POV Fanny. Perjalanan kembali ke rumah terasa panjang dan hening. Veronica sesekali mencuri pandang ke arah Badril, ekspresinya campuran antara khawatir dan penasaran. Anggun fokus mengendalikan kereta kuda, tapi aku bisa merasakan ketegangan di balik sikapnya yang tenang. Sesampainya di rumah, aku segera membantu Badril turun dari kereta. Dia masih tampak lemas, tapi berusaha untuk tidak menunjukkannya. "Kau perlu istirahat, Badril," kataku sambil menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Ya, kau benar," jawabnya dengan suara serak. Aku membawanya ke kamarku dan membantunya berbaring di tempat tidur. Dia langsung memejamkan mata, tampaknya kelelahan telah mencapai puncaknya. Aku menatapnya sejenak, lalu perlahan meninggalkan kamar. Aku perlu memberi tahu keluargaku tentang apa yang terjadi, dan aku juga harus mencari cara untuk... Ah, tapi mungkin Badril ingin merahasiakannya dulu. Aku tidak boleh melanggar kepercayaannya. Aku menemukan keluargaku di ruang keluarga, bersama Ver
Kereta kuda keluarga Valerian berhenti di depan gerbang kediaman mereka. Reiner Valerian melompat turun, disambut oleh Teresa dan para pelayan yang membungkuk hormat."Selamat datang kembali, Tuan," sapa kepala pelayan dengan ramah."Terima kasih, Sebastian," jawab Reiner sambil melemparkan senyum lelah. Perjalanan dari Jatih cukup melelahkan, meski ia puas dengan hasil perjalanan bisnisnya."Bagaimana perjalananmu, Sayang?" Teresa menghampiri Reiner dengan wajah ceria."Lancar. Kesepakatan dagang dengan saudagar di Jatih berjalan mulus," jawab Reiner sambil mengecup kening istrinya. "Bagaimana kabar Badril? Apakah dia baik-baik saja?"Senyum Teresa sedikit memudar. "Badril baik-baik saja, tapi... ada sedikit insiden di akademi beberapa hari yang lalu."Raut wajah Reiner berubah serius. "Insiden? Insiden apa?"Teresa menceritakan tentang penyerangan yang dialami Badril, Fanny, dan Veronica
Reiner Valerian bukanlah pedagang biasa. Di balik keramahan dan kewibawaannya sebagai saudagar sukses, tersimpan ketajaman naluri dan jaringan informasi yang luas. Ia tidak akan membiarkan putranya terancam bahaya tanpa mencari tahu siapa dalangnya.Penyelidikannya dimulai dengan menghubungi beberapa kenalannya di ibukota. Ia mencari informasi tentang siapa saja yang mungkin memiliki dendam pada keluarga Valerian atau memiliki motif untuk menyerang Badril."Aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan, Reiner," kata seorang informannya, mantan kepala garda kota yang kini mengelola bisnis keamanan. "Keluarga Valerian memiliki reputasi yang baik di ibukota. Kau tidak punya musuh yang cukup berani untuk menyerang keluargamu."Reiner mengerutkan kening. "Lalu bagaimana dengan para penyerang itu? Mereka jelas bukan perampok biasa. Mereka terlalu terlatih dan terorganisir.""Mungkin mereka disewa oleh seseorang yang ingin mencelakai Badril secara pribadi," usul informannya. "Kau tahu, anak
Gerbang Akademi Sihir Trisakti menjulang tinggi di hadapanku, ukiran rumit yang menggambarkan simbol-simbol sihir menghiasi permukaannya. Rasa semangat dan sedikit gugup bercampur di dadaku. Ini adalah awal dari perjalanan baruku di Akademi, sebuah dunia yang selama ini hanya kudengar dari cerita Helen dan buku-buku sihir .Aku melirik Anggun yang berdiri di sampingku. Wajahnya yang tenang dan sikapnya yang tegap membuatku sedikit lebih rileks."Sudah siap, Tuan Muda?" tanyanya dengan senyum lembut."Siap untuk apa?" jawabku dengan nada datar. "Siap untuk dibantai oleh para senior yang sok kuat? Atau siap untuk diberi tugas memindahkan gunung oleh para profesor yang gila hormat?"Anggun terkekeh pelan mendengar ocehanku. "Anda ini ada-ada saja. Tidak akan ada yang memindahkan gunung, kok.""Siapa tahu?" balasku dengan nada dramatis. "Ini kan akademi sihir. Mungkin saja ada ujian praktik yang mengharuskan kita memindahkan gunung den
Aku keluar dari kereta kuda yang mewah itu. Di sampingku berdiri para pengawalku dengan tubuh tegap dan ekspresi penuh hormat. Menatap ke depan, terlihat gerbang akademi yang asing namun familiar. Saat aku melangkah maju, aku melihat sekeliling, banyak siswi yang menatapku dengan ekspresi berbinar di mata mereka. Mungkin dulu aku ingin mendapatkan perhatian dari gadis-gadis cantik ini, tetapi sekarang pikiranku agak kacau. Saat ini wajahku sedang murung, bagaimana tidak saat aku terbangun, aku berada di tempat yang asing, benar saja kawan, inilah transmigrasi yang sering aku lihat di banyak novel. Sebelum transmigrasi, aku berusia 25 tahun, aku anak tunggal, orang tuaku bercerai saat aku masih kecil, ekonomi keluargaku bisa dikatakan pas-pasan, pekerjaanku sebagai satpam bank membuatku cukup sulit untuk mendapatkan gadis yang aku sukai. Walaupun hidupku tak di penuhi dengan kasih sayang, namun aku mempunyai banyak sahabat, yang membuat hidupku tidak seburuk itu, dan aku memp
POV Veronica.Saat aku sedang berjalan di lorong itu, tiba-tiba aku mendengar suara di belakangku, aku berhenti dan menoleh ke belakang, ada seorang laki-laki disana, kalau tidak salah namanya Badril, dia mempunyai wajah yang tampan dengan mata berwarna biru, menatap lurus ke arahku."apakah kamu berbicara padaku?"Aku bertanya kepadanya, tetapi dia hanya menatap wajahku, dan berjalan mendekatiku. Apa yang sedang dilakukan orang ini? Aku minggir untuk memberi jalan tetapi dia terus mendekatiku, tetapi apa yang terjadi selanjutnya membuatku tercengang.Kejadian yang sering aku baca di buku-buku roman itu juga terjadi di depanku, memojokkan si cewek ke tembok dan membantingkan tangannya ke tembok, oh yang benar saja, kataku dengan nada kesal."KAMU SEDANG APA SEKARANG"Tanpa diduga si brengsek itu mendekatkan wajahnya, dengan senyum yang lumayan tampan itu, saat aku hendak mendorongnya, suara lembutnya terdengar di telingaku."Veronica, kamu terlihat sangat cantik hari ini!!"Tubuhku me
BAB 3Jadi setelah membaca beberapa buku di dunia ini, selain sihir, ada juga yang namanya aura. Menurut salah satu buku yang saya baca, aura biasanya digunakan oleh para pendekar yang mengandalkan kemampuan fisik untuk bertarung dengan cara melapisi aura di sekujur tubuh .Penggunaan aura ini dapat meningkatkan kekuatan, daya tahan, dan kecepatan tubuh. Pengguna aura tercatat memiliki empat tingkatan, kuning adalah tingkat pemula, hijau adalah tingkat senior, biru adalah tingkat master, dan aura terkuat adalah merah darah adalah tingkat grandmaster.Sementara itu, mereka yang terlahir dengan sihir akan memiliki ketertarikan bawaan seperti api, air, tanah, dan angin, yang merupakan minat umum bagi para pesulap pemula hingga senior.Akan tetapi, ada pula afinitas langka seperti es, lahar, petir, dan sebagainya, yang membutuhkan tingkat penyihir master hingga grandmaster untuk membangkitkan kekuatan tersebut.Namun, ada juga afinitas yang disebut malapetaka, yaitu cahaya dan kegelapan.
Ruang Kelas. Sekarang kelas terakhirku hari ini, sambil menunggu guru menjelaskan pelajaran tentang bagaimana penyihir bertarung, aku mendengarkan dengan bosan di tempat dudukku. Berpikir tentang percakapanku dengan Fanny dan Veronica di kantin, aku menantikan akhir pekan ini, walaupun aku ingin berlatih dan meningkatkan kendaliku atas kekuatan baruku, nah demi gadis-gadis cantik, aku rela meluangkan waktu. "Dalam dua bulan ke depan, sekolah akan mengadakan turnamen sulap! Dan setiap kelas akan mengirimkan lima perwakilan untuk berpartisipasi," sang guru mengumumkan. “Baiklah, sekarang kita akan pergi ke stadion untuk memilih perwakilan kelas kita.” Setelah selesai berbicara, guru itu segera keluar dari kelas dan menuju stadion. Para siswa berdiri dari tempat duduknya dan mengikuti guru, saya pun berdiri setelah semua orang keluar kelas, berjalan santai di paling belakang, setelah beberapa menit berjalan akhirnya kami sampai di stadion. Stadion itu sangat besar hampir seperti st
Gerbang Akademi Sihir Trisakti menjulang tinggi di hadapanku, ukiran rumit yang menggambarkan simbol-simbol sihir menghiasi permukaannya. Rasa semangat dan sedikit gugup bercampur di dadaku. Ini adalah awal dari perjalanan baruku di Akademi, sebuah dunia yang selama ini hanya kudengar dari cerita Helen dan buku-buku sihir .Aku melirik Anggun yang berdiri di sampingku. Wajahnya yang tenang dan sikapnya yang tegap membuatku sedikit lebih rileks."Sudah siap, Tuan Muda?" tanyanya dengan senyum lembut."Siap untuk apa?" jawabku dengan nada datar. "Siap untuk dibantai oleh para senior yang sok kuat? Atau siap untuk diberi tugas memindahkan gunung oleh para profesor yang gila hormat?"Anggun terkekeh pelan mendengar ocehanku. "Anda ini ada-ada saja. Tidak akan ada yang memindahkan gunung, kok.""Siapa tahu?" balasku dengan nada dramatis. "Ini kan akademi sihir. Mungkin saja ada ujian praktik yang mengharuskan kita memindahkan gunung den
Reiner Valerian bukanlah pedagang biasa. Di balik keramahan dan kewibawaannya sebagai saudagar sukses, tersimpan ketajaman naluri dan jaringan informasi yang luas. Ia tidak akan membiarkan putranya terancam bahaya tanpa mencari tahu siapa dalangnya.Penyelidikannya dimulai dengan menghubungi beberapa kenalannya di ibukota. Ia mencari informasi tentang siapa saja yang mungkin memiliki dendam pada keluarga Valerian atau memiliki motif untuk menyerang Badril."Aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan, Reiner," kata seorang informannya, mantan kepala garda kota yang kini mengelola bisnis keamanan. "Keluarga Valerian memiliki reputasi yang baik di ibukota. Kau tidak punya musuh yang cukup berani untuk menyerang keluargamu."Reiner mengerutkan kening. "Lalu bagaimana dengan para penyerang itu? Mereka jelas bukan perampok biasa. Mereka terlalu terlatih dan terorganisir.""Mungkin mereka disewa oleh seseorang yang ingin mencelakai Badril secara pribadi," usul informannya. "Kau tahu, anak
Kereta kuda keluarga Valerian berhenti di depan gerbang kediaman mereka. Reiner Valerian melompat turun, disambut oleh Teresa dan para pelayan yang membungkuk hormat."Selamat datang kembali, Tuan," sapa kepala pelayan dengan ramah."Terima kasih, Sebastian," jawab Reiner sambil melemparkan senyum lelah. Perjalanan dari Jatih cukup melelahkan, meski ia puas dengan hasil perjalanan bisnisnya."Bagaimana perjalananmu, Sayang?" Teresa menghampiri Reiner dengan wajah ceria."Lancar. Kesepakatan dagang dengan saudagar di Jatih berjalan mulus," jawab Reiner sambil mengecup kening istrinya. "Bagaimana kabar Badril? Apakah dia baik-baik saja?"Senyum Teresa sedikit memudar. "Badril baik-baik saja, tapi... ada sedikit insiden di akademi beberapa hari yang lalu."Raut wajah Reiner berubah serius. "Insiden? Insiden apa?"Teresa menceritakan tentang penyerangan yang dialami Badril, Fanny, dan Veronica
POV Fanny. Perjalanan kembali ke rumah terasa panjang dan hening. Veronica sesekali mencuri pandang ke arah Badril, ekspresinya campuran antara khawatir dan penasaran. Anggun fokus mengendalikan kereta kuda, tapi aku bisa merasakan ketegangan di balik sikapnya yang tenang. Sesampainya di rumah, aku segera membantu Badril turun dari kereta. Dia masih tampak lemas, tapi berusaha untuk tidak menunjukkannya. "Kau perlu istirahat, Badril," kataku sambil menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Ya, kau benar," jawabnya dengan suara serak. Aku membawanya ke kamarku dan membantunya berbaring di tempat tidur. Dia langsung memejamkan mata, tampaknya kelelahan telah mencapai puncaknya. Aku menatapnya sejenak, lalu perlahan meninggalkan kamar. Aku perlu memberi tahu keluargaku tentang apa yang terjadi, dan aku juga harus mencari cara untuk... Ah, tapi mungkin Badril ingin merahasiakannya dulu. Aku tidak boleh melanggar kepercayaannya. Aku menemukan keluargaku di ruang keluarga, bersama Ver
Raungan Anggun memecah kesunyian malam. Bukan raungan seperti singa, tapi lebih seperti raungan badai. Angin berputar di sekelilingnya, membentuk pusaran yang menyedot dedaunan dan debu. Kilatan petir menyambar dari tangannya, menghantam penyerang berjubah hitam yang berusaha mendekat. Terdengar jeritan kesakitan dan bau hangus.Aku memfokuskan pandanganku pada penyerang yang tersisa. Aura hijau yang samar menunjukkan bahwa mereka adalah pendekar pedang level senior. Mereka tangguh, tapi Anggun dengan sihir angin dan petirnya jelas bukan lawan yang mudah. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Para penyerang ini... mereka terlalu bersemangat untuk mati. Seolah-olah mereka hanya pengalih perhatian."Fanny, Veronica! Kalian bisa gunakan sihir untuk melindungi diri, kan?" teriakku, suaraku tajam menembus kegaduhan."Tentu saja!" jawab Veronica, matanya berkilat penuh semangat. "Kami tidak akan tinggal diam saja!"Fanny mengangguk, raut wajahnya berubah serius. Ia mengangkat kedua
Bab 10 Profesor Ivana menghela napas pelan, saat mengambil kertas-kertas tugas dari meja. "Hmm... menarik," gumamku, lebih pada diri sendiri daripada pada siapa pun yang mungkin masih berada di ruangan itu. Mataku tertuju pada salah satu tugas, tulisan tangannya rapi dan tegas. Badril. Sebuah senyuman kecil tersungging di bibirku. "Sepertinya Tuan Badril cukup percaya diri dengan jawabannya," kataku lirih, merasakan kembali sengatan tantangan di matanya. Aku merapikan tumpukan kertas, merasakan debaran jantungku yang belum juga mereda. Badril memang telah mengusik ketenanganku, membangkitkan sesuatu yang sudah lama tertidur dalam diriku. Rasa penasaran, kegembiraan, dan mungkin... sedikit rasa takut. Aku berjalan keluar kelas dengan langkah gontai, pikiran masih dipenuhi oleh sosok Badril. Tantangannya, tatapannya, auranya... semuanya terasa begitu kuat dan memabukkan. Aku harus mengakui, Badril telah berhasil menarik perhatianku, dan aku tidak yakin apa yang harus kulakuka
Di kelas akademi.Menyibakkan rambut panjangnya yang berwarna merah menyala dan tersenyum menggoda Baiklah, mari kita mulai.Berjalan dengan langkah pelan namun penuh percaya diri menuju meja di depan kelas, Profesor Ivana meletakkan buku-buku tebalnya dengan sedikit dramatis."Selamat datang di kelas Pengendalian Elemen! Saya Profesor Ivana, dan saya akan membimbing kalian untuk menguasai kekuatan dasar sihir, kekuatan yang mengalir di sekitar kita, kekuatan yang membentuk dunia ini: air, api, tanah, dan udara."Matanya yang hijau emerald menyapu seluruh kelas, mengamati setiap murid dengan seksama."Jangan tertipu dengan penampilan saya. Menguasai elemen bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan konsentrasi, ketekunan, dan yang terpenting..." menjentikkan jari, seberkas api kecil menyala di ujung jarinya, "... gairah!"Api itu menari-nari di tangannya, membentuk bunga mawar yang indah sebelum akhirnya menghilang."Di kelas ini, kita tidak hanya akan membaca buku dan menghafal mantra. Ki
Ini sungguh tak terduga, ternyata ibuku memberiku asisten yang cantik, kecantikan Anggun tidak jauh dari Veronica, seperti namanya dia memiliki perawakan yang anggun, dengan adanya wanita baik ini hariku terasa lebih sempurna.Bagaimana tidak, dengan di temani wanita cantik setiap saat pasti akan memuaskan batin atau mungkin bisa melangkah lebih jauh lagi, ahem! huh dasar hormon susah di kendalikan.Kami sekarang di kereta kuda sedang dalam perjalanan menuju akademi, Meskipun akademi melarang untuk membawa pembantu atau pengawal mereka masuk, tapi akademi menyiapkan tempat khusus untuk para pembantu ini menunggu.Bagaimana pun ini era kerajaan, di akademi memiliki beberapa bangsawan yang bersekolah di sini, tapi yang menarik adalah akademi melarang para bangsawan ini menunjukkan status nya secara terbuka.Dulu ada yang melanggar peraturan tersebut, dia menunjukkan status nya sebagai anak se orang rumah Marques, dan menindas orang yang tidak patuh dengannya, tapi setelah kejadian itu t
Sudut pandang Anggun. Dulu saat aku masih kecil, aku memiliki ingatan tentang orang tuaku, yang terbunuh saat kami dalam perjalanan ke suatu tempat, saat berpergian menggunakan kereta kuda dalam perjalanan kami mengalami penyergapan. Dalam suasana tegang itu, ayahku pun keluar dan menghadapi musuh yang menyerang, aku yang masih kecil hanya menangis dalam diam, ibuku yang bersamaku memelukku dan menenangkanku. Meskipun ada kegelisahan di mata nya, dia melihat keluar jendela dan menemukan ayahku yang kesulitan menghadapi musuh, ibuku yang mengetahui ayahku dalam kesulitan, ekspresi nya pun menjadi tidak bisa di jelaskan kan. Ada tekat kuat di matanya, dan juga ada kesedihan di mata itu setelah mendengar teriakkan ayah ku untuk melarikan diri, ibuku pun langsung membawa ku pergi kembali ke arah kota terdekat. Setelah lari tidak lama ibuku berhenti, dengan mata merah dan tetesan air mata ibuku menghadapku dengan ekspresi kesakitan diwajahnya, dia menurunkan aku dan melakukan sesu