"Apa kabar?" sapaku lagi sambil duduk di kursi kosong di sebelahnya.
"Selalu baik." Dia membalas dengan tersenyum kearahku.
Sempat beberapa menit kami terdiam, sebelum terdengar lagi Dia berkata, "Kapan pulang?" tanyanya sambil menoleh.
"Oh, itu ... dua hari lalu," jawabku. Aku berusaha tersenyum, meski jelas terasa begitu kaku.
"Aku duluan, bye!"
Dia mengatakan itu bersamaan dengan berdiri dari tempat duduk dan langsung melangkah keluar, tanpa menungguku membalas perkataannya. Masih pada posisiku semula, aku menatap punggungnya yang mulai menghilang dari pandangan. Entah kenapa ada rasa sedih di sini, aku menyentuh dadaku sendiri.
***
"So, nggak ada rencana untuk stay di sini dan nggak pergi lagi?"
Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi menunduk, memperhatikan biji selasih dalam gelas minuman, saat mendengar pertanyaan itu. Di depanku, duduk seseorang yang kukenal beberapa bulan ini. Seseorang yang entah bagaimana menjadi dekat dengan tiba-tiba.
Berawal dari perayaan tahun baruan bersama keluarga. Sosoknya hadir di acara itu. Jujur, aku memang menyukainya sejak pandangan pertama. Kemudian aku tau dari sepupuku, bahwa Dia juga sama. Sejak itu aku selalu kepo menanyakan tentangnya pada sepupuku, yang sudah mengenal dia lebih dulu.
"Belum tau," jawabku, "Kenapa?"
"Oh ...." Ada sesuatu tersembunyi dari jawaban singkat itu, yang aku rasakan. Sempat terdiam, lalu kemudian lanjut mengobrol lagi. Tak terasa waktu sudah semakin malam, aku memutuskan untuk pulang.
"Aku anter,” ucapnya yang melihatku berdiri dari kursi.
"Gak usah, aku bisa naek kendaraan umum. Lagipula rumahku dekat aja dari sini," ujarku membalas tawarannya itu.
Tanpa berkata-kata lagi, dia berdiri dan meraih tanganku. Membawaku ke tempat motornya diparkirkan tadi.
"Udah malem, aku yang ngajak kamu keluar. Aku juga harus memastikan kamu pulang dengan selamat." Dia mengatakan itu sembari menaiki motor dan mengisyaratkanku untuk duduk di belakangnya.
Setelah sampai di depan rumah, dia pamit dan melaju dengan cepat. Aku belum merasakan perubahannya saat itu. Hingga selesai membersihkan diri sebelum tidur, tak ada kabar apapun darinya di handphoneku.
'Mungkin dia langsung tidur,' gumamku.
Beberapa hari berlalu sejak malam itu. Kabar darinya tak pernah ku dengar lagi, selain dari cerita sepupuku. Aku menebak-nebak, entah pada ucapanku yang mana yang menyinggung perasaannya. Hingga sebuah chat singkatpun tak pernah lagi ada darinya untukku sejak saat itu. Dari Sosial Media yang dia punya, aku mengetahui kabar-kabar terbaru tentang dirinya.
Bagaimana dia menjalani hari-hari, juga tentang seorang perempuan yang kemudian aku tau telah menjadi kekasihnya kini. Ada rasa iri pada perempuan itu. Sempat aku membayangkan seandainya aku adalah dia. Namun, seiring berjalannya waktu aku bisa menerima kenyataan itu dan mengabaikannya. Tak pernah lagi aku cari tau kabarnya dari manapun juga.
Setelah dua tahun berlalu, tanpa sengaja aku bertemu lagi dengannya. Tapi sikapnya tadi, terasa masih sama seperti saat waktu terakhir kali bertemu dulu.
"Mikirin apa, Mbak?"
Aku menoleh ke arah suara yang bertanya padaku. Sepupuku yang cukup dekat denganku selama ini, terlihat berdiri di belakangku dengan menyenderkan badannya pada tembok. Perlahan dia berjalan ke arahku yang kembali membelakanginya tanpa menjawab."Nih,”
Sebungkus rokok putih yang sudah terbuka dengan korek api di atasnya, disodorkan kearahku.
"Kamu ngerokok? Sejak kapan?" tanyaku keheranan. Meski kami dekat, tapi kami memang hampir tak pernah bersama. Itu karna aku selalu keluar kota untuk pekerjaanku."Udah lama, Mbak diem-diem aja ya. Soalnya gak ada yang tau,” jawabnya sambil cekikikan.
"Mbak tadi ketemu Jinan,” Akhirnya, aku membuka obrolan.
"Ho? Di mana?"
"Gereja," jawabku.
Angel sepupuku itu terlihat manggut-manggut mendengar ucapanku.
"Terus?" sambungnya,
"Nggak ada, cuma nyapa aja,” jawabku sambil tersenyum kecut.
Angel yang paling tau saat itu, bahkan mengira aku dan Jinan akan menjadi pasangan kemudian. Keluargaku yang juga hadir pada perayaan tahun baru dulu itu, juga sering menggodaku, membuat kami tersipu malu. Bahkan Angel dan sepupuku yang lain, membuat acara nonton film bareng setelahnya. Hanya agar kami memiliki waktu bersama lebih lama lagi malam itu.
Siapa sangka, semua berakhir sebelum sampai ke tahap lebih dekat. Bahkan aku sendiri masih tak tau penyebabnya hingga saat ini. Di mataku dulu, Jinan sosok yang berwibawa. Dengan tinggi badan 185cm dan berat sekitar 90. Dia terlihat sangat seksi dengan kaca mata minusnya dan pipinya yang sedikit chubby. Sebagai seorang introvert "Katanya", menurutku, dia cukup terbuka kala itu.
Embusan napas berat keluar dari mulutku. Beberapa saat tak ada ucapan dari kami berdua. Sebatang rokok menyala di tangan kami, membuat kami asik dengan lamunan sendiri.
"Mbak di cuekin?!" serunya mengagetkanku tiba-tiba.
"Hahahah ... iya,"
Masih dengan senyum kecut aku menjawabnya."Gak tau, salah apa coba? sampe segitunya,” lanjutku lagi.
Angel manggut-manggut lagi. Gayanya itu membuatku jadi ingin melempar bungkus rokok ke arahnya.
"Dah ah, tidur dulu. Bye!"
Aku meninggalkan Angel begitu saja dan tak peduli dengan suaranya yang memanggilku. Sambil berjalan masuk rumah, aku melambaikan tanganku keatas. Di dalam kamar, aku membuka salah satu sosial media di handphoneku sambil tiduran. Di mana dulu aku chatting dengannya di situ. Masih tertinggal jejak obrolan kami dulu. Aku membaca semuanya dari atas sampai akhir.
Tak kutemukan kata-kata yang janggal atau bisa menyinggung perasaan, dari semua chat yang aku kirimkan padanya. Aku menutup handphoneku dan mulai memikirkannya lagi. Mengingat kejadian bersamanya hingga yang terakhir kali.
"Apa, ya?" Aku bangkit dari tempat tidur, menggaruk kepalaku yang tak gatal. Menggeleng beberapa kali.
"Tau ah, stres gua jadinya!" ucapku sedikit berdesis.Mendadak aku memalingkan pandanganku pada handphoneku lagi.
"Kenapa gak coba chat dia aja?"
Aku meraih handphoneku dan membuka lagi aplikasi chat itu.
"Hai ...." ketikku pada kolom chat. Kemudian aku hapus lagi.
"J, apa kabar?" lama aku pandangi tulisan itu, dan urung lagi mengirimkannya. Hapus lagi.
'Ahh, norak! Ngomong apa, donk?' gumamku dengan kesal.
Kembali aku mencoba mengetikkan kata ke kolom chat kosong itu lagi.
"J, lagi ngapain?"
Suara 'tik tak' dari jarum jam dinding terdengar sangat keras sekali, kali ini. Mungkin hanya perasaanku.
Aku memejamkan mata. Merentangkan tanganku menjauh dari badan, dengan handphone masih kupegang. Kutekan option kirim pada layar handphoneku. Dan, terkirimlah isi chat itu. Aku menjatuhkan handphone dari tanganku ke atas kasur. Kemudian mengambil bantal untuk menutup wajahku keseluruhan.
"Di balas gak ,ya?" ucapku harap-harap cemas.
Kiki, begitulah semua orang memanggilku. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang beda Ayah. Ayahku sendiri telah meninggal, tak lama setelah aku mengenalnya. Ayah dan Ibuku, berpisah sejak aku masih dalam kandungan. Kedua adikku, Ibu dapatkan dari pernikahannya yang ke dua. Saat itu aku tak ada di sana. Itu karna sejak bayi, Kakek dan Nenek di kampung yang merawatku. Bahkan aku mengira kedua orang tua itu adalah Ayah dan Ibuku. Dan, inilah kisah perjalananku. Kembali pada beberapa belas tahun yang lalu. Pagi ini, masih sama dengan pagi sebelumnya. Masih dengan mengantuk, aku berjalan menuju sungai yang tak jauh dari Rumah. Dengan menenteng ember kecil berisi peralatan mandi, dan handuk melingkar di pundak. Sesampainya di sana, seperti biasa aku duduk di atas batu besar yang ada di pinggir sungai. Dengan memeluk lututku dan merapatkan handuk di pundak, su
Malamnya, kami semua duduk membentuk setengah lingkaran di depan tungku yang menyala, untuk menghangatkan diri. Tak lama Eyang berdiri, mengambil gelas dan menawarkan minuman hangat untuk kami. "Jangan pake gula ya, Mbah." Ucap Wanita yang duduk disebelahku. Aku sempat melirik kearahnya sebentar. Dia menyambut lirikan dengan senyum, dan aku memalingkan wajahku darinya. Setelah cukup banyak mengobrol, yang aku bahkan tak mengerti dan tak terlalu mau tau isi obrolan itu. Kamipun beranjak untuk tidur. Wanita itu tidur di kamarku dan Eyang. Kami tiduran sambil menatap langit-langit rumah dalam kamar. Terdengar Eyang masih ngobrol dengan wanita itu. Aku yang berada di tengah merasa sedikit terganggu. Namun, ku coba untuk memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, terasa wanita itu bergerak dan memelukku. Aku yang masih memejamkan mata, memilih untuk berpura-pura tidur. Dia mencium kening dan membelai pipiku. Tak terasa sepertinya aku
Satu tahun berlalu tanpa ada kabar dari Mama. Aku mulai merasakan seperti di buang. Ada rasa sesal terkadang datang, andai dulu aku tetap bersama Kakekku. Tiba-tiba rasa rindu menyapa, aku menangis mengingat wajah mereka berdua. Kelembutan Kakek yang masih terasa meski jarak telah begitu jauhnya membuatku meneteskan air mata. Adik kecilku menghampiri, menggelayut pada pundakku. Aku menarik badannya ke dalam pelukanku. Air mata tumpah, tangisku pecah. Anak sekecil ini sudah harus merasakan sulitnya hidup. Aku gendong hingga Dia terlelap. Di atas tempat tidur, aku meletakkan tubuh kecilnya dan kami tidur bersama. Pagi ini, kami berdua sudah selesai mandi. Aku sudah siap menggendongnya untuk pergi ke Sekolah. Di tengah pelajaran, terdengar suara tangis Adikku yang keras. Pagi tadi badannya memang terasa panas. Aku berlari ke ruang Guru untuk menenangkan Adikku. Ibu Guru yang biasa menemaninya sedang tak ada disana. Tak lama kemudi
"Lagi ngapain, Lu?" Suara temanku menyapa sambil mencolek pundakku dari belakang. "Nggak ada, bengong aja," Jawabku, "Mau kemana, Lu?" "Mau nyari makan gua, ikut gak, Lu? Kemaren malem gua pergi ama tamu gua. Makanan disitu enak-enak semua, Kiki!" Expresi gemas dia tunjukan sambil mengatakan itu. Belum sempat aku menjawab, kata-katanya sudah keluar lagi. "Beneran ikh, hayukk! Kalo lu ikut, kita pergi kesana. Kalo lu gak mau, gua cari makan deket-deket sini aja," sambungnya. "Lah, kenapa harus gua ikut baru kesana??" "Ikh Lu, mah. Tempatnya lumayan jauh. Tapi seru tau! Pemandangannya bagus. Bisa sekalian cuci mata Lu, mah. Daripada Lu bengong-bengong gitu. Hayukk, Ki!" ucapnya penuh semangat. "Yowes, ganti baju dulu," "Ho oh, gua tunggu depan, ya!" Temanku yang satu itu, memang suka banget jalan keluar. Di kota manapun yang kami datangi, hampir semua tempat seru dan asik buat menikmati suasana dia
Setelah sadar, aku berada di salah satu rumah warga, dikerumuni banyak orang yang entah hanya ingin melihatku, atau ada maksud lain ... aku tak tau. Beberapa dari mereka ada yang bertanya tentang keluarga, dan tinggal dimana mereka. Beberapa orang lagi, bertanya tentang ciri-ciri orang yang bersamaku malam itu, dan bagaimana aku bisa bersamanya. Kepalaku terasa sakit saat berusaha mengingat dan menjelaskan kepada mereka semua. "Sudah, biarkan anak ini istirahat."Sang pemilik rumah yang menyadari keadaanku, meminta kerumunan orang itu untuk tak terus mendesakku. Dia memapahku ke kamar, mendudukanku di atas ranjang anaknya yang sudah tak tinggal di rumah itu. "Sini, tiduran. Istirahat,” ucapnya sambil menepuk bantal yang selesai di rapihkan. Aku menuruti perkataannya. "Ibu, buatkan teh hangat, ya?" sambungnya lagi. Dengan mengangguk perlahan, aku mengiyakan tawarannya. Dan, dia beranjak pergi keluar kamar. S
Seseorang duduk di belakang meja, menghadapku yang duduk sendirian di depannya. Sebuah pulpen di tangan dan selembar kertas di atas meja.Aku menyapu sekeliling ruangan dengan mataku. Tampak beberapa orang dengan seragam ada disana. Terlihat juga dua orang yang tadi membawaku ke tempat ini.Salah satu dari mereka kemudian menghampiri, dengan segelas minuman di tangannya. Minuman itu lalu di letakkannya di atas meja di depanku, dan berkata,"Ini di minum dulu."Aku melirik ke arah dalam gelas itu, mencium aroma wangi teh hangat yang keluar bersama kepulan uap panasnya."Jadi, siapa namamu?" Tanya orang yang duduk di depanku.Aku masih takut menatapnya. Dengan menunduk aku menjawab pertanyaan itu, dan juga pertanyaan lainnya.Setelah itu, aku meraih gelas di depanku dan meminum isinya perlahan-lahan, dan kembali menundukkan kepala. Hingga sesi tanya jawab berakhir juga.Di depan sebuah rumah sederhana, disitulah aku
Hari berganti hari hingga bulan. Sikapku itu membuatku akhirnya mendapat teguran dari keluarga.Aku hanya bisa terdiam mendengar semua nasihat yang mereka ucapkan untukku. Rasanya ingin menangis dan berteriak, menyalahkan keadaan yang tak seperti ku inginkan. Dalam hati masih ada keinginan untuk menjalani hari dengan normal. Pergi beribadah seperti yang mereka inginkan. Hanya saja, perasaan tidak layak untuk berada disana sangat kuat. Aku merasa kotor dan menjijikan. Setiap kali berdoa, aku merasa seperti seorang munafik.Nasihat demi nasihat berlalu tanpa ada yang ku lakukan. Dalam hatiku, tak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku saat itu. Tentu saja karna aku memang tak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku.Lalu, aku memutuskan untuk bekerja pada sebuah warnet. Dimana aku mengambil shift malam yang membuatku berfikir, itu bisa jadi alasanku untuk tak perlu pulang dan bertemu dengan keluarga di rumah.Awalnya aku merasa kembali semua
"Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??"Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya.Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Ruma
Pagi yang cerah menyambutku, secerah senyum seseorang di depanku.Aku mengangguk padanya sebelum masuk ke dalam mobil yang sudah siap.Minivan Putih membawaku, Miles, dua orang teman, salah satu asistenku dengan seorang driver juga barang perlengkapan kami ke tempat tujuan.Aku melirik mereka yang santai menyandarkan tubuh pada sandaran kursi mobil. Sementara aku merasa sedikit gelisah duduk di samping Miles yang mulai sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku.Bagaimana bisa makhluk setampan ini adalah seorang wanita?Bibirnya yang merah alami terlihat menggoda, tampak sedikit glossy oleh sentuhan lip balm. Tanpa sengaja aku menggigit bibirku sendiri.“Hmm ...?” Orang yang sedang ku perhatikan tiba-tiba membuka mata. Dia tersenyum menangkap expresi kagetku yang membuang muka.Asistenku melihat itu, entah sengaja atau tidak. Dia ikut tersenyum menggodaku yang ku balas dengan tatapan mengancam, membuatnya cekikikan.Seiring mobil
Langit cerah siang hari. Semilir angin menggoyangkan pucuk dedaunan di pohon.Aku berjalan di atas pasir di tepi pantai, mengabadikan keindahan alam dengan kamera kecilku.Beberapa orang berbeda usia terlihat sedang bermain pasir. Semuanya tak luput dari pandanganku.“Ahhh, segarnya!” manisnya air kelapa murni menyegarkan tenggorokanku setelah cukup lama berjalan.Mataku kembali menyapu sekeliling. Sesekali rambut panjangku berkibar di terpa angin.“Di sini selalu ramai seperti ini ya, Bang?”“Iya, mbak. Apalagi kalau liburan.”Seorang pria muda pemilik kedai kecil, beberapa kali aku melirik ke arahnya, ‘Manis,’ gumamku. Bibir tipis yang terlihat seksi menurutku apalagi saat tersenyum sempat mengalihkan fokus hingga aku ingin melirik terus.Ini kali pertama aku ke pantai ini, sepertinya aku akan sering ke sini nanti.“Halo,” ucapku menyapa seseorang di telpon.
Toyota yaris berwarna merah favoritku berhenti di pinggir jalan tepat di depan studio foto di tengah kota.Aku mengambil tas ransel besar di dalamnya dan keluar dari mobil itu, lalu berdiri untuk menatap bangunan studio dari depan.Inilah kehidupanku sekarang, menjadi fotografer lepas dan usaha kecil-kecilan. Pekerjaan seperti ini tak pernah terbayang akan aku jalani sebelumnya. Semua datang dengan tiba-tiba. Berawal dari kejadian aku meratapi kesedihanku atas pernikahan Jinan dulu itu.“Bayangkan ada yang lebih baik dari Jinan. Datang menghampiri dan menyambut lu, mendekap lu dengan penuh cinta.”Tracy mengucapkan itu dengan mendorong pelan tangan kanannya, lalu menarik kembali menempelkan didada. Matanya mengecil dengan bibir menciut sexy, di akhiri dengan helaan napas dan memejamkan mata. Aku melirik geli ke arahnya dan kembali menangis kencang.“Nggak! Pokoknya gua cuma mau Jinan!”“Yee, ya udah sana ke ka
“Kamu tahu? Sama saja kamu memberi makan keluargamu dengan uang haram."Kata-kata seperti itu sudah sering aku dengar. Aku hanya malas menanggapi.Aku menutup telinga dan mata, 'Tuhan tahu masalahku!'Aku memang mencari pembenaran pada apa yang aku lakukan. Jika memang aku salah, biar Tuhan yang memutuskan. Mereka yang bahkan tak ada saat aku susah, tak ada hak berkomentar!Aku juga tahu, usiaku tak akan berhenti sampai di situ. Pastinya aku akan menjadi tua dan tak terpakai lagi. Saat ini, saatnya aku mencari uang lebih banyak sebelum datang hari itu. Jika aku berhenti dari pekerjaanku sekarang, memangnya mereka akan membiayai sekolah adikku? Membayar sewa rumah kami? Tidak, kan?Mungkin, itu juga yang membuatku tak mau terlibat kisah cinta lebih dalam lagi ... atau karena hal lain? Entahlah, tak terasa beberapa tahun berlalu, aku tak memiliki kekasih dalam hidupku.‘Jinan ....’ Aku membisikkan namanya di antara
Pemandangan kamar yang berantakan setiap pagi, sudah hal biasa terlihat setiap hari. Sepatu, jaket, tas dan semua yang kami pakai malam harinya, berserak di sekitar tempat tidur. Masih dengan posisi tidur, aku menarik bulu mata palsu yang masih menempel di muka. Bisa di bayangkan betapa joroknya kami, tapi mau bagaimana lagi? Bisa pulang dan tidur di atas kasur ini saja sudah seperti anugrah, setelah mabuk yang membuat kami bahkan tak bisa berdiri di kaki sendiri. Aku menyerosot turun sampai kakiku menyentuh lantai untuk bangun. Lalu, menyenderkan kepalaku pada pinggiran kasur. "Tracy! tres! ... Oh tres!" Aku mulai berteriak-teriak memanggil temanku, yang ku kira masih tidur disitu. Di kasur besar ini, dalam satu kamar, kami tidur bersama. Namun, orang yang ku panggil namanya tak memberi jawaban. Saat itu aku paksakan untuk membuka mata, ternyata dia tak ikut pulang semalam. "Woy, bangun! Bangun, bangun!" Melihat du
"Balik, yuk!" Suara itu kembali menyadarkanku. Tracy, temanku itu mungkin sudah bosan dengan apa yang di lihatnya. Aku mengangguk seraya bangkit dari tempat duduk. Kami berdua berjalan beriringan menuju kasir. Setelah sampai, aku membuka tas untuk mengambil dompet, "Gua yang bayar," ucapnya sambil menepis tanganku, mengisyaratkan untuk memasukkan kembali dompet yang sudah ku keluarkan. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, saat kami berebut menggunakan kamar mandi, "Cepet donk!" Suara temanku yang lain, terdengar nyaring di luar pintu. "Makanya mandi lebih awal," balasku sambil melangkah keluar, di sambut dengan wajahnya yang cemberut. Aku mengatakan itu, karena dia ada di mess seharian. Setelah mandi, aku duduk di depan kaca untuk merias diri. Aku sempat melirik ke arah Tracy yang mondar-mandir keluar, masuk kamar, "Nyari apa, Tres?" tanyaku penasaran. Tracy menoleh ke arahku sambil menjawab, "Stocking gua yang bolong-bolon
Sejak itu, aku tak ingin memberi kesempatan pria manapun untuk melukai hatiku. Jika perlu aku yang membuat mereka terluka. Apalagi aku memiliki teman yang sepemikiran denganku saat itu, membuatku merasa apa yang ku lakukan benar. Kembali pada saat di mana temanku masih curhat di dalam Restoran. Tiba-tiba, aku tak mendengar lagi suaranya. Menoleh ke arahnya, ternyata dia sedang asik memperhatikan seseorang yang berdiri di pinggir kolam dengan celana renangnya. Tubuh tinggi tegap, dengan otot menyembul di beberapa bagian tubuhnya. Dia memang suka pria yang seperti itu, "Cowok kayak gitu, keliatan jantan banget di tempat tidur!" ucap temanku yang masih ku ingat. Tak sadar aku mengernyitkan dahi, masih dengan memperhatikan pria itu. 'Ck,' Aku berdecak dan memalingkan pandangan darinya. Nggak ada bagus-bagusnya, menurutku. Entah kenapa, definisi seksi seorang pria menurutku bukan itu. Menurutku, pria seksi terlihat dari kecerdasannya. Aku m
"Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??"Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya.Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Ruma
Hari berganti hari hingga bulan. Sikapku itu membuatku akhirnya mendapat teguran dari keluarga.Aku hanya bisa terdiam mendengar semua nasihat yang mereka ucapkan untukku. Rasanya ingin menangis dan berteriak, menyalahkan keadaan yang tak seperti ku inginkan. Dalam hati masih ada keinginan untuk menjalani hari dengan normal. Pergi beribadah seperti yang mereka inginkan. Hanya saja, perasaan tidak layak untuk berada disana sangat kuat. Aku merasa kotor dan menjijikan. Setiap kali berdoa, aku merasa seperti seorang munafik.Nasihat demi nasihat berlalu tanpa ada yang ku lakukan. Dalam hatiku, tak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku saat itu. Tentu saja karna aku memang tak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku.Lalu, aku memutuskan untuk bekerja pada sebuah warnet. Dimana aku mengambil shift malam yang membuatku berfikir, itu bisa jadi alasanku untuk tak perlu pulang dan bertemu dengan keluarga di rumah.Awalnya aku merasa kembali semua