Share

Rumah Duka

Author: Eneng Susanti
last update Last Updated: 2021-05-29 13:11:53

Tak disangka, usai kuliah, sebuah kabar duka tersiar. Khair langsung menyampaikan kabar itu kepada rekan-rekan panitia saat mereka merapikan tempat acara.

“Ustaz Rofiq meninggal sejam yang lalu,” ujar Khair diikuti kalimat “Innalillahi w* inna ilaihi rajiun” serempak dari semua orang yang mendengar, termasuk Ustaz Ahsan.

Dosen muda itu belum meninggalkan tempat acara karena masih ngobrol ringan dengan mahasiswa yang mengambil hadiah darinya.

Mereka pun sepakat melayat ke rumah duka.

Ustaz Rofiq merupakan ketua  prodi  Fakultas Tarbiyah. Dia juga merupakan dosen pembimbing skripsi Khair. Sontak, kabar duka itu mebuat mahasiswa bimbingannya kaget. Sebab, beberapa hari lalu mereka masih bertemu dan berkonsultasi dengan beliau. Saat itu, beliau tampak sehat.

Kulu nafsin dza’iqatul maut,” ucap Ustaz Ahsan mengutip potongan ayat Alquran yang artinya, “Tiap-tiap makhluk yang bernyawa pasti akan mengalami kematian.”

“Kita hanya tidak tahu kapan. Hari ini kita ditinggalkan, kelak kita juga yang akan meninggalkan,” lanjutnya, menimpali obrolan para mahasiswa tentang kepergian Ustaz Rofiq yang tak disangka-sangka.

Obrolan itu mengalir sepanjang perjalanan menuju rumah duka. Ustaz Ahsan mengangkut mereka dengan mobilnya, menuju kediaman Ustaz Rofiq yang juga rumah duka.

Dalam perjalanan itu Khair tak lupa mengirim pesan kepada kakaknya, mengabarkan bahwa dia pergi melayat dosen yang meninggal. Pamitan dan ijin kepada Khaira sudah jadi kebiasaan Khair sejak sang Kakak tinggal bersamanya. Dulu, kebiasaan yang sama dia lakukan kepada sang Ibu.

Ibu mereka sudah tiada. Kabar meninggalnya Ustaz Rofiq pun kembali mengusik ingatan Khair tentang meninggalnya sang ibu, wanita terkasih yang amanatnya senantiasa Khair pegang teguh.

“Bawa Khaira! Kelak kalau ibu tidak ada, kalian harus bersama. Khair dan Khaira ….“ Itulah keinginan almarhum ibu mereka.

“Khair, berjanjilah sama ibu, kamu akan menjaga Khaira, demi ibu ….”

Air mata menitik kembali di mata bening Khair persis seperti saat itu, kala dia ditingalkan sang ibu sebelum dirinya mampu mewujudkan keinginan terakhir wanita itu.

“Khair akan jaga Teh Khaira, Bu. Khair janji sama ibu,” tekadnya.

Sebelum tertangkap berurai air mata, buru-buru Khair usap pelupuk matanya. Sekilas gerakan Khair berkelebat di  rear-vision mirror yang tergantung di plafon depan. Sekilas itu pula Ustaz Ahsan yang berada di balik kemudi menangkapnya kelebatan kepedihan di mata mahasiswa tersebut.

♥♥♥

Perjalanan setengah jam di jalur tanpa kemacetan akhirnya mengantarkan rombongan Ustaz Ahsan tiba di rumah duka.

Setibanya di tempat, mereka tak ragu turut serta menunaikan kewajiban sebagai muslim untuk memenuhi salah satu hak muslim lainnya, yakni menyelenggarakan pemulasaraan jenazah. Ustaz Ahsan dan dosen lain yang sudah tiba lebih dulu beserta beberapa mahasiswa yang hadir ikut menyolatkan jenazah Ustaz Rofiq. Sebagian dari mereka bahkan ikut membantu persiapan di makam.

Ustaz Rofiq sudah seperti orang tua bagi para mahasiswa fakultas Tarbiyah. Dia merupakan dosen senior yang sudah puluhan tahun mengabdi sebagai tenaga pendidik di kampus. Sifatnya pengayom, sabar dan murah senyum, jauh dari kesan pemimpin yang tiran. Dalam beberapa kesempatan, dia bahkan tak sungkan berkelakar.

Bola mata Khair berkaca-kaca saat doa dibacakan. Gundukan tanah merah telah mengubur sempurna jasad dosen pembimbing tercinta. Kenangan tentangnya berkelebat.

“Penelitian memang dimulai dari masalah, tapi jangan sampai penelitian kamu berakhir jadi masalah juga, ya!” kata almarhum Ustaz Rofiq saat pertama kali Khair mengajukan judul skripsinya. Ya, beliau memang sudah jadi pembimbing skripsi Khair sejak masih berupa proposal.

Tiga kali mengajukan judul, tiga kali juga judul itu ditolak. Penolakan Ustaz Rofiq kadang terasa  kasar, tapi Khair menerimanya sebagai ujian mental. Baginya, sang dosen hanya sedang menyuguhkan tantangan.

Sekali waktu dosen itu berkata, “Kamu bisa enggak cari masalah yang belum ditemukan orang lain?”

Di waktu lain dia berkata, “Jangan bikin yang enggak masalah jadi masalah dong, Khair!”

Sampai akhirnya, dia berkata, “Semoga kamu enggak dapat masalah untuk menyelesaiakan penelitianmu. Good luck, Khair!”

Ah, betapa tiba-tiba Khair merindukan hardikan dan teguran sang dosen. Nanti siapa lagi yang bisa dia ajak konsultasi dan membimbing penyusunan skripsinya.

Mendadak Khair  tersadar, bagaimana jika dia telat lulus karena skripsinya tidak selesai-selesai? Apalagi sekarang salah satu dosen pembimbingnya telah tiada.

“Masa depanku bagaimana jadinya?” batin Khair.

♥♥♥

Sekembalinya rombongan dari makam, satu persatu berpamitan pada tuan rumah yakni keluarga almarhum ustaz Rafiq.

“Khair, kamu pulang ke arah kampus, kan?” tanya Ustaz Ahsan.

“Iya, Ustaz.”

“Kita pulang sama-sama saja, ya!”

“Apa tidak merepotkan, Ustaz?“ Terdengar keraguan pada nada suara Khair.

“Sama sekali tidak,” jawab lugas Ustaz Ahsan, “Mari kita pamitan dulu ke dalam.”

Khair mengekori langkah dosen muda itu memasuki rumah duka untuk pamitan secara langsung pada keluarga almarhum Ustaz Rofiq. Saat itulah dia mendapati seorang gadis berpashmina berada di sana.

Gadis itu menarik perhatiannya. Seorang gadis dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans ketat dipadu pashmina merah jambu, berada dalam suasan berkabung di sebuah rumah duka. Siapa yang tidak aneh melihatnya.

Khair mengamati gadis itu dari jarak yang tidak terlalu jauh, tapi juga tidak begitu dekat. Saat itulah tatapannya bersirobok dengan si gadis pashmina. Wajah gadis itu pun tertangkap jelas oleh indra penglihatan Khair.

Kulit wajah putih gadis itu nampak pias dibalur lelehan air mata yang perlahan dia seka saat tahu Khair sedang memperhatikannya. Mata yang sembab itu perlahan menunjukkan binar setelah netranya menangkap sosok Khair di sana. Hidungnya yang mancung namun begitu mungil terlihat sedikit mengembang menata tarikan nafas.

“Dia kan …. “ Memorinya memutar kembali kejadian saat kuliah umum di kampus.

“Riang … Ummi  Latifah ....” sapa Ustaz Khair pada dua wanita yang berdiri bersisian di antara tamu yang hadir di rumah duka. Sapaan itu seolah menjawab pertanyaan Khair tentang sosok gadis salah kostum tadi.

Sementara Ustaz Ahsan menghampiri  keduanya, Khair memilih menjaga jarak. Meski begitu, benaknya tak henti berpikir, “Itu ibunya Ustaz Ahsan? Lantas gadis itu …?”

Tatapan Khair berganti-ganti dari gadis berpashmina merah jambu ke sosok ibu yang disapa Ustaz Ahsan barusan.

 “Nak Ahsan datang rupanya,” Ibu berpakaian abaya hitam berjilbab panjang itu balik menyapa, “Apa kabar mama dan papamu?”

“Mama Alhamdulillah baik, Ummi. Papa masih dalam perawatan,” jawab Ustaz Ahsan.

Dari pembicaraan ramah tamah ringan itu Khair dapat menyimpulkan bahwa wanita itu bukan ibunda sang Dosen. Dari pembicaraan yang tak sengaja didengarnya pula, Khair jadi tahu ayahnya ustaz Ahsan rupanya sedang sakit.

“Ustaz datang sama siapa?” tiba-tiba gadis berpashiman merah jambu yang disapa dengan nama Riang tadi bersuara. Jelas dia curi-curi pandang ke arah Khair yang tak jauh dari mereka. Itu seolah kode yang langsung terbaca oleh dosen cerdas itu.

“Saya sama Khair dan beberapa panitia kuliah umum tadi,”  jawab Ustaz Ahsan. Dia lantas menoleh mengikuti arah pandangan mata yang ditunjukkan Riang. “Khair, sini!” panggil Ustaz Ahsan kemudian.

Pemuda itu mendekat. Kini dia tak lagi menatap gadis yang sudah dia identifikasi sebagai mahasiswa tak tahu malu yang tadi membuat gaduh di kuliah umum. Lebih dari itu, Khair benar-benar menjaga pandangan hingga dia buang tatapannya jauh-jauh ke dasar bumi seperti tak sudi matanya ternodai oleh gadis itu.

Ya, tentu saja Khair belum lupa kelakuan gadis itu di kuliah umum tadi siang. Namun, soal mengapa dia ada di rumah duka dan kenapa Ustaz Ahsan bisa mengenalnya, Khair sama sekali tak mengetahuinya.

“Khair, kenalkan, ini Ummi Latifah, sahabat mama saya. Dan, ini Rianka, putrinya. Panggilannya Riang. Riang Sayang, ya, ummi .…” ucap Ustaz Ahsan jenaka, ditanggapi senyum manis Ummi Latifah.

“Kalau Nak Khair ini ….“

Belum sempat Ummi Latifah berucap, Riang mendekat. Lantas membisikan sesuatu ke telinga umminya, membuat wanita 50-an itu memasang ekspresi terkejut luar biasa. Entah apa yang dikatakan gadis itu. Namun setelahnya, dia langsung menatap Khair dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Dalam diam Khair menebak, pasti gadis itu membisikkan sesuatu yang aneh-aneh ke telinga umminya.

“Maaf Ummi,” Ustaz Ahsan lah yang kemudian buka suara menyikapi perubahan atmosfer yang mulai terasa. “Kami tidak bisa lama-lama. Salam buat Abi. Kami pamit dulu.”

Seolah tersadar, Ummi Latifah tergagap berucap, “Oh iya … iya … silakan … silakan jadi calon mantu ummi. Eh .…“

Ustaz Ahsan dan Khair sontak saling tatap. Mau tertawa pun ditahan karena dirasa tidak sopan. Hanya Riang yang tampak mulai cengengesan.

“Aduh, Ummi minta maaf. Riang sih ini bercanda saja …  Ummi jadi keceplosan,” ucap Ummi Latifah.

“Serius ko, Ummi,” timpal putri kesayangannya itu sambil mengerling.

“Kamu tuh, ya!” Ummi Latifah membelalakkan mata ke arah putrinya yang diberi nama sesuai dengan karakternya, Riang.

Tak membiarkan masalah ibu dan anak itu berlarut-larut, Ustaz Ahsan dan Khair segera mengucap salam dan beranjak keluar.

♥♥♥

Related chapters

  • Khair dan Khaira   Tangis Khaira

    Di dalam kendaraan yang dikemudikan Ustaz Ahsan, Khair hanya diam. Ustaz Ahsan lah yang memulai pembicaraan. “Kamu kenal Riang?” tanya dia. “Tidak, Ustaz.” “Tapi dia kenal kamu.” Khair mulai merasa tidak nyaman dengan pembicaraan soal gadis berpashmina pink yang selalu membuat dia terganggu itu. “Dia sering titip salam buat kamu ke saya.” Ustaz Ahsan nyengir. “Riang memang begitu. Riang seperti namanya. Saya kenal dia karena sering ketemu dengan umminya yang sahabat ibu saya. Ustaz Rofiq juga sering cerita tentang keponakannya itu. Tolong jangan salah paham soal dia dan saya, ya!” Khair diam saja. ‘Apa sih maksud pembicaraan Ustaz ini?’ pikirnya. Dia tampak tegang. Berbeda dari saat berangkat, kali ini hanya Khair sendiri yang menumpang mobil sang dosen. “Santai aja, Khair!” ucap Ustaz Ahsan seolah mampu membaca pikiran pemuda itu. “Iya, Ustaz.” “Di luar perkuliahan, kamu enggak perlu panggil saya ustaz,” ujar U

    Last Updated : 2021-05-30
  • Khair dan Khaira   Tragedi

    Siang tadi, saat Khair mengiriminya pesan bahwa dia akan pergi ke rumah duka, saat itu Khaira sedang di mini market membeli keperluan bulanannya. Dia pergi sendirian. Tidak lama, hanya sekitar 30 menit. Jarak dari kedai ke mini market pun tak jauh. Khaira hanya berjalan kaki sekitar 15 menit, melewati pangkalan ojol di depan Kampus Khair, lurus hingga ke perempatan jalan. Mini market itu berdiri di jajaran ruko-ruko di sebrang jalan setelah belokan. Ketika dia menyebrang menuju mini market tersebut, Khaira merasa seseorang menguntitnya. Namun, di tempat ramai itu dia tidak bisa mengidentifikasi orang-orang. Walhasil, selama 30 menit di mini market, dia merasakan was-was. Sampai akhirnya, dia membuka pesan w******p dari Khair ketika tepat berada di pojok rak etalase. Khaira tersentak. Seseorang menepuk bahunya dengan kasar. “Khaira!” Seru suara yang datang bersama sentakan di bahunya. Gadis itu langsung menoleh dan mematung seketika. Nanar mata

    Last Updated : 2021-05-31
  • Khair dan Khaira   Ketika Budi Meminta Balas

    Sejak peristiwa traumatis itu, Khaira menjalani aktivitasnya dengan lebih waspada. Namun, empat tahun lalu, ketika usianya menginjak 23 tahun, lelaki bernama Guntur itu muncul kembali dalam rupa yang berbeda di hadapan Khaira. Jika dulu dia menjelma iblis, kini dia berkedok makaikat.Keluarga Khaira tidak pernah tahu tentang kejadian nahas di proyek waktu itu. Saat pulang kerumah dalam kondisi tak karuan, Khaira berdalih dia mengalami kecelakaan sepeda. Itu dia lakukan agar tidak terjadi masalah yang lebih besar.Neneknya yang sakit-sakitan bisa terguncang. Dulu, kakeknya juga meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar buruk, kebangkrutan usaha. Himpitan ekonomi membuat kakek neneknya dulu memiliki banyak utang kepada rentenir. Usaha warteg yang dijalankan neneknya gulung tikar. Kakeknya yang sudah lama pensiun dari kepolisian akhirnya meninggal. Tinggal Khaira seorang yang berjuang mencari nafkah.Sementara, putri bungsu kakek-neneknya yakni tant

    Last Updated : 2021-06-01
  • Khair dan Khaira   Kilas Balik

    Sejak perjodohan diputuskan, dan hari pernikahan ditetapkan, Khaira merasa sudah kehilangan nyawa. Dia tak lebih dari raga yang tidak punya jiwa. Mati dalam hidupnya. Dia layaknya mayat yang tak selayaknya punya keinginan. Hanya orang lain yang bisa memetakkan dirinya. Dengan pikiran seperti itu Khaira bernafas hingga hari pernikahannya tiba."Tidak ada lagi kehidupan ...."Kala riasan pengantin sudah terpasang, gaun sudah dikenakan, di dalam kamar, Khaira siap mengakhiri semuanya. Pisau cutter sudah dia genggam. Mata pisau sudah siap menyayat nadinya.Lantunan shalawat bergema di luar, menandakan kedatangan mempelai pria."Ampuni Khaira, ya Allah ...."Gadis itu memejamkan mata, menahan perih yang langsung terasa begitu mata pisau menembus lapisan kulit di pergelangan tangannya. Darah mengalir begitu juga air matanya.Suara-suara berisik di halaman dan tengah rumah perlahan meredup. Namun, sebelum Kesadarannya sempurna hilang, Khaira menden

    Last Updated : 2021-06-03
  • Khair dan Khaira   Konflik Keluarga

    Khair ingat, dia terbangun di sebuah ruang rawat rumah sakit tanpa seorang pun menungguinya. Pemuda itu langsung keluar kamar, menyusuri lorong pendek menuju pintu keluar. Namun, di tengah jalan dia mendapati kerumunan di mulut sebuah ruang perawatan.Khair mengenali orang-orang berpakaian indah khas hajatan itu. Dia melihat mereka di acara walimah. Ingatannya langsung tertuju kepada Khaira.“Kehabisan darah dia. Harus transfusi sepertinya .…”“Iya, kasian Khaira.”“Lalawora, bunuh diri sagala tuda (gegabah, pakai acara bunuh diri segala sih!)”Itu sebagaian percakapan yang Khair dengar dari mulut orang-orang yang berkerumun di sana. Dia beranikan diri membaur untuk mendekati pintu. Orang-orang seketika menyingkir saat menyadari kehadiran pemuda biang onar di walimah itu.Bisik-bisik tentang Khair yang tak dikenali, tentang Khaira yang bernasib malang, sampai tentang ibu mereka yang disebut-se

    Last Updated : 2021-06-04
  • Khair dan Khaira   Tanda Tanya

    “Kamu enggak ke masjid?” Itu yang ditanyakan pertama kali oleh Khaira saat dia bangun menjelang subuh. Gadis itu keluar kamar seolah tidak terjadi apa-apa. Semua air mata dan kemarahan tentang Guntur dan buku harian yang dia bakar sebelumnya, seolah sirna.“Teteh enggak apa-apa?” tanya Khair dalam nada campuran anatar heran dan ragu.“Menurut kamu?” Khaira memang selalu bikin Khair greget. Semalam adiknya itu tak bisa tidur karena mengkhawatirkan kondisinya, eh … setelah terbangun, orang yang dikhawatirkan itu justru terlihat biasa saja.“Asli, Teteh baik-baik aja?” tanya Khair lebih seperti meyakinkan diri sendiri.“Memang kamu mau Teteh kayak kemarin lagi?” Khaira membalikan pertanyaan.Khair menghembuskan nafas panjang. “Syukurlah kalau Teteh enggak apa-apa mah ….” Setidaknya, itu berarti dia tidak perlu membawa Khaira memeriksakan diri ke Psikiater.&ld

    Last Updated : 2021-06-05
  • Khair dan Khaira   Dear Diary

    Ketika kakak beradik itu bermunajat, nun jauh di sebuah kamar, di gedung apartemen yang memayungi rumah mungil Khair dan Khaira, seseorang juga menghamparkan sajadahnya, memohon petunjuk agar diberikan ketetapan hati atas pilihan-pilihan yang dihadadapkan kepadanya.Setelah seharian beraktivitas, lelah tak juga membuat lelaki itu tertidur lelap. Dihampirinya laci meja di sisi tempat tidurnya. Sebuah buku bernuansa vintage, bersampul kulit warna cream agak lusuh ada di dalamnya bersama lembaran-lembaran sketsa. Dibukanya laci itu. Diraihnya buku tadi.Malam itu dia bertekad mengkhatamkan isinya untuk mencari tahu siapa pemiliknya.Di halaman pertama buku harian klasik bersampul kulit warna cream yang sudah agak lusuh itu tertulis:Dear diary,Aku selalu penasaran, mengapa rasa sayang mama dan papa membuat hidupku sesak dan tertekan. Aku merasa tak pernah bisa berdiri di atas sepatuku sendiri.Di usia 18, aku sudah bekerj

    Last Updated : 2021-06-05
  • Khair dan Khaira   Urusan yang tidak pernah Selesai

    Lewat kehadiran Aa sebuah rahasia mau tidak mau jadi terungkap. Meski kehadiran Aa sebagai suamiku tak direstui, aku tidak peduli. Toh, nyatanya hanya dia yang menerimaku tanpa cela. Hanya dia yang senyatanya memberiku identitas sejati dalam keluarga yang kami bangun kini.Aa yang seorang perantau dari jiran dianggap tak akan mampu menjamin hidupku dengan layak. Statusnya sebagai pekerja kontrak dan kewarganegaraannya, kerap dijadikan alasan untuk menolak kehadirannya menjadi menantu di keluargaku yang selalu memposisikan diri sebagai keluarga terhormat. Padahal, bukan itu alasan penolakan mereka yang sesungguhnya. Papa memang pernah menjadi orang yang disegani waktu menjabat sebagai polisi. Namun, apalah arti kesombongan terhadap pangkat dan jabatan. Toh setelah pensiun dan sakit-sakitan, untuk bernafas saja dia kadang memerlukan selang dan tabung oksigen. Hanya saja di kala sudah sehat lagi, bentakan dan teriakan tetap jadi senjata andalannya u

    Last Updated : 2021-06-06

Latest chapter

  • Khair dan Khaira   Catatan Penutup

    Dear Good Novel readers, Terima kasih saya ucapkan untuk pembaca setia Khair dan Khaira. Semoga ending kisah ini menyenangkan. Saya harap pembaca bisa mengambil sesuatu di dalamnya. Bukan sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi saya juga ingin pembaca merasakan manfaat dari bacaannya. Semoga ada hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dalam cerita ini dan bisa menjadi kebermanfaatan bagi semua pembacanya. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan yang mungkin tertulis di dalamnya. Saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari semuanya sehingga saya bisa melakukan perbaikan pada karya-karya berikutnya. Oh, iya ... apakah Khair dan Khaira perlu dibuat sekuelnya? Sebenarnya, ide untuk melanjutkan kisah ini sudah ada. Namun, saya perlu pendapat dari pembaca juga. Tolong berikan masukan dan saran di kolom komentar, ya. Sekali lagi, terima kasih bayak atas dukungannya, baik dalam bentuk vote, komentar, maupun ulasan tentan

  • Khair dan Khaira   Surat Riang

    “Jangan nangis, Teh,” bisik Khair saat mereka berpelukan. “Khair enggak bawa sapu tangan.” Pemuda itu tertawa. Namun, matanya jelas berkaca-kaca. Dia juga merasa berat meninggalkan kakaknya.Khaira menggelengkan kepala. “Awas kamu ... jangan kangen sama tumis kangkung Teteh loh, ya ...!”Tanpa sadar keduanya sesenggukan.“Khair mau minta sesuatu sama Teteh ....” ucap dia sebelum melepas pelukan.“Apa?”“Khair minta keponakan!” Dia terkekeh sambil mengusap bulir yang jatuh jatuh dari sudut matanya.“Kamu mah ....” Khaira melepas pelukan sambil mencubit lengan adiknya.Khair meringis.“Kenapa?” tanya Ahsan khawatir.“Khair lupa minum obat,” sahut Khaira sekenanya. Mukanya sudah kemerah-merahan menahan malu campur kesal. Jika tidak ingat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang Adik sebelum pergi dalam

  • Khair dan Khaira   Perpisahan

    Sehari setelah pernikahan Khaira dengan Ahsan, Khair dijadwalkan terbang ke Malaysia. Pemuda yang akan menjalani perkuliahan pascasarjana itu sudah menyiapkan koper dan bekal.Dia sudah janjian dengan Ahsan dan Khaira yang akan datang menjemput dan mengantarnya ke Bandara. Jadi, begitu terdengar ketukan di pintu, Khair langsung keluar dengan wajah ceria. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati seseorang berdiri di dekat pintu masuk. Orang itu bukan kakaknya.Khair menatap heran. Keberadaan orang tersebut sungguh di luar dugaannya.“Hm ....” Khair jadi speechless. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepada sosok wanita bercadar yang tampak sudah lama berdiri di depan pintu itu. Dari mata dan tatapannya saja Khair langsung bisa mengenali siapa wanita itu.“Riang ke sini hanya mau menyampaikan sesuatu.”Heran bercampur penasaran membuat jantung Khair sedikit berdebar. “Apa yang mau disampaikan Riang?”

  • Khair dan Khaira   Haru

    Ekspresi muka Khaira tidak berubah. Dia belum dapat jawaban yang diinginkannya. Eh, malah ditertawakan. Menyebalkan sekali suaminya. Mana bisa Khaira percaya.“Saya sudah suka sama kamu sejak lama,” kata Ahsan. Kali ini mukanya serius supaya bisa dipercaya.“Sejak kapan?” Khaira sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Selama ini dia pikir Ahsan bahkan tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Boro-boro jatuh cinta, jika saling bertatapan saja dia langsung buang muka.Ahsan nyengir lagi. “Hm ... itu sepertinya sejak nama kita tertulis di lauhul mahfudz.”Khaira menghela napas. Lelah hayati dia mengharapkan jawaban serius dari orang serius yang ternyata suka bercanda.Ekspresi kesal itu terbaca. Ahsan lantas berkata, “Saya tidak tahu tepatnya, tapi sejak melihat kamu sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya tidak bisa melupakan kamu.”Khaira memicingkan mata sambil menghitung mundur ke

  • Khair dan Khaira   Mitsaqan Ghaliza dan Ungkapan Cinta

    Ketika segala sesuatu berlaku sesuai kehendak-Nya, maka segala jalan terbuka dengan sendirinya. Tidak ada aral apapun yang merintangi perjalanan sang Waktu hingga menyatukan Ahsan dan Khaira di depan penghulu.Sebagai wali dari kakaknya, Khair menjabat tangan Ahsan dan mengucap ijab dengan mantap. Demikian juga Ahsan, mengucap qabul dengan mantap dalam satu tarikan napas. Saat itu, tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan Khair, arasy berguncang tersebab sebuah ikrar yang beratnya seperti perjanjian ketika Allah mengangkat seorang rasul bagi manusia. Itulah akad yang disebut sebagai mitsaqan Ghaliza.Hari itu, telah Khair tunaikan sumpahnya. Telah tunai pula tanggung jawabnya menjaga sang Kakak sebagaimana diamanahkan orang tuanya. Meski bahagia, air matanya tumpah juga. Apalagi ketika Khaira dan Ahsan bergantian memeluknya.“Teteh jangan nangis!” kata Khair sambil mengusap pipi kakaknya. Padahal air mata dia lebih deras daripada bulir bening di mat

  • Khair dan Khaira   Bahagia

    Persoalan nikah membuat Khaira gelisah, terutama karena calon suaminya adalah Ahsan. “Kenapa harus dia sih?” pikir Khaira. Lama-lama wanita itu jadi greget ingin mengintrogasi adiknya. Namun, sejak acara lamaran di kedai waktu itu, Khaira menahan keinginan itu demi kelancaran Khair dalam menempuh studinya. Meski hari pernikahannya kian dekat, Khaira berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meski begitu, masih ada satu ganjalan di hatinya yakni tentang seseorang yang dia lihat tanpa sengaja di rumah sakit tempo hari. “Apa Ahsan mengenalnya?” Pertanyaan itu terus berkelindan di kepalanya tanpa berani dia utarakan kepada siapapun. Sampai pada jadwal terapi berikutnya, Khaira datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, dia bertemu psikiater baru pengganti dokter Huda. Di sana, seusai terapi, tanpa sengaja Khaira berpapasan dengan Ahsan. Dia merasa sangat canggung. Namun seulas senyum hangat yang disuguhkan lelaki di depannya itu mampu mencairkan suasana. “

  • Khair dan Khaira   Pertemuan

    Khaira percaya kepada Khair. Dia bahkan tidak mencari tahu soal calon yang disodorkan adiknya hingga mereka dipertemukan di kedai. Hari itu Khaira keluar untuk memberi makan kucing-kucing di pelataran. Seorang ibu berpakaian rapi nampak berdiri mengamati kedainya dari pinggir jalan. Khaira pun memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil memberi makan kucing-kucing yang mengerubungi kakinya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah kedai kopi sambil menenteng beberapa paper bag. Lamat-lamat, Khaira dapat melihat wajahnya dengan jelas. “Maaf, bukankah ibu yang waktu itu belanja di mini market rumah sakit?” tanya Khaira. Ekspresi terkejut di wajah wanita itu berubah sumringah. Dia tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Apakah kamu Khaira?” “Iya. Saya Khaira.” Wanita itu mengulurkan tangan meski heran, bagaimana ibu tersebut bisa menebak dengan tepat siapa dirinya. “Mungkin karena aprone dan kedai ini,” pikir Khaira. “Masya Allah.”

  • Khair dan Khaira   Persetujuan

    Khair tiba di kedai sesaat setelah Khaira pergi. Jadi dia tidak bisa langsung memberitahu ‘kabar ajaib’ yang dibekalnya dari restoran.“Teh Khaira kemana gitu, Bi?” tanya Khair gemas sekali. Tidak mungkin kan dia menyampaikan kabar sepenting itu di telepon atau pesan teks.“Katanya sih ke panti, nemenin Neng Riang yang mau perpisahan,” terang Bi Ocih.”Perpisahan?” Khair mengernyitkan dahi.Bi Ocih mengangguk sambil kipas-kipas melepas lelah.“Perpisahan apa?” tanya Khair sambil tetap jaga image. Jangan sampai Bi Ocih beranggapan dia kepo atau penasaran soal Riang.Dari cengiran wanita itu Khair bisa menebak apa yang akan dikatakan, “Kepo, ya?”“Bibi mah ....” Khair jadi salah tingkah. Akhirnya dia mengalah dan memutuskan mengakhiri pembicaraan. Biar nanti dia tanya Teh Khaira saja sepulang dari sana. Begitu rencana dia.***“Teh Kh

  • Khair dan Khaira   Keajaiban

    Khair pergi ke hotel tersebut bukan untuk menemui bos pemiliknya ataupun berniat mengungkap kembali kasus Khaira. Dia kesana hanya dengan satu tujuan, yakni berkonsultasi tentang kafarat sumpah yang akan dibatalkannya.Mereka beremu di restoran sebelum pertemuan tak terduga dengan bos besar itu terjadi.Ketika Khair tiba, seorang pria berperawakan proporsional dengan raut wajah ramah menyambut Khair di salah satu meja. Dia memakai jas bergaya single breasted sebagai outer yang dipadukan dengan kurta.Khair tertegun sejenak sebelum berani menyapa. Penampilan pria itu membuatnya khawatir salah mengenali orang. Dari kejauhan dia memang terlihat seperti artis India atau Pakistan. Namun, dari dekat nampak bahwa wajahnya familiar.“Syukurlah kamu bisa datang lebih awal,” kata Ahsan, lelaki yang ditemui Khair di tempat tersebut. Senyumnya mengembang tanpa baking soda, namun terlihat manis seperti mengandung gula.“Alhamdulill

DMCA.com Protection Status