Beranda / Romansa / Kiki's Journey / SAAT AKU MULAI LELAH.

Share

SAAT AKU MULAI LELAH.

Penulis: Rut Brielle
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Satu tahun berlalu tanpa ada kabar dari Mama.

Aku mulai merasakan seperti di buang. Ada rasa sesal terkadang datang, andai dulu aku tetap bersama Kakekku.

Tiba-tiba rasa rindu menyapa, aku menangis mengingat wajah mereka berdua. Kelembutan Kakek yang masih terasa meski jarak telah begitu jauhnya membuatku meneteskan air mata.

Adik kecilku menghampiri, menggelayut pada pundakku. Aku menarik badannya ke dalam pelukanku. Air mata tumpah, tangisku pecah.

Anak sekecil ini sudah harus merasakan sulitnya hidup. Aku gendong hingga Dia terlelap. Di atas tempat tidur, aku meletakkan tubuh kecilnya dan kami tidur bersama.

Pagi ini, kami berdua sudah selesai mandi. Aku sudah siap menggendongnya untuk pergi ke Sekolah.

Di tengah pelajaran, terdengar suara tangis Adikku yang keras. Pagi tadi badannya memang terasa panas. Aku berlari ke ruang Guru untuk menenangkan Adikku. Ibu Guru yang biasa menemaninya sedang tak ada disana.

Tak lama kemudian, Bu Guru yang lain masuk ke ruangan.

"Adeknya kenapa, Ki?" Tanya Bu Guru.

Aku yang gagal menenangkan Adikku, jadi ikut menangis juga.

"Badannya panas, Bu," Jawabku pada Bu Guru yang sudah mengambilnya dari pangkuanku.

Rasanya ingin menangis saja, hatiku terasa sakit. Aku menoleh ke arah kelas dimana teman-temanku sedang melihat kearahku dari dalam. Kemudian aku menunduk dan menghapus air mataku.

"Kamu kembali ke kelas saja, biar Ibu yang jaga Adikmu," Suara Bu Guru yang tegas tapi lembut, terdengar dari mulut wanita separuh baya yang duduk di depanku. Aku mengangguk dan menitipkan adikku padanya.

Sampai di kelas, aku berjalan menunduk menuju tempat dudukku. Aku tau, beberapa mata mereka masih tertuju padaku.

Bulan demi bulan berlalu, Guru dan Kepala Sekolah tak pernah menyinggung tentang uang Sekolah. Hanya pernah bertanya tentang kabar Mama dan Papa, yang aku jawab tak ada kabarnya.

Ada kala ... rasanya aku ingin berhenti Sekolah, tapi, aku sangat suka belajar.

Bulan berikutnya, saat kami tiba di rumah setelah bekerja. Aku melihat Mama sedang mengobrol dengan perempuan tua itu.

"Mama!" Teriakku memanggilnya.

Aku berlari sambil menggendong Adikku yang terlihat senang melihat Mama pulang. Mama langsung meraihnya dalam gendongan, dan memelukku. 

"Maen dimana? dari siang baru pulang," perempuan tua itu bertanya seakan tidak tau.

Tanpa kata, aku menjawabnya menggunakan jari telunjukku yang ku arahkan asal-asalan.

Sebenarnya di Rumah ini bukan hanya ada kami bertiga. Anak dari Adiknya Papa juga ada. Salah satunya seumuran dan sekelas denganku di Sekolah. Hanya saja perlakuan yang mereka dapat berbeda dengan kami.

Mungkin karena Ibunya selalu memberinya uang. Berbeda dengan Papa yang hampir selalu tak punya Pekerjaan, dan hanya mengandalkan uang dari kerja Mama yang seringnya hampir tak pernah ada sisa setiap bulannya.

Aku duduk di samping Mamaku, mengambil cemilan yang Mama bawa dari Jakarta dan memasukan kemulutku.

"Enak ya, Ki. Nanti kalau Mamaku pulang, aku mau minta beliin itu juga sama Mama," ujar sepupu tiriku. Aku membalasnya dengan lirikan sinis. Tidak di sekolah, tidak di rumah. Aku tetap tidak menyukainya.

Mama tiduran di atas kasur saat aku masuk ke kamar. Adik kecilku tengah memeluknya.

Aku memilih duduk di kursi kayu dalam kamar, menunggu kata-kata apa yang akan terucap dari mulut Mama, 'Bukan kah, seharusnya Dia mengatakan sesuatu?' gumamku.

Beberapa menitpun berlalu, aku mulai jengah menunggu kata-kata yang tak kunjung terucap itu.

"Ma,"

Mama mengalihkan pandangannya ke arahku, "hmm?" jawabnya.

"Mama berapa lama disini?" 

"Kenapa?" Dia mengatakan itu sambil membalikkan badannya dan bangun. Dia duduk di sisi kasur dan menghadap kearahku.

"Kiki, gak betah disini, ya?" tanya Mama.

Aku menjawab dengan mengangguk pelan.

"Nanti Mama ke Sekolah dulu, untuk selesein tunggakan uang sekolahmu," Lanjutnya, "Setelah itu ... besok aja di omongin. Kita tidur dulu, yuk?" 

Sekali lagi aku mengangguk, kemudian berdiri dan naik ke tempat tidur.

Sayup-sayup aku mendengar suara orang ngobrol dari dapur.

Aku sendiri baru akan bangun dari tempat tidur. Aku berjalan pelan ke arah suara itu. 

Ada Mama dan perempuan tua itu di sana.

"Nah, akhirnya bangun," celetuk perempuan tua itu.

Dia menyodorkan segelas teh manis hangat kearahku. Kemudian terdengar suara Mama melarangnya.

"Jangan Mak, biar dia mandi dulu," 

"Jam berapa ini baru bangun, Ki? Bangun lebih pagi lagi, bantu Nenek di dapur. Masa Nenek yang harus buatin minuman buat kamu?!" omelnya.

Dalam hati aku menggerutu, entah sejak kapan perempuan tua itu membuatkan minuman untukku? Setiap pagi aku mengurus semuanya sendiri. Dasar munafik! 

Sikapnya itu membuatku semakin tak menyukainya. Entah apa yang sudah di katakan pada Mama. Aku hanya merasa Mama seperti berada di pihaknya. Tanpa berkata lagi, aku meninggalkan mereka berdua dan pergi ke kamar mandi.

Selesai mandi, Mama mengurus Adikku yang di bantu perempuan tua itu untuk pergi ke Sekolahku nanti. Aku memicingkan mataku melihat kearah mereka dengan sinis. Mual rasanya. Sepupu tiriku juga ada disana, mencoba menggoda Adikku untuk bercanda dengannya.

Aku melengos melewati mereka menuju kamar. Melempar handuk ke atas kasur sesampainya di dalam.

Mulutku monyong-monyong menirukan perkataan mereka yang sok manis di luar. Jijik!

Aku berada di koridor menuju kelas. Saat sekilas terlihat Mama menangis di kantor Kepala Sekolah. Dia menunduk sambil mendekap Adikku di atas pangkuannya. Aku penasaran, apa yang mereka bicarakan. Namun, Bel sudah berbunyi tadi dan aku harus segera masuk kelas.

Saat waktu pulang Sekolah. Mama dan Adikku tak ada lagi, "Sudah pulang duluan tadi," Kata Bu Guru yang berada disitu. Akupun langsung menuju pintu gerbang Sekolah dan pulang.

Di kamar, Mama menangis sambil melipat baju, memasukkannya ke dalam tas. Dia menyuruhku untuk makan semangkuk mie instan rebus lengkap dengan telurnya, yang sudah ada di dalam kamar.

"Abisin makanannya! biar susah begini, kalo cuma mie instan aja. Mama masih mampu beliin!"

Nada tinggi dengan suara keras, seperti sengaja dia lakukan agar seseorang bisa mendengarnya. Dengan bingung, aku mengambil mangkok itu dan langsung memakannya tanpa mengganti pakaianku dulu. Sesekali aku melirik kearah Mamaku yang masih menangis sambil melipat baju dan mengoceh. Aku tak berani bertanya.

Selesai makan, aku keluar kamar membawa mangkok kosong di tanganku. Secara kebetulan sepupu tiriku keluar juga dari kamar Neneknya. Membawa beberapa mangkok kosong dan baskom kecil di tangannya, Dan menyapa.

"Ehh, Kiki makan mie juga, ya? Aku juga, enak loh!"

Aku tak menghiraukannya, 'Dasar tukang pamer!' gumamku.

Aku sudah mengganti pakaianku, dan akan pergi ke rumah tetangga yang biasa mengajakku mencari sayuran untuk di jualnya.

"Kemana, Ki?!" 

Mama sudah berdiri di ambang pintu kamar, dengan gorden yang tersingkap di tangannya.

"Pulang Sekolah jangan keluyuran aja! Belajar, jagain Adiknya! Jangan maen terus!" 

Aku menghentikan langkahku. Masih bingung, 'Apaan, sih??' gerutuku. Akhirnya dengan malas aku menghampirinya dan masuk ke kamar.

Bab terkait

  • Kiki's Journey   MELEKAT DALAM INGATAN, SAMPAI MATI

    "Lagi ngapain, Lu?" Suara temanku menyapa sambil mencolek pundakku dari belakang. "Nggak ada, bengong aja," Jawabku, "Mau kemana, Lu?" "Mau nyari makan gua, ikut gak, Lu? Kemaren malem gua pergi ama tamu gua. Makanan disitu enak-enak semua, Kiki!" Expresi gemas dia tunjukan sambil mengatakan itu. Belum sempat aku menjawab, kata-katanya sudah keluar lagi. "Beneran ikh, hayukk! Kalo lu ikut, kita pergi kesana. Kalo lu gak mau, gua cari makan deket-deket sini aja," sambungnya. "Lah, kenapa harus gua ikut baru kesana??" "Ikh Lu, mah. Tempatnya lumayan jauh. Tapi seru tau! Pemandangannya bagus. Bisa sekalian cuci mata Lu, mah. Daripada Lu bengong-bengong gitu. Hayukk, Ki!" ucapnya penuh semangat. "Yowes, ganti baju dulu," "Ho oh, gua tunggu depan, ya!" Temanku yang satu itu, memang suka banget jalan keluar. Di kota manapun yang kami datangi, hampir semua tempat seru dan asik buat menikmati suasana dia

  • Kiki's Journey   HANYA AKU YANG MENGERTI RASA INI

    Setelah sadar, aku berada di salah satu rumah warga, dikerumuni banyak orang yang entah hanya ingin melihatku, atau ada maksud lain ... aku tak tau. Beberapa dari mereka ada yang bertanya tentang keluarga, dan tinggal dimana mereka. Beberapa orang lagi, bertanya tentang ciri-ciri orang yang bersamaku malam itu, dan bagaimana aku bisa bersamanya. Kepalaku terasa sakit saat berusaha mengingat dan menjelaskan kepada mereka semua. "Sudah, biarkan anak ini istirahat."Sang pemilik rumah yang menyadari keadaanku, meminta kerumunan orang itu untuk tak terus mendesakku. Dia memapahku ke kamar, mendudukanku di atas ranjang anaknya yang sudah tak tinggal di rumah itu. "Sini, tiduran. Istirahat,” ucapnya sambil menepuk bantal yang selesai di rapihkan. Aku menuruti perkataannya. "Ibu, buatkan teh hangat, ya?" sambungnya lagi. Dengan mengangguk perlahan, aku mengiyakan tawarannya. Dan, dia beranjak pergi keluar kamar. S

  • Kiki's Journey   SEPARAH ITU.

    Seseorang duduk di belakang meja, menghadapku yang duduk sendirian di depannya. Sebuah pulpen di tangan dan selembar kertas di atas meja.Aku menyapu sekeliling ruangan dengan mataku. Tampak beberapa orang dengan seragam ada disana. Terlihat juga dua orang yang tadi membawaku ke tempat ini.Salah satu dari mereka kemudian menghampiri, dengan segelas minuman di tangannya. Minuman itu lalu di letakkannya di atas meja di depanku, dan berkata,"Ini di minum dulu."Aku melirik ke arah dalam gelas itu, mencium aroma wangi teh hangat yang keluar bersama kepulan uap panasnya."Jadi, siapa namamu?" Tanya orang yang duduk di depanku.Aku masih takut menatapnya. Dengan menunduk aku menjawab pertanyaan itu, dan juga pertanyaan lainnya.Setelah itu, aku meraih gelas di depanku dan meminum isinya perlahan-lahan, dan kembali menundukkan kepala. Hingga sesi tanya jawab berakhir juga.Di depan sebuah rumah sederhana, disitulah aku

  • Kiki's Journey   SESEORANG YANG LAIN.

    Hari berganti hari hingga bulan. Sikapku itu membuatku akhirnya mendapat teguran dari keluarga.Aku hanya bisa terdiam mendengar semua nasihat yang mereka ucapkan untukku. Rasanya ingin menangis dan berteriak, menyalahkan keadaan yang tak seperti ku inginkan. Dalam hati masih ada keinginan untuk menjalani hari dengan normal. Pergi beribadah seperti yang mereka inginkan. Hanya saja, perasaan tidak layak untuk berada disana sangat kuat. Aku merasa kotor dan menjijikan. Setiap kali berdoa, aku merasa seperti seorang munafik.Nasihat demi nasihat berlalu tanpa ada yang ku lakukan. Dalam hatiku, tak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku saat itu. Tentu saja karna aku memang tak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku.Lalu, aku memutuskan untuk bekerja pada sebuah warnet. Dimana aku mengambil shift malam yang membuatku berfikir, itu bisa jadi alasanku untuk tak perlu pulang dan bertemu dengan keluarga di rumah.Awalnya aku merasa kembali semua

  • Kiki's Journey   TERAKHIR KALINYA.

    "Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??"Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya.Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Ruma

  • Kiki's Journey   NAPSU BIRAHI

    Sejak itu, aku tak ingin memberi kesempatan pria manapun untuk melukai hatiku. Jika perlu aku yang membuat mereka terluka. Apalagi aku memiliki teman yang sepemikiran denganku saat itu, membuatku merasa apa yang ku lakukan benar. Kembali pada saat di mana temanku masih curhat di dalam Restoran. Tiba-tiba, aku tak mendengar lagi suaranya. Menoleh ke arahnya, ternyata dia sedang asik memperhatikan seseorang yang berdiri di pinggir kolam dengan celana renangnya. Tubuh tinggi tegap, dengan otot menyembul di beberapa bagian tubuhnya. Dia memang suka pria yang seperti itu, "Cowok kayak gitu, keliatan jantan banget di tempat tidur!" ucap temanku yang masih ku ingat. Tak sadar aku mengernyitkan dahi, masih dengan memperhatikan pria itu. 'Ck,' Aku berdecak dan memalingkan pandangan darinya. Nggak ada bagus-bagusnya, menurutku. Entah kenapa, definisi seksi seorang pria menurutku bukan itu. Menurutku, pria seksi terlihat dari kecerdasannya. Aku m

  • Kiki's Journey   SEXY DANCER.

    "Balik, yuk!" Suara itu kembali menyadarkanku. Tracy, temanku itu mungkin sudah bosan dengan apa yang di lihatnya. Aku mengangguk seraya bangkit dari tempat duduk. Kami berdua berjalan beriringan menuju kasir. Setelah sampai, aku membuka tas untuk mengambil dompet, "Gua yang bayar," ucapnya sambil menepis tanganku, mengisyaratkan untuk memasukkan kembali dompet yang sudah ku keluarkan. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, saat kami berebut menggunakan kamar mandi, "Cepet donk!" Suara temanku yang lain, terdengar nyaring di luar pintu. "Makanya mandi lebih awal," balasku sambil melangkah keluar, di sambut dengan wajahnya yang cemberut. Aku mengatakan itu, karena dia ada di mess seharian. Setelah mandi, aku duduk di depan kaca untuk merias diri. Aku sempat melirik ke arah Tracy yang mondar-mandir keluar, masuk kamar, "Nyari apa, Tres?" tanyaku penasaran. Tracy menoleh ke arahku sambil menjawab, "Stocking gua yang bolong-bolon

  • Kiki's Journey   KELUARGAKU, SEGALANYA.

    Pemandangan kamar yang berantakan setiap pagi, sudah hal biasa terlihat setiap hari. Sepatu, jaket, tas dan semua yang kami pakai malam harinya, berserak di sekitar tempat tidur. Masih dengan posisi tidur, aku menarik bulu mata palsu yang masih menempel di muka. Bisa di bayangkan betapa joroknya kami, tapi mau bagaimana lagi? Bisa pulang dan tidur di atas kasur ini saja sudah seperti anugrah, setelah mabuk yang membuat kami bahkan tak bisa berdiri di kaki sendiri. Aku menyerosot turun sampai kakiku menyentuh lantai untuk bangun. Lalu, menyenderkan kepalaku pada pinggiran kasur. "Tracy! tres! ... Oh tres!" Aku mulai berteriak-teriak memanggil temanku, yang ku kira masih tidur disitu. Di kasur besar ini, dalam satu kamar, kami tidur bersama. Namun, orang yang ku panggil namanya tak memberi jawaban. Saat itu aku paksakan untuk membuka mata, ternyata dia tak ikut pulang semalam. "Woy, bangun! Bangun, bangun!" Melihat du

Bab terbaru

  • Kiki's Journey   DALAM HIDUP ADA PILIHAN

    Pagi yang cerah menyambutku, secerah senyum seseorang di depanku.Aku mengangguk padanya sebelum masuk ke dalam mobil yang sudah siap.Minivan Putih membawaku, Miles, dua orang teman, salah satu asistenku dengan seorang driver juga barang perlengkapan kami ke tempat tujuan.Aku melirik mereka yang santai menyandarkan tubuh pada sandaran kursi mobil. Sementara aku merasa sedikit gelisah duduk di samping Miles yang mulai sedikit memiringkan tubuhnya ke arahku.Bagaimana bisa makhluk setampan ini adalah seorang wanita?Bibirnya yang merah alami terlihat menggoda, tampak sedikit glossy oleh sentuhan lip balm. Tanpa sengaja aku menggigit bibirku sendiri.“Hmm ...?” Orang yang sedang ku perhatikan tiba-tiba membuka mata. Dia tersenyum menangkap expresi kagetku yang membuang muka.Asistenku melihat itu, entah sengaja atau tidak. Dia ikut tersenyum menggodaku yang ku balas dengan tatapan mengancam, membuatnya cekikikan.Seiring mobil

  • Kiki's Journey   HANDSOME GIRL

    Langit cerah siang hari. Semilir angin menggoyangkan pucuk dedaunan di pohon.Aku berjalan di atas pasir di tepi pantai, mengabadikan keindahan alam dengan kamera kecilku.Beberapa orang berbeda usia terlihat sedang bermain pasir. Semuanya tak luput dari pandanganku.“Ahhh, segarnya!” manisnya air kelapa murni menyegarkan tenggorokanku setelah cukup lama berjalan.Mataku kembali menyapu sekeliling. Sesekali rambut panjangku berkibar di terpa angin.“Di sini selalu ramai seperti ini ya, Bang?”“Iya, mbak. Apalagi kalau liburan.”Seorang pria muda pemilik kedai kecil, beberapa kali aku melirik ke arahnya, ‘Manis,’ gumamku. Bibir tipis yang terlihat seksi menurutku apalagi saat tersenyum sempat mengalihkan fokus hingga aku ingin melirik terus.Ini kali pertama aku ke pantai ini, sepertinya aku akan sering ke sini nanti.“Halo,” ucapku menyapa seseorang di telpon.

  • Kiki's Journey   BEBERAPA TAHUN KEMUDIAN

    Toyota yaris berwarna merah favoritku berhenti di pinggir jalan tepat di depan studio foto di tengah kota.Aku mengambil tas ransel besar di dalamnya dan keluar dari mobil itu, lalu berdiri untuk menatap bangunan studio dari depan.Inilah kehidupanku sekarang, menjadi fotografer lepas dan usaha kecil-kecilan. Pekerjaan seperti ini tak pernah terbayang akan aku jalani sebelumnya. Semua datang dengan tiba-tiba. Berawal dari kejadian aku meratapi kesedihanku atas pernikahan Jinan dulu itu.“Bayangkan ada yang lebih baik dari Jinan. Datang menghampiri dan menyambut lu, mendekap lu dengan penuh cinta.”Tracy mengucapkan itu dengan mendorong pelan tangan kanannya, lalu menarik kembali menempelkan didada. Matanya mengecil dengan bibir menciut sexy, di akhiri dengan helaan napas dan memejamkan mata. Aku melirik geli ke arahnya dan kembali menangis kencang.“Nggak! Pokoknya gua cuma mau Jinan!”“Yee, ya udah sana ke ka

  • Kiki's Journey   SADIS

    “Kamu tahu? Sama saja kamu memberi makan keluargamu dengan uang haram."Kata-kata seperti itu sudah sering aku dengar. Aku hanya malas menanggapi.Aku menutup telinga dan mata, 'Tuhan tahu masalahku!'Aku memang mencari pembenaran pada apa yang aku lakukan. Jika memang aku salah, biar Tuhan yang memutuskan. Mereka yang bahkan tak ada saat aku susah, tak ada hak berkomentar!Aku juga tahu, usiaku tak akan berhenti sampai di situ. Pastinya aku akan menjadi tua dan tak terpakai lagi. Saat ini, saatnya aku mencari uang lebih banyak sebelum datang hari itu. Jika aku berhenti dari pekerjaanku sekarang, memangnya mereka akan membiayai sekolah adikku? Membayar sewa rumah kami? Tidak, kan?Mungkin, itu juga yang membuatku tak mau terlibat kisah cinta lebih dalam lagi ... atau karena hal lain? Entahlah, tak terasa beberapa tahun berlalu, aku tak memiliki kekasih dalam hidupku.‘Jinan ....’ Aku membisikkan namanya di antara

  • Kiki's Journey   KELUARGAKU, SEGALANYA.

    Pemandangan kamar yang berantakan setiap pagi, sudah hal biasa terlihat setiap hari. Sepatu, jaket, tas dan semua yang kami pakai malam harinya, berserak di sekitar tempat tidur. Masih dengan posisi tidur, aku menarik bulu mata palsu yang masih menempel di muka. Bisa di bayangkan betapa joroknya kami, tapi mau bagaimana lagi? Bisa pulang dan tidur di atas kasur ini saja sudah seperti anugrah, setelah mabuk yang membuat kami bahkan tak bisa berdiri di kaki sendiri. Aku menyerosot turun sampai kakiku menyentuh lantai untuk bangun. Lalu, menyenderkan kepalaku pada pinggiran kasur. "Tracy! tres! ... Oh tres!" Aku mulai berteriak-teriak memanggil temanku, yang ku kira masih tidur disitu. Di kasur besar ini, dalam satu kamar, kami tidur bersama. Namun, orang yang ku panggil namanya tak memberi jawaban. Saat itu aku paksakan untuk membuka mata, ternyata dia tak ikut pulang semalam. "Woy, bangun! Bangun, bangun!" Melihat du

  • Kiki's Journey   SEXY DANCER.

    "Balik, yuk!" Suara itu kembali menyadarkanku. Tracy, temanku itu mungkin sudah bosan dengan apa yang di lihatnya. Aku mengangguk seraya bangkit dari tempat duduk. Kami berdua berjalan beriringan menuju kasir. Setelah sampai, aku membuka tas untuk mengambil dompet, "Gua yang bayar," ucapnya sambil menepis tanganku, mengisyaratkan untuk memasukkan kembali dompet yang sudah ku keluarkan. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, saat kami berebut menggunakan kamar mandi, "Cepet donk!" Suara temanku yang lain, terdengar nyaring di luar pintu. "Makanya mandi lebih awal," balasku sambil melangkah keluar, di sambut dengan wajahnya yang cemberut. Aku mengatakan itu, karena dia ada di mess seharian. Setelah mandi, aku duduk di depan kaca untuk merias diri. Aku sempat melirik ke arah Tracy yang mondar-mandir keluar, masuk kamar, "Nyari apa, Tres?" tanyaku penasaran. Tracy menoleh ke arahku sambil menjawab, "Stocking gua yang bolong-bolon

  • Kiki's Journey   NAPSU BIRAHI

    Sejak itu, aku tak ingin memberi kesempatan pria manapun untuk melukai hatiku. Jika perlu aku yang membuat mereka terluka. Apalagi aku memiliki teman yang sepemikiran denganku saat itu, membuatku merasa apa yang ku lakukan benar. Kembali pada saat di mana temanku masih curhat di dalam Restoran. Tiba-tiba, aku tak mendengar lagi suaranya. Menoleh ke arahnya, ternyata dia sedang asik memperhatikan seseorang yang berdiri di pinggir kolam dengan celana renangnya. Tubuh tinggi tegap, dengan otot menyembul di beberapa bagian tubuhnya. Dia memang suka pria yang seperti itu, "Cowok kayak gitu, keliatan jantan banget di tempat tidur!" ucap temanku yang masih ku ingat. Tak sadar aku mengernyitkan dahi, masih dengan memperhatikan pria itu. 'Ck,' Aku berdecak dan memalingkan pandangan darinya. Nggak ada bagus-bagusnya, menurutku. Entah kenapa, definisi seksi seorang pria menurutku bukan itu. Menurutku, pria seksi terlihat dari kecerdasannya. Aku m

  • Kiki's Journey   TERAKHIR KALINYA.

    "Heh! Bengong lagi, lu. Denger nggak, sih, gua ngomong??"Suara cempreng temanku, membawaku kembali dari masa lalu.Aku tersenyum padanya, "Denger," ucapku.Dia melanjutkan ceritanya lagi. Saat itu, meski kembali mengingat masa lalu yang menyedihkan. Tak lagi membuatku menjadi sedih. Mungkin, karena aku sudah melewati dan menerima semuanya.Walaupun kejadian yang berbeda, tapi sama pahitnya masih ku alami setelahnya.Sempat aku menjadi perempuan yang mati rasa. Aku sempat salah langkah, menjadikan semua pria lain yang menyukaiku, sebagai pelampiasan sakit hati pada pria-pria yang telah menyakitiku dulu.Hingga suatu hari aku bertemu seseorang yang ternyata tak seperti yang ku bayangkan.Pria itu sangat tulus padaku, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya mencintai dia, karena trauma.Kemudian, aku belajar berubah untuknya. Dia menemaniku untuk mengobati luka hati, dengan mendatangi seorang psikiater di salah satu Ruma

  • Kiki's Journey   SESEORANG YANG LAIN.

    Hari berganti hari hingga bulan. Sikapku itu membuatku akhirnya mendapat teguran dari keluarga.Aku hanya bisa terdiam mendengar semua nasihat yang mereka ucapkan untukku. Rasanya ingin menangis dan berteriak, menyalahkan keadaan yang tak seperti ku inginkan. Dalam hati masih ada keinginan untuk menjalani hari dengan normal. Pergi beribadah seperti yang mereka inginkan. Hanya saja, perasaan tidak layak untuk berada disana sangat kuat. Aku merasa kotor dan menjijikan. Setiap kali berdoa, aku merasa seperti seorang munafik.Nasihat demi nasihat berlalu tanpa ada yang ku lakukan. Dalam hatiku, tak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku saat itu. Tentu saja karna aku memang tak pernah menceritakan kejadian buruk yang menimpaku.Lalu, aku memutuskan untuk bekerja pada sebuah warnet. Dimana aku mengambil shift malam yang membuatku berfikir, itu bisa jadi alasanku untuk tak perlu pulang dan bertemu dengan keluarga di rumah.Awalnya aku merasa kembali semua

DMCA.com Protection Status