinta lebih dalam lagi ... atau karena hal lain? Entahlah, tak terasa beberapa tahun berlalu, aku tak memiliki kekasih dalam hidupku.‘Jinan ....’ Aku membisikkan namanya di antara
Toyota yaris berwarna merah favoritku berhenti di pinggir jalan tepat di depan studio foto di tengah kota.Aku mengambil tas ransel besar di dalamnya dan keluar dari mobil itu, lalu berdiri untuk menatap bangunan studio dari depan.Inilah kehidupanku sekarang, menjadi fotografer lepas dan usaha kecil-kecilan. Pekerjaan seperti ini tak pernah terbayang akan aku jalani sebelumnya. Semua datang dengan tiba-tiba. Berawal dari kejadian aku meratapi kesedihanku atas pernikahan Jinan dulu itu.“Bayangkan ada yang lebih baik dari Jinan. Datang menghampiri dan menyambut lu, mendekap lu dengan penuh cinta.”Tracy mengucapkan itu dengan mendorong pelan tangan kanannya, lalu menarik kembali menempelkan didada. Matanya mengecil dengan bibir menciut sexy, di akhiri dengan helaan napas dan memejamkan mata. Aku melirik geli ke arahnya dan kembali menangis kencang.“Nggak! Pokoknya gua cuma mau Jinan!”“Yee, ya udah sana ke ka
Langit cerah siang hari. Semilir angin menggoyangkan pucuk dedaunan di pohon.Aku berjalan di atas pasir di tepi pantai, mengabadikan keindahan alam dengan kamera kecilku.Beberapa orang berbeda usia terlihat sedang bermain pasir. Semuanya tak luput dari pandanganku.“Ahhh, segarnya!” manisnya air kelapa murni menyegarkan tenggorokanku setelah cukup lama berjalan.Mataku kembali menyapu sekeliling. Sesekali rambut panjangku berkibar di terpa angin.“Di sini selalu ramai seperti ini ya, Bang?”“Iya, mbak. Apalagi kalau liburan.”Seorang pria muda pemilik kedai kecil, beberapa kali aku melirik ke arahnya, ‘Manis,’ gumamku. Bibir tipis yang terlihat seksi menurutku apalagi saat tersenyum sempat mengalihkan fokus hingga aku ingin melirik terus.Ini kali pertama aku ke pantai ini, sepertinya aku akan sering ke sini nanti.“Halo,” ucapku menyapa seseorang di telpon.
Pagi yang cerah menyambutku, secerah senyum seseorang di depanku.Aku mengangguk padanya sebelum masuk ke dalam mobil yang sudah siap.Minivan Putih membawaku, Miles, dua orang teman, salah satu asistenku dengan seorang driver juga barang perlengkapan kami ke tempat tujuan.Aku melirik mereka yang santai menyandarkan tubuh pada sandaran kursi mobil. Sementara aku merasa sedikit gelisah duduk di samping Miles yang mulai sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku.Bagaimana bisa makhluk setampan ini adalah seorang wanita?Bibirnya yang merah alami terlihat menggoda, tampak sedikit glossy oleh sentuhan lip balm. Tanpa sengaja aku menggigit bibirku sendiri.“Hmm ...?” Orang yang sedang ku perhatikan tiba-tiba membuka mata. Dia tersenyum menangkap expresi kagetku yang membuang muka.Asistenku melihat itu, entah sengaja atau tidak. Dia ikut tersenyum menggodaku yang ku balas dengan tatapan mengancam, membuatnya cekikikan.Seiring mobil
Seorang Pemuda tampan duduk di barisan kedua depan mimbar dalam Gereja. Aku menghampirinya ketika kebaktian pagi ini usai untuk menyapa. Senyum tipis masih seperti dulu, terukir manis di bibirnya. "Apa kabar?" sapaku lagi sambil duduk di kursi kosong di sebelahnya. "Selalu baik." Dia membalas dengan tersenyum kearahku. Sempat beberapa menit kami terdiam, sebelum terdengar lagi Dia berkata, "Kapan pulang?" tanyanya sambil menoleh. "Oh, itu ... dua hari lalu," jawabku. Aku berusaha tersenyum, meski jelas terasa begitu kaku. "Aku duluan, bye!" Dia mengatakan itu bersamaan dengan berdiri dari tempat duduk dan langsung melangkah keluar, tanpa menungguku membalas perkataannya. Masih pada posisiku semula, aku menatap punggungnya yang mulai menghilang dari pandangan. Entah kenapa ada rasa sedih di sini, aku menyentuh dadaku sendiri. *** "So, nggak ada rencana untuk stay di sin
Pagi yang cerah menyambutku, secerah senyum seseorang di depanku.Aku mengangguk padanya sebelum masuk ke dalam mobil yang sudah siap.Minivan Putih membawaku, Miles, dua orang teman, salah satu asistenku dengan seorang driver juga barang perlengkapan kami ke tempat tujuan.Aku melirik mereka yang santai menyandarkan tubuh pada sandaran kursi mobil. Sementara aku merasa sedikit gelisah duduk di samping Miles yang mulai sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku.Bagaimana bisa makhluk setampan ini adalah seorang wanita?Bibirnya yang merah alami terlihat menggoda, tampak sedikit glossy oleh sentuhan lip balm. Tanpa sengaja aku menggigit bibirku sendiri.“Hmm ...?” Orang yang sedang ku perhatikan tiba-tiba membuka mata. Dia tersenyum menangkap expresi kagetku yang membuang muka.Asistenku melihat itu, entah sengaja atau tidak. Dia ikut tersenyum menggodaku yang ku balas dengan tatapan mengancam, membuatnya cekikikan.Seiring mobil
Langit cerah siang hari. Semilir angin menggoyangkan pucuk dedaunan di pohon.Aku berjalan di atas pasir di tepi pantai, mengabadikan keindahan alam dengan kamera kecilku.Beberapa orang berbeda usia terlihat sedang bermain pasir. Semuanya tak luput dari pandanganku.“Ahhh, segarnya!” manisnya air kelapa murni menyegarkan tenggorokanku setelah cukup lama berjalan.Mataku kembali menyapu sekeliling. Sesekali rambut panjangku berkibar di terpa angin.“Di sini selalu ramai seperti ini ya, Bang?”“Iya, mbak. Apalagi kalau liburan.”Seorang pria muda pemilik kedai kecil, beberapa kali aku melirik ke arahnya, ‘Manis,’ gumamku. Bibir tipis yang terlihat seksi menurutku apalagi saat tersenyum sempat mengalihkan fokus hingga aku ingin melirik terus.Ini kali pertama aku ke pantai ini, sepertinya aku akan sering ke sini nanti.“Halo,” ucapku menyapa seseorang di telpon.
Toyota yaris berwarna merah favoritku berhenti di pinggir jalan tepat di depan studio foto di tengah kota.Aku mengambil tas ransel besar di dalamnya dan keluar dari mobil itu, lalu berdiri untuk menatap bangunan studio dari depan.Inilah kehidupanku sekarang, menjadi fotografer lepas dan usaha kecil-kecilan. Pekerjaan seperti ini tak pernah terbayang akan aku jalani sebelumnya. Semua datang dengan tiba-tiba. Berawal dari kejadian aku meratapi kesedihanku atas pernikahan Jinan dulu itu.“Bayangkan ada yang lebih baik dari Jinan. Datang menghampiri dan menyambut lu, mendekap lu dengan penuh cinta.”Tracy mengucapkan itu dengan mendorong pelan tangan kanannya, lalu menarik kembali menempelkan didada. Matanya mengecil dengan bibir menciut sexy, di akhiri dengan helaan napas dan memejamkan mata. Aku melirik geli ke arahnya dan kembali menangis kencang.“Nggak! Pokoknya gua cuma mau Jinan!”“Yee, ya udah sana ke ka
“Kamu tahu? Sama saja kamu memberi makan keluargamu dengan uang haram."Kata-kata seperti itu sudah sering aku dengar. Aku hanya malas menanggapi.Aku menutup telinga dan mata, 'Tuhan tahu masalahku!'Aku memang mencari pembenaran pada apa yang aku lakukan. Jika memang aku salah, biar Tuhan yang memutuskan. Mereka yang bahkan tak ada saat aku susah, tak ada hak berkomentar!Aku juga tahu, usiaku tak akan berhenti sampai di situ. Pastinya aku akan menjadi tua dan tak terpakai lagi. Saat ini, saatnya aku mencari uang lebih banyak sebelum datang hari itu. Jika aku berhenti dari pekerjaanku sekarang, memangnya mereka akan membiayai sekolah adikku? Membayar sewa rumah kami? Tidak, kan?Mungkin, itu juga yang membuatku tak mau terlibat kisah cinta lebih dalam lagi ... atau karena hal lain? Entahlah, tak terasa beberapa tahun berlalu, aku tak memiliki kekasih dalam hidupku.‘Jinan ....’ Aku membisikkan namanya di antara
Pemandangan kamar yang berantakan setiap pagi, sudah hal biasa terlihat setiap hari. Sepatu, jaket, tas dan semua yang kami pakai malam harinya, berserak di sekitar tempat tidur. Masih dengan posisi tidur, aku menarik bulu mata palsu yang masih menempel di muka. Bisa di bayangkan betapa joroknya kami, tapi mau bagaimana lagi? Bisa pulang dan tidur di atas kasur ini saja sudah seperti anugrah, setelah mabuk yang membuat kami bahkan tak bisa berdiri di kaki sendiri. Aku menyerosot turun sampai kakiku menyentuh lantai untuk bangun. Lalu, menyenderkan kepalaku pada pinggiran kasur. "Tracy! tres! ... Oh tres!" Aku mulai berteriak-teriak memanggil temanku, yang ku kira masih tidur disitu. Di kasur besar ini, dalam satu kamar, kami tidur bersama. Namun, orang yang ku panggil namanya tak memberi jawaban. Saat itu aku paksakan untuk membuka mata, ternyata dia tak ikut pulang semalam. "Woy, bangun! Bangun, bangun!" Melihat du
"Balik, yuk!" Suara itu kembali menyadarkanku. Tracy, temanku itu mungkin sudah bosan dengan apa yang di lihatnya. Aku mengangguk seraya bangkit dari tempat duduk. Kami berdua berjalan beriringan menuju kasir. Setelah sampai, aku membuka tas untuk mengambil dompet, "Gua yang bayar," ucapnya sambil menepis tanganku, mengisyaratkan untuk memasukkan kembali dompet yang sudah ku keluarkan. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, saat kami berebut menggunakan kamar mandi, "Cepet donk!" Suara temanku yang lain, terdengar nyaring di luar pintu. "Makanya mandi lebih awal," balasku sambil melangkah keluar, di sambut dengan wajahnya yang cemberut. Aku mengatakan itu, karena dia ada di mess seharian. Setelah mandi, aku duduk di depan kaca untuk merias diri. Aku sempat melirik ke arah Tracy yang mondar-mandir keluar, masuk kamar, "Nyari apa, Tres?" tanyaku penasaran. Tracy menoleh ke arahku sambil menjawab, "Stocking gua yang bolong-bolon
Sejak itu, aku tak ingin memberi kesempatan pria manapun untuk melukai hatiku. Jika perlu aku yang membuat mereka terluka. Apalagi aku memiliki teman yang sepemikiran denganku saat itu, membuatku merasa apa yang ku lakukan benar. Kembali pada saat di mana temanku masih curhat di dalam Restoran. Tiba-tiba, aku tak mendengar lagi suaranya. Menoleh ke arahnya, ternyata dia sedang asik memperhatikan seseorang yang berdiri di pinggir kolam dengan celana renangnya. Tubuh tinggi tegap, dengan otot menyembul di beberapa bagian tubuhnya. Dia memang suka pria yang seperti itu, "Cowok kayak gitu, keliatan jantan banget di tempat tidur!" ucap temanku yang masih ku ingat. Tak sadar aku mengernyitkan dahi, masih dengan memperhatikan pria itu. 'Ck,' Aku berdecak dan memalingkan pandangan darinya. Nggak ada bagus-bagusnya, menurutku. Entah kenapa, definisi seksi seorang pria menurutku bukan itu. Menurutku, pria seksi terlihat dari kecerdasannya. Aku m
"Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??"Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya.Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Ruma
Hari berganti hari hingga bulan. Sikapku itu membuatku akhirnya mendapat teguran dari keluarga.Aku hanya bisa terdiam mendengar semua nasihat yang mereka ucapkan untukku. Rasanya ingin menangis dan berteriak, menyalahkan keadaan yang tak seperti ku inginkan. Dalam hati masih ada keinginan untuk menjalani hari dengan normal. Pergi beribadah seperti yang mereka inginkan. Hanya saja, perasaan tidak layak untuk berada disana sangat kuat. Aku merasa kotor dan menjijikan. Setiap kali berdoa, aku merasa seperti seorang munafik.Nasihat demi nasihat berlalu tanpa ada yang ku lakukan. Dalam hatiku, tak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku saat itu. Tentu saja karna aku memang tak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku.Lalu, aku memutuskan untuk bekerja pada sebuah warnet. Dimana aku mengambil shift malam yang membuatku berfikir, itu bisa jadi alasanku untuk tak perlu pulang dan bertemu dengan keluarga di rumah.Awalnya aku merasa kembali semua