Malamnya, kami semua duduk membentuk setengah lingkaran di depan tungku yang menyala, untuk menghangatkan diri.
Tak lama Eyang berdiri, mengambil gelas dan menawarkan minuman hangat untuk kami.
"Jangan pake gula ya, Mbah." Ucap Wanita yang duduk disebelahku. Aku sempat melirik kearahnya sebentar. Dia menyambut lirikan dengan senyum, dan aku memalingkan wajahku darinya.
Setelah cukup banyak mengobrol, yang aku bahkan tak mengerti dan tak terlalu mau tau isi obrolan itu. Kamipun beranjak untuk tidur.
Wanita itu tidur di kamarku dan Eyang. Kami tiduran sambil menatap langit-langit rumah dalam kamar.
Terdengar Eyang masih ngobrol dengan wanita itu. Aku yang berada di tengah merasa sedikit terganggu. Namun, ku coba untuk memejamkan mata.
Beberapa saat kemudian, terasa wanita itu bergerak dan memelukku.
Aku yang masih memejamkan mata, memilih untuk berpura-pura tidur. Dia mencium kening dan membelai pipiku. Tak terasa sepertinya aku tersenyum. Malam pun berlalu.
Aku masih dengan rutinitas harianku, dan akan pergi ke sekolah pagi itu. Saat ku lihat wanita itu berada di dapur bersama Eyang.
Di Sekolah, aku menceritakan kejadian tadi malam pada teman-teman.
Aku merasa sangat senang dan mereka juga.
"Trus, kamu pergi donk ke jakarta?" Tanya salah satu temanku.
Aku terdiam sebentar sebelum menjawab pertanyaannya, karena aku masih belum tahu. Wanita itu tidak mengucapkan apa-apa semalam.
"Gak tau," Sambil menggelengkan kepala.
Saat sudah waktunya pulang sekolah. Aku bergegas berlari agar cepat sampai rumah.
"Friska, aku duluan, ya!" Seruku pada teman yang biasanya pulang barengan.
Sampai di rumah, hanya Eyang yang terlihat.
Tanpa bertanya, aku mencoba mencari sosoknya sendiri. Setelah berapa lama mencari, sepertinya Eyang menyadari.
"Mamamu sudah pulang," Serunya dari dapur, tempat ku lihat dia berada tadi.
Dengan lemas karna kecewa, aku melangkah menghampiri Eyang.
"Mamamu punya anak lagi masih kecil. Katanya gak bisa di tinggal lama," Ucapnya kemudian.
Dalam hati aku berkata, 'Aku kan juga anaknya. Setidaknya, tunggu aku pulang sekolah dulu baru pergi,'
Saat itu, bahagia yang ku bawa dari sekolah setelah menceritakan dirinya pada teman-temanku, hilang.
Entah kenapa aku tiba-tiba berlari keluar rumah.
Desa kecil kami hanya ada satu tempat untuk menunggu mobil umum, menuju stasiun. Kesanalah tujuanku.
Hanya ada satu mobil yang belum terisi penuh di tempat itu. Aku mencoba mencari sosok Ibu yang baru ku kenal.
"Ki, sini!" Aku mendengar suara dari dalam mobil memanggilku. Tanpa ragu aku masuk ke mobil itu.
Wanita itu duduk di samping penumpang lain yang langsung menggeser tubuhnya, untuk memberiku ruang. Aku duduk di sebelahnya.
"Kiki, mau ikut Mama, pulang?" Tanya wanita itu.
Aku sempat ragu untuk menjawabnya. Bagaimana nanti dengan Kakek dan Nenekku juga Eyang?
"Mbah udah tau kok, semalam Mama sudah izin," Tambahnya yang seperti tau apa yang sedang aku pikirkan.
Seketika aku mengangguk mengiyakan. Dia lalu memeluk dan menciumku.
Setelah itu, mobil melaju menuju stasiun.
Aku duduk di ruang tunggu sambil melihat kearah wanita itu yang sedang antri membeli tiket.
Tak lama kemudian, diapun datang kearahku dan mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya, mengikuti langkahnya dari belakang.
Kami masuk ke sebuah warung kecil, masih di area dalam stasiun.
Nasi pecel dan soto, adalah menu di warung itu. Tanpa bertanya padaku, wanita itu memesan dua mangkok soto dan nasi untuk kami berdua. Kami menikmati makanan itu sampai habis, sambil menunggu kereta tiba.
Jakarta.
Kota yang sangat panas dan padat. Begitulah menurut pandanganku kala itu.
Untuk kali pertama aku menginjakkan kaki di Kota ini.
Masih dalam genggaman tangannya, aku mengikuti langkahnya dari belakang, menuju deretan kendaraan umum yang baru pertama kali aku lihat. Kemudian aku tau, itu adalah 'Bajai'. Dengan kendaraan itu, kami melanjutkan perjalanan kami menuju rumahnya.
Seorang Pria duduk di teras rumah kecil, dimana aku masih menatapnya tanpa berkata.
Wanita itu memanggilku dengan isyarat untuk mendekatinya dan memberi salam padanya.
Kemudian aku tau, dia adalah Papaku. Dia adalah suami kedua dari wanita itu. Aku masuk kedalam rumah dan melihat sekitar. Rumah itu bahkan hanya memiliki satu kamar.
Sebelum aku sempat bertanya, wanita itu sudah berkata lebih dulu, "Kamu tidur disitu, ya?" Sambil menunjuk sofa panjang yang sedang ku duduki. Aku hanya mengangguk dengan perlahan.
Teringat kata Eyang, wanita itu punya anak kecil yang katanya tak bisa di tinggal lama. Aku mencari sosok anak kecil itu yang tak ada disana. Ternyata itu bohong belaka. Mungkin Wanita itu mengarangnya agar bisa cepat kembali ke Jakarta, atau Eyangku yang asal bicara.
Satu bulan di rumahnya, aku mulai bersiap-siap untuk sekolah lagi. Aku juga sudah terbiasa memangggilnya dengan sebutan Mama.
Kehidupanku menyenangkan. Mama menyayangiku karena aku adalah anak satu-satunya. Meski Papa, aku tak cukup dekat dengannya, masih merasa seperti orang asing.
Genap sembilan tahun usiaku sekarang, aku sudah berada di kelas tiga Sekolah Dasar.
Kemudian, Mama mempunyai anak bayi dari Papaku yang sekarang. Sejak itu Mama tak bekerja lagi. Hanya berjualan makanan sarapan setiap pagi.
Siangnya, terkadang Mama mengajakku untuk menemui Keluarganya yang berada di Kota yang sama dengan kami. Dari situ aku tau, bahwa Nenek- Ibu kandung Mamaku ada di Kota itu juga, setelah sekian lama. Nenek tinggal bersama dengan beberapa Pamanku. Mereka semua sangat baik.
Bulan demi bulan berganti. Semua masih berjalan seperti biasa. Hingga pertengkaran terjadi di antara mereka berdua, yang kemudian membuat kami harus pindah ke Kampung halaman Papa.
Di Kampung ini, Mama masih tetap berjualan makanan. Sekolahku juga pindah. Aku membantunya usai pulang Sekolah. Namun, itu tak berlangsung lama.
Sebagai anak kecil, aku memang tak tau apa-apa, yang aku tau hanya kemudian aku, dan adikku di tinggalkan di Kampung berdua. Mama menitipkan kami pada Ibu mertuanya dan kembali ke Jakarta bersama Papa.
Adikku belum genap satu tahun usianya saat di tinggalkan mereka. Akulah yang harus merawat dan mengurusnya sendirian. Bahkan membawanya ke Sekolah setiap hari.
Mertua Mama adalah orang yang baik hanya di depan Mama. Seperginya Mama, kami hanya di anggap orang asing yang menumpang di Rumahnya. Akupun tak pernah menganggapnya Nenekku karena perlakuannya itu.
Bagiku Tuhan memang baik, meski aku malu mengatakannya. Karena kami tidak pernah kelaparan selama ditinggalkan, meski mertua Mama tidak memberi kami makan. Para Tetangga dan Guru-guruku juga sangat baik pada kami berdua.
Sebenarnya tidak secara langsung Perempuan tua itu tidak memberi kami makan. Hanya saja makanan itu memang sering kali sudah habis atau tak ada di tempatnya lagi. Saat aku bertanya, ketika aku harus memberi makan Adikku,
"Beras abis, Mamamu gak pernah kirimin uang!" Begitu jawabnya. Akupun hanya bisa diam.
Itu kali pertama aku memberanikan diri untuk meminta sedikit nasi pada Tetangga. Seorang janda yang memiliki anak sudah besar semua. Untungnya, Adikku bukan tipe anak kecil yang rewel. Hanya dengan nasi putih dan kecap manis saja, Dia sudah mau makan dengan lahapnya.
Sejak itu aku mulai berpikir untuk mencari cara agar bisa bertahan hidup dengan Adikku. Meski akhirnya hampir semua orang di Kampung jadi tau keadaanku, dan membuatku kuatir dengan apa yang akan di lakukan perempuan tua itu pada kami. Eh, ternyata perempuan itu bersikap biasa saja.
Akhirnya aku dan Adikku bisa bertahan. Dengan pekerjaan sampingan yang aku lakukan sepulang Sekolah.
Sambil bekerja, aku membawa Adikku serta. Pekerjaanku adalah mencabut benih padi yang sudah tumbuh untuk di tanam lagi. Terkadang aku membantu Tetanggaku memetik sayuran genjer di rawa untuk dia jual di pasar. Upahnya memang tidak besar, tapi lebih dari cukup untuk kami berdua. Dan sepertinya, para Tetangga yang memberiku pekerjaanpun tidak benar-benar membutuhkan tenagaku. Mereka hanya ingin membantuku setelah tau keadaan kami.
*Buka lembaran berikutnya ya :)
Satu tahun berlalu tanpa ada kabar dari Mama. Aku mulai merasakan seperti di buang. Ada rasa sesal terkadang datang, andai dulu aku tetap bersama Kakekku. Tiba-tiba rasa rindu menyapa, aku menangis mengingat wajah mereka berdua. Kelembutan Kakek yang masih terasa meski jarak telah begitu jauhnya membuatku meneteskan air mata. Adik kecilku menghampiri, menggelayut pada pundakku. Aku menarik badannya ke dalam pelukanku. Air mata tumpah, tangisku pecah. Anak sekecil ini sudah harus merasakan sulitnya hidup. Aku gendong hingga Dia terlelap. Di atas tempat tidur, aku meletakkan tubuh kecilnya dan kami tidur bersama. Pagi ini, kami berdua sudah selesai mandi. Aku sudah siap menggendongnya untuk pergi ke Sekolah. Di tengah pelajaran, terdengar suara tangis Adikku yang keras. Pagi tadi badannya memang terasa panas. Aku berlari ke ruang Guru untuk menenangkan Adikku. Ibu Guru yang biasa menemaninya sedang tak ada disana. Tak lama kemudi
"Lagi ngapain, Lu?" Suara temanku menyapa sambil mencolek pundakku dari belakang. "Nggak ada, bengong aja," Jawabku, "Mau kemana, Lu?" "Mau nyari makan gua, ikut gak, Lu? Kemaren malem gua pergi ama tamu gua. Makanan disitu enak-enak semua, Kiki!" Expresi gemas dia tunjukan sambil mengatakan itu. Belum sempat aku menjawab, kata-katanya sudah keluar lagi. "Beneran ikh, hayukk! Kalo lu ikut, kita pergi kesana. Kalo lu gak mau, gua cari makan deket-deket sini aja," sambungnya. "Lah, kenapa harus gua ikut baru kesana??" "Ikh Lu, mah. Tempatnya lumayan jauh. Tapi seru tau! Pemandangannya bagus. Bisa sekalian cuci mata Lu, mah. Daripada Lu bengong-bengong gitu. Hayukk, Ki!" ucapnya penuh semangat. "Yowes, ganti baju dulu," "Ho oh, gua tunggu depan, ya!" Temanku yang satu itu, memang suka banget jalan keluar. Di kota manapun yang kami datangi, hampir semua tempat seru dan asik buat menikmati suasana dia
Setelah sadar, aku berada di salah satu rumah warga, dikerumuni banyak orang yang entah hanya ingin melihatku, atau ada maksud lain ... aku tak tau. Beberapa dari mereka ada yang bertanya tentang keluarga, dan tinggal dimana mereka. Beberapa orang lagi, bertanya tentang ciri-ciri orang yang bersamaku malam itu, dan bagaimana aku bisa bersamanya. Kepalaku terasa sakit saat berusaha mengingat dan menjelaskan kepada mereka semua. "Sudah, biarkan anak ini istirahat."Sang pemilik rumah yang menyadari keadaanku, meminta kerumunan orang itu untuk tak terus mendesakku. Dia memapahku ke kamar, mendudukanku di atas ranjang anaknya yang sudah tak tinggal di rumah itu. "Sini, tiduran. Istirahat,” ucapnya sambil menepuk bantal yang selesai di rapihkan. Aku menuruti perkataannya. "Ibu, buatkan teh hangat, ya?" sambungnya lagi. Dengan mengangguk perlahan, aku mengiyakan tawarannya. Dan, dia beranjak pergi keluar kamar. S
Seseorang duduk di belakang meja, menghadapku yang duduk sendirian di depannya. Sebuah pulpen di tangan dan selembar kertas di atas meja.Aku menyapu sekeliling ruangan dengan mataku. Tampak beberapa orang dengan seragam ada disana. Terlihat juga dua orang yang tadi membawaku ke tempat ini.Salah satu dari mereka kemudian menghampiri, dengan segelas minuman di tangannya. Minuman itu lalu di letakkannya di atas meja di depanku, dan berkata,"Ini di minum dulu."Aku melirik ke arah dalam gelas itu, mencium aroma wangi teh hangat yang keluar bersama kepulan uap panasnya."Jadi, siapa namamu?" Tanya orang yang duduk di depanku.Aku masih takut menatapnya. Dengan menunduk aku menjawab pertanyaan itu, dan juga pertanyaan lainnya.Setelah itu, aku meraih gelas di depanku dan meminum isinya perlahan-lahan, dan kembali menundukkan kepala. Hingga sesi tanya jawab berakhir juga.Di depan sebuah rumah sederhana, disitulah aku
Hari berganti hari hingga bulan. Sikapku itu membuatku akhirnya mendapat teguran dari keluarga.Aku hanya bisa terdiam mendengar semua nasihat yang mereka ucapkan untukku. Rasanya ingin menangis dan berteriak, menyalahkan keadaan yang tak seperti ku inginkan. Dalam hati masih ada keinginan untuk menjalani hari dengan normal. Pergi beribadah seperti yang mereka inginkan. Hanya saja, perasaan tidak layak untuk berada disana sangat kuat. Aku merasa kotor dan menjijikan. Setiap kali berdoa, aku merasa seperti seorang munafik.Nasihat demi nasihat berlalu tanpa ada yang ku lakukan. Dalam hatiku, tak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku saat itu. Tentu saja karna aku memang tak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku.Lalu, aku memutuskan untuk bekerja pada sebuah warnet. Dimana aku mengambil shift malam yang membuatku berfikir, itu bisa jadi alasanku untuk tak perlu pulang dan bertemu dengan keluarga di rumah.Awalnya aku merasa kembali semua
"Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??"Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya.Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Ruma
Sejak itu, aku tak ingin memberi kesempatan pria manapun untuk melukai hatiku. Jika perlu aku yang membuat mereka terluka. Apalagi aku memiliki teman yang sepemikiran denganku saat itu, membuatku merasa apa yang ku lakukan benar. Kembali pada saat di mana temanku masih curhat di dalam Restoran. Tiba-tiba, aku tak mendengar lagi suaranya. Menoleh ke arahnya, ternyata dia sedang asik memperhatikan seseorang yang berdiri di pinggir kolam dengan celana renangnya. Tubuh tinggi tegap, dengan otot menyembul di beberapa bagian tubuhnya. Dia memang suka pria yang seperti itu, "Cowok kayak gitu, keliatan jantan banget di tempat tidur!" ucap temanku yang masih ku ingat. Tak sadar aku mengernyitkan dahi, masih dengan memperhatikan pria itu. 'Ck,' Aku berdecak dan memalingkan pandangan darinya. Nggak ada bagus-bagusnya, menurutku. Entah kenapa, definisi seksi seorang pria menurutku bukan itu. Menurutku, pria seksi terlihat dari kecerdasannya. Aku m
"Balik, yuk!" Suara itu kembali menyadarkanku. Tracy, temanku itu mungkin sudah bosan dengan apa yang di lihatnya. Aku mengangguk seraya bangkit dari tempat duduk. Kami berdua berjalan beriringan menuju kasir. Setelah sampai, aku membuka tas untuk mengambil dompet, "Gua yang bayar," ucapnya sambil menepis tanganku, mengisyaratkan untuk memasukkan kembali dompet yang sudah ku keluarkan. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, saat kami berebut menggunakan kamar mandi, "Cepet donk!" Suara temanku yang lain, terdengar nyaring di luar pintu. "Makanya mandi lebih awal," balasku sambil melangkah keluar, di sambut dengan wajahnya yang cemberut. Aku mengatakan itu, karena dia ada di mess seharian. Setelah mandi, aku duduk di depan kaca untuk merias diri. Aku sempat melirik ke arah Tracy yang mondar-mandir keluar, masuk kamar, "Nyari apa, Tres?" tanyaku penasaran. Tracy menoleh ke arahku sambil menjawab, "Stocking gua yang bolong-bolon
Pagi yang cerah menyambutku, secerah senyum seseorang di depanku.Aku mengangguk padanya sebelum masuk ke dalam mobil yang sudah siap.Minivan Putih membawaku, Miles, dua orang teman, salah satu asistenku dengan seorang driver juga barang perlengkapan kami ke tempat tujuan.Aku melirik mereka yang santai menyandarkan tubuh pada sandaran kursi mobil. Sementara aku merasa sedikit gelisah duduk di samping Miles yang mulai sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku.Bagaimana bisa makhluk setampan ini adalah seorang wanita?Bibirnya yang merah alami terlihat menggoda, tampak sedikit glossy oleh sentuhan lip balm. Tanpa sengaja aku menggigit bibirku sendiri.“Hmm ...?” Orang yang sedang ku perhatikan tiba-tiba membuka mata. Dia tersenyum menangkap expresi kagetku yang membuang muka.Asistenku melihat itu, entah sengaja atau tidak. Dia ikut tersenyum menggodaku yang ku balas dengan tatapan mengancam, membuatnya cekikikan.Seiring mobil
Langit cerah siang hari. Semilir angin menggoyangkan pucuk dedaunan di pohon.Aku berjalan di atas pasir di tepi pantai, mengabadikan keindahan alam dengan kamera kecilku.Beberapa orang berbeda usia terlihat sedang bermain pasir. Semuanya tak luput dari pandanganku.“Ahhh, segarnya!” manisnya air kelapa murni menyegarkan tenggorokanku setelah cukup lama berjalan.Mataku kembali menyapu sekeliling. Sesekali rambut panjangku berkibar di terpa angin.“Di sini selalu ramai seperti ini ya, Bang?”“Iya, mbak. Apalagi kalau liburan.”Seorang pria muda pemilik kedai kecil, beberapa kali aku melirik ke arahnya, ‘Manis,’ gumamku. Bibir tipis yang terlihat seksi menurutku apalagi saat tersenyum sempat mengalihkan fokus hingga aku ingin melirik terus.Ini kali pertama aku ke pantai ini, sepertinya aku akan sering ke sini nanti.“Halo,” ucapku menyapa seseorang di telpon.
Toyota yaris berwarna merah favoritku berhenti di pinggir jalan tepat di depan studio foto di tengah kota.Aku mengambil tas ransel besar di dalamnya dan keluar dari mobil itu, lalu berdiri untuk menatap bangunan studio dari depan.Inilah kehidupanku sekarang, menjadi fotografer lepas dan usaha kecil-kecilan. Pekerjaan seperti ini tak pernah terbayang akan aku jalani sebelumnya. Semua datang dengan tiba-tiba. Berawal dari kejadian aku meratapi kesedihanku atas pernikahan Jinan dulu itu.“Bayangkan ada yang lebih baik dari Jinan. Datang menghampiri dan menyambut lu, mendekap lu dengan penuh cinta.”Tracy mengucapkan itu dengan mendorong pelan tangan kanannya, lalu menarik kembali menempelkan didada. Matanya mengecil dengan bibir menciut sexy, di akhiri dengan helaan napas dan memejamkan mata. Aku melirik geli ke arahnya dan kembali menangis kencang.“Nggak! Pokoknya gua cuma mau Jinan!”“Yee, ya udah sana ke ka
“Kamu tahu? Sama saja kamu memberi makan keluargamu dengan uang haram."Kata-kata seperti itu sudah sering aku dengar. Aku hanya malas menanggapi.Aku menutup telinga dan mata, 'Tuhan tahu masalahku!'Aku memang mencari pembenaran pada apa yang aku lakukan. Jika memang aku salah, biar Tuhan yang memutuskan. Mereka yang bahkan tak ada saat aku susah, tak ada hak berkomentar!Aku juga tahu, usiaku tak akan berhenti sampai di situ. Pastinya aku akan menjadi tua dan tak terpakai lagi. Saat ini, saatnya aku mencari uang lebih banyak sebelum datang hari itu. Jika aku berhenti dari pekerjaanku sekarang, memangnya mereka akan membiayai sekolah adikku? Membayar sewa rumah kami? Tidak, kan?Mungkin, itu juga yang membuatku tak mau terlibat kisah cinta lebih dalam lagi ... atau karena hal lain? Entahlah, tak terasa beberapa tahun berlalu, aku tak memiliki kekasih dalam hidupku.‘Jinan ....’ Aku membisikkan namanya di antara
Pemandangan kamar yang berantakan setiap pagi, sudah hal biasa terlihat setiap hari. Sepatu, jaket, tas dan semua yang kami pakai malam harinya, berserak di sekitar tempat tidur. Masih dengan posisi tidur, aku menarik bulu mata palsu yang masih menempel di muka. Bisa di bayangkan betapa joroknya kami, tapi mau bagaimana lagi? Bisa pulang dan tidur di atas kasur ini saja sudah seperti anugrah, setelah mabuk yang membuat kami bahkan tak bisa berdiri di kaki sendiri. Aku menyerosot turun sampai kakiku menyentuh lantai untuk bangun. Lalu, menyenderkan kepalaku pada pinggiran kasur. "Tracy! tres! ... Oh tres!" Aku mulai berteriak-teriak memanggil temanku, yang ku kira masih tidur disitu. Di kasur besar ini, dalam satu kamar, kami tidur bersama. Namun, orang yang ku panggil namanya tak memberi jawaban. Saat itu aku paksakan untuk membuka mata, ternyata dia tak ikut pulang semalam. "Woy, bangun! Bangun, bangun!" Melihat du
"Balik, yuk!" Suara itu kembali menyadarkanku. Tracy, temanku itu mungkin sudah bosan dengan apa yang di lihatnya. Aku mengangguk seraya bangkit dari tempat duduk. Kami berdua berjalan beriringan menuju kasir. Setelah sampai, aku membuka tas untuk mengambil dompet, "Gua yang bayar," ucapnya sambil menepis tanganku, mengisyaratkan untuk memasukkan kembali dompet yang sudah ku keluarkan. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, saat kami berebut menggunakan kamar mandi, "Cepet donk!" Suara temanku yang lain, terdengar nyaring di luar pintu. "Makanya mandi lebih awal," balasku sambil melangkah keluar, di sambut dengan wajahnya yang cemberut. Aku mengatakan itu, karena dia ada di mess seharian. Setelah mandi, aku duduk di depan kaca untuk merias diri. Aku sempat melirik ke arah Tracy yang mondar-mandir keluar, masuk kamar, "Nyari apa, Tres?" tanyaku penasaran. Tracy menoleh ke arahku sambil menjawab, "Stocking gua yang bolong-bolon
Sejak itu, aku tak ingin memberi kesempatan pria manapun untuk melukai hatiku. Jika perlu aku yang membuat mereka terluka. Apalagi aku memiliki teman yang sepemikiran denganku saat itu, membuatku merasa apa yang ku lakukan benar. Kembali pada saat di mana temanku masih curhat di dalam Restoran. Tiba-tiba, aku tak mendengar lagi suaranya. Menoleh ke arahnya, ternyata dia sedang asik memperhatikan seseorang yang berdiri di pinggir kolam dengan celana renangnya. Tubuh tinggi tegap, dengan otot menyembul di beberapa bagian tubuhnya. Dia memang suka pria yang seperti itu, "Cowok kayak gitu, keliatan jantan banget di tempat tidur!" ucap temanku yang masih ku ingat. Tak sadar aku mengernyitkan dahi, masih dengan memperhatikan pria itu. 'Ck,' Aku berdecak dan memalingkan pandangan darinya. Nggak ada bagus-bagusnya, menurutku. Entah kenapa, definisi seksi seorang pria menurutku bukan itu. Menurutku, pria seksi terlihat dari kecerdasannya. Aku m
"Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??"Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya.Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Ruma
Hari berganti hari hingga bulan. Sikapku itu membuatku akhirnya mendapat teguran dari keluarga.Aku hanya bisa terdiam mendengar semua nasihat yang mereka ucapkan untukku. Rasanya ingin menangis dan berteriak, menyalahkan keadaan yang tak seperti ku inginkan. Dalam hati masih ada keinginan untuk menjalani hari dengan normal. Pergi beribadah seperti yang mereka inginkan. Hanya saja, perasaan tidak layak untuk berada disana sangat kuat. Aku merasa kotor dan menjijikan. Setiap kali berdoa, aku merasa seperti seorang munafik.Nasihat demi nasihat berlalu tanpa ada yang ku lakukan. Dalam hatiku, tak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku saat itu. Tentu saja karna aku memang tak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku.Lalu, aku memutuskan untuk bekerja pada sebuah warnet. Dimana aku mengambil shift malam yang membuatku berfikir, itu bisa jadi alasanku untuk tak perlu pulang dan bertemu dengan keluarga di rumah.Awalnya aku merasa kembali semua