Kesempatan berada di perpustakaan tak Khair sia-siakan. Dia ambil setumpuk buku dan mempelajarinya dengan seksama. Tak lama kemudian, Ustaz Ahsan rupanya juga menyambangi tempat yang sama.
“Jadi belum ada orang yang menanyakan soal kehilangan buku harian di sini?” telisik dia di sela obrolan ringannya dengan penjaga perpustakaan.
“Belum ada, Ustaz. Kalau ada, pasti nanti saya kabari.”
“Baik.”
Ahsan mengedarkan pandang ke sekeliling. Sekelompok mahasiswi sedang bisik-bisik sambil mencuri pandang ke arahnya. Mereka mengitari meja yang tersedia di tengah ruang perpustakaan. Meja dan kursi baca juga terpasang di sepanjang dinding. Ada beberapa PC yang terpasang di sana. Itu memudahkan mahasiswa untuk browsing dengan wifi gratis.
Ahsan juga menangkap sekilas sosok Khair di salah satu meja tersebut. Pemuda itu sedang sibuk dengan buku-buku dan beberapa carik kertas. PC di depannya menyala dan menampilkan sebuah laman w
Saat keluar ruangan, tampak lelaki asing yang mengantarnya sedang berdiri di meja administrasi. Dia mengeluarkan sejumlah uang dan menyodorkannya ke loket.Belum sempat Khaira melangkah ke sana, lelaki itu menoleh kemudian berjalan ke arahnya."Sudah selesai?" tanya dia.Khaira mengangguk."Bagaimana keadaannya?""Harus dirawat.""Berapa lama?""Dua sampai tiga hari."Lelaki itu mengaggukan kepala."Ya, sudah. Ayo, saya antar pulang!""Saya mau bayar biaya perawatannya dulu. Kalau mau pulang, silakan duluan saja!" tolak Khaira."Sudah saya bayar."Sontak Khaira mendongak. Ditatapnya wajah orang yang sejak tadi tak diperhatikannya."Saya bisa bayar sendiri," tegas Khaira."Tapi sudah saya bayar.""Berapa?""Seiklasnya. Petugasnya bilang begitu.""Iya, tapi berapa nominalnya yang tadi sudah dibayarkan? Nanti saya ganti," Khaira mulai ngotot.Lelaki itu malah ny
"Teh, tadi siang kemana?" tanya Khair di sela-sela makan malam.Khaira mengernyitkan dahi. Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya, melontarkan kecurigaan di benaknya, "Memangnya Bi Ocih bilang apa?""Tadi siang Khair telepon Teteh, ada pesanan kopi di kampus. Tapi, bi Ocih yang angkat telepon. Katanya hape Teteh ketinggalan. Teh Khairanya lagi pergi keluar.""Oh." Khaira sangat lega mendengarnya. Dia kira Bi Ocih melapor soal kedatangan dua pria yang mengaku sebagai keluarganya tadi siang."Kok cuma oh aja ... ""Emang harusnya apa? Ah, eh, ih, uh, gitu?"Khair tepuk jidat jadinya. "Teh, Khair kan nanya, Teteh pergi ke mana tadi siang? Masa Oh aja, enggak dijawab pertanyaannya.""Oh ...." kali ini Khaira tertawa lepas. Dia memang kerap asyik dengan pikirannya sendiri sampai dianggap tidak nyambung oleh orang lain."Tuh kan, Oh lagi.""Teteh abis jadi hero. Menolong kucing yang ketabrak, gitu loh," celoteh Khai
Khair saat itu berada di kampus. Sesuai permintaan Khaira, dia berencana membelikan makanan kucing jika urusanya di kampus sudah selesai.Setelah bertugas mengantarkan pesanan kopi, Khair bergabung dengan rekan-rekan sebimbingannya untuk melakukan pertemuan bimbingan pertama dengan dosen pembimbing baru mereka yang tak lain adalah Ustaz Ahsan.Masing-masing mahasiswa memaparkan masalah penelitian yang mereka garap dan progres skripsi yang mereka susun."Baik. Saya rasa cukup. Saya akan pelajari dulu masing masing draft-nya. Kita kembali bertemu minggu depan, ya," pungkas Ustaz Ahsan.Majlis itu ditutup dengan doa. Semua mahasiswa bubar. Namun, saat Khair hendak keluar, ustaz Ahsan menahan langkahnya."Khair bisa tunggu sebentar? Ada yang perlu saya sampaikan.""Iya, Ustaz."Tinggal mereka berdua di ruangan."Maaf, ini sifatnya pribadi," kata lelaki yang selalu ramah itu. Diserahkannya sebuah amplop polos kepada Khair. "Ini sura
Hari-hari Khair berlalu, mengalir lebih ringan dari biasa sejak Khair membaca surat perpisahan dari Rumaysha. Dia fokus kepada bimbingan skripsi sambil tetap memberi perhatian untuk kakaknya. "Teh, mushola kedai kopi sedikit lagi selesai, kan? Jadi tasyakurannya?" tanya Khair ketika Khaira sedang sibuk menghitung keuangan kedai. "Kamu udah bayar uang kuliah?" Sudah kebiasaan Khaira memang, jika ditanya dia malah balik nanya. "Nanti aja lah, sekalian pengajuan sidang," jawan Khair sekenanya. "Minggu ini ada sedikit laba, nih. Bisa kamu tabung buat uang kuliah." Khaira menyodorkan segenggam lembar puluhan ribu rupiah. "Ngak usah, Teh. Khair juga lagi ngumpulin kok. Kebetulan kemarin baru dapat job privat tahsin anak SD. Jadi ada tambahan lah buat bayar tunggakan kuliah." "Enggak apa-apa. Ambil aja ini, biar cepat banyak tabungannya. Jangan sampai kuliah kamu terhambat karena macet iurannya." "Hm ... simpan saja dulu, Teh. Siapa t
Selama lima hari Khair berkutat dengan laptop dan lembaran skripsi yang perlu dia revisi. Catatan dari dosen pembimbing 1 dan pembimbing 2 benar-benar dia perhatikan. Sebagian besar kesalahannya terletak pada format penulisan. Sedangkan masalah yang dibahasnya dalam skripsi tersebut sudah aman. Khair bahkan sudah paham dan menguasai materi yang dia paparkan dalam penelitiannya. Penelitian Khair tidak jauh dari gerakan literasi yang saat ini sedang gencar di kampanyekan dalam kurikulum pendidikan tanah air. Khair mengupas tuntas gerakan literasi tersebut dari perspektif Pendidikan Islam. Ada satu hal yang menjadi kegundahan Khair di awal penelitianya, yakni persoalan tentang tujuan dari gerakan literasi yang saat ini digalakan. Dalam Desain Induk Gerakan Literasi Nasional (GLN)*, disebutkan bahwa gerakan tersebut ditujukan untuk menumbuhkembangkan budaya literasi pada ekosistem pendidikan mulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam rangka pembel
Ya, walau tidak kentara, Khair juga turut membantu mengembangkan bisnis kakaknya. Dia mengambil peran sebagai marketer khusus wilayah kampus. Semua pesanan kopi all varian dari mahasiswa dan dosen ke kedai Khaira bisa dilakukan secara online ke nomor Whatsaap Khair. Begitu juga pengirimannya. Khair yang memegang tugas delivery order untuk wilayah internal kampus.Pada suatu momen, Khair menerima pesanan kopi dari sebuah nomor tak dikenal atas nama Riang, mahasiswa Ekonomi Syariah semester 1. Dia pun mengantarkan pesanannya ke kelas tersebut."Saya sudah di depan." Demikian pesan WhatsApp yang Khair kirim ke sebuah nomor sang pemesan kopi hari itu.Nampak tanda ceklis dua berwarna biru, tanpa ada balasan sepatah kata pun. Namun, tak lama kemudian seorang gadis berperawakan mungil berlesung pipit muncul dari dalam kelas yang Khair datangi."Hai," sapanya sambil tersenyum manis."Kamu yang tadi pesen matchalatte?" Tembak Khair tanpa basa basi. Pun tan
Khaira akhirnya meminta Riang datang ke kedai esok hari untuk berbicara dari hati ke hati terkait 'mahar' yang disebutkannya. Khaira tidak tahu pasti permasalah apa yang terjadi diantara dua muda mudi itu. Namun, dengan ketegasannya, Khaira berhasil menahan Khair agar tak bertindak berdasarkan emosi."Semuanya sudah terlanjur. Uang kuliah kamu sudah lunas, dan bukti pembayarannya juga sudah ada di tangan. Ini dia berikan ke Teteh sebelum kamu pulang tadi sore."Khair diam sejak Riang pamitan. Pun sampai Khaira menyuguhinya makan malam. Khair tetap tidak bercerita perihal gadis yang mengaku sebagai calon adik ipar Khaira itu."Kamu butuh ini untuk daftar sidang skripsi, besok kan?" Khaira menyodorkan kertas bukti pembayaran kuliah Khair.Pemuda itu sama sekali tak meliriknya. Pikirannya dipenuhi bayangan tentang Riang, gadis dengan tingkah paling aneh diantara semua orang aneh yang pernah Khair temui. Menurut dia, Riang bahkan lebih aneh dan tak kala
Khaira berdiri saat itu juga. Dia sudah tidak tahan dengan apa yang didengarnya. Itu bukan cerita baru, tapi cerita yang selalu diulang-ulang. Khaira sangat muak mendengarnya. Namun, dia juga tidak bisa menolak fakta bahwa memang seumur hidup, keluarga neneknya lah yang membesarkannya.Tangan Khaira terkepal seperti meremas kertas. Seolah di dalamnya ada naskah cerita yang ingin dia buang. Tapi dia tidak punya cukup nyali untuk melayangkannya ke tong sampah.Dia lantas melangkah tergesa ke meja kasir. Diambilnya beberapa lembar uang dari laci. Lalu dia kembali ke tempat wanita tadi."Ini! Ambilah, Tante!" ujarnya sambil menyodorkan lembaran uang pecahan warna biru kepada wanita itu. “Maaf, Khaira tidak punya amplop.”Wanita berpakaian mencolok dengan dress panjang berhias swarowski imitasi itu melirik lembaran uang yang kini tergeletak di mejanya."Hm ….” Tangan wanita itu menggapai uang tersebut. “Sebenarnya ini engg
Dear Good Novel readers, Terima kasih saya ucapkan untuk pembaca setia Khair dan Khaira. Semoga ending kisah ini menyenangkan. Saya harap pembaca bisa mengambil sesuatu di dalamnya. Bukan sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi saya juga ingin pembaca merasakan manfaat dari bacaannya. Semoga ada hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dalam cerita ini dan bisa menjadi kebermanfaatan bagi semua pembacanya. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan yang mungkin tertulis di dalamnya. Saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari semuanya sehingga saya bisa melakukan perbaikan pada karya-karya berikutnya. Oh, iya ... apakah Khair dan Khaira perlu dibuat sekuelnya? Sebenarnya, ide untuk melanjutkan kisah ini sudah ada. Namun, saya perlu pendapat dari pembaca juga. Tolong berikan masukan dan saran di kolom komentar, ya. Sekali lagi, terima kasih bayak atas dukungannya, baik dalam bentuk vote, komentar, maupun ulasan tentan
“Jangan nangis, Teh,” bisik Khair saat mereka berpelukan. “Khair enggak bawa sapu tangan.” Pemuda itu tertawa. Namun, matanya jelas berkaca-kaca. Dia juga merasa berat meninggalkan kakaknya.Khaira menggelengkan kepala. “Awas kamu ... jangan kangen sama tumis kangkung Teteh loh, ya ...!”Tanpa sadar keduanya sesenggukan.“Khair mau minta sesuatu sama Teteh ....” ucap dia sebelum melepas pelukan.“Apa?”“Khair minta keponakan!” Dia terkekeh sambil mengusap bulir yang jatuh jatuh dari sudut matanya.“Kamu mah ....” Khaira melepas pelukan sambil mencubit lengan adiknya.Khair meringis.“Kenapa?” tanya Ahsan khawatir.“Khair lupa minum obat,” sahut Khaira sekenanya. Mukanya sudah kemerah-merahan menahan malu campur kesal. Jika tidak ingat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang Adik sebelum pergi dalam
Sehari setelah pernikahan Khaira dengan Ahsan, Khair dijadwalkan terbang ke Malaysia. Pemuda yang akan menjalani perkuliahan pascasarjana itu sudah menyiapkan koper dan bekal.Dia sudah janjian dengan Ahsan dan Khaira yang akan datang menjemput dan mengantarnya ke Bandara. Jadi, begitu terdengar ketukan di pintu, Khair langsung keluar dengan wajah ceria. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati seseorang berdiri di dekat pintu masuk. Orang itu bukan kakaknya.Khair menatap heran. Keberadaan orang tersebut sungguh di luar dugaannya.“Hm ....” Khair jadi speechless. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepada sosok wanita bercadar yang tampak sudah lama berdiri di depan pintu itu. Dari mata dan tatapannya saja Khair langsung bisa mengenali siapa wanita itu.“Riang ke sini hanya mau menyampaikan sesuatu.”Heran bercampur penasaran membuat jantung Khair sedikit berdebar. “Apa yang mau disampaikan Riang?”
Ekspresi muka Khaira tidak berubah. Dia belum dapat jawaban yang diinginkannya. Eh, malah ditertawakan. Menyebalkan sekali suaminya. Mana bisa Khaira percaya.“Saya sudah suka sama kamu sejak lama,” kata Ahsan. Kali ini mukanya serius supaya bisa dipercaya.“Sejak kapan?” Khaira sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Selama ini dia pikir Ahsan bahkan tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Boro-boro jatuh cinta, jika saling bertatapan saja dia langsung buang muka.Ahsan nyengir lagi. “Hm ... itu sepertinya sejak nama kita tertulis di lauhul mahfudz.”Khaira menghela napas. Lelah hayati dia mengharapkan jawaban serius dari orang serius yang ternyata suka bercanda.Ekspresi kesal itu terbaca. Ahsan lantas berkata, “Saya tidak tahu tepatnya, tapi sejak melihat kamu sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya tidak bisa melupakan kamu.”Khaira memicingkan mata sambil menghitung mundur ke
Ketika segala sesuatu berlaku sesuai kehendak-Nya, maka segala jalan terbuka dengan sendirinya. Tidak ada aral apapun yang merintangi perjalanan sang Waktu hingga menyatukan Ahsan dan Khaira di depan penghulu.Sebagai wali dari kakaknya, Khair menjabat tangan Ahsan dan mengucap ijab dengan mantap. Demikian juga Ahsan, mengucap qabul dengan mantap dalam satu tarikan napas. Saat itu, tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan Khair, arasy berguncang tersebab sebuah ikrar yang beratnya seperti perjanjian ketika Allah mengangkat seorang rasul bagi manusia. Itulah akad yang disebut sebagai mitsaqan Ghaliza.Hari itu, telah Khair tunaikan sumpahnya. Telah tunai pula tanggung jawabnya menjaga sang Kakak sebagaimana diamanahkan orang tuanya. Meski bahagia, air matanya tumpah juga. Apalagi ketika Khaira dan Ahsan bergantian memeluknya.“Teteh jangan nangis!” kata Khair sambil mengusap pipi kakaknya. Padahal air mata dia lebih deras daripada bulir bening di mat
Persoalan nikah membuat Khaira gelisah, terutama karena calon suaminya adalah Ahsan. “Kenapa harus dia sih?” pikir Khaira. Lama-lama wanita itu jadi greget ingin mengintrogasi adiknya. Namun, sejak acara lamaran di kedai waktu itu, Khaira menahan keinginan itu demi kelancaran Khair dalam menempuh studinya. Meski hari pernikahannya kian dekat, Khaira berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meski begitu, masih ada satu ganjalan di hatinya yakni tentang seseorang yang dia lihat tanpa sengaja di rumah sakit tempo hari. “Apa Ahsan mengenalnya?” Pertanyaan itu terus berkelindan di kepalanya tanpa berani dia utarakan kepada siapapun. Sampai pada jadwal terapi berikutnya, Khaira datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, dia bertemu psikiater baru pengganti dokter Huda. Di sana, seusai terapi, tanpa sengaja Khaira berpapasan dengan Ahsan. Dia merasa sangat canggung. Namun seulas senyum hangat yang disuguhkan lelaki di depannya itu mampu mencairkan suasana. “
Khaira percaya kepada Khair. Dia bahkan tidak mencari tahu soal calon yang disodorkan adiknya hingga mereka dipertemukan di kedai. Hari itu Khaira keluar untuk memberi makan kucing-kucing di pelataran. Seorang ibu berpakaian rapi nampak berdiri mengamati kedainya dari pinggir jalan. Khaira pun memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil memberi makan kucing-kucing yang mengerubungi kakinya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah kedai kopi sambil menenteng beberapa paper bag. Lamat-lamat, Khaira dapat melihat wajahnya dengan jelas. “Maaf, bukankah ibu yang waktu itu belanja di mini market rumah sakit?” tanya Khaira. Ekspresi terkejut di wajah wanita itu berubah sumringah. Dia tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Apakah kamu Khaira?” “Iya. Saya Khaira.” Wanita itu mengulurkan tangan meski heran, bagaimana ibu tersebut bisa menebak dengan tepat siapa dirinya. “Mungkin karena aprone dan kedai ini,” pikir Khaira. “Masya Allah.”
Khair tiba di kedai sesaat setelah Khaira pergi. Jadi dia tidak bisa langsung memberitahu ‘kabar ajaib’ yang dibekalnya dari restoran.“Teh Khaira kemana gitu, Bi?” tanya Khair gemas sekali. Tidak mungkin kan dia menyampaikan kabar sepenting itu di telepon atau pesan teks.“Katanya sih ke panti, nemenin Neng Riang yang mau perpisahan,” terang Bi Ocih.”Perpisahan?” Khair mengernyitkan dahi.Bi Ocih mengangguk sambil kipas-kipas melepas lelah.“Perpisahan apa?” tanya Khair sambil tetap jaga image. Jangan sampai Bi Ocih beranggapan dia kepo atau penasaran soal Riang.Dari cengiran wanita itu Khair bisa menebak apa yang akan dikatakan, “Kepo, ya?”“Bibi mah ....” Khair jadi salah tingkah. Akhirnya dia mengalah dan memutuskan mengakhiri pembicaraan. Biar nanti dia tanya Teh Khaira saja sepulang dari sana. Begitu rencana dia.***“Teh Kh
Khair pergi ke hotel tersebut bukan untuk menemui bos pemiliknya ataupun berniat mengungkap kembali kasus Khaira. Dia kesana hanya dengan satu tujuan, yakni berkonsultasi tentang kafarat sumpah yang akan dibatalkannya.Mereka beremu di restoran sebelum pertemuan tak terduga dengan bos besar itu terjadi.Ketika Khair tiba, seorang pria berperawakan proporsional dengan raut wajah ramah menyambut Khair di salah satu meja. Dia memakai jas bergaya single breasted sebagai outer yang dipadukan dengan kurta.Khair tertegun sejenak sebelum berani menyapa. Penampilan pria itu membuatnya khawatir salah mengenali orang. Dari kejauhan dia memang terlihat seperti artis India atau Pakistan. Namun, dari dekat nampak bahwa wajahnya familiar.“Syukurlah kamu bisa datang lebih awal,” kata Ahsan, lelaki yang ditemui Khair di tempat tersebut. Senyumnya mengembang tanpa baking soda, namun terlihat manis seperti mengandung gula.“Alhamdulill