Di kelas akademi.Menyibakkan rambut panjangnya yang berwarna merah menyala dan tersenyum menggoda Baiklah, mari kita mulai.Berjalan dengan langkah pelan namun penuh percaya diri menuju meja di depan kelas, Profesor Ivana meletakkan buku-buku tebalnya dengan sedikit dramatis."Selamat datang di kelas Pengendalian Elemen! Saya Profesor Ivana, dan saya akan membimbing kalian untuk menguasai kekuatan dasar sihir, kekuatan yang mengalir di sekitar kita, kekuatan yang membentuk dunia ini: air, api, tanah, dan udara."Matanya yang hijau emerald menyapu seluruh kelas, mengamati setiap murid dengan seksama."Jangan tertipu dengan penampilan saya. Menguasai elemen bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan konsentrasi, ketekunan, dan yang terpenting..." menjentikkan jari, seberkas api kecil menyala di ujung jarinya, "... gairah!"Api itu menari-nari di tangannya, membentuk bunga mawar yang indah sebelum akhirnya menghilang."Di kelas ini, kita tidak hanya akan membaca buku dan menghafal mantra. Ki
Bab 10 Profesor Ivana menghela napas pelan, saat mengambil kertas-kertas tugas dari meja. "Hmm... menarik," gumamku, lebih pada diri sendiri daripada pada siapa pun yang mungkin masih berada di ruangan itu. Mataku tertuju pada salah satu tugas, tulisan tangannya rapi dan tegas. Badril. Sebuah senyuman kecil tersungging di bibirku. "Sepertinya Tuan Badril cukup percaya diri dengan jawabannya," kataku lirih, merasakan kembali sengatan tantangan di matanya. Aku merapikan tumpukan kertas, merasakan debaran jantungku yang belum juga mereda. Badril memang telah mengusik ketenanganku, membangkitkan sesuatu yang sudah lama tertidur dalam diriku. Rasa penasaran, kegembiraan, dan mungkin... sedikit rasa takut. Aku berjalan keluar kelas dengan langkah gontai, pikiran masih dipenuhi oleh sosok Badril. Tantangannya, tatapannya, auranya... semuanya terasa begitu kuat dan memabukkan. Aku harus mengakui, Badril telah berhasil menarik perhatianku, dan aku tidak yakin apa yang harus kulakuka
Raungan Anggun memecah kesunyian malam. Bukan raungan seperti singa, tapi lebih seperti raungan badai. Angin berputar di sekelilingnya, membentuk pusaran yang menyedot dedaunan dan debu. Kilatan petir menyambar dari tangannya, menghantam penyerang berjubah hitam yang berusaha mendekat. Terdengar jeritan kesakitan dan bau hangus.Aku memfokuskan pandanganku pada penyerang yang tersisa. Aura hijau yang samar menunjukkan bahwa mereka adalah pendekar pedang level senior. Mereka tangguh, tapi Anggun dengan sihir angin dan petirnya jelas bukan lawan yang mudah. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Para penyerang ini... mereka terlalu bersemangat untuk mati. Seolah-olah mereka hanya pengalih perhatian."Fanny, Veronica! Kalian bisa gunakan sihir untuk melindungi diri, kan?" teriakku, suaraku tajam menembus kegaduhan."Tentu saja!" jawab Veronica, matanya berkilat penuh semangat. "Kami tidak akan tinggal diam saja!"Fanny mengangguk, raut wajahnya berubah serius. Ia mengangkat kedua
POV Fanny. Perjalanan kembali ke rumah terasa panjang dan hening. Veronica sesekali mencuri pandang ke arah Badril, ekspresinya campuran antara khawatir dan penasaran. Anggun fokus mengendalikan kereta kuda, tapi aku bisa merasakan ketegangan di balik sikapnya yang tenang. Sesampainya di rumah, aku segera membantu Badril turun dari kereta. Dia masih tampak lemas, tapi berusaha untuk tidak menunjukkannya. "Kau perlu istirahat, Badril," kataku sambil menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Ya, kau benar," jawabnya dengan suara serak. Aku membawanya ke kamarku dan membantunya berbaring di tempat tidur. Dia langsung memejamkan mata, tampaknya kelelahan telah mencapai puncaknya. Aku menatapnya sejenak, lalu perlahan meninggalkan kamar. Aku perlu memberi tahu keluargaku tentang apa yang terjadi, dan aku juga harus mencari cara untuk... Ah, tapi mungkin Badril ingin merahasiakannya dulu. Aku tidak boleh melanggar kepercayaannya. Aku menemukan keluargaku di ruang keluarga, bersama Ver
Kereta kuda keluarga Valerian berhenti di depan gerbang kediaman mereka. Reiner Valerian melompat turun, disambut oleh Teresa dan para pelayan yang membungkuk hormat."Selamat datang kembali, Tuan," sapa kepala pelayan dengan ramah."Terima kasih, Sebastian," jawab Reiner sambil melemparkan senyum lelah. Perjalanan dari Jatih cukup melelahkan, meski ia puas dengan hasil perjalanan bisnisnya."Bagaimana perjalananmu, Sayang?" Teresa menghampiri Reiner dengan wajah ceria."Lancar. Kesepakatan dagang dengan saudagar di Jatih berjalan mulus," jawab Reiner sambil mengecup kening istrinya. "Bagaimana kabar Badril? Apakah dia baik-baik saja?"Senyum Teresa sedikit memudar. "Badril baik-baik saja, tapi... ada sedikit insiden di akademi beberapa hari yang lalu."Raut wajah Reiner berubah serius. "Insiden? Insiden apa?"Teresa menceritakan tentang penyerangan yang dialami Badril, Fanny, dan Veronica
Reiner Valerian bukanlah pedagang biasa. Di balik keramahan dan kewibawaannya sebagai saudagar sukses, tersimpan ketajaman naluri dan jaringan informasi yang luas. Ia tidak akan membiarkan putranya terancam bahaya tanpa mencari tahu siapa dalangnya.Penyelidikannya dimulai dengan menghubungi beberapa kenalannya di ibukota. Ia mencari informasi tentang siapa saja yang mungkin memiliki dendam pada keluarga Valerian atau memiliki motif untuk menyerang Badril."Aku tidak menemukan apapun yang mencurigakan, Reiner," kata seorang informannya, mantan kepala garda kota yang kini mengelola bisnis keamanan. "Keluarga Valerian memiliki reputasi yang baik di ibukota. Kau tidak punya musuh yang cukup berani untuk menyerang keluargamu."Reiner mengerutkan kening. "Lalu bagaimana dengan para penyerang itu? Mereka jelas bukan perampok biasa. Mereka terlalu terlatih dan terorganisir.""Mungkin mereka disewa oleh seseorang yang ingin mencelakai Badril secara pribadi," usul informannya. "Kau tahu, anak
Gerbang Akademi Sihir Trisakti menjulang tinggi di hadapanku, ukiran rumit yang menggambarkan simbol-simbol sihir menghiasi permukaannya. Rasa semangat dan sedikit gugup bercampur di dadaku. Ini adalah awal dari perjalanan baruku di Akademi, sebuah dunia yang selama ini hanya kudengar dari cerita Helen dan buku-buku sihir .Aku melirik Anggun yang berdiri di sampingku. Wajahnya yang tenang dan sikapnya yang tegap membuatku sedikit lebih rileks."Sudah siap, Tuan Muda?" tanyanya dengan senyum lembut."Siap untuk apa?" jawabku dengan nada datar. "Siap untuk dibantai oleh para senior yang sok kuat? Atau siap untuk diberi tugas memindahkan gunung oleh para profesor yang gila hormat?"Anggun terkekeh pelan mendengar ocehanku. "Anda ini ada-ada saja. Tidak akan ada yang memindahkan gunung, kok.""Siapa tahu?" balasku dengan nada dramatis. "Ini kan akademi sihir. Mungkin saja ada ujian praktik yang mengharuskan kita memindahkan gunung den
Aku keluar dari kereta kuda yang mewah itu. Di sampingku berdiri para pengawalku dengan tubuh tegap dan ekspresi penuh hormat. Menatap ke depan, terlihat gerbang akademi yang asing namun familiar. Saat aku melangkah maju, aku melihat sekeliling, banyak siswi yang menatapku dengan ekspresi berbinar di mata mereka. Mungkin dulu aku ingin mendapatkan perhatian dari gadis-gadis cantik ini, tetapi sekarang pikiranku agak kacau. Saat ini wajahku sedang murung, bagaimana tidak saat aku terbangun, aku berada di tempat yang asing, benar saja kawan, inilah transmigrasi yang sering aku lihat di banyak novel. Sebelum transmigrasi, aku berusia 25 tahun, aku anak tunggal, orang tuaku bercerai saat aku masih kecil, ekonomi keluargaku bisa dikatakan pas-pasan, pekerjaanku sebagai satpam bank membuatku cukup sulit untuk mendapatkan gadis yang aku sukai. Walaupun hidupku tak di penuhi dengan kasih sayang, namun aku mempunyai banyak sahabat, yang membuat hidupku tidak seburuk itu, dan aku memp