Di dalam kendaraan yang dikemudikan Ustaz Ahsan, Khair hanya diam. Ustaz Ahsan lah yang memulai pembicaraan.
“Kamu kenal Riang?” tanya dia.
“Tidak, Ustaz.”
“Tapi dia kenal kamu.”
Khair mulai merasa tidak nyaman dengan pembicaraan soal gadis berpashmina pink yang selalu membuat dia terganggu itu.
“Dia sering titip salam buat kamu ke saya.” Ustaz Ahsan nyengir. “Riang memang begitu. Riang seperti namanya. Saya kenal dia karena sering ketemu dengan umminya yang sahabat ibu saya. Ustaz Rofiq juga sering cerita tentang keponakannya itu. Tolong jangan salah paham soal dia dan saya, ya!”
Khair diam saja. ‘Apa sih maksud pembicaraan Ustaz ini?’ pikirnya. Dia tampak tegang. Berbeda dari saat berangkat, kali ini hanya Khair sendiri yang menumpang mobil sang dosen.
“Santai aja, Khair!” ucap Ustaz Ahsan seolah mampu membaca pikiran pemuda itu.
“Iya, Ustaz.”
“Di luar perkuliahan, kamu enggak perlu panggil saya ustaz,” ujar Ustaz Ahsan ringan, “Saya lebih suka jadi seorang sahabat daripada seorang guru, terutama dengan kamu.”
Khair seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar.
Ustaz Ahsan menoleh sesaat sambil melengkungkan senyum khas sebelum mengutarakan kalimat yang akan membuat pemuda di sebelahnya itu tambah heran.
“Itu karena saya merasa sudah begitu mengenal kamu dari cerita Rumaysha.”
Bak disambar petir, Khair yang sebelumnya tegang menjadi tambah kaku. AC yang dingin malah tambah membuatnya beku.
“Kalian ….”
“Tidak, Ustaz,” gugup Khair memotong kalimat Ustaz Ahsan.
“Lho, bukannya kalian satu SMA? Rumi bilang kamu dulu adalah saingannya di kelas.”
Khair menghela nafas. Mendadak dia lega mendengar penuturan Ustaz Ahsan. Dia kira Rumaysha mengungkapkan semua kepada tunangannya.
“Oh, iya Ustaz. Rumi memang teman sekelas saya waktu SMA.”
Senyum Ustaz Ahsan makin lebar.
“Jadi kamu kenal dengan calon istri saya, kan?”
“Iya.” Mau tidak mau Khair mengakuinya.
“Makanya saya lebih suka jadi sahabat kamu.”
“Iya, Ustaz.” Khair mengangguk.
“Jangan sungkan sama saya, Khair,” ujar Ustaz Ahsan, “Rumi itu sepupu jauh saya. Saya kenal dia sejak masih kecil. Bahkan, waktu dia baru lahir, saya dan keluarga termasuk jadi rombongan pertama yang menjenguknya ke rumah sakit. Rumi selalu cerita apapun kepada saya. Jadi, saya tahu semua.”
Khair terdiam. Dalam hati dia menyesal karena mau saja ikut diajak pulang bersama calon suami Rumaysha ini.
“Saya harap kita bisa ngobrol banyak di lain waktu,” pungkas Ustaz Ahsan.
Ketika dari kejauhan gedung kampus terlihat, Ustaz Ahsan bertanya, “Rumah kamu di mana? Saya antar sampai rumah saja, ya!”
Rupanya dia tidak berniat mampir ke kampus.
“Tidak usah, Ustaz. Rumah saya masuk gang. Harus memutar kalau lewat jalan besar,” cegah Khair. Perasaan tak enak melingkupi dirinya. Bukan hanya soal fakta bahwa dia pernah menyimpan nama Rumaysha di hatinya. Melainkan juga fakta bahwa kondisi ekonominya tak cukup pantas diperlihatkan kepada orang lain.
Rumah tinggal Khair dan Khaira hampir tak terlihat karena berada tepat di bawah bayang-bayang sebuah apartemen megah. Hanya tembok beton tinggi menjulang yang jadi pembatas area apartemen dan halaman belakang rumah mereka.
Rumah seukuran petak itu merupakan peninggalan orang tua Khair dan Khaira. Rumah impian ibunya yang menyimpan banyak kenangan.
Khair tak mau menunjukkan rumah itu bukan karena merasa malu atas kemiskinannya, dia hanya tak mau Ustaz Ahsan mengasihaninya. Maka dia meminta turun di depan kedai kopi dekat kampus saja.
“Terima kasih, Ustaz,” ucap Khair seperti melepas beban berat saat dia turun dari mobil sang dosen, “Apa Ustaz berkenan mau mampir dulu untuk minum kopi?” tawar Khair basa basi.
Dia yakin, kedai kopi sederhana milik kakaknya itu bukan tempat yang dinilai cukup berkelas untuk disambangi seorang putra pengusaha kaya macam Ustaz Ahsan.
Di balik jendela, pria berwajah jernih itu sekilas menatap kedai kopi sederhana bernuansa hitam putih tak jauh dari tempat mobilnya berhenti. Disana tampak sebuah container booth berdiri menghadap sebuah ruangan kecil. Dinding ruangan itu juga terbuat dari seng yang dicat hitam dengan gambar dekoratif berwarna putih. Di tengahnya terpasang kaca yang bisa digeser ke atas, seperti jendela kereta api.
Tampak dari luar, tulisan ‘Kedai Kopi Khaira’ terpampang dengan bentuk huruf K dekoratif yang cantik.
Dari balik jendela tampak beberapa set kursi dan meja tersebar di dalam ruangan. Tidak banyak hiasan terpajang di dalam sana. Dekorasinya sederhana saja. Namun, tampak rapi dan menyenangkan untuk dilihat. Ustaz Ahsan sendiri sepertinya cukup tertarik dengan desain kedai kopi tersebut hingga ia cukup lama mengamati tempat itu.
Sore itu, beberapa pengunjung ‘nangring’ di kedai Khaira. Kebanyakan anak muda, sisanya ojol (ojek online). Terlihat dari jaketnya. Mereka mengantre di container booth yang sekaligus difungsikan sebagai meja kerja barista. Ada seorang wanita memakai apron putih berdiri di dalam booth itu. Dia melayani pelanggan dengan cekatan.
Kedai kopi itu memang bukan tempat asing bagi mahasiswa dan dosen serta orang-orang yang kerap lalu lalang di sekitar kampus. Meski masih terbilang baru, orang-orang jelas tahu tentang keberadaan kedai itu. Pun demikian Ustaz Ahsan.
Dulu ketika dia baru mulai kariernya sebagai dosen di kampus itu, kedai kopi tadi belum berdiri. Lokasi tempat kedai kopi itu dulu adalah bekas bengkel yang sudah tutup. Namun, aroma kopi memang sudah jadi ciri khasnya karena memang ada booth sederhana yang menjual kopi di sana.
“Khair, apa kamu kerja sampingan di sana?” tanya Ustaz Ahsan sebelum dia menjawab tawaran Khair.
“Bisa dibilang begitu, Ustaz. Saya bagian delivery order ke kampus.” Khair nyengir walau hatinya ketar-ketir. Dia merasa Ustaz Ahsan kini tahu tentang masalah pribadinya. Jika sebelumnya saja perbedaan status mereka seperti langit dan bumi. Apalagi sekarang, setelah semuanya terungkap. Makin jauhlah Rumaysha dari genggamannya. Demikian yang Khair pikirkan.
“Kalau begitu, lain kali saja saya mampir,” ucap Ustaz Ahsan. “Lain kali saya akan minta traktir,” candanya seraya pamit.
Sebelum memutar kendaraan, dia kembali menoleh sejenak ke arah container booth yang dihuni barista. Dia seolah ingin memastikan sesuatu. Namun, akhirnya memutuskan untuk segera berlalu.
***
Khair yang baru saja kembali, tidak mendapati Khaira di kedai kopi. Bi Ocih yang menggantikan Khaira di meja barista mengatakan, “Tadi habis belanja, Neng Khaira pulang duluan. Katanya pusing dan mau istirahat.”
Ini tidak biasa. Khair tahu itu. Dia segera menyusul Khaira ke rumah dan berjanji kembali lagi ke kedai untuk membantu Bi Ocih beres-beres jika nanti kedai sudah mau tutup.
Saat Khair membuka pintu rumah mungil seukuran petak yang mereka tinggali, tercium bau terbakar.
“Astaghfirullah,” gumam Khair. Dia langsung melesat ke halaman belakang. Bau terbakar itu datang dari arah sana.
Khaira, wanita satu-satunya yang Khair khawatirkan, tengah duduk memeluk lutut di depan unggun. Sebelah tangannya terangkat memegang sebuah buku. Ya, itu buku harian bersampul kulit berwarna cream yang baru selesai Khaira baca. Buku itu hendak dia bakar.
“Teteh!” Pekik Khair tepat saat buku berdesain klasik itu jatuh dalam unggun.
Khaira menoleh. Wajahnya tampak pucat padahal di hadapannya nyala api sedang memanaskan udara. Nampak jelas jejak air mata di pipi seputih salju itu, mengering dipanaskan suhu unggun.
Khair bergegas. Bukan Khaira yang dituju, melainkan buku harian itu. Dia nekat menyelamatkan buku itu dari amukan api unggun.
“Khair, ngapain kamu?” hardik Khaira dengan suara serak. Diraihnya tangan Khair yang selamat dari bakaran api. Gadis itu khawatir adiknya terluka. Namun, dia malah mendapatkan respon yang tak diharapkan.
“Teteh kenapa?” Pemuda itu menatap sang kakak. Sesaat lalu dia menghawatirkan nyawa wanita itu. Kini, dia justru mengkhawatirkan jiwanya. “Kenapa Teteh bakar buku ini?”
Manik mata Khaira berembun lebih tebal. Suaranya tersekat di kerongkongan. Tak mungkin dia ceritakan kejadian yang menimpanya tadi siang. Kejadian yang menurutnya terkait erat dengan buku harian tak bertuan itu.
***
Siang tadi, saat Khair mengiriminya pesan bahwa dia akan pergi ke rumah duka, saat itu Khaira sedang di mini market membeli keperluan bulanannya. Dia pergi sendirian. Tidak lama, hanya sekitar 30 menit. Jarak dari kedai ke mini market pun tak jauh. Khaira hanya berjalan kaki sekitar 15 menit, melewati pangkalan ojol di depan Kampus Khair, lurus hingga ke perempatan jalan. Mini market itu berdiri di jajaran ruko-ruko di sebrang jalan setelah belokan. Ketika dia menyebrang menuju mini market tersebut, Khaira merasa seseorang menguntitnya. Namun, di tempat ramai itu dia tidak bisa mengidentifikasi orang-orang. Walhasil, selama 30 menit di mini market, dia merasakan was-was. Sampai akhirnya, dia membuka pesan w******p dari Khair ketika tepat berada di pojok rak etalase. Khaira tersentak. Seseorang menepuk bahunya dengan kasar. “Khaira!” Seru suara yang datang bersama sentakan di bahunya. Gadis itu langsung menoleh dan mematung seketika. Nanar mata
Sejak peristiwa traumatis itu, Khaira menjalani aktivitasnya dengan lebih waspada. Namun, empat tahun lalu, ketika usianya menginjak 23 tahun, lelaki bernama Guntur itu muncul kembali dalam rupa yang berbeda di hadapan Khaira. Jika dulu dia menjelma iblis, kini dia berkedok makaikat.Keluarga Khaira tidak pernah tahu tentang kejadian nahas di proyek waktu itu. Saat pulang kerumah dalam kondisi tak karuan, Khaira berdalih dia mengalami kecelakaan sepeda. Itu dia lakukan agar tidak terjadi masalah yang lebih besar.Neneknya yang sakit-sakitan bisa terguncang. Dulu, kakeknya juga meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar buruk, kebangkrutan usaha. Himpitan ekonomi membuat kakek neneknya dulu memiliki banyak utang kepada rentenir. Usaha warteg yang dijalankan neneknya gulung tikar. Kakeknya yang sudah lama pensiun dari kepolisian akhirnya meninggal. Tinggal Khaira seorang yang berjuang mencari nafkah.Sementara, putri bungsu kakek-neneknya yakni tant
Sejak perjodohan diputuskan, dan hari pernikahan ditetapkan, Khaira merasa sudah kehilangan nyawa. Dia tak lebih dari raga yang tidak punya jiwa. Mati dalam hidupnya. Dia layaknya mayat yang tak selayaknya punya keinginan. Hanya orang lain yang bisa memetakkan dirinya. Dengan pikiran seperti itu Khaira bernafas hingga hari pernikahannya tiba."Tidak ada lagi kehidupan ...."Kala riasan pengantin sudah terpasang, gaun sudah dikenakan, di dalam kamar, Khaira siap mengakhiri semuanya. Pisau cutter sudah dia genggam. Mata pisau sudah siap menyayat nadinya.Lantunan shalawat bergema di luar, menandakan kedatangan mempelai pria."Ampuni Khaira, ya Allah ...."Gadis itu memejamkan mata, menahan perih yang langsung terasa begitu mata pisau menembus lapisan kulit di pergelangan tangannya. Darah mengalir begitu juga air matanya.Suara-suara berisik di halaman dan tengah rumah perlahan meredup. Namun, sebelum Kesadarannya sempurna hilang, Khaira menden
Khair ingat, dia terbangun di sebuah ruang rawat rumah sakit tanpa seorang pun menungguinya. Pemuda itu langsung keluar kamar, menyusuri lorong pendek menuju pintu keluar. Namun, di tengah jalan dia mendapati kerumunan di mulut sebuah ruang perawatan.Khair mengenali orang-orang berpakaian indah khas hajatan itu. Dia melihat mereka di acara walimah. Ingatannya langsung tertuju kepada Khaira.“Kehabisan darah dia. Harus transfusi sepertinya .…”“Iya, kasian Khaira.”“Lalawora, bunuh diri sagala tuda (gegabah, pakai acara bunuh diri segala sih!)”Itu sebagaian percakapan yang Khair dengar dari mulut orang-orang yang berkerumun di sana. Dia beranikan diri membaur untuk mendekati pintu. Orang-orang seketika menyingkir saat menyadari kehadiran pemuda biang onar di walimah itu.Bisik-bisik tentang Khair yang tak dikenali, tentang Khaira yang bernasib malang, sampai tentang ibu mereka yang disebut-se
“Kamu enggak ke masjid?” Itu yang ditanyakan pertama kali oleh Khaira saat dia bangun menjelang subuh. Gadis itu keluar kamar seolah tidak terjadi apa-apa. Semua air mata dan kemarahan tentang Guntur dan buku harian yang dia bakar sebelumnya, seolah sirna.“Teteh enggak apa-apa?” tanya Khair dalam nada campuran anatar heran dan ragu.“Menurut kamu?” Khaira memang selalu bikin Khair greget. Semalam adiknya itu tak bisa tidur karena mengkhawatirkan kondisinya, eh … setelah terbangun, orang yang dikhawatirkan itu justru terlihat biasa saja.“Asli, Teteh baik-baik aja?” tanya Khair lebih seperti meyakinkan diri sendiri.“Memang kamu mau Teteh kayak kemarin lagi?” Khaira membalikan pertanyaan.Khair menghembuskan nafas panjang. “Syukurlah kalau Teteh enggak apa-apa mah ….” Setidaknya, itu berarti dia tidak perlu membawa Khaira memeriksakan diri ke Psikiater.&ld
Ketika kakak beradik itu bermunajat, nun jauh di sebuah kamar, di gedung apartemen yang memayungi rumah mungil Khair dan Khaira, seseorang juga menghamparkan sajadahnya, memohon petunjuk agar diberikan ketetapan hati atas pilihan-pilihan yang dihadadapkan kepadanya.Setelah seharian beraktivitas, lelah tak juga membuat lelaki itu tertidur lelap. Dihampirinya laci meja di sisi tempat tidurnya. Sebuah buku bernuansa vintage, bersampul kulit warna cream agak lusuh ada di dalamnya bersama lembaran-lembaran sketsa. Dibukanya laci itu. Diraihnya buku tadi.Malam itu dia bertekad mengkhatamkan isinya untuk mencari tahu siapa pemiliknya.Di halaman pertama buku harian klasik bersampul kulit warna cream yang sudah agak lusuh itu tertulis:Dear diary,Aku selalu penasaran, mengapa rasa sayang mama dan papa membuat hidupku sesak dan tertekan. Aku merasa tak pernah bisa berdiri di atas sepatuku sendiri.Di usia 18, aku sudah bekerj
Lewat kehadiran Aa sebuah rahasia mau tidak mau jadi terungkap. Meski kehadiran Aa sebagai suamiku tak direstui, aku tidak peduli. Toh, nyatanya hanya dia yang menerimaku tanpa cela. Hanya dia yang senyatanya memberiku identitas sejati dalam keluarga yang kami bangun kini.Aa yang seorang perantau dari jiran dianggap tak akan mampu menjamin hidupku dengan layak. Statusnya sebagai pekerja kontrak dan kewarganegaraannya, kerap dijadikan alasan untuk menolak kehadirannya menjadi menantu di keluargaku yang selalu memposisikan diri sebagai keluarga terhormat. Padahal, bukan itu alasan penolakan mereka yang sesungguhnya. Papa memang pernah menjadi orang yang disegani waktu menjabat sebagai polisi. Namun, apalah arti kesombongan terhadap pangkat dan jabatan. Toh setelah pensiun dan sakit-sakitan, untuk bernafas saja dia kadang memerlukan selang dan tabung oksigen. Hanya saja di kala sudah sehat lagi, bentakan dan teriakan tetap jadi senjata andalannya u
Dear diary,Entah ini surat atau curhat, aku hanya ingin meninggalkan jejak untuk seseorang kelak. Seseorang yang pernah bergelung di rahimkudan telah terlahir ke dunia menjadi anakku. Kutulis ini didorong kekhawatiran terbesarku tentang masa depannya. Suatu hari dia akan hidup dan menghadapi dunianya sendiri. Jauh sebelum itu terjadi, aku ingin menjaga dan memastikan semuanya baik-baik saja kelak. Jika aku terlanjur tiada sebelum dapat kembali melihat senyumnya, aku harap dia tahu bahwa aku selalu ada. Tidak pernah meninggalkannya. Tidak pernah pergi sejengkal pun dari hidupnya.Aku ingin dia bisa hidup dengan baik, tumbuh dengan ceria, dan jadi anak yang bahagia dengan atau tanpa aku di sisinya. Dia adalah wasiatku. Kutitipkan dia hanya kepada Yang Maha Kuasa, Yang menciptakan aku dan dia, Yang mengikatkan pertalian darah kami berdua, Yang menjamin hidup dan mati, Yang Maha mengetahui, Yang Maha Pengasih dan Mah
Dear Good Novel readers, Terima kasih saya ucapkan untuk pembaca setia Khair dan Khaira. Semoga ending kisah ini menyenangkan. Saya harap pembaca bisa mengambil sesuatu di dalamnya. Bukan sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi saya juga ingin pembaca merasakan manfaat dari bacaannya. Semoga ada hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dalam cerita ini dan bisa menjadi kebermanfaatan bagi semua pembacanya. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan yang mungkin tertulis di dalamnya. Saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari semuanya sehingga saya bisa melakukan perbaikan pada karya-karya berikutnya. Oh, iya ... apakah Khair dan Khaira perlu dibuat sekuelnya? Sebenarnya, ide untuk melanjutkan kisah ini sudah ada. Namun, saya perlu pendapat dari pembaca juga. Tolong berikan masukan dan saran di kolom komentar, ya. Sekali lagi, terima kasih bayak atas dukungannya, baik dalam bentuk vote, komentar, maupun ulasan tentan
“Jangan nangis, Teh,” bisik Khair saat mereka berpelukan. “Khair enggak bawa sapu tangan.” Pemuda itu tertawa. Namun, matanya jelas berkaca-kaca. Dia juga merasa berat meninggalkan kakaknya.Khaira menggelengkan kepala. “Awas kamu ... jangan kangen sama tumis kangkung Teteh loh, ya ...!”Tanpa sadar keduanya sesenggukan.“Khair mau minta sesuatu sama Teteh ....” ucap dia sebelum melepas pelukan.“Apa?”“Khair minta keponakan!” Dia terkekeh sambil mengusap bulir yang jatuh jatuh dari sudut matanya.“Kamu mah ....” Khaira melepas pelukan sambil mencubit lengan adiknya.Khair meringis.“Kenapa?” tanya Ahsan khawatir.“Khair lupa minum obat,” sahut Khaira sekenanya. Mukanya sudah kemerah-merahan menahan malu campur kesal. Jika tidak ingat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang Adik sebelum pergi dalam
Sehari setelah pernikahan Khaira dengan Ahsan, Khair dijadwalkan terbang ke Malaysia. Pemuda yang akan menjalani perkuliahan pascasarjana itu sudah menyiapkan koper dan bekal.Dia sudah janjian dengan Ahsan dan Khaira yang akan datang menjemput dan mengantarnya ke Bandara. Jadi, begitu terdengar ketukan di pintu, Khair langsung keluar dengan wajah ceria. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati seseorang berdiri di dekat pintu masuk. Orang itu bukan kakaknya.Khair menatap heran. Keberadaan orang tersebut sungguh di luar dugaannya.“Hm ....” Khair jadi speechless. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepada sosok wanita bercadar yang tampak sudah lama berdiri di depan pintu itu. Dari mata dan tatapannya saja Khair langsung bisa mengenali siapa wanita itu.“Riang ke sini hanya mau menyampaikan sesuatu.”Heran bercampur penasaran membuat jantung Khair sedikit berdebar. “Apa yang mau disampaikan Riang?”
Ekspresi muka Khaira tidak berubah. Dia belum dapat jawaban yang diinginkannya. Eh, malah ditertawakan. Menyebalkan sekali suaminya. Mana bisa Khaira percaya.“Saya sudah suka sama kamu sejak lama,” kata Ahsan. Kali ini mukanya serius supaya bisa dipercaya.“Sejak kapan?” Khaira sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Selama ini dia pikir Ahsan bahkan tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Boro-boro jatuh cinta, jika saling bertatapan saja dia langsung buang muka.Ahsan nyengir lagi. “Hm ... itu sepertinya sejak nama kita tertulis di lauhul mahfudz.”Khaira menghela napas. Lelah hayati dia mengharapkan jawaban serius dari orang serius yang ternyata suka bercanda.Ekspresi kesal itu terbaca. Ahsan lantas berkata, “Saya tidak tahu tepatnya, tapi sejak melihat kamu sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya tidak bisa melupakan kamu.”Khaira memicingkan mata sambil menghitung mundur ke
Ketika segala sesuatu berlaku sesuai kehendak-Nya, maka segala jalan terbuka dengan sendirinya. Tidak ada aral apapun yang merintangi perjalanan sang Waktu hingga menyatukan Ahsan dan Khaira di depan penghulu.Sebagai wali dari kakaknya, Khair menjabat tangan Ahsan dan mengucap ijab dengan mantap. Demikian juga Ahsan, mengucap qabul dengan mantap dalam satu tarikan napas. Saat itu, tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan Khair, arasy berguncang tersebab sebuah ikrar yang beratnya seperti perjanjian ketika Allah mengangkat seorang rasul bagi manusia. Itulah akad yang disebut sebagai mitsaqan Ghaliza.Hari itu, telah Khair tunaikan sumpahnya. Telah tunai pula tanggung jawabnya menjaga sang Kakak sebagaimana diamanahkan orang tuanya. Meski bahagia, air matanya tumpah juga. Apalagi ketika Khaira dan Ahsan bergantian memeluknya.“Teteh jangan nangis!” kata Khair sambil mengusap pipi kakaknya. Padahal air mata dia lebih deras daripada bulir bening di mat
Persoalan nikah membuat Khaira gelisah, terutama karena calon suaminya adalah Ahsan. “Kenapa harus dia sih?” pikir Khaira. Lama-lama wanita itu jadi greget ingin mengintrogasi adiknya. Namun, sejak acara lamaran di kedai waktu itu, Khaira menahan keinginan itu demi kelancaran Khair dalam menempuh studinya. Meski hari pernikahannya kian dekat, Khaira berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meski begitu, masih ada satu ganjalan di hatinya yakni tentang seseorang yang dia lihat tanpa sengaja di rumah sakit tempo hari. “Apa Ahsan mengenalnya?” Pertanyaan itu terus berkelindan di kepalanya tanpa berani dia utarakan kepada siapapun. Sampai pada jadwal terapi berikutnya, Khaira datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, dia bertemu psikiater baru pengganti dokter Huda. Di sana, seusai terapi, tanpa sengaja Khaira berpapasan dengan Ahsan. Dia merasa sangat canggung. Namun seulas senyum hangat yang disuguhkan lelaki di depannya itu mampu mencairkan suasana. “
Khaira percaya kepada Khair. Dia bahkan tidak mencari tahu soal calon yang disodorkan adiknya hingga mereka dipertemukan di kedai. Hari itu Khaira keluar untuk memberi makan kucing-kucing di pelataran. Seorang ibu berpakaian rapi nampak berdiri mengamati kedainya dari pinggir jalan. Khaira pun memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil memberi makan kucing-kucing yang mengerubungi kakinya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah kedai kopi sambil menenteng beberapa paper bag. Lamat-lamat, Khaira dapat melihat wajahnya dengan jelas. “Maaf, bukankah ibu yang waktu itu belanja di mini market rumah sakit?” tanya Khaira. Ekspresi terkejut di wajah wanita itu berubah sumringah. Dia tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Apakah kamu Khaira?” “Iya. Saya Khaira.” Wanita itu mengulurkan tangan meski heran, bagaimana ibu tersebut bisa menebak dengan tepat siapa dirinya. “Mungkin karena aprone dan kedai ini,” pikir Khaira. “Masya Allah.”
Khair tiba di kedai sesaat setelah Khaira pergi. Jadi dia tidak bisa langsung memberitahu ‘kabar ajaib’ yang dibekalnya dari restoran.“Teh Khaira kemana gitu, Bi?” tanya Khair gemas sekali. Tidak mungkin kan dia menyampaikan kabar sepenting itu di telepon atau pesan teks.“Katanya sih ke panti, nemenin Neng Riang yang mau perpisahan,” terang Bi Ocih.”Perpisahan?” Khair mengernyitkan dahi.Bi Ocih mengangguk sambil kipas-kipas melepas lelah.“Perpisahan apa?” tanya Khair sambil tetap jaga image. Jangan sampai Bi Ocih beranggapan dia kepo atau penasaran soal Riang.Dari cengiran wanita itu Khair bisa menebak apa yang akan dikatakan, “Kepo, ya?”“Bibi mah ....” Khair jadi salah tingkah. Akhirnya dia mengalah dan memutuskan mengakhiri pembicaraan. Biar nanti dia tanya Teh Khaira saja sepulang dari sana. Begitu rencana dia.***“Teh Kh
Khair pergi ke hotel tersebut bukan untuk menemui bos pemiliknya ataupun berniat mengungkap kembali kasus Khaira. Dia kesana hanya dengan satu tujuan, yakni berkonsultasi tentang kafarat sumpah yang akan dibatalkannya.Mereka beremu di restoran sebelum pertemuan tak terduga dengan bos besar itu terjadi.Ketika Khair tiba, seorang pria berperawakan proporsional dengan raut wajah ramah menyambut Khair di salah satu meja. Dia memakai jas bergaya single breasted sebagai outer yang dipadukan dengan kurta.Khair tertegun sejenak sebelum berani menyapa. Penampilan pria itu membuatnya khawatir salah mengenali orang. Dari kejauhan dia memang terlihat seperti artis India atau Pakistan. Namun, dari dekat nampak bahwa wajahnya familiar.“Syukurlah kamu bisa datang lebih awal,” kata Ahsan, lelaki yang ditemui Khair di tempat tersebut. Senyumnya mengembang tanpa baking soda, namun terlihat manis seperti mengandung gula.“Alhamdulill