Share

Kilas Balik

Author: Eneng Susanti
last update Last Updated: 2021-06-03 12:25:24

Sejak perjodohan diputuskan, dan hari pernikahan ditetapkan, Khaira merasa sudah kehilangan nyawa. Dia tak lebih dari raga yang tidak punya jiwa. Mati dalam hidupnya. Dia layaknya mayat yang tak selayaknya punya keinginan. Hanya orang lain yang bisa memetakkan dirinya. Dengan pikiran seperti itu Khaira bernafas hingga hari pernikahannya tiba.

"Tidak ada lagi kehidupan ...."

Kala riasan pengantin sudah terpasang, gaun sudah dikenakan, di dalam kamar, Khaira siap mengakhiri semuanya. Pisau cutter sudah dia genggam. Mata pisau sudah siap menyayat nadinya.

Lantunan shalawat bergema di luar, menandakan kedatangan mempelai pria.

"Ampuni Khaira, ya Allah ...."

Gadis itu memejamkan mata, menahan perih yang langsung terasa begitu mata pisau menembus lapisan kulit di pergelangan tangannya. Darah mengalir begitu juga air matanya.

Suara-suara berisik di halaman dan tengah rumah perlahan meredup. Namun, sebelum Kesadarannya sempurna hilang, Khaira mendengar suara lantang di luar.

“Saya walinya!”

Di luar kamar, suara itu memancing keributan. Pasalnya, akad akan digelar.

“Pernikahan tidak bisa dilangsungkan tanpa wali yang sah!”

Itulah kalimat yang menyentak semua orang. Namun, mereka tidak tahu siapa orang yang tiba-tiba datang sesaat sebelum ijab Kabul dilafazkan itu.

“Saya harus bertemu Teh Khaira sekarang!”

Itulah Khair, remaja berseragam putih abu yang tiba-tiba muncul membuyarkan walimah kakaknya. Itulah Khair yang datang tak diundang, pulang tak diantar. Dia bukan semacam boneka kayu mistis. Dia pahlawan Khaira.

Kemunculan Khair mengagetkan semua orang. Mungkin kekagetan macam itu pula yang dirasakan Khaira ketika Khair tiba-tiba datang saat dia hendak membakar buku harian.

***

“Kenapa Teteh bakar?” Tanya Khair lagi.

“Kamu tahu tentang buku ini?” Khaira balik bertanya, “Apa ini buku yang waktu itu kamu tanyain ke Teteh?”

Khair mengangguk walaupun sebenarnya dia masih bingung, bagaimana buku yang dia cari bisa tiba-tiba ada di tangan Khaira.

Gadis itu berurai air mata lagi. Jantungnya serasa ditikam melihat anggukan Khair.

“Bagaimana bisa? Bagaimana bisa, Khair?” desak Khaira. Dia terisak. Tidak sedikitpun terpikir jalan macam apa yang membuat buku itu bisa sampai di tangan adiknya.

“Itu ….”

“Kamu kenal pemiliknya?” Tak peduli Khair mau bicara apa, sorot mata Khaira menyala seperti hendak menelan adiknya, “Ini milik b*j*ng*an br*ng**k itu, Khair! Lelaki jahat yang mau memaksa menikahi Teteh. Dia yang menghajar kamu dulu!”

Khair membulatkan mata dan mulutnya seketika. Dia lantas menggeleng pelan, memungkiri tudingan Khaira.

“Bukan, Teh,” sangkal Khair. “Ini buku harian ibu.”

Kini Khaira yang membulatkan mata dan mulutnya seketika. Dia lantas menggleng pelan, memungkiri fakta yang Khair ungkapkan.

“Enggak mungkin!”

Bagaimana bisa itu buku harian ibu? Jelas-jelas yang menulisnya seorang pria. Khair bohong.’ Itu yang berkelabat di benak Khaira bersama rasa sakit yang menjalar di kepala dan dada.

Bibir Khair tampak bergerak seperti berbicara, tapi pandangan mata Khaira sudah meremang. Telingannya pun sudah tak lagi menangkap suara. Dia limbung dan akhirnya jatuh ke pangkuan adiknya. 

***

Khaira terbaring di tempat tidur. Bi Ocih menunggui di sampingnya. Setelah menutup kedai, wanita yang masih kerabat ayah mereka itu datang karena khawatir kepada Khaira dan Khair yang tak kembali ke kedai.

Khair menatap Kakaknya dari ambang pintu kamar. Dia termenung sesaat. Kelebatan peristiwa membayang di hadapan pemuda 21 tahun itu.

Di tempat yang sama, empat tahun lalu ibunya terbaring sakit.

“Khair, ibu ingin ketemu Khaira,” ucap wanita 40 tahunan itu lemah, “Ibu ingin lihat dia, sebelum ibu pergi selamanya.”

Itu keinginan terakhir ibunya Khair dan Khaira. Keinginan yang terus-menerus dia ucapkan hampir seumur hidup Khair.

Tiada satu hari pun di hidup Khair tanpa mendengar nama Khaira disebut oleh sang ibu. Walau tak tahu bagaimana wujudnya, Khair sudah seperti mengenal Khaira sejak dia lahir. Ibunya selalu menceritakan tentang gadis yang disebutnya sebagai keajaiban itu.

“Bawa Khaira! Kelak kalau ibu ngak ada, kalian harus tinggal bersama. Khair dan Khaira….“ ucap ibunya kala itu.

“Khair, berjanjilah kepada ibu, kamu akan menjaga Khaira, demi ibu ….” Kembali kalimat wanita lembut  itu terngiang di telinga Khair.

Dulu, kalimat itu yang membuat Khair nekat ke luar kota, menjemput kakaknya. Tak peduli masih berseragam sekolah, berbekal segenggam uang tabungan dan alamat, Khair mengendarai motor tua peninggalan ayahnya menuju luar kota.

Berjam-jam perjalanan dia tempuh dengan tekad bulat, membawa Khaira bertemu ibu sebelum terlambat.

Beruntung Khair lumayan cerdas, dia bisa menemukan alamat rumah baru neneknya. Namun, tak disangka, di sana sedang ada pesta.

Tenda hajatan terpasang di halaman. Kursi dan meja prasmanan terpasang berajajar. Semua itu tak menghentikan langkah Khair yang tergesa memburu Khaira. Tidak boleh ada waktu yang sia-sia. Tekadnya tetap satu, “Teh Khaira harus bertemu ibu.”

Khair tiba di ruang tengah. Dibuntuti sorot tanda tanya dari semua pasang mata, Khair mendapati ruang tengah rumah yang dicarinya sudah diselimuti kain dan dekorasi  pesta.

Sebuah pelaminan berhias aneka bunga terpajang cantik bak singgasana kerajaan. Orang-orang berpakaian indah baik laki-laki maupun perempuan. Mata Khair menyasar semuanya. Namun, dia hanya mencari satu sosok wanita yaitu Khaira.

Seorang pria berpakaian khas mempelai pria tengah duduk di hadapan sebuah meja, tak jauh dari sana. Dia bersiap mengucap ijab Kabul sepertinya.

“Tunggu!” cegah Khair, nekad menerobos kerumunan di sekitar situ.

Orang-orang bersitatap. Tante Inces dan Om Bambang yang bertindak sebagai saksi dari pihak Khaira pun kebingungan.

“Siapa bocah ingusan berseragam SMA ini?” Itu jadi tanya di benak mereka.

Tak menghiraukan semua orang, Khair tegas bertanya, “Apakah ini pernikahan Teh Khaira?”

“Iya,” sahut Tante Incess dengan angkuhnya, “Kamu siapa? Mau apa, hah?”

Merasa diremehkan, Khair lantang bersuara, “Saya walinya! Pernikahan tidak bisa dilangsungkan tanpa wali yang sah!”

“Apa-apaan ini?” pikir semua orang, termasuk Guntur yang tinggal selangkah lagi mengikat Khaira dalam jeratannya.

Suasan menjadi riuh. Tante Incess didukung Om Bambang langsung mendebat Khair. Cekcok mulut terjadi. Wanita berdandanan menor itu kemudian lari ke dalam kamar ibunya untuk melaporkan kejadian.

Nenenknya langsung menanyakan keberadaan Khaira. Dia punya firasat buruk tentang kehadiran bocah yang mengaku sebagai adik Khaira itu.

‘Mereka tidak boleh bertemu,’ bisik hatinya.

Khair yang tidak menyadari apa-apa justru bersitegang dengan beberapa orang. Penghulu tak bersedia melanjutkan prosesi akad sebelum memperoleh kejelasan tentang wali nikah mempelai perempuan yang sebelumnya hendak dia wakili.

Guntur pun geram.

“Bocah tengil ini harus disingkirkan!” pikirnya.

“Saya harus ketemu Teh Khaira sekarang!” Teriak Khair tepat sebelum sebuah bogem mentah diterimanya. Calon kakak iparnya itu rupanya tak tahan melesatkan kemarahan atas kekacauan yang dibuat Khair di walimahnya.

Khair tersungkur ke lantai yang sudah dilapisi permadani.  Pukulan keras dari sosok bak petinju itu membuat Khair KO. Darah segar mengalir dari sobekan luka di bibirnya.

Seketika itu juga, Guntur yang masih bernafsu menerjang Khair langsung dicekal oleh beberapa orang yang hadir. Suasana seakin kacau tatkala teriakan Tante Incess menggema dari dalam kamar Khaira.

Dia yang berniat mengamankan Khaira atas perintah ibunya, justru dikejutkan dengan kondisi gadis itu yang sudah hampir tak bernyawa.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dito Adimia
khair dan Khaira sama sama bersimbah luka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Khair dan Khaira   Konflik Keluarga

    Khair ingat, dia terbangun di sebuah ruang rawat rumah sakit tanpa seorang pun menungguinya. Pemuda itu langsung keluar kamar, menyusuri lorong pendek menuju pintu keluar. Namun, di tengah jalan dia mendapati kerumunan di mulut sebuah ruang perawatan.Khair mengenali orang-orang berpakaian indah khas hajatan itu. Dia melihat mereka di acara walimah. Ingatannya langsung tertuju kepada Khaira.“Kehabisan darah dia. Harus transfusi sepertinya .…”“Iya, kasian Khaira.”“Lalawora, bunuh diri sagala tuda (gegabah, pakai acara bunuh diri segala sih!)”Itu sebagaian percakapan yang Khair dengar dari mulut orang-orang yang berkerumun di sana. Dia beranikan diri membaur untuk mendekati pintu. Orang-orang seketika menyingkir saat menyadari kehadiran pemuda biang onar di walimah itu.Bisik-bisik tentang Khair yang tak dikenali, tentang Khaira yang bernasib malang, sampai tentang ibu mereka yang disebut-se

    Last Updated : 2021-06-04
  • Khair dan Khaira   Tanda Tanya

    “Kamu enggak ke masjid?” Itu yang ditanyakan pertama kali oleh Khaira saat dia bangun menjelang subuh. Gadis itu keluar kamar seolah tidak terjadi apa-apa. Semua air mata dan kemarahan tentang Guntur dan buku harian yang dia bakar sebelumnya, seolah sirna.“Teteh enggak apa-apa?” tanya Khair dalam nada campuran anatar heran dan ragu.“Menurut kamu?” Khaira memang selalu bikin Khair greget. Semalam adiknya itu tak bisa tidur karena mengkhawatirkan kondisinya, eh … setelah terbangun, orang yang dikhawatirkan itu justru terlihat biasa saja.“Asli, Teteh baik-baik aja?” tanya Khair lebih seperti meyakinkan diri sendiri.“Memang kamu mau Teteh kayak kemarin lagi?” Khaira membalikan pertanyaan.Khair menghembuskan nafas panjang. “Syukurlah kalau Teteh enggak apa-apa mah ….” Setidaknya, itu berarti dia tidak perlu membawa Khaira memeriksakan diri ke Psikiater.&ld

    Last Updated : 2021-06-05
  • Khair dan Khaira   Dear Diary

    Ketika kakak beradik itu bermunajat, nun jauh di sebuah kamar, di gedung apartemen yang memayungi rumah mungil Khair dan Khaira, seseorang juga menghamparkan sajadahnya, memohon petunjuk agar diberikan ketetapan hati atas pilihan-pilihan yang dihadadapkan kepadanya.Setelah seharian beraktivitas, lelah tak juga membuat lelaki itu tertidur lelap. Dihampirinya laci meja di sisi tempat tidurnya. Sebuah buku bernuansa vintage, bersampul kulit warna cream agak lusuh ada di dalamnya bersama lembaran-lembaran sketsa. Dibukanya laci itu. Diraihnya buku tadi.Malam itu dia bertekad mengkhatamkan isinya untuk mencari tahu siapa pemiliknya.Di halaman pertama buku harian klasik bersampul kulit warna cream yang sudah agak lusuh itu tertulis:Dear diary,Aku selalu penasaran, mengapa rasa sayang mama dan papa membuat hidupku sesak dan tertekan. Aku merasa tak pernah bisa berdiri di atas sepatuku sendiri.Di usia 18, aku sudah bekerj

    Last Updated : 2021-06-05
  • Khair dan Khaira   Urusan yang tidak pernah Selesai

    Lewat kehadiran Aa sebuah rahasia mau tidak mau jadi terungkap. Meski kehadiran Aa sebagai suamiku tak direstui, aku tidak peduli. Toh, nyatanya hanya dia yang menerimaku tanpa cela. Hanya dia yang senyatanya memberiku identitas sejati dalam keluarga yang kami bangun kini.Aa yang seorang perantau dari jiran dianggap tak akan mampu menjamin hidupku dengan layak. Statusnya sebagai pekerja kontrak dan kewarganegaraannya, kerap dijadikan alasan untuk menolak kehadirannya menjadi menantu di keluargaku yang selalu memposisikan diri sebagai keluarga terhormat. Padahal, bukan itu alasan penolakan mereka yang sesungguhnya. Papa memang pernah menjadi orang yang disegani waktu menjabat sebagai polisi. Namun, apalah arti kesombongan terhadap pangkat dan jabatan. Toh setelah pensiun dan sakit-sakitan, untuk bernafas saja dia kadang memerlukan selang dan tabung oksigen. Hanya saja di kala sudah sehat lagi, bentakan dan teriakan tetap jadi senjata andalannya u

    Last Updated : 2021-06-06
  • Khair dan Khaira   Pemilik Buku Harian

    Dear diary,Entah ini surat atau curhat, aku hanya ingin meninggalkan jejak untuk seseorang kelak. Seseorang yang pernah bergelung di rahimkudan telah terlahir ke dunia menjadi anakku. Kutulis ini didorong kekhawatiran terbesarku tentang masa depannya. Suatu hari dia akan hidup dan menghadapi dunianya sendiri. Jauh sebelum itu terjadi, aku ingin menjaga dan memastikan semuanya baik-baik saja kelak. Jika aku terlanjur tiada sebelum dapat kembali melihat senyumnya, aku harap dia tahu bahwa aku selalu ada. Tidak pernah meninggalkannya. Tidak pernah pergi sejengkal pun dari hidupnya.Aku ingin dia bisa hidup dengan baik, tumbuh dengan ceria, dan jadi anak yang bahagia dengan atau tanpa aku di sisinya. Dia adalah wasiatku. Kutitipkan dia hanya kepada Yang Maha Kuasa, Yang menciptakan aku dan dia, Yang mengikatkan pertalian darah kami berdua, Yang menjamin hidup dan mati, Yang Maha mengetahui, Yang Maha Pengasih dan Mah

    Last Updated : 2021-06-08
  • Khair dan Khaira   Dosen Pembimbing

    Waktu bergulir. Kesibukan membelit hingga kadang beberapa persoalan terbengkalai. Namun, hari-hari terus berjalan.Di sebuah ruang rapat yang luas, Ahsan duduk di kursi utama sebagai pemimpin rapat. Gawainya yang tergeletak di atas meja, menyala tanpa suara. Di layar tampak notifikasi dari grup Whatsapp Prodi PAI. Ahsan yang tengah menyimak presentasi salah satu staf-nya mengambil jeda sesaat untuk membaca pesan masuk tersebut.“Rapat prodi dipercepat satu jam. Kita mulai jam 09.30 WIB.” Demikian isi pesan di grup khusus dosen dan staf prodi PAI di kampus tempat Ahsan mengabdi.Dia menghela nafas. Bentrok jadwal rapat kantor dan rapat kampus yang paling dia hindari akhirnya terjadi. Siapa sangka pihak prodi mempercepat agenda rapat untuk menindaklanjuti kosongnya posisi kaprodi seklaigus dosen pembimbing skripsi beberapa mahasiswa tingkat akhir yang ditinggalkan almarhum ustaz Rofiq.Tak lama berpikir, Ahsan membuka suara begitu staf kan

    Last Updated : 2021-07-02
  • Khair dan Khaira   Keputusan yang Terjeda

    Kesempatan berada di perpustakaan tak Khair sia-siakan. Dia ambil setumpuk buku dan mempelajarinya dengan seksama. Tak lama kemudian, Ustaz Ahsan rupanya juga menyambangi tempat yang sama.“Jadi belum ada orang yang menanyakan soal kehilangan buku harian di sini?” telisik dia di sela obrolan ringannya dengan penjaga perpustakaan.“Belum ada, Ustaz. Kalau ada, pasti nanti saya kabari.”“Baik.”Ahsan mengedarkan pandang ke sekeliling. Sekelompok mahasiswi sedang bisik-bisik sambil mencuri pandang ke arahnya. Mereka mengitari meja yang tersedia di tengah ruang perpustakaan. Meja dan kursi baca juga terpasang di sepanjang dinding. Ada beberapa PC yang terpasang di sana. Itu memudahkan mahasiswa untuk browsing dengan wifi gratis.Ahsan juga menangkap sekilas sosok Khair di salah satu meja tersebut. Pemuda itu sedang sibuk dengan buku-buku dan beberapa carik kertas. PC di depannya menyala dan menampilkan sebuah laman w

    Last Updated : 2021-07-02
  • Khair dan Khaira   Puskeswan

    Saat keluar ruangan, tampak lelaki asing yang mengantarnya sedang berdiri di meja administrasi. Dia mengeluarkan sejumlah uang dan menyodorkannya ke loket.Belum sempat Khaira melangkah ke sana, lelaki itu menoleh kemudian berjalan ke arahnya."Sudah selesai?" tanya dia.Khaira mengangguk."Bagaimana keadaannya?""Harus dirawat.""Berapa lama?""Dua sampai tiga hari."Lelaki itu mengaggukan kepala."Ya, sudah. Ayo, saya antar pulang!""Saya mau bayar biaya perawatannya dulu. Kalau mau pulang, silakan duluan saja!" tolak Khaira."Sudah saya bayar."Sontak Khaira mendongak. Ditatapnya wajah orang yang sejak tadi tak diperhatikannya."Saya bisa bayar sendiri," tegas Khaira."Tapi sudah saya bayar.""Berapa?""Seiklasnya. Petugasnya bilang begitu.""Iya, tapi berapa nominalnya yang tadi sudah dibayarkan? Nanti saya ganti," Khaira mulai ngotot.Lelaki itu malah ny

    Last Updated : 2021-07-03

Latest chapter

  • Khair dan Khaira   Catatan Penutup

    Dear Good Novel readers, Terima kasih saya ucapkan untuk pembaca setia Khair dan Khaira. Semoga ending kisah ini menyenangkan. Saya harap pembaca bisa mengambil sesuatu di dalamnya. Bukan sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi saya juga ingin pembaca merasakan manfaat dari bacaannya. Semoga ada hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dalam cerita ini dan bisa menjadi kebermanfaatan bagi semua pembacanya. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan yang mungkin tertulis di dalamnya. Saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari semuanya sehingga saya bisa melakukan perbaikan pada karya-karya berikutnya. Oh, iya ... apakah Khair dan Khaira perlu dibuat sekuelnya? Sebenarnya, ide untuk melanjutkan kisah ini sudah ada. Namun, saya perlu pendapat dari pembaca juga. Tolong berikan masukan dan saran di kolom komentar, ya. Sekali lagi, terima kasih bayak atas dukungannya, baik dalam bentuk vote, komentar, maupun ulasan tentan

  • Khair dan Khaira   Surat Riang

    “Jangan nangis, Teh,” bisik Khair saat mereka berpelukan. “Khair enggak bawa sapu tangan.” Pemuda itu tertawa. Namun, matanya jelas berkaca-kaca. Dia juga merasa berat meninggalkan kakaknya.Khaira menggelengkan kepala. “Awas kamu ... jangan kangen sama tumis kangkung Teteh loh, ya ...!”Tanpa sadar keduanya sesenggukan.“Khair mau minta sesuatu sama Teteh ....” ucap dia sebelum melepas pelukan.“Apa?”“Khair minta keponakan!” Dia terkekeh sambil mengusap bulir yang jatuh jatuh dari sudut matanya.“Kamu mah ....” Khaira melepas pelukan sambil mencubit lengan adiknya.Khair meringis.“Kenapa?” tanya Ahsan khawatir.“Khair lupa minum obat,” sahut Khaira sekenanya. Mukanya sudah kemerah-merahan menahan malu campur kesal. Jika tidak ingat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang Adik sebelum pergi dalam

  • Khair dan Khaira   Perpisahan

    Sehari setelah pernikahan Khaira dengan Ahsan, Khair dijadwalkan terbang ke Malaysia. Pemuda yang akan menjalani perkuliahan pascasarjana itu sudah menyiapkan koper dan bekal.Dia sudah janjian dengan Ahsan dan Khaira yang akan datang menjemput dan mengantarnya ke Bandara. Jadi, begitu terdengar ketukan di pintu, Khair langsung keluar dengan wajah ceria. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati seseorang berdiri di dekat pintu masuk. Orang itu bukan kakaknya.Khair menatap heran. Keberadaan orang tersebut sungguh di luar dugaannya.“Hm ....” Khair jadi speechless. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepada sosok wanita bercadar yang tampak sudah lama berdiri di depan pintu itu. Dari mata dan tatapannya saja Khair langsung bisa mengenali siapa wanita itu.“Riang ke sini hanya mau menyampaikan sesuatu.”Heran bercampur penasaran membuat jantung Khair sedikit berdebar. “Apa yang mau disampaikan Riang?”

  • Khair dan Khaira   Haru

    Ekspresi muka Khaira tidak berubah. Dia belum dapat jawaban yang diinginkannya. Eh, malah ditertawakan. Menyebalkan sekali suaminya. Mana bisa Khaira percaya.“Saya sudah suka sama kamu sejak lama,” kata Ahsan. Kali ini mukanya serius supaya bisa dipercaya.“Sejak kapan?” Khaira sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Selama ini dia pikir Ahsan bahkan tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Boro-boro jatuh cinta, jika saling bertatapan saja dia langsung buang muka.Ahsan nyengir lagi. “Hm ... itu sepertinya sejak nama kita tertulis di lauhul mahfudz.”Khaira menghela napas. Lelah hayati dia mengharapkan jawaban serius dari orang serius yang ternyata suka bercanda.Ekspresi kesal itu terbaca. Ahsan lantas berkata, “Saya tidak tahu tepatnya, tapi sejak melihat kamu sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya tidak bisa melupakan kamu.”Khaira memicingkan mata sambil menghitung mundur ke

  • Khair dan Khaira   Mitsaqan Ghaliza dan Ungkapan Cinta

    Ketika segala sesuatu berlaku sesuai kehendak-Nya, maka segala jalan terbuka dengan sendirinya. Tidak ada aral apapun yang merintangi perjalanan sang Waktu hingga menyatukan Ahsan dan Khaira di depan penghulu.Sebagai wali dari kakaknya, Khair menjabat tangan Ahsan dan mengucap ijab dengan mantap. Demikian juga Ahsan, mengucap qabul dengan mantap dalam satu tarikan napas. Saat itu, tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan Khair, arasy berguncang tersebab sebuah ikrar yang beratnya seperti perjanjian ketika Allah mengangkat seorang rasul bagi manusia. Itulah akad yang disebut sebagai mitsaqan Ghaliza.Hari itu, telah Khair tunaikan sumpahnya. Telah tunai pula tanggung jawabnya menjaga sang Kakak sebagaimana diamanahkan orang tuanya. Meski bahagia, air matanya tumpah juga. Apalagi ketika Khaira dan Ahsan bergantian memeluknya.“Teteh jangan nangis!” kata Khair sambil mengusap pipi kakaknya. Padahal air mata dia lebih deras daripada bulir bening di mat

  • Khair dan Khaira   Bahagia

    Persoalan nikah membuat Khaira gelisah, terutama karena calon suaminya adalah Ahsan. “Kenapa harus dia sih?” pikir Khaira. Lama-lama wanita itu jadi greget ingin mengintrogasi adiknya. Namun, sejak acara lamaran di kedai waktu itu, Khaira menahan keinginan itu demi kelancaran Khair dalam menempuh studinya. Meski hari pernikahannya kian dekat, Khaira berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meski begitu, masih ada satu ganjalan di hatinya yakni tentang seseorang yang dia lihat tanpa sengaja di rumah sakit tempo hari. “Apa Ahsan mengenalnya?” Pertanyaan itu terus berkelindan di kepalanya tanpa berani dia utarakan kepada siapapun. Sampai pada jadwal terapi berikutnya, Khaira datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, dia bertemu psikiater baru pengganti dokter Huda. Di sana, seusai terapi, tanpa sengaja Khaira berpapasan dengan Ahsan. Dia merasa sangat canggung. Namun seulas senyum hangat yang disuguhkan lelaki di depannya itu mampu mencairkan suasana. “

  • Khair dan Khaira   Pertemuan

    Khaira percaya kepada Khair. Dia bahkan tidak mencari tahu soal calon yang disodorkan adiknya hingga mereka dipertemukan di kedai. Hari itu Khaira keluar untuk memberi makan kucing-kucing di pelataran. Seorang ibu berpakaian rapi nampak berdiri mengamati kedainya dari pinggir jalan. Khaira pun memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil memberi makan kucing-kucing yang mengerubungi kakinya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah kedai kopi sambil menenteng beberapa paper bag. Lamat-lamat, Khaira dapat melihat wajahnya dengan jelas. “Maaf, bukankah ibu yang waktu itu belanja di mini market rumah sakit?” tanya Khaira. Ekspresi terkejut di wajah wanita itu berubah sumringah. Dia tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Apakah kamu Khaira?” “Iya. Saya Khaira.” Wanita itu mengulurkan tangan meski heran, bagaimana ibu tersebut bisa menebak dengan tepat siapa dirinya. “Mungkin karena aprone dan kedai ini,” pikir Khaira. “Masya Allah.”

  • Khair dan Khaira   Persetujuan

    Khair tiba di kedai sesaat setelah Khaira pergi. Jadi dia tidak bisa langsung memberitahu ‘kabar ajaib’ yang dibekalnya dari restoran.“Teh Khaira kemana gitu, Bi?” tanya Khair gemas sekali. Tidak mungkin kan dia menyampaikan kabar sepenting itu di telepon atau pesan teks.“Katanya sih ke panti, nemenin Neng Riang yang mau perpisahan,” terang Bi Ocih.”Perpisahan?” Khair mengernyitkan dahi.Bi Ocih mengangguk sambil kipas-kipas melepas lelah.“Perpisahan apa?” tanya Khair sambil tetap jaga image. Jangan sampai Bi Ocih beranggapan dia kepo atau penasaran soal Riang.Dari cengiran wanita itu Khair bisa menebak apa yang akan dikatakan, “Kepo, ya?”“Bibi mah ....” Khair jadi salah tingkah. Akhirnya dia mengalah dan memutuskan mengakhiri pembicaraan. Biar nanti dia tanya Teh Khaira saja sepulang dari sana. Begitu rencana dia.***“Teh Kh

  • Khair dan Khaira   Keajaiban

    Khair pergi ke hotel tersebut bukan untuk menemui bos pemiliknya ataupun berniat mengungkap kembali kasus Khaira. Dia kesana hanya dengan satu tujuan, yakni berkonsultasi tentang kafarat sumpah yang akan dibatalkannya.Mereka beremu di restoran sebelum pertemuan tak terduga dengan bos besar itu terjadi.Ketika Khair tiba, seorang pria berperawakan proporsional dengan raut wajah ramah menyambut Khair di salah satu meja. Dia memakai jas bergaya single breasted sebagai outer yang dipadukan dengan kurta.Khair tertegun sejenak sebelum berani menyapa. Penampilan pria itu membuatnya khawatir salah mengenali orang. Dari kejauhan dia memang terlihat seperti artis India atau Pakistan. Namun, dari dekat nampak bahwa wajahnya familiar.“Syukurlah kamu bisa datang lebih awal,” kata Ahsan, lelaki yang ditemui Khair di tempat tersebut. Senyumnya mengembang tanpa baking soda, namun terlihat manis seperti mengandung gula.“Alhamdulill

DMCA.com Protection Status