Beranda / Romansa / Khair dan Khaira / Gadis Berhijab Bernama Rumaysha

Share

Gadis Berhijab Bernama Rumaysha

Penulis: Eneng Susanti
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-26 23:06:57

Tiga hari sebelumnya, pria itu duduk sendirian di perpustakaan. Setelah menyelesaikan bacaan beratnya berupa setumpuk jurnal, dia hendak menulis sesuatu di sebuah buku. Buku itu bersampul kulit warna cream. Berdesain klasik dan  memang khusus menyimpan catatan pribadinya.

Belum sempat membuka lembar halamannya, sekelompok mahasiswa datang menghampiri dan mengucapkan salam padanya, “Assalamualaikum, Ustaz.”

“W*’alaikumsalam,” jawabnya, seperti biasa dengan santun dan senyum. Secara spontan dia letakkan buku berdesain klasik ala vintage itu di meja dekat tumpukan jurnal dan buku-buku ilmiah yang baru selesai dibacanya.

“Apa kabar kalian?” sapanya. Masih tampak keramah-tamahan yang jadi ciri khasnya.

“Alhamdulillah, Ustaz,” sahut mereka serempak.

“Ada apa nih, ko kompak menemui saya?” tanya dia.

“Afwan, Ustaz,” seseorang dari mereka langsung menyampaikan maksud dan tujuannya, “Terkait kuliah umum pekan depan, ada sedikit perubahan agenda. Tadinya kan hanya untuk fakultas tarbiyah saja, tapi ternyata fakultas lain mau meramaikan juga. Jadi ada beberapa hal yang perlu kita bahas ulang nih, Ustaz.”

Pria yang dipanggil Ustaz oleh mahasiswa tersebut memang merupakan dosen fakultas Tarbiyah di sebuah kampus swasta ternama. Rencanya, pekan depan dia memang akan mengisi kuliah umum sesuai mata kuliah yang diampunya, Sejarah Kebudayaan Islam.

Sekelompok mahasiswa yang menghampirinya kali itu adalah kumpulan aktivis kampus yang jadi panitia kegiatan kuliah umum itu.

Seorang mahasiswa mengeluarkan laptop dan beberapa buku catatan. Mereka kemudian membahas banyak hal terkait persiapan kegiatan. Walaupun terbilang dosen baru di kampus tersebut, ‘ustaz’ ini punya kharisma yang bikin mahasiswa kagum dan hormat padanya. Padahal, usia mereka tidak terpaut jauh. Usianya baru di awal kepala tiga.

Sang dosen juga baru sekitar satu tahun lebih mengabdi di kampus mereka, tapi sosoknya sudah sangat mencuri perhatian. Tak sedikit mahasiswa yang bahkan berani mengirim surat cinta secara diam-diam. Namun, sejauh ini mereka semua dipastikan patah hati karena dia nyatanya sudah terikat khitbah dengan seorang gadis.

Pembicaraan tentang kuliah umum pun berjalan dengan hangat dan santai. Tak terasa menjelang Ashar, mereka pun harus bubar. Tepat saat itulah seorang gadis berhijab syar’i mendekat ke meja mereka.

“Afwan, apa Akhi sudah selesai?” tanya gadis yang tampak anggun dalam balutan gamis dan hijab syar’i itu. Suaranya terdengar  bergetar.

Sang dosen menoleh ke arah suara. Sedikit kaget mendapati calon istrinya ada di perpustakaan kampus, tapi dia bertanya dengan ringan, “Eh ... Rumi, kok bisa ada di sini?”

Mahasiswa yang masih berunding di sana sontak pamitan. Beberapa dari mereka berbisik-bisik saat meninggalkan perpustakaan.

“Itu calon istrinya, Ustaz Ahsan ya?”

“Kayaknya iya. Adem kayak pohon beringin. Cantik lagi ... kayak pernah lihat di mana gitu, ya.”

“Di mimpi kali …” timpal temannya.

“Aku juga mau loh punya calon istri kayak gitu. Cantik, shalihah, baik, tidak sombong dan rajin menabung deh kayaknya tuh …”

Diselingi gelak tawa dan canda, pembicaraan itu menguap bersama derap kaki mereka yang menjauh dari ruang perpustakaan. Namun, masih ada seorang yang tersisa. Dia masih duduk bagai terpaku di tempatnya. Bahkan menoleh pun tidak.

Gadis yang dipanggil dengan sapaan Rumi itu berdiri di belakang pemuda tersebut. Dia terlihat sedikit pucat. Pikirannya menebak-nebak siapa yang duduk di sana. Namun, wajahnya yang kalem dan teduh mampu menyembunyikan gejolak hatinya saat itu.

“Ibu menunggu di luar gerbang kampus. Dari tadi beliau menelepon, tapi sepertinya Akhi sibuk. Jadi saya disuruh masuk menemui langsung.” Suara serak itu bertutur menjernihkan kesalahpahaman yang mungkin timbul.

Namun, penjelasan yang seyogyanya  untuk calon suaminya itu justru terkesan disampaikan bukan hanya untuk satu orang. Ya, ada seorang pemuda yang turut mendengar suaranya.

Di telinga pemuda itu, suara gadis tadi pernah terasa akrab, hangat dan begitu dirindu. Namun, kini telah dingin. Bahkan membuat hatinya membeku.

Mahasiswa terakhir yang sedang terpaku dalam suasan penuh kebaperan itu, langsung menutup laptop.

“Saya pamit dulu, Ustaz,” ucapnya tiba-tiba, seraya tergesa menyabet beberapa buku catatan dan alat tulis yang tercecer di meja.

Dia tidak berani menoleh ke sosok wanita yang berdiri tepat di belakanngya. Namun apa daya, mereka berpapasan juga.

“Kh … Khair …” Bibir gadis itu bergumam samar. Tentu saja dia masih bisa menjaga pandangan walaupun jantungnya serasa ditikam.

Pemuda yang amat sangat dikenalnya sejak masa remaja itu, bahkan tak menoleh sedikitpun apalagi menyapa. Meski wajahnya terlihat tenang namun jelas dia tak mampu menyingkirkan segumpal pedih di hatinya. Itu terlihat jelas di matanya.

Untung saja, dosen yang kerap disapa dengan sebutan ustaz itu tidak menyadari kecamuk batin kedua pemuda-pemudi yang sama-sama terikat hubungan dengannya itu.

“Hati-hati ya, Khair,” ucap sang dosen.

“Insya Allah. Assalamulaikum, Ustaz,” pamitnya.

“W*’alaikumsalam.”

♥♥♥

Hancur hati Khair. Bagaimana tidak, perasaan yang sudah dia tata, kenangan yang sudah dia kubur, muncul begitu saja bersama sosok Rumaysha, gadis yang disapa dengan nama Rumi tadi.

Satu tahun lalu, gadis yang selalu jadi saingannya di kelas sejak SMP hingga SMA itu, menorehkan sebuah luka. Ketertarikan mereka memang dimulai dari persaingan prestasi akademis, lama-lama mereka justru disatukan dalam sebuah organisasi siswa hingga terjalin lah kerja sama, menciptakan kedekatan antar mereka.

Dari diskusi hingga obrolan ringan, Khair serasa menemukan sosok impian dalam diri Rumaysha. Begitu pula gadis berparas manis itu. Dia menemukan sosok yang dikagumi dalam diri Khair. Hubungan mereka pun berjalan baik, rapi, teratur dan terjaga.

Khair bahkan tak pernah berucap kata cinta, pun demikian dengan Rumaysha. Namun, sahabat-sahabat  dekat mereka cukup tahu, perasaan yang tumbuh perlahan dan halus diantara keduanya.

Khair pernah berharap, kelak bisa melangkah ke gerbang masa depan yang sakinah, maww*dah w* rahmah bersama Rumaysha. Selain kuliah, memang ada satu hal yang Khair ingin wujudkan, yakni menjadikan Rumaysha sebagai pendamping hidupnya. Namun, dia lebih dulu mengambil tanggung jaw*b yang berat terkait Khaira, kakaknya.

Rumaysha tahu bagaimana perjuangan Khair sebagai anak yatim piatu yang mandiri. Rumaysha juga lah yang menyemangati Khair untuk sabar dan iklas menerima takdir. Sabar dan ikhlas menunda mimpinya, karena ada seseorang yang lebih butuh untuk dia perjuangkan, yaitu Khaira.

Khair tak mungkin lupa pada tatapan lembut dan teduh di wajah Rumaysha serta anggukan kecilnya kala itu. Walau tanpa suara, anggukan itu meneguhkan Khair untuk menjaga niat suci mereka hingga saatnya takdir menyatukan mereka. Khair berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia juga akan menjaga  Rumaysha di sisinya, sekeras dia memperjuangkan Khaira untuk bisa bersamanya.

Khaira pun tahu tentang Rumaysha. Khaira tahu tentang betapa pemalunya gadis itu dan betapa sifat tersebut begitu  memikat hati adiknya. Lebih dari itu, Khaira bahkan geregetan menganggap Khair terlalu santai.

“Gimana kalau dia diambil orang?” tanya Khaira tepat sehari sebelum akhirnya Khair memberanikan diri datang menemui orang tua Rumaysha.

Meski kondisi Khair belum memungkinkan secara materi untuk melamar anak orang, tetapi pertanyaan Khaira membuatnya berpikir ulang. Hanya satu cara mengamankan Rumaysha untuknya, yakni dengan mengikatnya lewat khitbah.

Nahas, Khair tidak memperhitungkan hal lainnya.

“Menurut kami, kamu tidak layak untuk putri kami,” kalimat itu telak dilontarkan orang tua Rumaysha di depan Khair. Bukan hanya sekedar tamparan, melainkan sebuah tikaman.

Kalimat ayah Rumaysha mengingatkan Khair pada sebuah kalimat menyakitkan lain yang pernah ditujukkan padanya beberapa tahun ke belakang.

“Bocah ingusan macam kamu mana bisa menjamin hidup Khaira! Kalau dia enggak sama kami, mau makan apa dia sama kamu?”

Itu adalah kalimat yang dilontarkan padanya saat dia nekat menyelamatkan kakaknya. Itu terjadi kala dia masih SMA, bocah ingusan yang sok jadi pahlawan.

Sejak itu hingga masa kuliah, Khair sadar dirinya memang bukan orang kaya. Namun, dia sudah membuktikan tanggunjawabnya. Bukan hanya dengan nyali yang besar, tapi juga dengan perjuangan yang keras menghidupi dirinya dan kakaknya, tanpa orang tua.

Merasa cukup kuat, Khair pun berharap bisa mewujudkan janji tak terucapnya untuk Rumaysha. Namun, kata-kata yang meluncur dari orang tua gadis itu menciutkan semangatnya.

Sadar dia bahwa Rumaysha jauh dari jangkauan. Mengharapkan gadis dari keluarga kaya dan terpandang seperti dia sama dengan halusinasi semata. Sejak itu, Khair tak pernah lagi melambungkan angan. Dia hanya lebih sering menengadahkan tangan, bersujud di sepertiga malam, memohon kepada Allah untuk memantaskannya bersanding dengan Rumaysha, pujaan hatinya.

Tak disangka, setahun lalu, Rumaysha malah memberinya kabar duka. Gadis itu dijodohkan orang tuanya. Ya, dengan Ustaz Ahsan, dosen baru di kampus tempat Khair kuliah.

♥♥♥

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dito Adimia
episode 2 seru abis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Khair dan Khaira   Pertukaran yang Ajaib

    Bruk. Khair meletakkan tas selempang berisi buku-buku dan diktat kuliah miliknya di meja caffe. Beberapa isinya bahkan tercecer. Tempat ngopi yang disebut kedai kopi Khaira itu memang rutin disambangi Khair. Entah pagi, siang, atau sore. Setiap hari, dia pasti menyempatkan waktu untuk mampir di sela-sela kesibukan kuliah, bimbingan, kajian dan kerja sampingannya sebagai guru les privat. Tak hanya penat pikiran, penat hati dan perasaan juga menyelimuti raut muka pemuda tingkat akhir yang sedang merampungkan skripsi itu. “Tumben cemberut?” Suara riang Khaira hadir bersama aroma secangkir cappuccino kesukaan Khair, “Kenapa?” tanya wanita itu dengan cueknya seraya mendudukan diri di kursi caffe. “Enggak apa-apa, Teh.” Khair mencoba mengatur gestur tubuhnya. “Cuma lagi banyak kerjaan aja.” “Banyak kerjaan atau banyak godaan?” canda Khaira. “Enggak apa-apa, tapi bibirnya mancung begitu. Kalah tuh curut ….” celoteh Khaira lagi sambil menopan

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-28
  • Khair dan Khaira   Kuliah Umum

    Sepekan berlalu, kuliah umum yang direncanakan Khair dan kawan-kawan aktivis mahasiswa di kampusnya pun digelar. Sedari pagi pemuda itu sudah kebanjiran orderan kopi Kedai Khaira. Sebagai panitia, Khair pun menjalankan tanggung jawab sembari tetap berdedikasi membantu sang kakak. Sebelum acara dimulai, kopi berhasil dia bagikan kepada para pemesan. Kebanyakan dari mereka adalah rekan panitia dan sebagian rekannya di Fakultas Tarbiyah. Aula utama kampus jadi tempat perhelatan akbar kuliah umum pagi itu. Ratusan peserta yang terdiri dari mashasiswa fakultas Tarbiyah tingkat 1 dan beberapa orang perwakilan masing-masing tingkat, serta perwakilan mahasiwa dari fakultas lainnya bergabung memenuhi ruangan yang disekat menjadi dua itu. Bagian depan diisi mahasiswa, sementara bagian belakang diisi barisan mahasiswi. Suara Khair yang bertindak sebagai moderator terdengar. Dia membacakan profil Ustaz Ahsan yang menjadi pembicara utama dalam kuliah umum bertajuk&n

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-29
  • Khair dan Khaira   Rumah Duka

    Tak disangka, usai kuliah, sebuah kabar duka tersiar. Khair langsung menyampaikan kabar itu kepada rekan-rekan panitia saat mereka merapikan tempat acara. “Ustaz Rofiq meninggal sejam yang lalu,” ujar Khair diikuti kalimat “Innalillahi w* inna ilaihi rajiun” serempak dari semua orang yang mendengar, termasuk Ustaz Ahsan. Dosen muda itu belum meninggalkan tempat acara karena masih ngobrol ringan dengan mahasiswa yang mengambil hadiah darinya. Mereka pun sepakat melayat ke rumah duka. Ustaz Rofiq merupakan ketua prodi Fakultas Tarbiyah. Dia juga merupakan dosen pembimbing skripsi Khair. Sontak, kabar duka itu mebuat mahasiswa bimbingannya kaget. Sebab, beberapa hari lalu mereka masih bertemu dan berkonsultasi dengan beliau. Saat itu, beliau tampak sehat. “Kulu nafsin dza’iqatul maut,” ucap Ustaz Ahsan mengutip potongan ayat Alquran yang artinya, “Tiap-tiap makhluk yang bernyawa pasti akan mengalami kematian.” “Kita h

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-29
  • Khair dan Khaira   Tangis Khaira

    Di dalam kendaraan yang dikemudikan Ustaz Ahsan, Khair hanya diam. Ustaz Ahsan lah yang memulai pembicaraan. “Kamu kenal Riang?” tanya dia. “Tidak, Ustaz.” “Tapi dia kenal kamu.” Khair mulai merasa tidak nyaman dengan pembicaraan soal gadis berpashmina pink yang selalu membuat dia terganggu itu. “Dia sering titip salam buat kamu ke saya.” Ustaz Ahsan nyengir. “Riang memang begitu. Riang seperti namanya. Saya kenal dia karena sering ketemu dengan umminya yang sahabat ibu saya. Ustaz Rofiq juga sering cerita tentang keponakannya itu. Tolong jangan salah paham soal dia dan saya, ya!” Khair diam saja. ‘Apa sih maksud pembicaraan Ustaz ini?’ pikirnya. Dia tampak tegang. Berbeda dari saat berangkat, kali ini hanya Khair sendiri yang menumpang mobil sang dosen. “Santai aja, Khair!” ucap Ustaz Ahsan seolah mampu membaca pikiran pemuda itu. “Iya, Ustaz.” “Di luar perkuliahan, kamu enggak perlu panggil saya ustaz,” ujar U

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-30
  • Khair dan Khaira   Tragedi

    Siang tadi, saat Khair mengiriminya pesan bahwa dia akan pergi ke rumah duka, saat itu Khaira sedang di mini market membeli keperluan bulanannya. Dia pergi sendirian. Tidak lama, hanya sekitar 30 menit. Jarak dari kedai ke mini market pun tak jauh. Khaira hanya berjalan kaki sekitar 15 menit, melewati pangkalan ojol di depan Kampus Khair, lurus hingga ke perempatan jalan. Mini market itu berdiri di jajaran ruko-ruko di sebrang jalan setelah belokan. Ketika dia menyebrang menuju mini market tersebut, Khaira merasa seseorang menguntitnya. Namun, di tempat ramai itu dia tidak bisa mengidentifikasi orang-orang. Walhasil, selama 30 menit di mini market, dia merasakan was-was. Sampai akhirnya, dia membuka pesan w******p dari Khair ketika tepat berada di pojok rak etalase. Khaira tersentak. Seseorang menepuk bahunya dengan kasar. “Khaira!” Seru suara yang datang bersama sentakan di bahunya. Gadis itu langsung menoleh dan mematung seketika. Nanar mata

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-31
  • Khair dan Khaira   Ketika Budi Meminta Balas

    Sejak peristiwa traumatis itu, Khaira menjalani aktivitasnya dengan lebih waspada. Namun, empat tahun lalu, ketika usianya menginjak 23 tahun, lelaki bernama Guntur itu muncul kembali dalam rupa yang berbeda di hadapan Khaira. Jika dulu dia menjelma iblis, kini dia berkedok makaikat.Keluarga Khaira tidak pernah tahu tentang kejadian nahas di proyek waktu itu. Saat pulang kerumah dalam kondisi tak karuan, Khaira berdalih dia mengalami kecelakaan sepeda. Itu dia lakukan agar tidak terjadi masalah yang lebih besar.Neneknya yang sakit-sakitan bisa terguncang. Dulu, kakeknya juga meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar buruk, kebangkrutan usaha. Himpitan ekonomi membuat kakek neneknya dulu memiliki banyak utang kepada rentenir. Usaha warteg yang dijalankan neneknya gulung tikar. Kakeknya yang sudah lama pensiun dari kepolisian akhirnya meninggal. Tinggal Khaira seorang yang berjuang mencari nafkah.Sementara, putri bungsu kakek-neneknya yakni tant

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-01
  • Khair dan Khaira   Kilas Balik

    Sejak perjodohan diputuskan, dan hari pernikahan ditetapkan, Khaira merasa sudah kehilangan nyawa. Dia tak lebih dari raga yang tidak punya jiwa. Mati dalam hidupnya. Dia layaknya mayat yang tak selayaknya punya keinginan. Hanya orang lain yang bisa memetakkan dirinya. Dengan pikiran seperti itu Khaira bernafas hingga hari pernikahannya tiba."Tidak ada lagi kehidupan ...."Kala riasan pengantin sudah terpasang, gaun sudah dikenakan, di dalam kamar, Khaira siap mengakhiri semuanya. Pisau cutter sudah dia genggam. Mata pisau sudah siap menyayat nadinya.Lantunan shalawat bergema di luar, menandakan kedatangan mempelai pria."Ampuni Khaira, ya Allah ...."Gadis itu memejamkan mata, menahan perih yang langsung terasa begitu mata pisau menembus lapisan kulit di pergelangan tangannya. Darah mengalir begitu juga air matanya.Suara-suara berisik di halaman dan tengah rumah perlahan meredup. Namun, sebelum Kesadarannya sempurna hilang, Khaira menden

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • Khair dan Khaira   Konflik Keluarga

    Khair ingat, dia terbangun di sebuah ruang rawat rumah sakit tanpa seorang pun menungguinya. Pemuda itu langsung keluar kamar, menyusuri lorong pendek menuju pintu keluar. Namun, di tengah jalan dia mendapati kerumunan di mulut sebuah ruang perawatan.Khair mengenali orang-orang berpakaian indah khas hajatan itu. Dia melihat mereka di acara walimah. Ingatannya langsung tertuju kepada Khaira.“Kehabisan darah dia. Harus transfusi sepertinya .…”“Iya, kasian Khaira.”“Lalawora, bunuh diri sagala tuda (gegabah, pakai acara bunuh diri segala sih!)”Itu sebagaian percakapan yang Khair dengar dari mulut orang-orang yang berkerumun di sana. Dia beranikan diri membaur untuk mendekati pintu. Orang-orang seketika menyingkir saat menyadari kehadiran pemuda biang onar di walimah itu.Bisik-bisik tentang Khair yang tak dikenali, tentang Khaira yang bernasib malang, sampai tentang ibu mereka yang disebut-se

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-04

Bab terbaru

  • Khair dan Khaira   Catatan Penutup

    Dear Good Novel readers, Terima kasih saya ucapkan untuk pembaca setia Khair dan Khaira. Semoga ending kisah ini menyenangkan. Saya harap pembaca bisa mengambil sesuatu di dalamnya. Bukan sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi saya juga ingin pembaca merasakan manfaat dari bacaannya. Semoga ada hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dalam cerita ini dan bisa menjadi kebermanfaatan bagi semua pembacanya. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan yang mungkin tertulis di dalamnya. Saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari semuanya sehingga saya bisa melakukan perbaikan pada karya-karya berikutnya. Oh, iya ... apakah Khair dan Khaira perlu dibuat sekuelnya? Sebenarnya, ide untuk melanjutkan kisah ini sudah ada. Namun, saya perlu pendapat dari pembaca juga. Tolong berikan masukan dan saran di kolom komentar, ya. Sekali lagi, terima kasih bayak atas dukungannya, baik dalam bentuk vote, komentar, maupun ulasan tentan

  • Khair dan Khaira   Surat Riang

    “Jangan nangis, Teh,” bisik Khair saat mereka berpelukan. “Khair enggak bawa sapu tangan.” Pemuda itu tertawa. Namun, matanya jelas berkaca-kaca. Dia juga merasa berat meninggalkan kakaknya.Khaira menggelengkan kepala. “Awas kamu ... jangan kangen sama tumis kangkung Teteh loh, ya ...!”Tanpa sadar keduanya sesenggukan.“Khair mau minta sesuatu sama Teteh ....” ucap dia sebelum melepas pelukan.“Apa?”“Khair minta keponakan!” Dia terkekeh sambil mengusap bulir yang jatuh jatuh dari sudut matanya.“Kamu mah ....” Khaira melepas pelukan sambil mencubit lengan adiknya.Khair meringis.“Kenapa?” tanya Ahsan khawatir.“Khair lupa minum obat,” sahut Khaira sekenanya. Mukanya sudah kemerah-merahan menahan malu campur kesal. Jika tidak ingat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang Adik sebelum pergi dalam

  • Khair dan Khaira   Perpisahan

    Sehari setelah pernikahan Khaira dengan Ahsan, Khair dijadwalkan terbang ke Malaysia. Pemuda yang akan menjalani perkuliahan pascasarjana itu sudah menyiapkan koper dan bekal.Dia sudah janjian dengan Ahsan dan Khaira yang akan datang menjemput dan mengantarnya ke Bandara. Jadi, begitu terdengar ketukan di pintu, Khair langsung keluar dengan wajah ceria. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati seseorang berdiri di dekat pintu masuk. Orang itu bukan kakaknya.Khair menatap heran. Keberadaan orang tersebut sungguh di luar dugaannya.“Hm ....” Khair jadi speechless. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepada sosok wanita bercadar yang tampak sudah lama berdiri di depan pintu itu. Dari mata dan tatapannya saja Khair langsung bisa mengenali siapa wanita itu.“Riang ke sini hanya mau menyampaikan sesuatu.”Heran bercampur penasaran membuat jantung Khair sedikit berdebar. “Apa yang mau disampaikan Riang?”

  • Khair dan Khaira   Haru

    Ekspresi muka Khaira tidak berubah. Dia belum dapat jawaban yang diinginkannya. Eh, malah ditertawakan. Menyebalkan sekali suaminya. Mana bisa Khaira percaya.“Saya sudah suka sama kamu sejak lama,” kata Ahsan. Kali ini mukanya serius supaya bisa dipercaya.“Sejak kapan?” Khaira sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Selama ini dia pikir Ahsan bahkan tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Boro-boro jatuh cinta, jika saling bertatapan saja dia langsung buang muka.Ahsan nyengir lagi. “Hm ... itu sepertinya sejak nama kita tertulis di lauhul mahfudz.”Khaira menghela napas. Lelah hayati dia mengharapkan jawaban serius dari orang serius yang ternyata suka bercanda.Ekspresi kesal itu terbaca. Ahsan lantas berkata, “Saya tidak tahu tepatnya, tapi sejak melihat kamu sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya tidak bisa melupakan kamu.”Khaira memicingkan mata sambil menghitung mundur ke

  • Khair dan Khaira   Mitsaqan Ghaliza dan Ungkapan Cinta

    Ketika segala sesuatu berlaku sesuai kehendak-Nya, maka segala jalan terbuka dengan sendirinya. Tidak ada aral apapun yang merintangi perjalanan sang Waktu hingga menyatukan Ahsan dan Khaira di depan penghulu.Sebagai wali dari kakaknya, Khair menjabat tangan Ahsan dan mengucap ijab dengan mantap. Demikian juga Ahsan, mengucap qabul dengan mantap dalam satu tarikan napas. Saat itu, tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan Khair, arasy berguncang tersebab sebuah ikrar yang beratnya seperti perjanjian ketika Allah mengangkat seorang rasul bagi manusia. Itulah akad yang disebut sebagai mitsaqan Ghaliza.Hari itu, telah Khair tunaikan sumpahnya. Telah tunai pula tanggung jawabnya menjaga sang Kakak sebagaimana diamanahkan orang tuanya. Meski bahagia, air matanya tumpah juga. Apalagi ketika Khaira dan Ahsan bergantian memeluknya.“Teteh jangan nangis!” kata Khair sambil mengusap pipi kakaknya. Padahal air mata dia lebih deras daripada bulir bening di mat

  • Khair dan Khaira   Bahagia

    Persoalan nikah membuat Khaira gelisah, terutama karena calon suaminya adalah Ahsan. “Kenapa harus dia sih?” pikir Khaira. Lama-lama wanita itu jadi greget ingin mengintrogasi adiknya. Namun, sejak acara lamaran di kedai waktu itu, Khaira menahan keinginan itu demi kelancaran Khair dalam menempuh studinya. Meski hari pernikahannya kian dekat, Khaira berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meski begitu, masih ada satu ganjalan di hatinya yakni tentang seseorang yang dia lihat tanpa sengaja di rumah sakit tempo hari. “Apa Ahsan mengenalnya?” Pertanyaan itu terus berkelindan di kepalanya tanpa berani dia utarakan kepada siapapun. Sampai pada jadwal terapi berikutnya, Khaira datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, dia bertemu psikiater baru pengganti dokter Huda. Di sana, seusai terapi, tanpa sengaja Khaira berpapasan dengan Ahsan. Dia merasa sangat canggung. Namun seulas senyum hangat yang disuguhkan lelaki di depannya itu mampu mencairkan suasana. “

  • Khair dan Khaira   Pertemuan

    Khaira percaya kepada Khair. Dia bahkan tidak mencari tahu soal calon yang disodorkan adiknya hingga mereka dipertemukan di kedai. Hari itu Khaira keluar untuk memberi makan kucing-kucing di pelataran. Seorang ibu berpakaian rapi nampak berdiri mengamati kedainya dari pinggir jalan. Khaira pun memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil memberi makan kucing-kucing yang mengerubungi kakinya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah kedai kopi sambil menenteng beberapa paper bag. Lamat-lamat, Khaira dapat melihat wajahnya dengan jelas. “Maaf, bukankah ibu yang waktu itu belanja di mini market rumah sakit?” tanya Khaira. Ekspresi terkejut di wajah wanita itu berubah sumringah. Dia tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Apakah kamu Khaira?” “Iya. Saya Khaira.” Wanita itu mengulurkan tangan meski heran, bagaimana ibu tersebut bisa menebak dengan tepat siapa dirinya. “Mungkin karena aprone dan kedai ini,” pikir Khaira. “Masya Allah.”

  • Khair dan Khaira   Persetujuan

    Khair tiba di kedai sesaat setelah Khaira pergi. Jadi dia tidak bisa langsung memberitahu ‘kabar ajaib’ yang dibekalnya dari restoran.“Teh Khaira kemana gitu, Bi?” tanya Khair gemas sekali. Tidak mungkin kan dia menyampaikan kabar sepenting itu di telepon atau pesan teks.“Katanya sih ke panti, nemenin Neng Riang yang mau perpisahan,” terang Bi Ocih.”Perpisahan?” Khair mengernyitkan dahi.Bi Ocih mengangguk sambil kipas-kipas melepas lelah.“Perpisahan apa?” tanya Khair sambil tetap jaga image. Jangan sampai Bi Ocih beranggapan dia kepo atau penasaran soal Riang.Dari cengiran wanita itu Khair bisa menebak apa yang akan dikatakan, “Kepo, ya?”“Bibi mah ....” Khair jadi salah tingkah. Akhirnya dia mengalah dan memutuskan mengakhiri pembicaraan. Biar nanti dia tanya Teh Khaira saja sepulang dari sana. Begitu rencana dia.***“Teh Kh

  • Khair dan Khaira   Keajaiban

    Khair pergi ke hotel tersebut bukan untuk menemui bos pemiliknya ataupun berniat mengungkap kembali kasus Khaira. Dia kesana hanya dengan satu tujuan, yakni berkonsultasi tentang kafarat sumpah yang akan dibatalkannya.Mereka beremu di restoran sebelum pertemuan tak terduga dengan bos besar itu terjadi.Ketika Khair tiba, seorang pria berperawakan proporsional dengan raut wajah ramah menyambut Khair di salah satu meja. Dia memakai jas bergaya single breasted sebagai outer yang dipadukan dengan kurta.Khair tertegun sejenak sebelum berani menyapa. Penampilan pria itu membuatnya khawatir salah mengenali orang. Dari kejauhan dia memang terlihat seperti artis India atau Pakistan. Namun, dari dekat nampak bahwa wajahnya familiar.“Syukurlah kamu bisa datang lebih awal,” kata Ahsan, lelaki yang ditemui Khair di tempat tersebut. Senyumnya mengembang tanpa baking soda, namun terlihat manis seperti mengandung gula.“Alhamdulill

DMCA.com Protection Status